Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Mencairkan Hadis Nabi Mencari Ideal-Moral (Esai Tentang Pemikiran Hadis Fazlur Rahman)

Gambar
M. Khoirul Huda Saya akan sedikit curhat mengenai bacaan saya pada bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History. Buku ini telah diindonesiakan dengan judul Membuka Pintu Ijtihad, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung. Buku ini mencoba menelaah metode berfikir Islam (islamic methodology) dari perspektif sejarah (history). Tujuannya, seperti dapat dilihat dalam judul edisi Indonesianya, membuka pintu ijtihad yang diyakini sementara umat Islam telah ditutup rapat

Masalah Terbaliknnya Sanad Hadis (Implikasinya pada Kualitas Hadis serta Metode Verifikasi)

M. Khoirul Huda [1] Pendahuluan Otentisitas merupakan salah satu persoalan pokok dalam ilmu hadis. Para pakar ilmu ini memberikan lima ukuran dasar untuk menilai keaslian suatu hadis: [1] ‘ adalah [ketaat-asasan dalam beragama], [2] dhabth [kekuatan hafalan rawi], [3] ittishal al-sanad [ketersambungan mata rantai sanad], [4] adam al-syudzudz [tidak ada kejanggalan akibat berlawanan dengan riwayat lain], dan [5] ‘adam al-‘ilal [ketiadaan cacat]. [2]

Muslim bin al-Ḥajjāj al-Naisābūrī dan Perannya dalam Pembentukan Ilmu Hadis (1)

M. Khoirul Huda Pendahuluan Ab ū al- Ḥ usain Muslim bin al- Ḥ ajj ā j al-Nais ā b ū r ī (w. 261 H.) atau yang lebih populer dengan sebutan Imam Muslim, penulis kitab Ṣ a ḥīḥ Muslim memiliki peran penting dalam pembentukan ilmu hadis. Sumbangannya atas disiplin ini dapat ditemukan pada karya-karyanya yang cukup melimpah. M.M. Azami mencatat 21 daftar karya tulisnya yang sebagian masih berbentuk manuskrip (tulisan tangan) ( 1982 : 154-157 ). Hal ini menegaskan tidak saja atas usahanya yang cukup keras dalam memburu hadis-hadis Nabi saw. melalui kerja ri ḥ lah (perjalanan) sebagaimana dilakukan oleh para ahli hadis pada umumnya, tapi juga mematahkan kesan umum atau bahkan “klaim” bahwa ahli hadis tidak melakukan pengamatan, penelitian, dan kerja-kerja keilmuan yang bersifat analisis. Sebaliknya, mereka merupakan kelompok ilmuan yang berusaha mendasarkan diri pada data, yang terkadang bahkan bersifat sangat empiris.

Membaca I’Jāz al-Qur’ān dalam Wacana Sarjana Muslim

 M. Khoirul Huda A.        Pendahuluan Tiga agama besar semitik cukup akrab dengan diskursus mukjizat yang diyakini sebagai bukti kemahakuasaan sekaligus kemahabesaran Tuhan. Dan dalam Islam, diskursus mukjizat memiliki sejarahnya sendiri. Dimulai oleh perdebatan teologis, mukjizat berkembang secara simultan bergerak menuju pembuktian aspek estetik al-Quran. [1] Perdebatan yang melibatkan kelompok-kelompok besar muslim ini berakhir pada pembakuan pemikiran tentang mukjizat, bukan hanya dalam problem-problem yang berkaitan dengan al-Quran tapi juga seluruh dimensi studi keislaman. Kalam meneguhkan kekufuran pengingkar mukjizat, kolektor hadis menyuguhkan riw āyah tentang hal-hal supra-rasional yang mendukung inti kemukjizatan (secara umum), para faqih merumuskan hukuman bagi para pengingkar, dan para kritikus sastra berdebat soal struktur kata dan makna seperti apa yang disebut mu’jiz.

Ikhtilâf al-Hadîts Karya al-Syafi’i [1]

M. Khoirul Huda Abstrak Kajian hadis-hadis bertentangan telah dimulai sejak sebelum masa al-Syafi’i. Namun, baru di tangan al-Syafi’i, kajian ini menemukan bentuk teoretisnya terutama melalui karya yang berjudul Ikhtilâf al-Hadîts . Karya ini muncul sebagai bagian dari usaha al-Syafi’i dalam mengkonstruksi bangunan fikih, terutama aliran ahli hadis dengan memberikan penguatan pada basis teoretisnya untuk menghadapi serangan ahli ra’yu, inkar al-Sunnah, dan kelompok Kalam. Al-Syafi’i merasa berkepentingan meneguhkan eksistensi sunnah dengan segala variannya. Secara intern, al-Syafi’i harus menghadapi dan menyelesaikan problem hadis-hadis yang saling bertentangan yang merupakan celah yang dapat dimanfaatkan kaum yang menolak hadis sebagai bagian dari syariah. Di sinilah perlunya mengetahui perjalanan awal Mukhtalif al-Hadîts. Kata Kunci:   Mukhtalif, Ikhtilaf, Hadis, al-Syafi’i

Hadis Transformasi Khilafāh; Otentisitas, Pemaknaan dan Perang Ideologi (Kritik Sanad dan Matan)

*M. Khoirul Huda I.     Pendahuluan Pasca keruntuhan simbol politiknya pada bulan Maret 1924 oleh Perlemen Turki, kaum muslimin harus berfikir keras merumuskan bagaimana dan seperti apa kehidupan politik mereka selanjutnya. Bentuk negara bangsa, monarkhi, atau bentuk lain yang merepresentasikan lokalitas sepertinya diambil oleh seluruh bangsa beragama Islam. Sebagian berdiri di atas puing dinasti yang pernah berdiri sebelumnya, sebagian lagi mengadopsi sistem politik modern seperti republik, dan yang lain mencoba mengawinkan antara kerajaan dan sistem perpolitikan modern seperti monarkhi konstitusional-parlementer.

Kanonisasi Sahihain Perspektif Jonathan Brown; Pembentukan dan Fungsinya bagi Tradisi Hadis Sunni[1]

M. Khoirul Huda chairool _hoeda@yahoo.co.id _ ABSTRAK Umumnya, kanonisasi diaplikasikan untuk melacak proses menjadi kitab suci suatu agama. Berbeda dengan Jonathan Brown yang menggunakannya untuk membaca kesejarahan Sahihain. Historisitas Sahihain yang dibongkar melalui proses kanonisasi memperlihatkan keunikan pandangan Brown di satu sisi, juga mengungkap beberapa sejarahtentang fungsi sosial Sahihain, pembentukan wajah keislaman muslim modern, dan tentu saja memperlihatkan proses-proses kesejarahan sunnisme atau yang dikenal dengan ahlus-sunnah wal jamaah yang ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang.Sunnisme bukanlah mazhab yang telah jadi , tapi suatu proses keberislaman yang masih menjadi dengan hadirnya intrumen baru dari suatu peradaban dengan tanpa menghilangkan jati dirinya; sanad orientid . Kata Kunci: Kanonisasi, Sahihain, Jonathan Brown.

Hermeneutika Perspektif Maqasid Syariah [1]

Chairul Huda Muhammad   1.          Pendahuluan “Pemeluk agama hanya menjalankan teks-teks suci, sedang para agamawan mengkritisi ajaran-ajaran suci.” Kutipan ini berasal dari Sholeh UG, penyunting buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran, saat memberikan pengantar untuk buku tersebut. Fenomena ini sudah cukup umum dalam komunitas agama-agama. Kahlil Gibran yang hidup dalam tradisi Kristen Lebanon memahami betul akan fenomena itu, kemudian dia tuangkan temuannya tersebut dalam sosok Affandi Karamy dan Pendeta Galib. Affandi Karamy merupakan seorang kaya yang jujur lagi taat beragama. Sedangkan pendeta Galib adalah sosok agamawan terkemuka yang cerdas dan mempunyai jaringan luas. Sayangnya, Gibran menggambarkan sosok terakhir ini sebagai orang yang mudah mencarikan justifikasi agama, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga maupun kolega-koleganya. Baiklah, sementara kita kesampingkan narasi sang pujangga di atas, dan kita beralih pada fenomena “mengkritisi ajaran suci”.

Maqāsid dalam Pemahaman Hadis; Bedah Pemikiran Hadis Ibnu ‘Āsyur dalam Maqāsid Syarī’ah al-Islāmiyyah

*Chairul Huda Muhammad Abstrak Ibn Ā sy ūr merupakan guru kedua [ al-mu ‘allim al-tsāni ] dalam maqāshid al-syarī‘ah, setelah al-Syāthibi. Dalam perkembangan kontemporer, pemikiran maqāshid al-syarī‘ah telah meluas mulai dari lapangan fiqh, ushūl al-fiqh, tafsir dan bahkan strategi kebijakan perusahaan/negara. Tulisan ini berusaha membedah konsep maqāshid al-syarī‘ah Ibn Āsyūr dalam bukunya Maqāshid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah , terutama relasinya dengan model pemahaman hadis. Ketika maqāshid al-syarī‘ah menjadi asumsi awal, pra-pemahaman, dan perspektif tentunya hasil penilaian akan berbeda jika kita menggunakan perspektif lain. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam pemikiran Ibn Āsyūr seperti yang akan dikaji dalam tulisan ini.