Membaca I’Jāz al-Qur’ān dalam Wacana Sarjana Muslim
M. Khoirul Huda
A.
Pendahuluan
Tiga agama besar semitik cukup
akrab dengan diskursus mukjizat yang diyakini sebagai bukti kemahakuasaan
sekaligus kemahabesaran Tuhan. Dan dalam Islam, diskursus mukjizat memiliki
sejarahnya sendiri. Dimulai oleh perdebatan teologis, mukjizat berkembang
secara simultan bergerak menuju pembuktian aspek estetik al-Quran.[1]
Perdebatan yang melibatkan
kelompok-kelompok besar muslim ini berakhir pada pembakuan pemikiran tentang
mukjizat, bukan hanya dalam problem-problem yang berkaitan dengan al-Quran tapi
juga seluruh dimensi studi keislaman. Kalam meneguhkan kekufuran pengingkar
mukjizat, kolektor hadis menyuguhkan riwāyah tentang hal-hal
supra-rasional yang mendukung inti kemukjizatan (secara umum), para faqih
merumuskan hukuman bagi para pengingkar, dan para kritikus sastra berdebat soal
struktur kata dan makna seperti apa yang disebut mu’jiz.
Mahmud Muhammad
Syakir dengan tegas menyatakan abad ketiga hijriah sebagai awal kemunculan
pemikiran i’jāz. Sedangkan
Goerge Tharabisyi dalam penelitiannya terhadap ayat-ayat al-Quran menemukan banyak
ayat yang secara eksplisit menyebutkan praktik tantangan dan ketidakmampuan
menjawab tantangan yang menjadi cikal bakal munculnya konsep.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa i’jāz inheren pada dan dalam al-Quran.
Sejak abad kedua hijriah hingga
sekarang, kaum muslimin secara serius menggali unsur-unsur I’jaz al-Quran.
Karenanya, materi tentang I’jaz sebenarnya sangat melimpah. Makalah ini akan
sedikit memaparkan tentang pengertian i’jāz, sejarah perkembangan, argumentasi dan
bentuk-bentuknya. Diharapkan, makalah yang sederhana ini dapat memberikan
pemahaman yang baik kepada pembaca sehingga terjadi diskusi yang membuahkan
ilmu baru.
B.
Pengertian I’jāz... Logika Ketidakmampuan...
I’jāz dan Mu’jizah merupakan dua kata yang
memiliki akar kata sama, ‘ain, jim dan zay. Untuk
menemukan pengertian asalinya, pemakalah merujuk kamus anggitan Ibnu
Faris (w. 395 H.) Mu’jam Maqāyis fi al-Lughah. Pada entri ‘ain-jim-zay
disebutkan bahwa kata tersebut mempunyai dua pengertian dasar; lemah (al-dha’f)
dan bagian belakang sesuatu (mu’akkhar al-syai).[3]
Atau dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana, lemah dan terbelakang.
Dua unsur pengertian di atas
menyelisip dalam banyak kata yang diderivasikan dari unsur huruf ‘ain-jim-zay seperti ‘ajūz (nenek-nenek), ‘ajaz (penyakit
di kaki belakang ternak), dan lain sebagainya. Sedangkan I’jāz muncul dalam konteks ketika seseorang hendak
mengerjakan sesuatu, dia sudah berusaha, kemudian tidak mampu menakhlukkannya.
Saat itulah padanya dilekatkan predikat al-‘ajz (lemah). Sedangkan
“sesuatu” yang dikehendakinya dan tidak mampu ditakhlukkannya disebut mu’jiz.
Mu’jizah dalam bentuk feminim merupakan
penyesuaian dengan ungkapan al-ayah yang banyak digunakan dalam
istilah-istilah yang berkembang sebelumnya seperti āyāt al-anbiyā’ (tanda kebenaran para nabi). Tanda kebenaran
itu tidak mampu ditandingi oleh para lawannya, bahkan seluruh makhluk
sekalipun. Sehingga tanda itu juga disebut mu’jizah (al-āyah al-mu’jizah). Populer pula istilah mu’jizat
al-anbiyā’ untuk menggantikan penggunaan āyāt al-anbiyā’. Menurut Mahmud Muhammad Syakir, redaksi I’jāz dan Mu’jizah tidak ditemukan dalam
al-Quran dan Hadis Nabi saw. Begitu pula pada masa sahabat, tabiin dan masa
setelahnya. Keduanya merupakan istilah yang mulai populer pada abad ketiga
hijriah lalu membengkak dan menjadi begitu banyak dipakai pada abad keempat
hijriah. Dua istilah yang benar-benar baru (muwallad muhdats).[4]
Dari sini, muncul pertanyaan tentang siapa yang memopulerkan istilah tersebut? Beberapa
penulis sepakat untuk menyebut sekelompok pendebat yang banyak bicara (ahlu
al-jadal wa al-kalam).
Konteks sosial yang mengharuskan
masyarakat muslim berinteraksi dengan kalangan pembenci Islam, baik dari
kelompok heretik (zindiq) yang mengaku muslim maupun dari kelompok agama samawi
dan agama lokal seperti Yahudi, Kristen dan Brahmana. Semua menyerang dua prinsip paling penting dalam Islam;
kenabian dan al-Quran. Para mutakallimin berdebat dengan mereka. Perdebatan
mengerucut pada problem keunggulan dan ketertandingan (al-mu’āradhah), tantangan (al-tahaddī), ketidakmampuan menjawab
tantangan (tark al-mu’āradhah) dan kelemahan (al-‘ajz).[5]
Secara
internal, tema-tema itu juga didiskusikan oleh kelompok-kelompok Islam.
Hasilnya, polemik yang berkepanjangan terjadi di antara mereka. Kalangan ahli
hadis menghadiri diskusi ini dengan meneliti hadis-hadis, yang pada akhirnya mereka
kumpulkan pada bab dalā’il al-nubuwwah, ‘alamāt al-nubuwwah dan sejenisnya. Para ahli kalam
sendiri menghadirkan doktrin i’jāz untuk mempertahankan keabsahan doktrin
kenabian. Ahli fiqh yang sepakat dengan doktrin i’jāz, memfatwakan ketercerabutan
identitas keislaman pengingkarnya. Di sini i’jāz menjadi tema yang penting
didiskusikan. Terutama tentang seperti apa ke-i’jāz-an dalam Islam? Diskusi mengkristal pada
bahwa bukti kebenaran kenabian Muhammad saw. adalah al-Quran itu sendiri.[6]
Dalam konteks ini, al-Quran sudah dikaitkan dengan mukjizat. Artinya,
al-Quran sebagai mukjizat. Doktrin inimitabilitas al-Quran selanjutnya menyedot
banyak perhatian ulama. Al-Suyuthi (911 H.) mengatakan, “Para ulama besar
telah mengarang dalam tema ini secara khusus. Di antaranya adalah al-Khatthabi,
al-Rummani, al-Zamlakani, al-Imam al-Razi, Ibnu Suraqah dan al-Qadhi Abi Bakr
al-Baqillani.”[7]
Mukjizat
sendiri diartikan dengan perkara yang tidak sesuai hukum kebiasaan disertai
oleh adanya tantangan dan tidak dapat dipatahkan (amr khariq li al-‘ādah, maqrūn bi al-tahaddī,
sālim min al-mu’āradhah).[8] Pendefinisian
semacam ini mengacu pada penempatan lawan-lawan polemik al-Quran sebagai pihak
yang tidak mampu menandingi tantangannya. Bentuk tantangan bersifat seperti
piramida terbalik. Tantangan semakin diperkecil pada tahap-tahap selanjutnya
dari yang semisal al-Quran (utuh), sepuluh hingga satu surat yang semisal
al-Quran. Pertanyaan yang menggelitik pun muncul. Sebenarnya, seperti apa dan bagaimana
keunikan dan ketaktertandingan al-Quran? Apakah ia bersifat intrinsik dalam
al-Quran atau karena faktor eksternal? Bagaimana ketaktertandingan itu berkorelasi
dengan al-Quran? Pertanyaan ini akan coba kita telusuri melalui perdebatan seputar
diskurus I’jāz. Sembari memahami teks yang pemakalah analisis, silahkan
kopinya diseruput.
C.
Sejarah Teks Tentang I’jāz... Dari Rasionalitas Kalam menuju Estetika
Balaghah...
Dalam menelusuri sejarah penulisan i’jāz, pemakalah akan menggunakan penelitian Na’im
al-Himshi dalam bukunya Fikrah I’jāz al-Qu’ān min al-Bi’tsah ilā ‘Ashrinā al-Hādhir.[9]
Pemakalah merangkum data dalam buku tersebut, dan akan menyajikannya dalam
bentuk tabulasi sesuai urutan waktu penulis dan inti pemikirannya.
No.
|
Nama Tokoh
|
Tahun Hidup
|
Inti Pemikiran
|
Abad Kedua
|
|||
01.
|
Ibn al-Muqaffa’
|
106-142 H.
|
Dianggap berusaha menandingi al-Quran (ittihām bi al-mu’āradhah)
|
Abad Ketiga
|
|||
02.
|
Ibn al-Rawandi
|
Mengingkari dan berusaha menandingi (munkir wa mu’āridh)
|
|
03.
|
‘Isa bin Shabih al-Mizdar
|
Mengingkari kemukjizatan al-Quran, tokoh muktazilah
|
|
04.
|
Al-Nazzham
|
Menggagas teori shirfah dan meyakini kemukjizatan al-Quran
terdapat pada pemberitaan perkara gaib
|
|
05.
|
Al-Jahizh
|
Meyakini sisi kemukjizatan pada nazhm al-Quran, menerima
teori shirfah
|
|
06.
|
Ali bin Ribn al-Thabari
|
Berpendapat kemukjizatan terdapat pada al-uslub wa al-balaghah dalam
al-Quran
|
|
Abad Keempat
|
|||
07.
|
Al-Mutanabbi
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran
|
|
08.
|
Abu al-Hasan al-Asy’ari
|
Berpendapat bahwa yang mu’jiz hanyalah al-Quran yang qadīm
|
|
09.
|
Bundar al-Farisi
|
Mukjizat terdapat dalam setiap bagian al-Quran
|
|
10.
|
Al-Thabari
|
Balaghah dan al-Nazhm
|
|
11.
|
Al-Qummi
|
I’jāz hanya dapat ditemukan melalui dzauq
dan tidak dapat dirasionalkan
|
|
12.
|
Al-Wasithi
|
Al-Nazhm
|
|
13.
|
Al-Rummani
|
Meyakini shirfah, nazhm, dan lain sebagainya
|
|
14.
|
Al-Khatthabi
|
I’jāz terdapat dalam lafaz dan makna, nazhm dan memiliki dampak psikologis
|
|
15.
|
Al-‘Askari
|
Balaghah
|
|
Abad Kelima
|
Abad Kelima
|
||
16.
|
Qabus bin Wasymakir
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran
|
|
17.
|
Ibnu Sina
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran
|
|
18.
|
Abu al-‘Ala al-Ma’arri
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran, dan mendukung I’jāz dari kritikan Ibn al-Rawandi
|
|
19.
|
Al-Syarif al-Murtadha
|
Shirfah, I’jaz pada sisi balaghah
|
|
20.
|
Da’I al-Du’at
|
Kemukjizatan ada pada makna dan kearifan yang diajarkan al-Quran
|
|
21.
|
Al-Baqillani
|
Keummian Nabi Muhammad, ketidakmampuan orang Arab,
pemberitaan tentang hal gaib dan nazhm
|
|
22.
|
Ibn Suraqah
|
Seluruh bentuk kemukjizatan yang disebutkan para ulama benar
|
|
23.
|
Ibn Hazm
|
Al-Quran mukjizat karena dia al-Quran
|
|
24.
|
Al-Khafaji
|
Shirfah wa al-Balaghah
|
|
25.
|
Abdul Qahir al-Jurjani
|
Nazhm
|
|
Abad Keenam
|
|||
26.
|
Al-Ghazali
|
I’jaz al-‘lmi
|
|
27.
|
Al-Qadhi ‘Iyadh
|
Sependapat dengan semua gagasan al-Baqillani, dan bahwa al-Quran
mengandung-kumpulkan ilmu-ilmu dan pengetahuan
|
|
28.
|
Al-Zamakhsyari
|
Al-Bayan wa al-Ma’ani
|
|
29.
|
Ibn ‘Athiyah
|
Nazhm, Ma’ani, dan Allah telah menggunakan seluruh kata
|
|
30.
|
Al-Thibrisi
|
Al-Balaghah, al-ikhbar bi al-ghaib, kandungan ilmu
pengetahuan, keunikan kandungan, dan insijam
|
|
31.
|
Ibn al-Rusyd
|
I’jaz al-‘ilmi dan dasar-dasar logika
|
|
Abad Ketujuh
|
|||
32.
|
Fakhr al-Din al-Razi
|
Terkadang mendukung balaghah, terkadang shirfah dengan balaghah, dan
lainnya.
|
|
33.
|
Al-Sakaki
|
I’jaz dengan balaghah, nazhm, dan hanya bisa ditangkap
menggunakan dzauq
|
|
34.
|
Ibn al-‘Arabi
|
Uslub, balaghah, kabar tentang yang gaib
|
|
35.
|
Al-Amidi
|
Mu’jiz dengan keseluruhan al-Quran, nazhm, balaghah,
kabar tentang yang gaib
|
|
36.
|
Al-Thusi
|
Menyebut seluruh pendapat ulama pendahulunya; shirfah, balaghah, sirah
Nabi
|
|
37.
|
Hazim al-Qarathajini
|
Intensitas kefasihan dalam keseluruhan al-Quran
|
|
38.
|
Al-Baidhawi
|
Balaghah, kesempurnaan makna, pemberitaan perkara gaib baik di masa lalu
atau masa akan datang
|
|
Abab Kedelapan
|
|||
39.
|
Al-Zamlakani
|
Susunan yang khas, setiap bentuk seni retorik mendapat apresiasi
|
|
40.
|
Ibn Taimiyyah
|
Balaghah, kandungan pengetahuan, tingkat keutamaan ayat,
ke-qadim-an al-Quran, menolak kalam nafsi
|
|
41.
|
Al-Khathib al-Qazwaini
|
Balaghah
|
|
42.
|
Ibn Jazzi al-Kalbi
|
I’jaz ada pada kandungan, unsur balaghah, uslub,
disebutkan secara berulang-ulang tanpa contoh, tidak menyuguhkan pendapat
baru, mendukung pendapat ‘ajz al-fi’li ‘an al-mu’āradhah.
|
|
43.
|
Yahya bin Hamzah al-Alawi
|
Ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran, kefasihan, balaghah dalam
setiap bagiannya, serta nazhm yang indah
|
|
44.
|
Al-Ashbahani
|
Shirfah, Nazhm, balaghah, fashahah
|
|
45.
|
Ibn Qayyim al-Jauziyyah
|
Membahas secara menyeluruh tentang yang menolak dan menerima shirfah,
subjektif dan logis dalam mengkaji, menetapkan I’jaz dalam surat al-Kautsar,
kekuasaan Allah tidak mampu dijangkau manusia
|
|
46.
|
Ibn Katsir
|
Balaghah, kandungan, tema dan pengaruh al-Quran, kalam
Allah sama seperti sifatnya manusia tidak akan mampu menandinginya, tidak
mengakui shirfah
|
|
47.
|
Al-Syathibi
|
Menolak tafsir ilmi
|
|
48.
|
Al-Zarkasyi
|
Menerima seluruh pendapat tentang I’jaz dan apapun yang
ditawarkan tentang I’jaz
|
|
Abab kesembilan
|
|||
49.
|
Ibn Khaldun
|
Menerima I’jaz balaghi yang hanya dapat ditangkap melalui
dzauq
|
|
50.
|
Al-Fairuzabadi
|
Mengutip pendapat Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan pendapat pribadinya.
Sepuluh surat yang dijadikan tantangan ialah sepuluh surat yang
panjang-panjang.
|
|
51.
|
Al-Marakisyi
|
Al-Bayan, ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran
mempunyai pengertian khusus dalam pandangannya
|
|
Abad Kesepuluh
|
|||
52.
|
Mu’inuddin bin Shofiyyuddin
|
Balaghah, kabar gaib
|
|
53.
|
Al-Suyuthi
|
Menyebutkan seluruh pendapat ulama sebelumnya, al-Quran memuat semua
ilmu, keindahan nazhm, padahal Nabi seorang ummi
|
|
54.
|
Ibn Kamal Basya
|
Shirfah, bukan balaghah, I’jaz tidak meniscayakan
al-Quran sebagai kalam Allah
|
|
55.
|
Syaikh Zadah al-Qunawi
|
Fashahah dan Balaghah, keutamaan al-Quran dibanding kalam lain seperti
keutamaan Allah dibanding makhluknya, kandungan, tujuan moral, dan aspek
gaib.
|
|
56.
|
Abu al-Sa’ud
|
Uslub, balaghah dan kandungan al-Quran, di antaranya yang
terkait dengan perkara gaib.
|
|
57.
|
Al-Kazaruni
|
Balaghah, kegaiban hingga hari kiamat
|
|
58.
|
Thasy Kubra Zadah
|
Uslub dan keindahan bacaan
|
|
59.
|
Al-Syirbini
|
Antara balaghah dan Shirfah, kandungan dan bentuk
|
|
Abad Kesebelas
|
|||
60.
|
Al-Sailakuti
|
Seide dengan al-Baidhawi, balaghah, menolak shirfah, lebih banyak
membidik aspke gramatika
|
|
61.
|
Al-Syihab al-Khafaji
|
Balaghah, keindahan nazhm, keserasian ayat, menolak
shirfah, ragu tentang berita gaib, menolak bahwa al-Quran memuat semua
pengetahuan, ketidakkonsistenan dalam urutan ayat-ayat tantangan
|
|
Abad Kedua Belas
|
|||
62.
|
Ahmad al-Kawakibi
|
Tidak mengomentari sisi I’jaz, mengkritik Muktazilah
tentang perbedaan tingkat balaghah ayat-ayat al-Quran,
|
|
63.
|
Syamsuddin Muhammad al-Dharir al-Maliki
|
Menafsirkan sisi-sisi nazhm al-Quran, tidak subjektif, menurutkan
pandapat para pendahulu, menerima dua pendapat yang saling bertentangan;
balaghah dan shirfah
|
|
64.
|
Sulaiman al-‘Ujaili/al-Jamal
|
Mengkritik para pendahulu soal fashahah dan berita gaib,
huruf-huruf di awal surat, ayat-ayat tantangan hingga mencoba menandingi
al-Quran
|
|
Abad Ketiga Belas
|
|||
65.
|
Al-Syaukani
|
Balaghah, berita gaib, kedalaman makna, menolak shirfah
|
|
66.
|
Al-Alusi
|
Nazhm, balaghah.
|
|
67.
|
Auliazadah
|
Balaghah, keindahan nazhm, kekuataan makna, kabar gaib,
kalam Allah seperti Dzat-Nya tidak ada makhluk yang bisa menyamai. Tidak ada
perbedaan tingkat balaghah dalam ayat-ayat al-Quran. Terpengaruh Ibnu Arab
soal hidupnya benda-benda padat dan kemampuan mereka berbicara. Dengan
menggunakan ilmu bayan mencoba membuat berbicara benda mati.
|
|
68.
|
Shadiq al-Qanuji al-Bukhari
|
Balaghah, kegaiban, dan mengkritik al-Syaukani
|
|
69.
|
Al-Iskandarani
|
Al-Quran berbicara tentang ilmu yang bermacam-macam.
Tidak menggunakan istilah I’jaz, tapi mengisyaratkan pemikiran tentang I’jaz.
Mengajak mempelejari ilmu pengetahuan alam modern. Perintis pemikiran I’jaz
ilmi.
|
|
Abad Keempat Belas/Abad Dua Puluh
|
|||
70.
|
Abdullah Fikri
|
Tidak secara spesifik menggunakan redaksi I’jaz. Sekadar
mengisyaratkan pemikiran tentangnya.
|
|
71.
|
Dr. M. Taufiq Shidqi
|
Tidak eksplisit I’jaz ilmi. Hanya menjelaskan hikmah syariat.
|
|
72.
|
Thanthawi Jauhari
|
Mengajak merenungi alam, mempelajari ilmu biologi,
membuat rumus dalam menjelaskan keajaiban tongkat musa, berlebihan dalam
menafsirkan secara ilmi, secara eksplisit menggunakan redaksi I’jaz ilmi,
menganjurkan sistem ekonomi Islam
|
|
73.
|
Ali Fikri
|
Ekstrim dalam tafsir ilmi
|
|
74.
|
M. Ahmad Jadul Maula
|
Moderat dan logis dalam menetapkan I’jaz ilmi, sedikit
berlebihan dalam menyatakan kepeloporan budaya Arab.
|
|
75.
|
Umar al-Malibari
|
Membatasi diri pada ayat lukluk wal marjan untuk
menjelaskan I’jaz ilmi.
|
|
76.
|
Mahmud Hamdi Istanbuli
|
I’jaz dengan hikmah yang bernilai tinggi, aturan sosial dan informasi
tentang ilmu pengetahuan.
|
|
77.
|
Maurice Buchale
|
Tidak secara langsung berbicara tentang I’jaz, hanya
membandingkan antara informasi al-Quran dan inji. Dan al-Quran lebih tepat.
|
|
78.
|
M. Rasyad Khalifah
|
I’jaz ‘adadi/mukjizat bilangan 19.
|
|
79.
|
Mutawalli Sya’rawi
|
I’jaz ilmi, mengajarkan bahasa menggunakan nama.
|
|
80.
|
Al-Nakhjuwani
|
Kedangkalan dalam penguasaan budaya dan bahasa Arab; penyingkapan
sufistik pada sisi akhlaq ilahiah, kegaiban, dan balaghah.
|
|
81.
|
Abu al-Faidh al-Nakuri
|
Penguasaan bahasa yang buruk. Balaghah, hukum, hikmah,
pengetahuan.
|
|
82.
|
M. Jamaluddin al-Qasimi
|
Balaghah dan kedalaman makna
|
|
83.
|
Muhammad Abduh
|
Balaghah dan keumian Nabi. Meringkas pemikiran
al-Baqillani.
|
|
84.
|
Abdurrahman al-Kawakibi
|
Balaghah, kabar gaib, I’jaz ilmi
|
|
85.
|
Rasyid Ridha
|
Uslub, kandungan, ilmu, berita gaib, pengetahuan modern,
ijtihad dalam menyusun urutan ayat-ayat tantangan.
|
|
86.
|
Abdullah al-Dihlawi al-Naqsyabandi
|
Balaghah, Ma’ani, berita gaib, mendatangkan bait-bait tanpa menjelaskan
sisi I’jaz
|
|
87.
|
Mustafa Sadiq Rafi’i
|
Sejarah pemikiran I’jaz, musikalitas al-Quran, rasa
kejiwaan, balagah, keindahan kalimat, dan kandungan pengetahuan al-Quran.
|
|
88.
|
Abdul Alim al-Hind
|
Kajian sejarah. Tidak ada pendapat pribadi.
|
|
89.
|
Amin al-Khuli
|
Pemikiran Sejarah. I’jaz nafsi yang hanya bisa ditangkap
oleh dzauq.
|
|
90.
|
Sayyid Quthb
|
Visualisasi dan kreasi ajaran al-Quran. Keselarasan dan kekuatan
menginformasikan. Keutamaan kalam Allah dibanding lainnya, sama seperti
keutamaan-Nya dibanding makhluk-Nya. Kesempurnaan tasyri’, keindahan musikal
al-Quran, I’jaz secara mutlak. Penulis ini mampunyai keandalan dalam
melakukan analisis sastra untuk menjelaskan I’jaz al-Quran.
|
|
91.
|
Abdul Azhim al-Zarqani
|
Mendukung pendapat al-Rafii dan al-Baqillani. Menerima
I’jaz ilmi tanpa bermaksud mengadopsinya.
|
|
92.
|
Abdullah Darraz
|
Kabar gaib dari masa lalu dan masa depan, mengkritik konsep wahyu
nafsi yang tidak lain hanya untuk menafikan wahyu. Keindahan uslub al-Quran
dan pengaruhnya. I’jaz balaghi, tasyri’I, ilmi, kesatu-paduan tema al-Quran,
serta kesatuan tujuan al-Quran, padahal ia turun pada masa yang cukup lama.
Tartib surat yang bersifat tauqifi merupakan mukjizat tersendiri.
|
|
93.
|
M. Said Ramadan al-Buthi
|
Kemukjizatan terdapat dalam kandungan dan bentuk
al-Quran. Ia mampu menjelaskan sisi keindahan artistik dalam al-Quran.
Al-Quran berbicara pada seluruh manusia. Kesatuan tujuan ayat-ayat al-Quran.
Menolak konsep shirfah. Moderat dalam mengapresiasi I’jaz ilmi dan tasyri’.
Al-Quran sebagai cara hidup yang sempurna. I’jaz balaghi khusus untuk orang
Arab, sedang mukjizat lain berlaku umum untuk semua bangsa. Jiwa humanis
al-Quran.
|
|
94.
|
M. Ali Sulthani
|
Tidak punya pendapat pribadi. Mengakui seluruh bentuk kemukjizatan
selain shirfah.
|
|
No.
|
Nama Tokoh
|
Tahun Hidup
|
Inti Pemikiran
|
Abad Kedua
|
|||
01.
|
Ibn al-Muqaffa’
|
106-142 H.
|
Dianggap berusaha menandingi al-Quran (ittihām bi al-mu’āradhah)
|
Abad Ketiga
|
|||
02.
|
Ibn al-Rawandi
|
Mengingkari dan berusaha menandingi (munkir wa mu’āridh)
|
|
03.
|
‘Isa bin Shabih al-Mizdar
|
Mengingkari kemukjizatan al-Quran, tokoh muktazilah
|
|
04.
|
Al-Nazzham
|
Menggagas teori shirfah dan meyakini kemukjizatan
al-Quran terdapat pada pemberitaan perkara gaib
|
|
05.
|
Al-Jahizh
|
Meyakini sisi kemukjizatan pada nazhm al-Quran, menerima teori shirfah
|
|
06.
|
Ali bin Ribn al-Thabari
|
Berpendapat kemukjizatan terdapat pada al-uslub wa
al-balaghah dalam al-Quran
|
|
Abad Keempat
|
Abad Keempat
|
||
07.
|
Al-Mutanabbi
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran
|
|
08.
|
Abu al-Hasan al-Asy’ari
|
Berpendapat bahwa yang mu’jiz hanyalah al-Quran yang qadīm
|
|
09.
|
Bundar al-Farisi
|
Mukjizat terdapat dalam setiap bagian al-Quran
|
|
10.
|
Al-Thabari
|
Balaghah dan al-Nazhm
|
|
11.
|
Al-Qummi
|
I’jāz hanya dapat ditemukan melalui dzauq dan tidak dapat
dirasionalkan
|
|
12.
|
Al-Wasithi
|
Al-Nazhm
|
|
13.
|
Al-Rummani
|
Meyakini shirfah, nazhm, dan lain sebagainya
|
|
14.
|
Al-Khatthabi
|
I’jāz terdapat dalam lafaz dan makna,
nazhm dan memiliki dampak psikologis
|
|
15.
|
Al-‘Askari
|
Balaghah
|
|
Abad Kelima
|
Abad Kelima
|
||
17.
|
Ibnu Sina
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran
|
|
18.
|
Abu al-‘Ala al-Ma’arri
|
Dianggap mencoba menandingi al-Quran, dan mendukung I’jāz dari kritikan Ibn al-Rawandi
|
|
19.
|
Al-Syarif al-Murtadha
|
Shirfah, I’jaz pada sisi balaghah
|
|
21.
|
Al-Baqillani
|
Keummian Nabi Muhammad, ketidakmampuan orang Arab, pemberitaan tentang
hal gaib dan nazhm
|
|
22.
|
Ibn Suraqah
|
Seluruh bentuk kemukjizatan yang disebutkan para ulama
benar
|
|
23.
|
Ibn Hazm
|
Al-Quran mukjizat karena dia al-Quran
|
|
24.
|
Al-Khafaji
|
Shirfah wa al-Balaghah
|
|
25.
|
Abdul Qahir al-Jurjani
|
Nazhm
|
|
Abad Keenam
|
Abad Keenam
|
||
26.
|
Al-Ghazali
|
I’jaz al-‘lmi
|
|
27.
|
Al-Qadhi ‘Iyadh
|
Sependapat dengan semua gagasan al-Baqillani, dan bahwa
al-Quran mengandung-kumpulkan ilmu-ilmu dan pengetahuan
|
|
28.
|
Al-Zamakhsyari
|
Al-Bayan wa al-Ma’ani
|
|
31.
|
Ibn al-Rusyd
|
I’jaz al-‘ilmi dan dasar-dasar logika
|
|
Abad Ketujuh
|
|||
32.
|
Fakhr al-Din al-Razi
|
Terkadang mendukung balaghah, terkadang shirfah dengan
balaghah, dan lainnya.
|
|
33.
|
Al-Sakaki
|
I’jaz dengan balaghah, nazhm, dan hanya bisa ditangkap menggunakan dzauq
|
|
Abab Kedelapan
|
|||
39.
|
Al-Zamlakani
|
Susunan yang khas, setiap bentuk seni retorik mendapat apresiasi
|
|
40.
|
Ibn Taimiyyah
|
Balaghah, kandungan pengetahuan, tingkat keutamaan ayat,
ke-qadim-an al-Quran, menolak kalam nafsi
|
|
44.
|
Al-Ashbahani
|
Shirfah, Nazhm, balaghah, fashahah
|
|
45.
|
Ibn Qayyim al-Jauziyyah
|
Membahas secara menyeluruh tentang yang menolak dan
menerima shirfah, subjektif dan logis dalam mengkaji, menetapkan I’jaz dalam
surat al-Kautsar, kekuasaan Allah tidak mampu dijangkau manusia
|
|
46.
|
Ibn Katsir
|
Balaghah, kandungan, tema dan pengaruh al-Quran, kalam Allah sama
seperti sifatnya manusia tidak akan mampu menandinginya, tidak mengakui
shirfah
|
|
47.
|
Al-Syathibi
|
Menolak tafsir ilmi
|
|
48.
|
Al-Zarkasyi
|
Menerima seluruh pendapat tentang I’jaz dan apapun yang ditawarkan
tentang I’jaz
|
|
Abab kesembilan
|
|||
49.
|
Ibn Khaldun
|
Menerima I’jaz balaghi yang hanya dapat ditangkap melalui dzauq
|
|
50.
|
Al-Fairuzabadi
|
Mengutip pendapat Ibnu Abbas, tanpa menyebutkan pendapat
pribadinya. Sepuluh surat yang dijadikan tantangan ialah sepuluh surat yang
panjang-panjang.
|
|
51.
|
Al-Marakisyi
|
Al-Bayan, ketidakmampuan orang Arab menandingi al-Quran mempunyai
pengertian khusus dalam pandangannya
|
|
Abad Kesepuluh
|
|||
53.
|
Al-Suyuthi
|
Menyebutkan seluruh pendapat ulama sebelumnya, al-Quran memuat semua
ilmu, keindahan nazhm, padahal Nabi seorang ummi
|
|
56.
|
Abu al-Sa’ud
|
Uslub, balaghah dan kandungan al-Quran, di antaranya yang
terkait dengan perkara gaib.
|
|
Abad Kesebelas
|
|||
61.
|
Al-Syihab al-Khafaji
|
Balaghah, keindahan nazhm, keserasian ayat, menolak
shirfah, ragu tentang berita gaib, menolak bahwa al-Quran memuat semua
pengetahuan, ketidakkonsistenan dalam urutan ayat-ayat tantangan
|
|
Abad Kedua Belas
|
|||
62.
|
Ahmad al-Kawakibi
|
Tidak mengomentari sisi I’jaz, mengkritik Muktazilah
tentang perbedaan tingkat balaghah ayat-ayat al-Quran,
|
|
63.
|
Syamsuddin Muhammad al-Dharir al-Maliki
|
Menafsirkan sisi-sisi nazhm al-Quran, tidak subjektif, menurutkan
pandapat para pendahulu, menerima dua pendapat yang saling bertentangan;
balaghah dan shirfah
|
|
64.
|
Sulaiman al-‘Ujaili/al-Jamal
|
Mengkritik para pendahulu soal fashahah dan berita gaib,
huruf-huruf di awal surat, ayat-ayat tantangan hingga mencoba menandingi
al-Quran
|
|
Abad Ketiga Belas
|
|||
65.
|
Al-Syaukani
|
Balaghah, berita gaib, kedalaman makna, menolak shirfah
|
|
66.
|
Al-Alusi
|
Nazhm, balaghah.
|
|
69.
|
Al-Iskandarani
|
Al-Quran berbicara tentang ilmu yang bermacam-macam.
Tidak menggunakan istilah I’jaz, tapi mengisyaratkan pemikiran tentang I’jaz.
Mengajak mempelejari ilmu pengetahuan alam modern. Perintis pemikiran I’jaz
ilmi.
|
|
Abad Keempat Belas/Abad Dua Puluh
|
|||
71.
|
Dr. M. Taufiq Shidqi
|
Tidak eksplisit I’jaz ilmi. Hanya menjelaskan hikmah
syariat.
|
|
72.
|
Thanthawi Jauhari
|
Mengajak merenungi alam, mempelajari ilmu biologi, membuat rumus dalam
menjelaskan keajaiban tongkat musa, berlebihan dalam menafsirkan secara ilmi,
secara eksplisit menggunakan redaksi I’jaz ilmi, menganjurkan sistem ekonomi
Islam
|
|
74.
|
M. Ahmad Jadul Maula
|
Moderat dan logis dalam menetapkan I’jaz ilmi, sedikit
berlebihan dalam menyatakan kepeloporan budaya Arab.
|
|
77.
|
Maurice Buchale
|
Tidak secara langsung berbicara tentang I’jaz, hanya
membandingkan antara informasi al-Quran dan inji. Dan al-Quran lebih tepat.
|
|
78.
|
M. Rasyad Khalifah
|
I’jaz ‘adadi/mukjizat bilangan 19.
|
|
79.
|
Mutawalli Sya’rawi
|
I’jaz ilmi, mengajarkan bahasa menggunakan nama.
|
|
83.
|
Muhammad Abduh
|
Balaghah dan keumian Nabi. Meringkas pemikiran al-Baqillani.
|
|
85.
|
Rasyid Ridha
|
Uslub, kandungan, ilmu, berita gaib, pengetahuan modern,
ijtihad dalam menyusun urutan ayat-ayat tantangan.
|
|
89.
|
Amin al-Khuli
|
Pemikiran Sejarah. I’jaz nafsi yang hanya bisa ditangkap oleh dzauq.
|
|
90.
|
Sayyid Quthb
|
Visualisasi dan kreasi ajaran al-Quran. Keselarasan dan
kekuatan menginformasikan. Keutamaan kalam Allah dibanding lainnya, sama
seperti keutamaan-Nya dibanding makhluk-Nya. Kesempurnaan tasyri’, keindahan
musikal al-Quran, I’jaz secara mutlak. Penulis ini mampunyai keandalan dalam
melakukan analisis sastra untuk menjelaskan I’jaz al-Quran.
|
|
91.
|
Abdul Azhim al-Zarqani
|
Mendukung pendapat al-Rafii dan al-Baqillani. Menerima I’jaz ilmi tanpa
bermaksud mengadopsinya.
|
|
92.
|
Abdullah Darraz
|
Kabar gaib dari masa lalu dan masa depan, mengkritik
konsep wahyu nafsi yang tidak lain hanya untuk menafikan wahyu.
Keindahan uslub al-Quran dan pengaruhnya. I’jaz balaghi, tasyri’I, ilmi,
kesatu-paduan tema al-Quran, serta kesatuan tujuan al-Quran, padahal ia turun
pada masa yang cukup lama. Tartib surat yang bersifat tauqifi merupakan
mukjizat tersendiri.
|
|
93.
|
M. Said Ramadan al-Buthi
|
Kemukjizatan terdapat dalam kandungan dan bentuk al-Quran. Ia mampu
menjelaskan sisi keindahan artistik dalam al-Quran. Al-Quran berbicara pada
seluruh manusia. Kesatuan tujuan ayat-ayat al-Quran. Menolak konsep shirfah.
Moderat dalam mengapresiasi I’jaz ilmi dan tasyri’. Al-Quran sebagai cara hidup
yang sempurna. I’jaz balaghi khusus untuk orang Arab, sedang mukjizat lain
berlaku umum untuk semua bangsa. Jiwa humanis al-Quran.
|
D.
Argumentasi I’jāz al-Qur’ān... Meneguhkan Sakralitas...
Pembaca dapat menemukan dengan
mudah bahwa pada mulanya diskursus I’jāz merupakan diskursus yang debatable.
Kemudian ia mengerucut pada pengakuan I’jāz secara serempak, pengakuan keragaman bentuk I’jāz, dan bahwa I’jāz bersifat
intrinsik. Dari sini dapat dibayangkan betapa suci al-Quran kita ketika
dibungkus dengan tiga lapis ide tentang I’jāz. Betapa dia sangat
istimewa dibanding yang lain.
Lantas, apa
dasar bahwa al-Quran memiliki unsur-unsur mukjizat itu? Apakah al-Quran
menegaskannya sendiri? Secara tegas, al-Quran tidak menjelaskan bahwa dirinya
adalah mukjizat, atau dirinya memiliki unsur I’jāz. Namun terdapat
praktik-praktik I’jāzi yang sulit disangkal, yang di sisi lain memamerkan
superioritas al-Quran. Jumlahnya cukup banyak dan beragam. Ayat-ayat itu turun
secara beruntun sejak era Mekah hingga Madinah. Pada periode Mekah, al-Quran
pernah dituduh sebagai sebentuk syair seperti disinggung oleh QS. Yasin [36]:
69,
وَمَا
عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ
مُبِين]
Dan Kami tidak
mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya.
Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Ayat ini membantah
dengan tegas tuduhan orang-orang musyik Mekah yang mengatakan al-Quran adalah
syair. Al-Quran juga disebut sihir karena mereka tidak tahu harus menyebutnya
apa.
( إن من البيان لسحرا )
“Sebagian kefasihan bicara hampir-hampir mirip sihir”[10]
Kalimat di atas diucapkan Nabi saw. saat kedatangan tamu dari daerah timur.
Mereka berceramah dengan bahasan yang fasih, kosa kata yang tepat dan memukau. Gaya
bahasa yang digunakan jelas, lugas dan fasih yang mampu membuat terpesona
setiap yang mendengarnya. Ia mampu menghipnotis seperti sihir. Al-Quran tentu
lebih fasih dari ceramah mereka. Karenanya, orang-orang musyrik Mekah
mengatakan seperti yang dicatat dalam QS. Yunus [10]: 1-2,
الر تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ (1) أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ
أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ
آَمَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ
هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ (2)
Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah. Patutkah
menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki
di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah
orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang Tinggi di sisi Tuhan
mereka”. Orang-orang kafir berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad)
benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”.
Al-Biqa’i menjelaskan bahwa hal ini karena al-Quran begitu terang dalam
menjelaskan segala sesuatu. Mereka tidak mampu menemukan kesalahan di dalamnya.
Di sini, mereka jelas kebingungan memahaminya. Mereka hanya bisa mengejek
dengan mengatakan, “Muhammad adalah penyihir” dan “Bacaannya adalah
mantra-mantra sihir”.[11] Ketidakmampuan
mereka ditambah-terangkan dalam ayat tantangan QS. al-Thur [52]: 34
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ
مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (34)
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika
mereka orang-orang yang benar.
Dalam QS. Yunus [10]: 38,
وَمَا كَانَ هَذَا
الْقُرْآَنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ
يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (37)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (38)
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al
Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum
yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari
Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad
membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu),
Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang
dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."
Pada QS. Hud [11]: 13-14) tantangan diturunkan menjadi sepuluh surat,
أَمْ يَقُولُونَ
افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (13) فَإِنْ لَمْ
يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (14)
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”,
Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup
(memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. Jika
mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka
ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan
bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada
Allah)?
Ketiga ayat di atas merupakan ayat-ayat yang turun pada era Mekah. Namun
mereka tidak sanggup menandinginya. Padahal mereka mempunyai banyak penyair dan
budayawan. Akhirnya, pada fase Madinah turun lagi ayat tantangan yang lebih
ringan (QS. al-Baqarah [2]: 23-24),
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي
رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24)
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran
itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan
dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
Namun, tidak ada yang sanggup menjawabnya. Inilah tantangan yang tidak pernah
mendapatkan tanggapan. Sebenarnya masih banyak ayat yang kandungannya menunjukkan
keluarbiasaan al-Quran. Begitu pula bukti-bukti kemukjizatan al-Quran. Dari
sini para ulama membangun argumentasi tentang kesucian al-Quran. Mereka sejak
berabad-abad yang lalu telah berusaha mengidentifikasi sisi unik, mengagumkan,
dan i’jāz yang menjadi tanda
keilahiannya. Dengan argumen semacam ini, al-Quran menjadi sangat sakral.
E.
Bentuk-Bentuk I’jāz al-Qur’ān
Dalam tabel di
atas, kita telah menyaksikan ukiran sejarah I’jāz. Semakin kebelakang, i’jāz al-Quran merupa dalam wajah yang beraneka ragam. Beberapa yang populer di antaranya; shirfah, balāghi, berita masa
lalu dan masa depan dan memuat seluruh ilmu pengetahuan.
Shirfah adalah keyakinan
bahwa Allah menghilangkan kemampuan orang Arab sehingga mereka tidak mampu
menandinginya. Menurut pengertian ini, pada mulanya membuat yang semisal
al-Quran berada dalam jangkauan orang Arab. Namun ada faktor eksternal yang
mencegah mereka. Pendapat ini digagas oleh al-Nazzham, dan ditolak oleh
kebanyakan ulama Ahlusunnah.[12]
Yang dimaksud i’jāz balāghi di sini meliputi keindahan
pelafalan (fashāhah), keindahan gaya bahasa (uslūb),
susunan kata dan kalimat (nazhm) dan lainnya yang terkait dengan
keindahan bahasa. Keindahan semacam ini dapat dipahami namun tidak dapat
diungkapkan
karena ia terkait dengan cita rasa (dzauq).
Berita masa lalu
dan masa depan merupakan bukti bahwa al-Quran berasal dari yang Maha
Mengetahui. Ia adalah bukti kebenaran Nabi yang membawanya, sekaligus kebenaran
itu sendiri. Seperti kisah tentang negeri Iram dan kemenangan bangsa Romawi di
masa depan.
Al-Quran juga
dinilai mengandung kebenaran ilmiah. Hal ini pertama kali disadari oleh al-Imam
al-Ghazali (505 H.). Namun hal ini dibantah oleh al-Syatibi. Para ulama modern
banyak yang sepakat bahwa kandungan ilmiah al-Quran merupakan bentuk
kemukjizatannya.
F.
Penutup
Demikian
uraian tentang I’jāz al-Quran yang dapat kami sampaikan. Pada bagian
penutup ini, ada baiknya bila disebutkan bahwa kemukjizatan al-Quran telah
dibuktikan oleh generasi terdahulu. Setiap generasi selalu tertantang
membuktikan kebenarannya sesuai tuntutan zaman mereka hidup. Di sini, I’jāz
mirip penafsiran yang tidak pernah berhenti. Manusia selalu membutuhkan
bimbingan al-Quran. Dan bimbingan hanya dapat didapatkan melalui penafsiran. Sedangkan,
kehormatan al-Quran tergantung pada kemukjizatannya. Bila kemukjizatannya tidak
dapat dibuktikan benarkan ia akan menjadi tidak istimewa? Wallahu A’lam.
‘
Daftar Pustaka
Syakir, Abu Fihr Mahmud Muhammad, Madākhil I’jāz al-Qur’ān, (Kairo:
Mathba’ah Madani, tt).
Faris bin Zakariya, Abu al-Husain
Ahmad bin, Mu’jam Maqāyis fi al-Lughah, CD Room Maktabah Syamilah versi
3.28.
Bukhari, Abu
Abdillah Muhammad bin Ismail al-, Shahih al-Bukhari, (Dar Ibn Katsir) vol V.
Esack, Farid, Quranic Hermeneutics: Problems and
Prospects dalam jurnal The Muslim World Vol. LXXXIII,
no. 2, 1993.
Tharabisyi, George, al-Mu’jizah
au Subāt al-‘Aqli fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Saqi, cet. Ke-1,
2008).
Suyuthi, Jalal al-Din Abdurrahman
bin Abu Bakr al-, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
cet. Ke-10, 2010).
[1] Lihat dalam Abu Fihr Mahmud Muhammad Syakir, Madākhil
I’jāz al-Qur’ān, (Kairo: Mathba’ah Madani, tt), h. 35-51, bandingkan dengan
Farid Esack, Quranic Hermeneutics: Problems and Prospects dalam jurnal The Muslim World Vol. LXXXIII,
no. 2, 1993, h. 124
[2] George Tharabisyi, al-Mu’jizah au Subāt
al-‘Aqli fi al-Islām, (Beirut: Dar al-Saqi, cet. Ke-1, 2008), h.
11-15
[3] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam
Maqāyis fi al-Lughah, CD Room Maktabah Syamilah versi 3.28, vo. IV, h. 190
[4] Mahmud Syakir, Madākhil.. h. 19
[5] Mahmud Syakir, Madākhil.. h. 34
[6] Para ahli kalam juga memperdebatkan mukjizat
pada diri Nabi saw. Banyak hadis diriwayatkan dalam tema ini. Menurut amatan
George Tharabisyi selama kurun waktu tujuh abad terjadi pembekakan mukjizat
dalam karya-karya sirah nabawiah. Kitab al-Hidayah al-Kubra karya al-Khashibi
mencatat tiga ribu mukjizat yang pernah dikeluarkan Nabi saw. wallahu a’lam.
[7] Jalal al-Din Abdurrahman bin Abu Bakr
al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
cet. Ke-10, 2010), h. 482
[8] al-Suyuthi, al-Itqān... h. 482
[9]
Na’im al-Himshi, Fikrah I’jāz al-Qu’ān min
al-Bi’tsah ilā
‘Ashrinā al-Hādhir (Beirut:
Muassasah al-Risalah, cet. Ke-2, 1980), h. 485
[10] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, CD
Room Maktabah Syamilah versi 3.28, vol V, h. 1976
[11]
Ibrahim bin Umar bin
Hasan al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-ayat wa al-suwar, CD
Maktabah Syamilah versi 3.28, vol III, h. 248
[12] al-Suyuthi, al-Itqān...
h. 484
Komentar
Posting Komentar