Membaca I’Jāz al-Qur’ān dalam Wacana Sarjana Muslim

 M. Khoirul Huda

A.       Pendahuluan
Tiga agama besar semitik cukup akrab dengan diskursus mukjizat yang diyakini sebagai bukti kemahakuasaan sekaligus kemahabesaran Tuhan. Dan dalam Islam, diskursus mukjizat memiliki sejarahnya sendiri. Dimulai oleh perdebatan teologis, mukjizat berkembang secara simultan bergerak menuju pembuktian aspek estetik al-Quran.[1]
Perdebatan yang melibatkan kelompok-kelompok besar muslim ini berakhir pada pembakuan pemikiran tentang mukjizat, bukan hanya dalam problem-problem yang berkaitan dengan al-Quran tapi juga seluruh dimensi studi keislaman. Kalam meneguhkan kekufuran pengingkar mukjizat, kolektor hadis menyuguhkan riwāyah tentang hal-hal supra-rasional yang mendukung inti kemukjizatan (secara umum), para faqih merumuskan hukuman bagi para pengingkar, dan para kritikus sastra berdebat soal struktur kata dan makna seperti apa yang disebut mu’jiz.
Mahmud Muhammad Syakir dengan tegas menyatakan abad ketiga hijriah sebagai awal kemunculan pemikiran i’jāz. Sedangkan Goerge Tharabisyi dalam penelitiannya terhadap ayat-ayat al-Quran menemukan banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan praktik tantangan dan ketidakmampuan menjawab tantangan yang menjadi cikal bakal munculnya konsep.[2] Dengan demikian dapat dipahami bahwa i’jāz inheren pada dan dalam al-Quran.
Sejak abad kedua hijriah hingga sekarang, kaum muslimin secara serius menggali unsur-unsur I’jaz al-Quran. Karenanya, materi tentang I’jaz sebenarnya sangat melimpah. Makalah ini akan sedikit memaparkan tentang pengertian i’jāz, sejarah perkembangan, argumentasi dan bentuk-bentuknya. Diharapkan, makalah yang sederhana ini dapat memberikan pemahaman yang baik kepada pembaca sehingga terjadi diskusi yang membuahkan ilmu baru.    

B.       Pengertian I’jāz... Logika Ketidakmampuan...
I’jāz dan Mu’jizah merupakan dua kata yang memiliki akar kata sama, ‘ain, jim dan zay. Untuk menemukan pengertian asalinya, pemakalah merujuk kamus anggitan Ibnu Faris (w. 395 H.) Mu’jam Maqāyis fi al-Lughah. Pada entri ‘ain-jim-zay disebutkan bahwa kata tersebut mempunyai dua pengertian dasar; lemah (al-dha’f) dan bagian belakang sesuatu (mu’akkhar al-syai).[3] Atau dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana, lemah dan terbelakang.
Dua unsur pengertian di atas menyelisip dalam banyak kata yang diderivasikan dari unsur huruf  ‘ain-jim-zay seperti ‘ajūz (nenek-nenek), ‘ajaz (penyakit di kaki belakang ternak), dan lain sebagainya. Sedangkan I’jāz muncul dalam konteks ketika seseorang hendak mengerjakan sesuatu, dia sudah berusaha, kemudian tidak mampu menakhlukkannya. Saat itulah padanya dilekatkan predikat al-‘ajz (lemah). Sedangkan “sesuatu” yang dikehendakinya dan tidak mampu ditakhlukkannya disebut mu’jiz.
Mu’jizah dalam bentuk feminim merupakan penyesuaian dengan ungkapan al-ayah yang banyak digunakan dalam istilah-istilah yang berkembang sebelumnya seperti āyāt al-anbiyā (tanda kebenaran para nabi). Tanda kebenaran itu tidak mampu ditandingi oleh para lawannya, bahkan seluruh makhluk sekalipun. Sehingga tanda itu juga disebut mu’jizah (al-āyah al-mu’jizah). Populer pula istilah mu’jizat al-anbiyā untuk menggantikan penggunaan āyāt al-anbiyā. Menurut Mahmud Muhammad Syakir, redaksi I’jāz dan Mu’jizah tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis Nabi saw. Begitu pula pada masa sahabat, tabiin dan masa setelahnya. Keduanya merupakan istilah yang mulai populer pada abad ketiga hijriah lalu membengkak dan menjadi begitu banyak dipakai pada abad keempat hijriah. Dua istilah yang benar-benar baru (muwallad muhdats).[4] Dari sini, muncul pertanyaan tentang siapa yang memopulerkan istilah tersebut? Beberapa penulis sepakat untuk menyebut sekelompok pendebat yang banyak bicara (ahlu al-jadal wa al-kalam).
Konteks sosial yang mengharuskan masyarakat muslim berinteraksi dengan kalangan pembenci Islam, baik dari kelompok heretik (zindiq) yang mengaku muslim maupun dari kelompok agama samawi dan agama lokal seperti Yahudi, Kristen dan Brahmana. Semua menyerang  dua prinsip paling penting dalam Islam; kenabian dan al-Quran. Para mutakallimin berdebat dengan mereka. Perdebatan mengerucut pada problem keunggulan dan ketertandingan (al-mu’āradhah), tantangan (al-tahaddī), ketidakmampuan menjawab tantangan (tark al-mu’āradhah) dan kelemahan (al-‘ajz).[5]     
       Secara internal, tema-tema itu juga didiskusikan oleh kelompok-kelompok Islam. Hasilnya, polemik yang berkepanjangan terjadi di antara mereka. Kalangan ahli hadis menghadiri diskusi ini dengan meneliti hadis-hadis, yang pada akhirnya mereka kumpulkan pada bab dalā’il al-nubuwwah, ‘alamāt al-nubuwwah dan sejenisnya. Para ahli kalam sendiri menghadirkan doktrin i’jāz untuk mempertahankan keabsahan doktrin kenabian. Ahli fiqh yang sepakat dengan doktrin i’jāz, memfatwakan ketercerabutan identitas keislaman pengingkarnya. Di sini i’jāz menjadi tema yang penting didiskusikan. Terutama tentang seperti apa ke-i’jāz-an dalam Islam? Diskusi mengkristal pada bahwa bukti kebenaran kenabian Muhammad saw. adalah al-Quran itu sendiri.[6] Dalam konteks ini, al-Quran sudah dikaitkan dengan mukjizat. Artinya, al-Quran sebagai mukjizat. Doktrin inimitabilitas al-Quran selanjutnya menyedot banyak perhatian ulama. Al-Suyuthi (911 H.) mengatakan, “Para ulama besar telah mengarang dalam tema ini secara khusus. Di antaranya adalah al-Khatthabi, al-Rummani, al-Zamlakani, al-Imam al-Razi, Ibnu Suraqah dan al-Qadhi Abi Bakr al-Baqillani.”[7]
       Mukjizat sendiri diartikan dengan perkara yang tidak sesuai hukum kebiasaan disertai oleh adanya tantangan dan tidak dapat dipatahkan (amr khariq li al-‘ādah, maqrūn bi al-tahaddī, sālim min al-mu’āradhah).[8] Pendefinisian semacam ini mengacu pada penempatan lawan-lawan polemik al-Quran sebagai pihak yang tidak mampu menandingi tantangannya. Bentuk tantangan bersifat seperti piramida terbalik. Tantangan semakin diperkecil pada tahap-tahap selanjutnya dari yang semisal al-Quran (utuh), sepuluh hingga satu surat yang semisal al-Quran. Pertanyaan yang menggelitik pun muncul. Sebenarnya, seperti apa dan bagaimana keunikan dan ketaktertandingan al-Quran? Apakah ia bersifat intrinsik dalam al-Quran atau karena faktor eksternal? Bagaimana ketaktertandingan itu berkorelasi dengan al-Quran? Pertanyaan ini akan coba kita telusuri melalui perdebatan seputar diskurus I’jāz. Sembari memahami teks yang pemakalah analisis, silahkan kopinya diseruput.  

C.       Sejarah Teks Tentang I’jāz... Dari Rasionalitas Kalam menuju Estetika Balaghah...
Dalam menelusuri sejarah penulisan i’jāz, pemakalah akan menggunakan penelitian Na’im al-Himshi dalam bukunya Fikrah I’jāz al-Qu’ān min al-Bi’tsah ilā ‘Ashrinā al-Hādhir.[9] Pemakalah merangkum data dalam buku tersebut, dan akan menyajikannya dalam bentuk tabulasi sesuai urutan waktu penulis dan inti pemikirannya.
         
No.
Nama Tokoh
Tahun Hidup
Inti Pemikiran


Abad Kedua

01.
Ibn al-Muqaffa’
106-142 H.
Dianggap berusaha menandingi al-Quran (ittihām bi al-mu’āradhah)


Abad Ketiga

02.
Ibn al-Rawandi

Mengingkari dan berusaha menandingi (munkir wa mu’āridh)
03.
‘Isa bin Shabih al-Mizdar

Mengingkari kemukjizatan al-Quran, tokoh muktazilah
04.
Al-Nazzham

Menggagas teori shirfah dan meyakini kemukjizatan al-Quran terdapat pada pemberitaan perkara gaib
05.
Al-Jahizh

Meyakini sisi kemukjizatan pada nazhm al-Quran, menerima teori shirfah
06.
Ali bin Ribn al-Thabari

Berpendapat kemukjizatan terdapat pada al-uslub wa al-balaghah dalam al-Quran


Abad Keempat

07.
Al-Mutanabbi

Dianggap mencoba menandingi al-Quran
08.
Abu al-Hasan al-Asy’ari

Berpendapat bahwa yang mu’jiz hanyalah al-Quran yang qadīm
09.
Bundar al-Farisi

Mukjizat terdapat dalam setiap bagian al-Quran
10.
Al-Thabari

Balaghah dan al-Nazhm
11.
Al-Qummi

I’jāz hanya dapat ditemukan melalui dzauq dan tidak dapat dirasionalkan
12.
Al-Wasithi

Al-Nazhm
13.
Al-Rummani

Meyakini shirfah, nazhm, dan lain sebagainya
14.
Al-Khatthabi

I’jāz terdapat dalam lafaz dan makna, nazhm dan memiliki dampak psikologis
15.
Al-‘Askari

Balaghah

Abad Kelima
Abad Kelima

16.
Qabus bin Wasymakir

Dianggap mencoba menandingi al-Quran
17.
Ibnu Sina

Dianggap mencoba menandingi al-Quran
18.
Abu al-‘Ala al-Ma’arri

Dianggap mencoba menandingi al-Quran, dan mendukung I’jāz dari kritikan Ibn al-Rawandi
19.
Al-Syarif al-Murtadha

Shirfah, I’jaz pada sisi balaghah
20.
Da’I al-Du’at

Kemukjizatan ada pada makna dan kearifan yang diajarkan al-Quran
21.
Al-Baqillani

Keummian Nabi Muhammad, ketidakmampuan orang Arab, pemberitaan tentang hal gaib dan nazhm
22.
Ibn Suraqah

Seluruh bentuk kemukjizatan yang disebutkan para ulama benar
23.
Ibn Hazm

Al-Quran mukjizat karena dia al-Quran
24.
Al-Khafaji

Shirfah wa al-Balaghah
25.
Abdul Qahir al-Jurjani

Nazhm


Abad Keenam

26.
Al-Ghazali

I’jaz al-‘lmi
27.
Al-Qadhi ‘Iyadh

Sependapat dengan semua gagasan al-Baqillani, dan bahwa al-Quran mengandung-kumpulkan ilmu-ilmu dan pengetahuan
28.
Al-Zamakhsyari

Al-Bayan wa al-Ma’ani
29.
Ibn ‘Athiyah

Nazhm, Ma’ani, dan Allah telah menggunakan seluruh kata
30.
Al-Thibrisi

Al-Balaghah, al-ikhbar bi al-ghaib, kandungan ilmu pengetahuan, keunikan kandungan, dan insijam
31.
Ibn al-Rusyd

I’jaz al-‘ilmi dan dasar-dasar logika


Abad Ketujuh

32.
Fakhr al-Din al-Razi

Terkadang mendukung balaghah, terkadang shirfah dengan balaghah, dan lainnya.
33.
Al-Sakaki

I’jaz dengan balaghah, nazhm, dan hanya bisa ditangkap menggunakan dzauq
34.
Ibn al-‘Arabi

Uslub, balaghah, kabar tentang yang gaib
35.
Al-Amidi

Mu’jiz dengan keseluruhan al-Quran, nazhm, balaghah, kabar tentang yang gaib
36.
Al-Thusi

Menyebut seluruh pendapat ulama pendahulunya; shirfah, balaghah, sirah Nabi
37.
Hazim al-Qarathajini

Intensitas kefasihan dalam keseluruhan al-Quran
38.
Al-Baidhawi

Balaghah, kesempurnaan makna, pemberitaan perkara gaib baik di masa lalu atau masa akan datang


Abab Kedelapan

39.
Al-Zamlakani

Susunan yang khas, setiap bentuk seni retorik mendapat apresiasi
40.
Ibn Taimiyyah

Balaghah, kandungan pengetahuan, tingkat keutamaan ayat, ke-qadim-an al-Quran, menolak kalam nafsi
41.
Al-Khathib al-Qazwaini

Balaghah
42.
Ibn Jazzi al-Kalbi

I’jaz ada pada kandungan, unsur balaghah, uslub, disebutkan secara berulang-ulang tanpa contoh, tidak menyuguhkan pendapat baru, mendukung pendapat ‘ajz al-fi’li ‘an al-mu’āradhah.
43.
Yahya bin Hamzah al-Alawi

Ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran, kefasihan, balaghah dalam setiap bagiannya, serta nazhm yang indah
44.
Al-Ashbahani

Shirfah, Nazhm, balaghah, fashahah
45.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah

Membahas secara menyeluruh tentang yang menolak dan menerima shirfah, subjektif dan logis dalam mengkaji, menetapkan I’jaz dalam surat al-Kautsar, kekuasaan Allah tidak mampu dijangkau manusia
46.
Ibn Katsir

Balaghah, kandungan, tema dan pengaruh al-Quran, kalam Allah sama seperti sifatnya manusia tidak akan mampu menandinginya, tidak mengakui shirfah
47.
Al-Syathibi

Menolak tafsir ilmi
48.
Al-Zarkasyi

Menerima seluruh pendapat tentang I’jaz dan apapun yang ditawarkan tentang I’jaz


Abab kesembilan

49.
Ibn Khaldun

Menerima I’jaz balaghi yang hanya dapat ditangkap melalui dzauq
50.
Al-Fairuzabadi

Mengutip pendapat Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan pendapat pribadinya. Sepuluh surat yang dijadikan tantangan ialah sepuluh surat yang panjang-panjang.
51.
Al-Marakisyi

Al-Bayan, ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran mempunyai pengertian khusus dalam pandangannya


Abad Kesepuluh

52.
Mu’inuddin bin Shofiyyuddin

Balaghah, kabar gaib
53.
Al-Suyuthi

Menyebutkan seluruh pendapat ulama sebelumnya, al-Quran memuat semua ilmu, keindahan nazhm, padahal Nabi seorang ummi
54.
Ibn Kamal Basya

Shirfah, bukan balaghah, I’jaz tidak meniscayakan al-Quran sebagai kalam Allah
55.
Syaikh Zadah al-Qunawi

Fashahah dan Balaghah, keutamaan al-Quran dibanding kalam lain seperti keutamaan Allah dibanding makhluknya, kandungan, tujuan moral, dan aspek gaib.
56.
Abu al-Sa’ud


Uslub, balaghah dan kandungan al-Quran, di antaranya yang terkait dengan perkara gaib.
57.
Al-Kazaruni

Balaghah, kegaiban hingga hari kiamat
58.
Thasy Kubra Zadah

Uslub dan keindahan bacaan
59.
Al-Syirbini

Antara balaghah dan Shirfah, kandungan dan bentuk


Abad Kesebelas

60.
Al-Sailakuti

Seide dengan al-Baidhawi, balaghah, menolak shirfah, lebih banyak membidik aspke gramatika
61.
Al-Syihab al-Khafaji

Balaghah, keindahan nazhm, keserasian ayat, menolak shirfah, ragu tentang berita gaib, menolak bahwa al-Quran memuat semua pengetahuan, ketidakkonsistenan dalam urutan ayat-ayat tantangan


Abad Kedua Belas

62.
Ahmad al-Kawakibi

Tidak mengomentari sisi I’jaz, mengkritik Muktazilah tentang perbedaan tingkat balaghah ayat-ayat al-Quran,
63.
Syamsuddin Muhammad al-Dharir al-Maliki

Menafsirkan sisi-sisi nazhm al-Quran, tidak subjektif, menurutkan pandapat para pendahulu, menerima dua pendapat yang saling bertentangan; balaghah dan shirfah
64.
Sulaiman al-‘Ujaili/al-Jamal

Mengkritik para pendahulu soal fashahah dan berita gaib, huruf-huruf di awal surat, ayat-ayat tantangan hingga mencoba menandingi al-Quran

Abad Ketiga Belas


65.
Al-Syaukani

Balaghah, berita gaib, kedalaman makna, menolak shirfah
66.
Al-Alusi

Nazhm, balaghah.
67.
Auliazadah

Balaghah, keindahan nazhm, kekuataan makna, kabar gaib, kalam Allah seperti Dzat-Nya tidak ada makhluk yang bisa menyamai. Tidak ada perbedaan tingkat balaghah dalam ayat-ayat al-Quran. Terpengaruh Ibnu Arab soal hidupnya benda-benda padat dan kemampuan mereka berbicara. Dengan menggunakan ilmu bayan mencoba membuat berbicara benda mati.
68.
Shadiq al-Qanuji al-Bukhari

Balaghah, kegaiban, dan mengkritik al-Syaukani
69.
Al-Iskandarani

Al-Quran berbicara tentang ilmu yang bermacam-macam. Tidak menggunakan istilah I’jaz, tapi mengisyaratkan pemikiran tentang I’jaz. Mengajak mempelejari ilmu pengetahuan alam modern. Perintis pemikiran I’jaz ilmi.


Abad Keempat Belas/Abad Dua Puluh

70.
Abdullah Fikri

Tidak secara spesifik menggunakan redaksi I’jaz. Sekadar mengisyaratkan pemikiran tentangnya.
71.
Dr. M. Taufiq Shidqi

Tidak eksplisit I’jaz ilmi. Hanya menjelaskan hikmah syariat.
72.
Thanthawi Jauhari

Mengajak merenungi alam, mempelajari ilmu biologi, membuat rumus dalam menjelaskan keajaiban tongkat musa, berlebihan dalam menafsirkan secara ilmi, secara eksplisit menggunakan redaksi I’jaz ilmi, menganjurkan sistem ekonomi Islam
73.
Ali Fikri

Ekstrim dalam tafsir ilmi
74.
M. Ahmad Jadul Maula

Moderat dan logis dalam menetapkan I’jaz ilmi, sedikit berlebihan dalam menyatakan kepeloporan budaya Arab.




75.
Umar al-Malibari

Membatasi diri pada ayat lukluk wal marjan untuk menjelaskan I’jaz ilmi.
76.
Mahmud Hamdi Istanbuli

I’jaz dengan hikmah yang bernilai tinggi, aturan sosial dan informasi tentang ilmu pengetahuan.
77.
Maurice Buchale

Tidak secara langsung berbicara tentang I’jaz, hanya membandingkan antara informasi al-Quran dan inji. Dan al-Quran lebih tepat.
78.
M. Rasyad Khalifah

I’jaz ‘adadi/mukjizat bilangan 19.
79.
Mutawalli Sya’rawi

I’jaz ilmi, mengajarkan bahasa menggunakan nama.
80.
Al-Nakhjuwani

Kedangkalan dalam penguasaan budaya dan bahasa Arab; penyingkapan sufistik pada sisi akhlaq ilahiah, kegaiban, dan balaghah.
81.
Abu al-Faidh al-Nakuri

Penguasaan bahasa yang buruk. Balaghah, hukum, hikmah, pengetahuan.
82.
M. Jamaluddin al-Qasimi

Balaghah dan kedalaman makna
83.
Muhammad Abduh

Balaghah dan keumian Nabi. Meringkas pemikiran al-Baqillani.
84.
Abdurrahman al-Kawakibi

Balaghah, kabar gaib, I’jaz ilmi
85.
Rasyid Ridha

Uslub, kandungan, ilmu, berita gaib, pengetahuan modern, ijtihad dalam menyusun urutan ayat-ayat tantangan.
86.
Abdullah al-Dihlawi al-Naqsyabandi

Balaghah, Ma’ani, berita gaib, mendatangkan bait-bait tanpa menjelaskan sisi I’jaz
87.
Mustafa Sadiq Rafi’i

Sejarah pemikiran I’jaz, musikalitas al-Quran, rasa kejiwaan, balagah, keindahan kalimat, dan kandungan pengetahuan al-Quran.
88.
Abdul Alim al-Hind

Kajian sejarah. Tidak ada pendapat pribadi.
89.
Amin al-Khuli

Pemikiran Sejarah. I’jaz nafsi yang hanya bisa ditangkap oleh dzauq.
90.
Sayyid Quthb

Visualisasi dan kreasi ajaran al-Quran. Keselarasan dan kekuatan menginformasikan. Keutamaan kalam Allah dibanding lainnya, sama seperti keutamaan-Nya dibanding makhluk-Nya. Kesempurnaan tasyri’, keindahan musikal al-Quran, I’jaz secara mutlak. Penulis ini mampunyai keandalan dalam melakukan analisis sastra untuk menjelaskan I’jaz al-Quran.
91.
Abdul Azhim al-Zarqani

Mendukung pendapat al-Rafii dan al-Baqillani. Menerima I’jaz ilmi tanpa bermaksud mengadopsinya.
92.
Abdullah Darraz

Kabar gaib dari masa lalu dan masa depan, mengkritik konsep wahyu nafsi yang tidak lain hanya untuk menafikan wahyu. Keindahan uslub al-Quran dan pengaruhnya. I’jaz balaghi, tasyri’I, ilmi, kesatu-paduan tema al-Quran, serta kesatuan tujuan al-Quran, padahal ia turun pada masa yang cukup lama. Tartib surat yang bersifat tauqifi merupakan mukjizat tersendiri.
93.
M. Said Ramadan al-Buthi

Kemukjizatan terdapat dalam kandungan dan bentuk al-Quran. Ia mampu menjelaskan sisi keindahan artistik dalam al-Quran. Al-Quran berbicara pada seluruh manusia. Kesatuan tujuan ayat-ayat al-Quran. Menolak konsep shirfah. Moderat dalam mengapresiasi I’jaz ilmi dan tasyri’. Al-Quran sebagai cara hidup yang sempurna. I’jaz balaghi khusus untuk orang Arab, sedang mukjizat lain berlaku umum untuk semua bangsa. Jiwa humanis al-Quran.
94.
M. Ali Sulthani

Tidak punya pendapat pribadi. Mengakui seluruh bentuk kemukjizatan selain shirfah.
No.
Nama Tokoh
Tahun Hidup
Inti Pemikiran


Abad Kedua

01.
Ibn al-Muqaffa’
106-142 H.
Dianggap berusaha menandingi al-Quran (ittihām bi al-mu’āradhah)


Abad Ketiga

02.
Ibn al-Rawandi

Mengingkari dan berusaha menandingi (munkir wa mu’āridh)
03.
‘Isa bin Shabih al-Mizdar

Mengingkari kemukjizatan al-Quran, tokoh muktazilah
04.
Al-Nazzham

Menggagas teori shirfah dan meyakini kemukjizatan al-Quran terdapat pada pemberitaan perkara gaib
05.
Al-Jahizh

Meyakini sisi kemukjizatan pada nazhm al-Quran, menerima teori shirfah
06.
Ali bin Ribn al-Thabari

Berpendapat kemukjizatan terdapat pada al-uslub wa al-balaghah dalam al-Quran

Abad Keempat
Abad Keempat

07.
Al-Mutanabbi

Dianggap mencoba menandingi al-Quran
08.
Abu al-Hasan al-Asy’ari

Berpendapat bahwa yang mu’jiz hanyalah al-Quran yang qadīm
09.
Bundar al-Farisi

Mukjizat terdapat dalam setiap bagian al-Quran
10.
Al-Thabari

Balaghah dan al-Nazhm
11.
Al-Qummi

I’jāz hanya dapat ditemukan melalui dzauq dan tidak dapat dirasionalkan
12.
Al-Wasithi

Al-Nazhm
13.
Al-Rummani

Meyakini shirfah, nazhm, dan lain sebagainya
14.
Al-Khatthabi

I’jāz terdapat dalam lafaz dan makna, nazhm dan memiliki dampak psikologis
15.
Al-‘Askari

Balaghah

Abad Kelima
Abad Kelima

17.
Ibnu Sina

Dianggap mencoba menandingi al-Quran
18.
Abu al-‘Ala al-Ma’arri

Dianggap mencoba menandingi al-Quran, dan mendukung I’jāz dari kritikan Ibn al-Rawandi
19.
Al-Syarif al-Murtadha

Shirfah, I’jaz pada sisi balaghah
21.
Al-Baqillani

Keummian Nabi Muhammad, ketidakmampuan orang Arab, pemberitaan tentang hal gaib dan nazhm
22.
Ibn Suraqah

Seluruh bentuk kemukjizatan yang disebutkan para ulama benar
23.
Ibn Hazm

Al-Quran mukjizat karena dia al-Quran
24.
Al-Khafaji

Shirfah wa al-Balaghah
25.
Abdul Qahir al-Jurjani

Nazhm

Abad Keenam
Abad Keenam

26.
Al-Ghazali

I’jaz al-‘lmi
27.
Al-Qadhi ‘Iyadh

Sependapat dengan semua gagasan al-Baqillani, dan bahwa al-Quran mengandung-kumpulkan ilmu-ilmu dan pengetahuan
28.
Al-Zamakhsyari

Al-Bayan wa al-Ma’ani
31.
Ibn al-Rusyd

I’jaz al-‘ilmi dan dasar-dasar logika


Abad Ketujuh

32.
Fakhr al-Din al-Razi

Terkadang mendukung balaghah, terkadang shirfah dengan balaghah, dan lainnya.
33.
Al-Sakaki

I’jaz dengan balaghah, nazhm, dan hanya bisa ditangkap menggunakan dzauq


Abab Kedelapan

39.
Al-Zamlakani

Susunan yang khas, setiap bentuk seni retorik mendapat apresiasi
40.
Ibn Taimiyyah

Balaghah, kandungan pengetahuan, tingkat keutamaan ayat, ke-qadim-an al-Quran, menolak kalam nafsi
44.
Al-Ashbahani

Shirfah, Nazhm, balaghah, fashahah
45.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah

Membahas secara menyeluruh tentang yang menolak dan menerima shirfah, subjektif dan logis dalam mengkaji, menetapkan I’jaz dalam surat al-Kautsar, kekuasaan Allah tidak mampu dijangkau manusia
46.
Ibn Katsir

Balaghah, kandungan, tema dan pengaruh al-Quran, kalam Allah sama seperti sifatnya manusia tidak akan mampu menandinginya, tidak mengakui shirfah
47.
Al-Syathibi

Menolak tafsir ilmi
48.
Al-Zarkasyi

Menerima seluruh pendapat tentang I’jaz dan apapun yang ditawarkan tentang I’jaz


Abab kesembilan

49.
Ibn Khaldun

Menerima I’jaz balaghi yang hanya dapat ditangkap melalui dzauq
50.
Al-Fairuzabadi

Mengutip pendapat Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan pendapat pribadinya. Sepuluh surat yang dijadikan tantangan ialah sepuluh surat yang panjang-panjang.
51.
Al-Marakisyi

Al-Bayan, ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran mempunyai pengertian khusus dalam pandangannya


Abad Kesepuluh

53.
Al-Suyuthi

Menyebutkan seluruh pendapat ulama sebelumnya, al-Quran memuat semua ilmu, keindahan nazhm, padahal Nabi seorang ummi
56.
Abu al-Sa’ud


Uslub, balaghah dan kandungan al-Quran, di antaranya yang terkait dengan perkara gaib.


Abad Kesebelas


61.
Al-Syihab al-Khafaji

Balaghah, keindahan nazhm, keserasian ayat, menolak shirfah, ragu tentang berita gaib, menolak bahwa al-Quran memuat semua pengetahuan, ketidakkonsistenan dalam urutan ayat-ayat tantangan


Abad Kedua Belas

62.
Ahmad al-Kawakibi

Tidak mengomentari sisi I’jaz, mengkritik Muktazilah tentang perbedaan tingkat balaghah ayat-ayat al-Quran,
63.
Syamsuddin Muhammad al-Dharir al-Maliki

Menafsirkan sisi-sisi nazhm al-Quran, tidak subjektif, menurutkan pandapat para pendahulu, menerima dua pendapat yang saling bertentangan; balaghah dan shirfah
64.
Sulaiman al-‘Ujaili/al-Jamal

Mengkritik para pendahulu soal fashahah dan berita gaib, huruf-huruf di awal surat, ayat-ayat tantangan hingga mencoba menandingi al-Quran

Abad Ketiga Belas


65.
Al-Syaukani

Balaghah, berita gaib, kedalaman makna, menolak shirfah
66.
Al-Alusi

Nazhm, balaghah.
69.
Al-Iskandarani

Al-Quran berbicara tentang ilmu yang bermacam-macam. Tidak menggunakan istilah I’jaz, tapi mengisyaratkan pemikiran tentang I’jaz. Mengajak mempelejari ilmu pengetahuan alam modern. Perintis pemikiran I’jaz ilmi.


Abad Keempat Belas/Abad Dua Puluh

71.
Dr. M. Taufiq Shidqi

Tidak eksplisit I’jaz ilmi. Hanya menjelaskan hikmah syariat.
72.
Thanthawi Jauhari

Mengajak merenungi alam, mempelajari ilmu biologi, membuat rumus dalam menjelaskan keajaiban tongkat musa, berlebihan dalam menafsirkan secara ilmi, secara eksplisit menggunakan redaksi I’jaz ilmi, menganjurkan sistem ekonomi Islam
74.
M. Ahmad Jadul Maula

Moderat dan logis dalam menetapkan I’jaz ilmi, sedikit berlebihan dalam menyatakan kepeloporan budaya Arab.




77.
Maurice Buchale

Tidak secara langsung berbicara tentang I’jaz, hanya membandingkan antara informasi al-Quran dan inji. Dan al-Quran lebih tepat.
78.
M. Rasyad Khalifah

I’jaz ‘adadi/mukjizat bilangan 19.
79.
Mutawalli Sya’rawi

I’jaz ilmi, mengajarkan bahasa menggunakan nama.
83.
Muhammad Abduh

Balaghah dan keumian Nabi. Meringkas pemikiran al-Baqillani.
85.
Rasyid Ridha

Uslub, kandungan, ilmu, berita gaib, pengetahuan modern, ijtihad dalam menyusun urutan ayat-ayat tantangan.
89.
Amin al-Khuli

Pemikiran Sejarah. I’jaz nafsi yang hanya bisa ditangkap oleh dzauq.
90.
Sayyid Quthb

Visualisasi dan kreasi ajaran al-Quran. Keselarasan dan kekuatan menginformasikan. Keutamaan kalam Allah dibanding lainnya, sama seperti keutamaan-Nya dibanding makhluk-Nya. Kesempurnaan tasyri’, keindahan musikal al-Quran, I’jaz secara mutlak. Penulis ini mampunyai keandalan dalam melakukan analisis sastra untuk menjelaskan I’jaz al-Quran.
91.
Abdul Azhim al-Zarqani

Mendukung pendapat al-Rafii dan al-Baqillani. Menerima I’jaz ilmi tanpa bermaksud mengadopsinya.
92.
Abdullah Darraz

Kabar gaib dari masa lalu dan masa depan, mengkritik konsep wahyu nafsi yang tidak lain hanya untuk menafikan wahyu. Keindahan uslub al-Quran dan pengaruhnya. I’jaz balaghi, tasyri’I, ilmi, kesatu-paduan tema al-Quran, serta kesatuan tujuan al-Quran, padahal ia turun pada masa yang cukup lama. Tartib surat yang bersifat tauqifi merupakan mukjizat tersendiri.
93.
M. Said Ramadan al-Buthi

Kemukjizatan terdapat dalam kandungan dan bentuk al-Quran. Ia mampu menjelaskan sisi keindahan artistik dalam al-Quran. Al-Quran berbicara pada seluruh manusia. Kesatuan tujuan ayat-ayat al-Quran. Menolak konsep shirfah. Moderat dalam mengapresiasi I’jaz ilmi dan tasyri’. Al-Quran sebagai cara hidup yang sempurna. I’jaz balaghi khusus untuk orang Arab, sedang mukjizat lain berlaku umum untuk semua bangsa. Jiwa humanis al-Quran.


D.       Argumentasi I’jāz al-Qur’ān... Meneguhkan Sakralitas...
Pembaca dapat menemukan dengan mudah bahwa pada mulanya diskursus I’jāz merupakan diskursus yang debatable. Kemudian ia mengerucut pada pengakuan I’jāz secara serempak, pengakuan keragaman bentuk I’jāz, dan bahwa I’jāz bersifat intrinsik. Dari sini dapat dibayangkan betapa suci al-Quran kita ketika dibungkus dengan tiga lapis ide tentang I’jāz. Betapa dia sangat istimewa dibanding yang lain.

Lantas, apa dasar bahwa al-Quran memiliki unsur-unsur mukjizat itu? Apakah al-Quran menegaskannya sendiri? Secara tegas, al-Quran tidak menjelaskan bahwa dirinya adalah mukjizat, atau dirinya memiliki unsur I’jāz. Namun terdapat praktik-praktik I’jāzi yang sulit disangkal, yang di sisi lain memamerkan superioritas al-Quran. Jumlahnya cukup banyak dan beragam. Ayat-ayat itu turun secara beruntun sejak era Mekah hingga Madinah. Pada periode Mekah, al-Quran pernah dituduh sebagai sebentuk syair seperti disinggung oleh QS. Yasin [36]: 69,

وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ مُبِين]
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.


Ayat ini membantah dengan tegas tuduhan orang-orang musyik Mekah yang mengatakan al-Quran adalah syair. Al-Quran juga disebut sihir karena mereka tidak tahu harus menyebutnya apa.
( إن من البيان لسحرا )
“Sebagian kefasihan bicara hampir-hampir mirip sihir”[10]

Kalimat di atas diucapkan Nabi saw. saat kedatangan tamu dari daerah timur. Mereka berceramah dengan bahasan yang fasih, kosa kata yang tepat dan memukau. Gaya bahasa yang digunakan jelas, lugas dan fasih yang mampu membuat terpesona setiap yang mendengarnya. Ia mampu menghipnotis seperti sihir. Al-Quran tentu lebih fasih dari ceramah mereka. Karenanya, orang-orang musyrik Mekah mengatakan seperti yang dicatat dalam QS. Yunus [10]: 1-2,

الر تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ (1) أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ (2)

Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah. Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan mereka”. Orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”.

Al-Biqa’i menjelaskan bahwa hal ini karena al-Quran begitu terang dalam menjelaskan segala sesuatu. Mereka tidak mampu menemukan kesalahan di dalamnya. Di sini, mereka jelas kebingungan memahaminya. Mereka hanya bisa mengejek dengan mengatakan, “Muhammad adalah penyihir” dan “Bacaannya adalah mantra-mantra sihir”.[11] Ketidakmampuan mereka ditambah-terangkan dalam ayat tantangan QS. al-Thur [52]: 34

فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (34)
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Dalam QS. Yunus [10]: 38,

وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآَنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (37) أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (38)
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."

Pada QS. Hud [11]: 13-14) tantangan diturunkan menjadi sepuluh surat,

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (13) فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (14)

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?

Ketiga ayat di atas merupakan ayat-ayat yang turun pada era Mekah. Namun mereka tidak sanggup menandinginya. Padahal mereka mempunyai banyak penyair dan budayawan. Akhirnya, pada fase Madinah turun lagi ayat tantangan yang lebih ringan (QS. al-Baqarah [2]: 23-24),  

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Namun, tidak ada yang sanggup menjawabnya. Inilah tantangan yang tidak pernah mendapatkan tanggapan. Sebenarnya masih banyak ayat yang kandungannya menunjukkan keluarbiasaan al-Quran. Begitu pula bukti-bukti kemukjizatan al-Quran. Dari sini para ulama membangun argumentasi tentang kesucian al-Quran. Mereka sejak berabad-abad yang lalu telah berusaha mengidentifikasi sisi unik, mengagumkan, dan i’jāz yang menjadi tanda keilahiannya. Dengan argumen semacam ini, al-Quran menjadi sangat sakral.


E.       Bentuk-Bentuk I’jāz al-Qur’ān
Dalam tabel di atas, kita telah menyaksikan ukiran sejarah I’jāz. Semakin kebelakang, i’jāz al-Quran merupa dalam wajah yang beraneka ragam.  Beberapa yang populer di antaranya; shirfah, balāghi, berita masa lalu dan masa depan dan memuat seluruh ilmu pengetahuan.
Shirfah adalah keyakinan bahwa Allah menghilangkan kemampuan orang Arab sehingga mereka tidak mampu menandinginya. Menurut pengertian ini, pada mulanya membuat yang semisal al-Quran berada dalam jangkauan orang Arab. Namun ada faktor eksternal yang mencegah mereka. Pendapat ini digagas oleh al-Nazzham, dan ditolak oleh kebanyakan ulama Ahlusunnah.[12]      
Yang dimaksud  i’jāz balāghi di sini meliputi keindahan pelafalan (fashāhah), keindahan gaya bahasa (uslūb), susunan kata dan kalimat (nazhm) dan lainnya yang terkait dengan keindahan bahasa. Keindahan semacam ini dapat dipahami namun tidak dapat diungkapkan karena ia terkait dengan cita rasa (dzauq).
Berita masa lalu dan masa depan merupakan bukti bahwa al-Quran berasal dari yang Maha Mengetahui. Ia adalah bukti kebenaran Nabi yang membawanya, sekaligus kebenaran itu sendiri. Seperti kisah tentang negeri Iram dan kemenangan bangsa Romawi di masa depan.
Al-Quran juga dinilai mengandung kebenaran ilmiah. Hal ini pertama kali disadari oleh al-Imam al-Ghazali (505 H.). Namun hal ini dibantah oleh al-Syatibi. Para ulama modern banyak yang sepakat bahwa kandungan ilmiah al-Quran merupakan bentuk kemukjizatannya.         

F.        Penutup
Demikian uraian tentang I’jāz al-Quran yang dapat kami sampaikan. Pada bagian penutup ini, ada baiknya bila disebutkan bahwa kemukjizatan al-Quran telah dibuktikan oleh generasi terdahulu. Setiap generasi selalu tertantang membuktikan kebenarannya sesuai tuntutan zaman mereka hidup. Di sini, I’jāz mirip penafsiran yang tidak pernah berhenti. Manusia selalu membutuhkan bimbingan al-Quran. Dan bimbingan hanya dapat didapatkan melalui penafsiran. Sedangkan, kehormatan al-Quran tergantung pada kemukjizatannya. Bila kemukjizatannya tidak dapat dibuktikan benarkan ia akan menjadi tidak istimewa? Wallahu A’lam.



Daftar Pustaka
Syakir, Abu Fihr Mahmud Muhammad, Madākhil I’jāz al-Qur’ān, (Kairo: Mathba’ah Madani, tt).
Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin, Mu’jam Maqāyis fi al-Lughah, CD Room Maktabah Syamilah versi 3.28.
Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-, Shahih al-Bukhari, (Dar Ibn Katsir) vol V.
Esack, Farid, Quranic Hermeneutics: Problems and Prospects dalam  jurnal The Muslim World Vol. LXXXIII, no. 2, 1993.
Tharabisyi, George, al-Mu’jizah au Subāt al-‘Aqli fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Saqi, cet. Ke-1, 2008).
Suyuthi, Jalal al-Din Abdurrahman bin Abu Bakr al-, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, cet. Ke-10, 2010).






[1] Lihat dalam Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, Madākhil I’jāz al-Qur’ān, (Kairo: Mathba’ah Madani, tt), h. 35-51, bandingkan dengan Farid Esack, Quranic Hermeneutics: Problems and Prospects dalam  jurnal The Muslim World Vol. LXXXIII, no. 2, 1993, h. 124
[2] George Tharabisyi, al-Mu’jizah au Subāt al-‘Aqli fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Saqi, cet. Ke-1, 2008), h. 11-15
[3] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqāyis fi al-Lughah, CD Room Maktabah Syamilah versi 3.28, vo. IV, h. 190
[4] Mahmud Syakir, Madākhil.. h. 19
[5] Mahmud Syakir, Madākhil.. h. 34
[6] Para ahli kalam juga memperdebatkan mukjizat pada diri Nabi saw. Banyak hadis diriwayatkan dalam tema ini. Menurut amatan George Tharabisyi selama kurun waktu tujuh abad terjadi pembekakan mukjizat dalam karya-karya sirah nabawiah. Kitab al-Hidayah al-Kubra karya al-Khashibi mencatat tiga ribu mukjizat yang pernah dikeluarkan Nabi saw. wallahu a’lam.
[7] Jalal al-Din Abdurrahman bin Abu Bakr al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, cet. Ke-10, 2010), h. 482 
[8] al-Suyuthi, al-Itqān... h. 482
[9] Na’im al-Himshi, Fikrah I’jāz al-Qu’ān min al-Bi’tsah ilā ‘Ashrinā al-Hādhir (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. Ke-2, 1980), h. 485
[10] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, CD Room Maktabah Syamilah versi 3.28, vol V, h. 1976
[11]  Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-ayat wa al-suwar, CD Maktabah Syamilah versi 3.28, vol III, h. 248
[12] al-Suyuthi, al-Itqān... h. 484

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api