Di Akhir Zaman, Kaum Munafik Menjadi Pendukung Dajjal?
M. Khoirul Huda
Pada 2017, frasa “Akhir
zaman” tengah menjadi isu hangat di Indonesia. Ada dua konteks yang
melatarbelakangi naiknya wacana fitnah akhir zaman itu. Pertama, menghangatnya
situasi politik nasional sebab pemilihan kepala daerah serentak. Kedua, kondisi
global yang penuh kompleksitas dan membuat banyak orang frustasi. Penjelasan
dengan bahasa agama adalah yang paling mudah dicerna. Termasuk penjelasan bahwa
kompleksitas masalah yang mereka hadapi adalah tanda-tanda akhir zaman. Orang
harus segera menyelamatkan dirinya dengan menjadi pribadi yang saleh.
Sayangnya, tawaran
menjadi orang saleh adalah dengan cara menciptakan kecurigaan dan membenci pada
kelompok lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik. Tawaran lainnya,
adalah pergi ke negeri terberkahi di Timur Tengah yang punya jaminan keamanan
Tuhan. Tawaran lain adalah terlibat konflik di Timur Tengah sebagai militan
dimana mereka percaya bahwa ia adalah bagian dari tanda-tanda kemunculan
Dajjal. Apapun tawarannya, seluruhnya adalah pelibatan diri dalam kekacauan. Enggan
mendukung pilihan yang diyakini ini selalu dikaitkan dengan sifat kemunafikan.
Menurut seorang
“ustaz akhir zaman” dalam sebuah wawancara tv nasional setelah dirinya
diperiksa pihak kepolisian karena tuduhan ujaran kebencian, di antara
tanda-tanda kemunculan Dajjal adalah terbelahnya umat Nabi Muhammad saw. ke
dalam dua golongan; mukmin dan munafik. Menurutnya, golongan munafik akan
menjadi pengikut dan pendukung Dajjal. Dengan sangat fasih sang ustaz mengutip
kata-kata yang konon hadis, manusia akan terbagi ke dalam dua golongan
(fusthathain). Golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya (fusthath imanin la
nifaqa fih) dan golongan munafik tanpa iman di dalamnya (fusthath nifaq la imana
fih).
Benarkah umat
Muhammad saw. akan terbelah menjadi mukmin dan munafik, lalu golongan munafik
akan menjadi pendukung Dajjal? Berikut ulasannya.
Kutipan ustaz
tersebut adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad. Redaksi lengkap
hadis tersebut sebagai berikut:
عن
عبدِ الله بن عُمَرَ قال: كُنَّا قُعُوداً عندَ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم -
فَذَكَرَ الفِتَنَ، فأَكثَرَ حتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الأَحْلاسِ، فقالَ قائِلٌ: وما
فِتْنَةُ الأَحْلاسِ؟ قال: "هيَ هَرَبٌ وحَرْبٌ، ثمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ
دَخَنُها منْ تحتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بيتي، يَزْعُمُ أنَّهُ منِّي وليسَ
منِّي، إنَّما أَوْليائي المُتَّقُونَ، ثمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ على رَجُلٍ
كوَرِكٍ على ضلَعٍ، ثمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْماءِ لا تَدَع أَحَدًا مِنْ هذهِ
الأُمَّةِ إلا لطَمَتْهُ لَطْمةً، فإذا قيلَ: انقضَتْ تمادَتْ، يُصْبحُ الرَّجُلُ
فيها مُؤْمِناً ويُمْسِي كافِراً، حتَّى يَصيرَ النَّاسُ إلى فُسْطاطَيْنِ:
فُسطاطِ إِيْمانٍ لا نِفاقَ فيهِ، وفُسْطاطِ نِفاقٍ لا إِيْمانَ فيهِ، فإذا كانَ
ذلكُمْ فانتظِرُوا الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أوْ مِنْ غَدِه".
Dari Abdullah bin
Umar yang berkata, “Kami duduk di samping Nabi saw. Beliau menceritakan tentang
banyak kekacauan sampai pada cerita tentang kekacauan al-Ahlas. Seorang sahabat
bertanya, ‘Apa maksud kekacauan Al-Ahlas?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Pengungsian
dan perampasan. Lalu fitnah kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki
dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku hanya
orang-orang yang bisa menahan diri. Lalu orang-orang mengangkat seorang pemimpin
yang tidak layak. Lalu kekacauan duhaima’ (samar) yang tak meninggalkan seorang
pun kecuali akan ditampar oleh kekacauan tersebut. Ketika dikatakan, ‘Kekacauan
itu telah selesai’, sebenarnya kekacauan itu masih terjadi. Seorang laki-laki
mukmin pada pagi hari, tetapi menjadi kafir di sore hari, sampai umat manusia
menjadi dua golongan; golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya dan golongan
munafik tanpa keimanan di dalamnya. Ketika tanda-tanda itu terjadi, tunggulah
Dajjal pada hari itu atau esok harinya.’” (HR. Ahmad)
Hadis ini
diriwayatkan dalam kitab Al-Fitan, Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Musnad
Al-Syamiyyin, Al-Mustadrak, Hilyatul Auliya’, dan Syarh Al-Sunnah. Semua
kitab tersebut meriwayatkan dari Ala’ bin Utbah dari Umair bin Hani’ Al-Ansi
dari Abdullah bin Umar. Para ulama pada umumnya menilai sahih. Al-Hakim,
Al-Dzahabi, Ahmad Syakir, dan Al-Albani. Sedangkan Abu Nu’aim memberikan
catatan bahwa hadis tersebut tergolong gharib (aneh). Al-Arna’uth
menilai hadis ini tidak sahih, bahkan cenderung maudhu’ (palsu).
Hadis ini unik
karena menyebar di lingkungan Syam; wilayah yang menjadi basis pendukung utama
keluarga Umayah yang resisten terhadap Bani Hasyim. Sebagian perawinya bahkan dikenal
sebagai nashibi atau pembenci Ahli Bait termasuk Ali bin Abi Thalib di
dalamnya. Dalam matan hadis tersebut juga terdapat konten yang cenderung pada
sikap resisten terhadap ahli bait sebagaimana ditunjukkan redaksi fitnah
kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki dari keluargaku yang mengira
dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku hanya orang-orang yang bisa menahan
diri. Pertimbangan aspek dalam sanad dan matan inilah yang mungkin menyebabkan
Abu Nu’aim dan Al-Arna’uth mencurigai riwayat tersebut sebagai palsu sekalipun
diriwayatkan dalam sebuah sanad yang dipenuhi perawi-perawi terpercaya.
Terlepas dari
perdebatan soal kesahihan, hadis-hadis tentang kekacauan akhir zaman selalu
memuat anjuran menahan diri dari melibatkan diri dalam konflik. Dalam hadis
tersebut misalnya, dikatakan kekasihku hanya orang-orang yang menahan diri
(tidak terlibat konflik). Perkataan ini jelas dukungan Nabi kepada orang-orang
yang menjauhkan diri dari konflik. Orang-orang yang mengobarkan konflik, sekalipun
mengaku keturunan Nabi saw., sebenarnya ia bukan golongan beliau. Al-Karmani
(w. 854 H.) menjelaskan bahwa orang yang benar-benar keturunan Nabi saw. tidak
akan mengobarkan kekacauan (Syarah Mashabih Al-Sunnah Li Al-Baghawi,
jilid 5, hlm. 507).
Syekh Al-Azhim Abadi (w. 1329 H.) mengutip Al-Ardibili yang mengatakan bahwa
standar kebenaran pada masa kekacauan adalah orang yang bertakwa yang dapat
menahan diri sekalipun tidak ada hubungan dengan Nabi saw. Serta tidak dianggap
benar seorang penyebar kekacauan sekalipun punya hubungan nasab dengan beliau (Aun
Al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, jilid 11, hlm. 208).
Ada catatan menarik
dari hadis Syamiyyin ini. Fitnah lebih banyak berarti kekacauan sosial-politik.
Dengan tegas, hadis di atas menjelaskan tiga macam fitnah akhir zaman; al-Ahlas,
al-Sarra’, dan al-Duhaima’. Fitnah Al-Ahlas berarti
pengungsian dan perampasan harta serta nyawa. Fitnah Al-Sarra’ punya
tiga pengertian, yaitu kekacauan karena perebutan sumber kekayaan duniawi,
kekacauan yang membuat senang musuh, atau kekacauan karena kebencian dan sakit
hati. Sedangkan fitnah Al-Duhaima’ berarti kesimpang-siuran kebenaran
yang akan menimpa seluruh orang yang terlibat dalam konflik. Ketiga macam
fitnah ini berkaitan dengan masalah sosial dan politik.
Di sini kita bisa
mengambil pelajaran penting bahwa sumber fitnah, kekacauan dan konflik adalah
masalah duniawiah. Sekalipun dibungkus dengan bahasa agama, hal itu tidak menafikan
bahwa sumbernya adalah duniawi. Karenanya, tidak heran para ulama lebih menganjurkan
agar umat menjauhi terlibat dalam konflik. Bahkan pergi ke gunung, hidup
menjadi penggembala kambing.
Sampai di sini, ternyata,
hadis tentang fitnah akhir zaman yang selama ini dikampanyekan oknum ustaz
pendukung kelompok politik tertentu, dan mendorong umat Islam terlibat dalam
aksi-aksi fitnah (menciptakan keresahan dan kekacauan), pada kenyataannya
justru menganjurkan orang menjauhi kekacauan. Jika ada yang menggunakannya
untuk mendorong orang awam terlibat konflik sosial-politik, berarti ada pemutarbalikan
maksud hadis. Apakah membuat kategori mukmin-munafik lalu diterapkan untuk
menyudutkan orang yang berbeda pandangan dengan menyebutnya pendukung Dajjal bagian
dari pemutarbalikan maksud hadis. Begitukah? Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar