Muslim bin al-Ḥajjāj al-Naisābūrī dan Perannya dalam Pembentukan Ilmu Hadis (1)

M. Khoirul Huda

Pendahuluan
Abū al-usain Muslim bin al-ajjāj al-Naisābūrī (w. 261 H.) atau yang lebih populer dengan sebutan Imam Muslim, penulis kitab aḥīḥ Muslim memiliki peran penting dalam pembentukan ilmu hadis. Sumbangannya atas disiplin ini dapat ditemukan pada karya-karyanya yang cukup melimpah. M.M. Azami mencatat 21 daftar karya tulisnya yang sebagian masih berbentuk manuskrip (tulisan tangan) (1982: 154-157). Hal ini menegaskan tidak saja atas usahanya yang cukup keras dalam memburu hadis-hadis Nabi saw. melalui kerja rilah (perjalanan) sebagaimana dilakukan oleh para ahli hadis pada umumnya, tapi juga mematahkan kesan umum atau bahkan “klaim” bahwa ahli hadis tidak melakukan pengamatan, penelitian, dan kerja-kerja keilmuan yang bersifat analisis. Sebaliknya, mereka merupakan kelompok ilmuan yang berusaha mendasarkan diri pada data, yang terkadang bahkan bersifat sangat empiris.

Contoh bagaimana model dialektika seorang ahli hadis dapat ditemui dalam pengantar aḥīḥ Muslim. Imam Muslim untuk memberikan basis epistemologis atas kerja keilmuan yang memakan waktu hampir kurang lebih lima belas tahun itu. Kondisi psikologis seorang ahli hadis saat itu, dan juga problem keilmuan yang mereka hadapi juga dapat dilihat dalam karyanya yang lain semisal Kitāb al-Tamyīz. Sebuah karya yang secara khusus membedah problem jar-ta’dīl yang menjadi praktik keilmuan para ahli hadis, dan spesialis kritik rawi secara khusus. Kritik-kritik yang pada umumnya dilandaskan pada aspek etik dan sarwa-mungkin praktik jarh-ta’dīl dilakukan karena keterpautan jarak dan ideologi antara kritikus dan objek yang dikritiknya. Dua buku tersebut saya kira cukup menggambarkan bagaimana seorang ahli hadis menghadapi problem keilmuan, berdialog dengannya secara mendalam, dan melakukan telaah-telaah kritis atasnya. Semua usaha itu pada prinsipnya untuk menyelesaikan satu problem pokok dalam kajian hadis, otentisitas. Otentisitas dibuktikan dengan mengkritisi sumber suatu informasi. Parameter pun dibuat sedemikian rupa, bagi yang lebih mengidealkan ide otentisitas ini; pengetatan sangat ditekankan. Berbanding terbalik dengan kelompok yang hanya sekadar ingin mengembalikan cara pandang masyarakat luas kepada hadis-hadis Nabi saw.  
Tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana kondisi problematik itu dihadapi dimasa lalu, melalui telaah terhadap dua karya master hadis di atas. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini pengantar aḥīḥ Muslim dan Kitāb al-Tamyīz akan dijadikan referensi utama. Telaah dilakukan dengan mengkomparasikan narasi-narasi kedua teks tersebut sebagai satu ide yang tak terpisahkan. Dimulai dengan pemaparan biografi singkat mengenai keluarga, situasi sosial-politik, dan tradisi keilmuan. Selanjutnya saya akan mencoba melihat bagaimana respon Imam Muslim terhadap problem kritik rawi, parameter-parameter yang diusulkannya, serta beberapa hal yang saya kira dapat menjelaskan peran beliau dalam perumusan ilmu-ilmu hadis.

Biografi Maestro Hadis; Belajar dalam Lingkungan Intelektual Oposan    
Naisabur atau Neyshābūr (ejaan lain; Nishāpūr) merupakan salah satu pusat peradaban Persia Kuno. Pada masa Islam, wilayah ini produktif melahirkan ulama besar dalam banyak disiplin ilmu keislaman. Sebut saja ahli teologi dan hukum seperti al-Juwaini (kemudian muridnya Abū Ḥāmid al-Ghazālī yang dikemudian hari jauh-jauh datang ke Naisaburi untuk belajar kepadanya), mistikus Malāmatī sepeti al-akīm al-Tirmidzī yang menggagas konsep khatm al-wilāyah, pakar hadis selayak al-Ḥakīm al-Naisābūrī (penulis kitab Mustadrak), dan lainnya. Bahkan tokoh yang menjadi subjek kita diceritakan berguru hadis sejak umur empat belas tahun di daerahnya sendiri yang dikenal gudangnya ahli hadis. Empat belas tahun pada umumnya dianggap terlalu dini untuk belajar hadis. Masa itu harusnya diisi dengan materi-materi Alquran dan fikih. Namun, sepertinya ia belajar pada usia yang lebih dini sehingga pada usia keempat belasnya ia diizinkan mempelajari hadis.
Abū al-Ḥusain Muslim bin Ḥajjāj bin Muslim bin Ward bin Kūsyādz dari suku al-Qusyairī. Menurut al-Dzahabī, kemungkinan keluarganya adalah orang Persia yang dimerdekakan oleh penakhluk yang berasal dari suku Arab-Qusyair (2006: 174). Muslim bin Ḥajjāj lahir pada tahun 204 H. bertepatan dengan wafatnya dua tokoh besar al-Imām al-Syāfiʻī dan Abū Dāwūd al-Ṭayālisī. Keduanya merupakan tokoh yang berjasa besar dalam kajian hadis. Abū Dawūd al-Ṭayālisī merupakan guru hadis senior yang murid-muridnya kelak menjadi tokoh besar penyusun kitab-kitab kanonik hadis. Sedangkan al-Syāfīʻi merumuskan dasar-dasar epistemologis yang kokoh atas hadis dalam polemik eksistensial hadis Nabi saw. Bila sampai sekarang hadis (ahad) masih diterima dalam wacana keagamaan, maka itu tidak bisa dilepaskan dari peran al-Syāfiʻi.
Secara politik, tahun itu bertepatan dengan era kekuasaan al-Ma’mūn (170-218 H.). Khalifah ‘Abbasiyah yang pernah menerapkan miḥnah (uji keimanan terhadap pejabat negara dan agama). Salah satu guru Muslim, Aḥmad bin Ḥanbal merupakan tokoh yang harus berhadapan dengan Negara atas keyakinannya (Ibn Aṡīr: vol. 4, h. 556). Sebuah era yang sangat kental dengan pemberontakan para jenderal dan persaingan kuasa pengetahuan antar kelompok intelektual; hadis dan kalam.  
Seakan mematahkan tesis kemunduran ilmu pengetahuan di akhir zaman, kematian dua tokoh itu ternyata dibarengi dengan kelahiran calon tokoh besar lainnya, Muslim bin Hajjāj. Sang maestro hadis. Dia mulai belajar hadis sejak 218 H. kepada guru-guru hadis di kotanya, Naisābūr. Guru pertamanya adalah tokoh terkemuka hadis Naisābūr, Yaḥyā bin Yaḥyā al-Tamīmī (142-226 H.). Sebagian di antaranya adalah guru kawan yang juga seniornya, Muhammad bin Ismāʻīl al-Bukhārī (256 H.). Muslim bin Ḥajjāj muda melanjutkan perjalannya ke kota-kota lain. Awalnya ia menuju Mekah untuk menunaikan haji pada tahun 220 H. Al-Dzahabī menginformasikan, Muslim masih terlihat sangat muda dan belum berjanggut (amrad). Di Mekah, dia berguru kepada al-Qaʻnabī. Ia melakukan perjalanan ke Fustat, Mesir, Palestina dan Damaskus di Syiria, Kufah, Baghdad, Irak dan akhirnya kembali lagi ke tanah halaman, Naisābūr.
Perjalanannya yang jauh itu, yang melewati kota-kota besar di pinggiran Negara ‘Abbasiyah, memperkenalkan padanya banyak kondisi kehidupan, posisi ahli hadis di antara beberapa kelompok intelektual yang tumbuh saat itu, serta problem-problem yang dihadapi ahli hadis untuk mempertahankan ide yang mereka usung. Termasuk ketika kelompok ini harus berhadapan dengan Negara yang –tanpa alasan jelas bahkan berseberangan dengan pandangan kebanyakan pakar Kalam, menerapkan miḥnah. Di sisi lain, kemakmuran yang diikuti dengan persaingan yang kadang-kadang tidak sehat, menciptakan ruang-ruang pemisah antara kelompok-kelompok intelektual. Persaingan memperebutkan perhatian publik sangat ketat atau sumber-sumber ekonomi tertentu. Al-Rāmahurmuzī (260-360 H.) misalnya, mencatat sebuah informasi dari Sulaiman bin Dawud al-Manqarī tentang polemik subsidi pendidikan (1984: 210),
Khalifah al-Ma’mūn mengutus ‘Abdullah bin Hārūn menemui Muḥammad bin ‘Abdullah al-Anṣārī (hakim yang juga ahli hadis kota Basrah) lima puluh ribu dirham. Dia memerintahkan agar uang itu dibagikan kepada para ahli fikih Basrah. Hilāl bin Muslim (seorang tokoh fikih aliran Ḥanafiyyah) banyak berbicara tentang kelompoknya. Al-Anṣārī mengatakan, ‘Saya juga berbicara mewakili kelompokku.’ Hilāl berkata, ‘Uang itu untukku dan kelompokku.’ Saya berkata, ‘Ia bagianku dan kelompokku.’ Kami berbeda pendapat soal itu. saya berkata kepada Hilāl, ‘Bagaimana anda bertasyahud?’ Hilāl berkata, ‘Orang selevelku ditanya soal tasyahud?’ Saya berkata, ‘Anda hanya cukup menjawab. Jawaban untuk pertanyaan yang jelas dan gampang tentu lebih mudah.’ Hilāl bertasyahud sesuai riwayat Ibn Masʻūd. Al-Anṣārī berkata kepadanya, ‘Siapa yang menginformasikan bacaan kepadamu? Darimana bisa ia sampai kepadamu? Hilāl diam tidak bisa menjawab. Al-Anṣārī berkata, ‘Anda salat tiap hari lima kali, dan mengulang-ulang bacaan itu, dan Anda tidak mengetahui orang yang meriwayatkannya dari Nabi Anda saw? Allah telah menjauhkan Anda dari fikih. Al-Anṣārī akhirnya membagikan uang itu kepada kelompoknya.  

Polemik semacam itu, sekalipun tidak menimpa seluruh aktor-aktor yang terlibat, merefleksikan sebuah persaingan terbuka antara kelompok-kelompok intelektual saat itu. Al-Ḥākim al-Naisābūrī (321-405 H.) mempunyai gambaran tidak jauh beda mengenai polemik antar kelompok intelektual. Kitabnya Ma’rifat ‘Ulūm al-Ḥadīs disusun untuk mendukung gagasan ahli hadis dalam menghadapi ahli bidah, minimnya pengetahuan masyarakat (intelektual, lebih-lebih yang awam) tentang uṣūl al-sunan (prinsip-prinsip sunnah), padahal dalam kenyataannya mereka menggunakan banyak sekali riwayat, banyak menggunakannya namun tanpa seleksi yang memadai. Dalam paragraf-paragraf di awal kitabnya, al-Ḥakim tidak bisa menyembunyikan siapa sebenarnya yang dimaksudkan dengan ahli bidah yang menjadi lawan polemik ahli hadis. Awalnya, ia mengutip hadis kelompok pembela kebenaran yang mendapat pertolongan Tuhan (ṭā’ifah al-manṣūrah). Kemudian tafsiran Imam Aḥmad bahwa kelompok itu tiada lain kecuali ahli hadis. Dia menyebut kelompok tersebut dengan penerus para salihin salaf yang meredam pengaruh ahli bidah dengan menyebarkan sunah-sunah Nabi saw. Mereka adalah orang-orang yang lebih memilih padang tandus dan makanan tanpa lauk daripada menikmati kehangatan bersama keluarga dan terpenuhinya semua kebutuhan. Mereka menikmati kekurangan dalam perjalanan, berkumpul dengan para ahlul ilmi dan riwayat-riwayat. Dalam mengumpulkan hadis, mereka menerima sisa-sisa roti dan pakaian yang lusuh. Mereka membuang kecenderungan menyimpang (ilhad) yang seringkali diinginkan oleh nafsu berikut dampaknya seperti bidah, berpikir bebas (al-hawā), analogi (al-maqāyīs), dan penyimpangan. Mereka menganggap masjid seperti rumah mereka, tiangnya menjadi bantal tempat bersandar, dan lantai sebagai alasnya. Al-Ḥākim juga meriwayatkan beberapa pernyataan tokoh hadis terkemuka bahwa tanda kezindikan ialah benci pada ahli hadis (1977: 2-3).
Di sini jelas, narasi al-Ḥākim menyiratkan sikap ideal para ahli hadis, yang lebih memilih menderita karena ilmu daripada kenikmatan duniawi, selain juga menjelaskan siapa lawan ahli hadis. Mereka adalah kelompok intelektual yang mendukung bidah, pemikiran bebas-spekulatif, pengguna qiyas dalam agama, mereka yang gemar berpendapat dan pelaku penyimpangan. Bahkan sikap keras ditemukan dalam sebuah riwayat dari seorang ulama besar saat itu dalam lanjutan narasi tadi, yang menyebut mereka dengan sebutan zindik dan kafir (1977: 4). Saling kritik, dan kadang kala cukup tajam, memang dapat dengan mudah ditemukan dalam narasi-narasi kitab Ulumul Hadis generasi pertama. Al-Rāmahurmuzī mengatakan dalam bagian pengantarnya (1984:159),
“Sekelompok orang (baca: intelektual) yang menilai buruk hadis dan membenci orang-orang yang bergelut dengannya mengeritik, lalu menyebut-nyebut kekurangan ahli hadis dan kehinaan mereka, mereka berlebihan dalam mencela dan mengata-ngatai. Allah telah memuliakan hadis dan kelebihan para pengkajinya. Meninggikan derajatnya serta mengokohkannya di atas pemikiran lain. Memajukannya atas setiap ilmu. Mengangkat nama orang yang menekuninya dan bersungguh-sungguh mengkajinya. Mereka adalah topi baja bagi agama dan menara argumen...sebagian dosen yang mempunyai posisi terhormat (di kerajaan) karena ilmu dan kelebihannya, bersikap kasar dan risau ketika bertemu dengan ahli hadis di kota Salam (Baghdad). Dia merasa susah ketika menyaksikan bila ada majlis lain, mimbar lain, yang didirikan bukan untuk dirinya. Orang-orang berjubel mendatangi majlis intelektual yang ilmu dan posisinya tidak sebanding dengan dirinya. Lalu dia menyindir ahli hadis dalam ceramahnya. Dia membuka sebagian karangannya, lalu mengatakan, ‘Ahli hadis akan ditinggalkan orang hingga ketika dia telah berumur delapan puluh tahun, dan ia mendekati kuburnya, maka dikatakan, guru itu mempunyai hadis lain (gharīb) tulislah.’ Ucapan ini tidak kurang sedikitpun ketika muncul dari ulama lain karena timbulnya rasa fanatis. Kebanyakan juga karena para ahli hadis sendiri yang hanya mengetahui tentang riwayat. Mereka tidak tahu apa-apa kecuali hadis. mereka tidak berfikir tentang selain itu. Mereka memang tokohnya. Tidak seorang pun di antara mereka yang disebut ahli pikir, tidak ada yang baik dari mereka kecuali periwayatan. Maka berperilakulah dengan perilaku ilmu. Dan rendahkan hati kepada orang yang punya hubungan dengannya. Dan jangan berpaling dari guru-guru yang diambil ilmunya. Para ahli hukum fikih telah memenuhi hak-hak kemuliaan guru mereka. Mereka juga tidak merugikan para rawi bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berhak berbicara tentang periwayatan. Mereka mendorong para rawi untuk memahami hadis dan para fakih mendalami hadis. Para ahli fikih itu mengakui keutamaan kedua kelompok (ahli hadis dan ahli fikih). Menganjurkan dipelajarinya dua keilmuan itu. Keduanya sempurna bila bersatu, penuh kekurangan ketika bercerai. Maka berpeganglah –semoga Allah menguatkan, pada hadis Nabi saw. jelaskan maknanya, pelajari hukum-hukumnya, berperilakulah dengan perilaku yang diajarkan di dalamnya, jangan pedulikan kritikan yang dialamatkan kepada ahli hadis tentang hobi mengumpulkan sanad dan mencari riwayat yang belum dimiliki.        

Paragraf ini menjelaskan posisi ahli hadis yang disudutkan dengan sebutan “pengumpul sanad”, “tidak tahu apa-apa kecuali teks riwayat”, dan pernyataan-pernyataan menyudutkan lainnya. Al-Rāmahurmuzi juga menyarankan agar ahli hadis mendalami fikih dan ahli fikih melengkapi diri dengan hadis. Keduanya bisa saling mendukung ketika diserang-kritik kelompok lain. Dia menyebut persaingan ketat itu terjadi di kota Salam, nama lain kota Baghdad (diingatkan oleh al-Khaṭib al-Baghdadi melalui tulisannya kitab Tārīkh Baghdad au Madinah al-Salām). Kondisi serupa dilaporkan Ibn Qutaibah al-Dīnawarī (213-276 H.). Dia menulis (2006: h. 50),
Amma ba’d. semoga Allah membutmu beruntung dengan menaatinya, serta meliputinya dengan perlindungan-Nya. Menolongmu memeroleh kebenaran dengan rahmat-Nya dan menjadikamu sebagai pembela-Nya. Anda menulis kepada saya memberitahu apa yang menimpamu soal kritik tajam ahli kalam terhadap ahli hadis, penghinaan mereka, penghujatan yang cukup panjang dalam kitab-kitab mereka, tuduhan menyebarkan kebohongan dan riwayat informasi yang kontradiktif hingga timbullah ikhtilah (kontroversi), banyaklah pemikiran-pemikiran, terputuslah tali pengikat, dan kaum Muslimin saling bermusuhan. Sebagian mengkafirkan yang lain. Setiap kelompok berpegang pada satu hadis membela mazhabnya.     

Ibn Qutaibah menyebut para pengkritik itu berasal dari para ahli ilmu kalam. Disebutkan pula, menurut mereka, ahli hadis merupakan penyebab perpecahan dan permusuhan sesama Muslim. Karena ketekunan mereka dalam riwayat (dengan mengabaikan dirayat) menjadikan mereka kurang waspada terhadap hadis-hadis yang saling bertentangan. Karangan itu ingin menjawab tuduhan kontradiktif dalam beberapa hadis, di samping menjawab pertanyaan yang lebih yaitu atas tuduhan ahli hadis sebagai biang kerok perpecahan umat. Ibn Qutaibah hidup pada era yang sama dengan Muslim bin ajjāj yang menjadi subjek tulisan ini. Artinya, wacana yang menyudutkan ahli hadis itu juga bakalan dirasakan olehnya. Tekanan-tekanan psikologis terhadap para pengkaji hadis –yang mendorong para penulis kelompok ahli hadis melakukan pembelaan-pembelaan atas keyakinan mereka, juga menjadi keprihatinan Muslim. Bahkan bisa dikatakan, era Muslim bin ajjāj merupakan puncak penderitaan ahli hadis karena wacana mereka harus menjadi oposan atas pilihan Negara (Ibn Kaṡīr: )
Sepertinya posisi ahli hadis –kelompok dimana Imam Muslim belajar- jelas berhadapan dengan siapa; kelompok intelektual rasional dan Negara di sisi lain. Inilah posisi ideologis para ahli hadis saat itu di mana mereka harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Selama abad kedua, ketiga, dan keempat sebagaimana dilihat dari tiga karya dalam ilmu hadis di atas, kondisi polemis itu tidak berubah sekalipun situasi sosial-politik telah banyak berubah. Para penerus mewarisi permusuhan dari para pendahulunya. Posisi ideologis ini pada akhirnya dapat dengan sedikit tepat menuntun kita pada bagaimana membaca Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim dalam konteks kesejarahannya, keberpihakannya, serta fungsi ideologisnya. Dan atas suatu alasan apa disiplin tertentu dirumuskan. Hal ini untuk menemukan kondisi-kondisi yang berbeda antara apa yang dihadapi para ahli hadis saat itu, dengan kondisi kita yang hidup di era sekarang. Tidak dapat ditampik memang, ada sisi-sisi kesamaan antara era kita dan masa lalu para ahli hadis. Namun kedua kitab kanonik tersebut misalnya, tidak dapat digunakan secara apa adanya seperti ketika keduanya lahir ke dunia menjawab tantangan-tantangan zamannya. Ada problem-problem yang berbeda dengan zaman kita. Masalah kebangsaan misalnya, atau polemik teologis (?) yang terjadi antara ideologi-ideologi intelektual saat itu yang jelas-jelas berbeda.    

Al-Tamyīz dan aḥīḥ Muslim: Kemungkinan Epistemologis dan Bukti-Bukti Ontologis... Pertanyaan Pembuka yang Mendasar...         
Imam Muslim bin ajjāj merupakan salah satu reprensentasi terbaik kelompok ahli hadis yang memberikan sumbangan cukup berharga terhadap khazanah ilmu hadis di satu sisi, penguatan basis epistemologis kelompok ini di sisi lain. Sekalipun pada umumnya para ahli hadis digambarkan sebagai orang yang penuh kekurangan seperti dikatakan al-Ḥākim, namun Imam Muslim bin ajjāj termasuk orang yang sejahtera sebagaimana digambarkan al-Żahabī. Dia digambarkan pedagang kaya yang sukses dan dermawan (ṣāḥib tijārah, muḥsin, lahu amlāk wa ṡarwah) (al-‘Ibar fi Khabar Man Ghabar: 375). Tidak ada alasan yang jelas mengapa dia lebih memilih menekuni hadis dibanding disiplin keilmuan lain. Dan memang akan banyak kesenjangan bila dilihat melalui perspektif pertentangan kelas. Bila menelaah struktur kitabnya yang ketat, yang dikatakan para ulama sangat baik susunannya (ḥusn al-tartīb wa al-ṣināʻah), bahasanya yang cenderung stabil-tidak emosional, bisa diperkirakan, ia memiliki profesionalitas serta kematangan yang cukup tinggi karena mampu mengelola tekanan emosinya. Pengantar terhadap kitab Ṣaḥīh dan al-Tamyīz tidak menunjukkan perselisihan dengan kelompok-kelompok di luar ahli hadis. Bahkan dia lebih banyak bicara mengenai parameter-parameter kesahihan. Kritiknya secara terbuka hanya ditujukan kepada para ahli hadis yang tidak jelas metodologinya. Melalui kitab al-Tamyīz yang berarti pemilahan, dia ingin menunjukkan prinsip yang harus dipahami para ahli hadis, bahwa kerja mereka ditujukan untuk memilah hadis-hadis yang sahih dari hadis-hadis yang lemah berdasarkan tingkat kualitas perawi. Yang mana menurutnya penelaahan itu sangat mungkin dilakukan dengan bukti-bukti yang ditunjukkannya dalam kitab tersebut sekalipun ada jarak sejarah antara kritikus dan objek kritiknya. Dia mengatakan (1982:169),
Anda –semoga Allah merahmati, menyebutkan sebelum Anda ada sekelompok intelektual yang mengingkari ucapan ahlul ilmi ketika mengatakan, “Ini hadis yang salah”, “Ini hadis yang sahih”, “Fulan salah dalam riwayatnya yang ini” “Yang benar adalah apa yang diriwayatkan Fulan berbeda denganyannya.” Anda menyebut pula mereka membesar-besarkan masalah itu ketika ada yang mengatakannya. Menurut mereka, pernyataan-pernyataan itu adalah bentuk penggunjingan terhadap orang-orang salaf saleh. Bahkan mereka mengatakan orang yang mengklaim bisa memilah riwayat-riwayat para salaf saleh yang salah dari yang benar, dia berarti mengada-ada dengan sesuatu yang tidak diketahuinya. Dia mengklaim mengetahui perkara gaib.  

Ungkapan Imam Muslim bin ajjāj ini cukup penting dicermati karena saya belum menemukan pernyataan semendasar itu. Dia mengungkap-dialogkan suatu problem kemungkinan diketahuinya otentisitas hadis, melalui pertanyaan mungkinkan bisa dibedakan riwayat-riwayat sahih dari riwayat-riwayat daif. Ketidakmungkinan didasarkan pada argumen epistemologis mengenai kemampuan mengakses data tentang kualitas rawi-informan. Bagaimanakah misalnya, cara mengetahui kualitas keagamaan dan kapasitas penjagaan seorang informan yang jauh dari kehidupan kita? Dimana mereka –pada abad ketiga hijriah, telah menyebar hampir di seluruh pinggiran Negara Abbasiyah. Bagaimana mengumpulkan data-data penting itu? Bagaimana proses analisis itu dijalankan? Sehingga sampai pada kesimpulan “Ini hadis yang salah”, “Ini hadis yang sahih”, “Fulan salah dalam riwayatnya yang ini” “Yang benar adalah apa yang diriwayatkan Fulan.”
            Pertanyaan lawan polemik Imam Muslim bin Ḥajjāj ini menjadi penting karena seperti dikatakan Azami bahwa kita yang hidup sekarang ini telah melupakan perbedaan yang signifikan antara metode generasi pertama dan belakangan. Generasi belakangan melakukan kritik hadis melalui hasil kerja ulama generasi pertama. Dan tanpa disadari, perbedaan itu diabaikan oleh tokoh seperti Nuruddin ‘Itr dan mengeneralisir bukunya sebagai representasi metode kritik para ahli hadis. Padahal tidak demikian adanya. Hal ini dibuktikan Azami dengan proses yang terbalik dalam praktik kritik hadis. Ketika seseorang hendak melakukan kritik hadis, dia akan memulai dengan mengkaji rangkaian rawi melalui apa yang dikatakan para ulama tentang rawi tersebut. Tujuannya ialah untuk mengetahui tingkat keadilan-kedaifannya. Aspek-aspek yang diteliti meliputi ketersambungan mereka dengan guru-gurunya, ada tidaknya syāż dan ‘illah, kemudian menyimpulkan kualitas sanad dan selanjutnya kualitas hadis. Prinsip kerjanya didasarkan pada komentar para ahli jarh-ta’dil. Padahal, komentar para kritikus itu seperti redaksi ṡiqah, ṣadūq, dan lainnya merupakan kesimpulan dari suatu kajian tersendiri terhadap rawi dimana hal itu di kalangan generasi awal merupakan bagian inti kritik hadis (1982: pembukaan). Pertanyaan yang diangkat Imam Muslim bin Ḥajjāj di atas merupakan salah satu pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan kemungkinan dilakukannya kritik terhadap informan hadis. Belum lagi terkait pertanyaan bagaimana hal itu dilakukan, melalui mekanisme seperti apa, dan dapatkah dibenarkan secara etis? Ightiyāb al-ṣāliḥīn merupakan gugatan etis terhadap praktik yang mungkin hendak dijalankan terhadap para intelektual Muslim yang saleh.
            Imam Muslim bin Ḥajjāj melangkah lebih jauh dengan menunjukkan bukan saja kemungkinan-kemungkinan epistemisnya, tapi juga terhadap praktik-praktik salaf dalam mengeksplorasi kualitas informan. Imam Muslim bin Ḥajjāj menunjukkan keragaman tingkat kualitas dan cara mengetahui tingkatannya. Dia memulai dengan mengatakan naturalitas luput dan lupa pada semua manusia termasuk dalam diri seorang ahli hadis yang paling kuat hafalannya sekalipun.
Tidak ada seorang rawi hadis atau pembawa aṡar salaf saleh, sekalipun ia orang yang paling kuat hafalannya dan paling teguh penjagaannya, kecuali ghalaṭ (keliru) dan sahw (lupa) sangat mungkin terjadi dalam hafalan dan riwayatnya. Lalu bagaimana dengan orang yang memang tidak memperhatikan hafalannya seperti yang saya jelaskan?

Prinsip ini menempatkan para ahli hadis, ulama, orang saleh jauh dari gambaran-gambaran idealnya yang seringkali mencerabutnya dari keterbatasan manusiawi. Pemeriksaan rawi mengandaikan para rawi  menjadi objek yang dapat diamati, dilihat kekurangan-kekurangannya. Sekalipun ia dikenal memiliki hafalan yang kuat serta memiliki ketokohan yang tiada duanya. Imam Mālik bin Anas yang dalam kitab-kitab ulum al-adīs generasi akhir diistimewakan dalam kelompok yang tidak perlu diperiksa, nyatanya Imam Muslim bin ajjāj menerapkan pula pemeriksaan terhadapnya. Dan ditemukan beberapa kesalahan (ghala) dalam riwayatnya (Muslim, 1982: 219-220). Selanjutnya, Imam Muslim memaparkan banyak contoh dan ragam kelemahan rawi. Pemeriksaan diarahkan pada aspek perbedaan riwayat (hum ikhtalafū fīhi). Istilah-istilah mukhālafat al-jamāʻah, ghalat, khaa’, wahm, wāhin yadfaʻuhu al-iḥāḥ, fāḥisy al-wahm, fāsidah bi lāāḍid, ittifāq al-‘ulamā’ ‘ala ihmālihi, dan ghala wa taṣḥīf muncul dalam telaah-telaah Imam Muslim bin ajjāj. Istilah-istilah itu pada generasi belakangan berevolusi menjadi istilah baku dalam kategori hadis lemah. 
Dengan demikian, dapat dengan sederhana diketahui metode penilaian rawi ialah melalui perbandingan riwayat dimana hal itu meniscayakan penguasaan yang luas terhadap sumber-sumber hadis, mata rantai, dan ragam redaksi. Kekayaan riwayat menjadi keniscayaan tersendiri dalam membentuk kecakapan kritis ini. Kritik rawi-sanad –selanjutnya kritik hadis, tidak bisa dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki syarat semacam itu. Karenanya, Imam Muslim bin ajjāj menegaskan, bahwa yang berhak memegang otoritas ini adalah ahli hadis. Orang yang banyak bergelut dengan hadis dan memiliki banyak riwayat. Dia mengatakan (1982: 218),
Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu, keahlian dalam hadis dan pengetahuan mengenai faktor-faktor kesahihan dan kedaifan, merupakan otoritas khusus ahli hadis. Mereka para huffāẓ (penghafal, penjaga) riwayat-riwayat yang berasal dari generasi sebelumnya yang mengetahui secara baik riwayat-riwayat tersebut. Bukan selain mereka. Sebabnya, dasar yang mereka pegangi dalam beragama ialah sunah-sunah dan aar-aar yang diriwayatkan dari masa ke masa, sejak masa Nabi saw. sampai masa kita sekarang. Tidak ada jalan bagi orang-orang yang membuangnya serta menyalahi mereka dalam pemikiran untuk mengetahui hadis, tokoh-tokohnya yang terdiri dari ulama-ulama yang hidup di kota-kota besar dari waktu ke waktu...ahli hadis adalah mereka yang mengetahui, dapat memilah dan menilai sisi-sisi positif dan negatif (jar-taʻdīl). Kami perlu menyebutkan ini agar orang yang tidak mengenal mazhab ahli hadis –yaitu mereka yang masih mau belajar dan sadar, bisa mengetahui cara penerimaan rawi dan penolakan terhadapnya, lalu dia tahu argumen-argumen dan dalil-dalilnya..      

aḥīḥ Muslim: Sindiran atas Moralitas Kaum Ahli Hadis    
Pemikiran ini tidak berhenti pada pemaparan contoh-contoh kritik hadis melalui mekanisme mu’āraat al-riwāyah, tapi berlanjut pada penyusunan mahakarya yang melambungkan namanya di kemudia hari, aḥīḥ Muslim. Kitab yang dikenal oleh katalog-katalog besar dengan nama panjang al-Musnad al-aḥīḥ al-Mukhtaar min al-Sunan bi Naql al-‘adl ‘an al-‘adl ‘an rasūlillāh allā allāh ‘alaihi wa sallam ini merupakan pembuktian secara ontologis terhadap proyek yang dikembangkannya dalam al-Tamyīz. Imam Muslim bin al-ajjāj juga memberikan paparan yang cukup luas dalam pengantar aḥīḥ­-nya. Seperti posisinya dalam al-Tamyīz, dia mengarahkan kritiknya pada kelompok ahli hadis yang saat itu mengalami krisis moral dan disorientasi berupa mengidealkan hobi mengoleksi sanad (bersaing memperbanyak riwayat), maraknya gengsi sanad yang lebih tinggi (‘āli), dan memuja riwayat-riwayat gharib karena dianggap memiliki nilai prestis. Imam Muslim sendiri pernah merasakan bagaimana harga diri seorang pelajar hadis bisa luntur bila tidak memiliki riwayat yang sedang marak dibicarakan orang dalam forum-forum pertemuan hadis (mużākarah). Dia langsung pulang dan mengecek koleksinya apakah ada riwayat tersebut dalam buku-buku miliknya, sehingga pada akhirnya ia menemukannya. Seorang ahli hadis saat itu akan sangat bangga bila memiliki banyak riwayat, terlebih yang aneh-aneh dan tidak dimiliki orang lain.
aḥīḥ Muslim dengan demikian memiliki tujuan yang cukup ambisius untuk meluruskan orientasi etis para ahli hadis yang terjebak dalam kebanggaan semu. Pengembangan ide otentisitas dilakukan semaksimal mungkin dengan penjelasan-penjelasan yang bersifat objektif dan empiris. Menariknya, Imam Muslim menguraikan dengan menggunakan teknik dialog-monolog. Melalui narasi tanya jawab dengan seorang subjek imajiner dan disampaikan menggunakan teknik iltifāt pengubahan bentuk subjek, dia mendiskusikan premis-premisnya, sistematika kitab, serta tujuan asasi dari karangannya itu. Enam sub bab selanjutnya menjelaskan mengenai landasan normatif serta legalitas epistemologi yang digunakannya dalam melakukan kritik.
Kritik yang sangat jelas itu misalnya seperti dalam paragraf berikut ini (aḥīḥ Muslim, 2011, h. 6),
Bila saja tidak ada fenomena yang kami lihat sendiri yaitu maraknya perilaku buruk dari mereka yang mengaku ahli hadis namun malah menyebarkan hadis-hadis lemah dan riwayat-riwayat munkar, dan mengesampingkan hadis-hadis sahih-masyhur..niscaya tidak gampang berdiri menjawab permintaanmu untuk memilah dan menghasilkan karya. Tapi karena apa yang sudah kami paparkan kepadamu tentang perilaku kaum ahli hadis yang menyebarkan hadis-hadis munkar, sanad-sanad lemah dan majhul, menyebarkannya kepada orang awam yang tidak mengerti sisi lemah (aib)nya, ringanlah bagi hati kami menjawab permohonanmu.

Imam Muslim bin al-ajjāj tidak mengarahkan kritiknya pada kelompok intelektual dari disiplin lain sebagaimana Ibn Qutaibah, al-Rāmahurmuzī atau al-Ḥākim al-Naisābūrī. Kritiknya lebih ditujukan pada internal ahli hadis sendiri yang memiliki orientasi keilmuan yang tidak baik. Kemungkinan fenomena itu sangat marak sehingga cukup meresahkannya. Belum lagi bila melihat wacana kualitas ahli hadis yang diwacanakan bukan saja oleh kelompok ahli hadis sendiri tapi juga oleh kelompok di luar itu, membuktikan kecenderungan umum ahli hadis. Di sinilah jasa beliau dalam meluruskan orientasi keilmuan ahli hadis dengan sebuah bukti kerja keilmuan yang mahaserius, mengaplikasikan ide otentisitas secara ketat. Dikatakan, menurut Imam Muslim bin al-ajjāj bahwa riwayat-riwayat yang terdapat dalam ahīḥ Muslim merupakan saringan dari tiga ratus ribu riwayat yang diperoleh secara simāʻ (mendengar langsung). Setiap hadis yang dicantumkan memiliki argumentasi otentisitas dan bukti-bukti yang kuat. Imam Muslim membagi kitabnya dalam tiga bagian dan tiga tingkatan kualitas rawi. Bagian pertama memuat hadis-hadis yang paling bersih dari kecacatan dimana rawi-rawinya merupakan orang yang konsisten dalam periwayatan hadis (ahli istiqāmah fī al-adīṡ), memiliki ketelitian tingkat tinggi (ahl itqān li mā naqalū) sehingga tidak dijumpai perbedaan yang mencolok dalam riwayat mereka (ikhtilāf syadīd), campur-aduk antar beberapa riwayat yang parah (takhlīṭ fāḥisy). Orang-orang yang memiliki karakter semacam itu mempunyai tingkatan-tingkatannya sendiri. Tingkatan paling tinggi terkadang membuat sebagian orang merasa sungkan melakukan penilaian. Padahal, bagi Imam Muslim, penilian terhadap hadis-hadis mereka tetap harus dilakukan untuk menguji ketepatan riwayat mereka (Ṣaḥīḥ Muslim, 2011: h. 5).
Maka tidak direndahkan orang yang mempunyai derajat yang mulia, dan tidak pula ditinggikan orang yang berderajat ilmu rendah melebihi posisi yang seharusnya. Setiap hak harus diberikan kepada yang berhak atasnya dan diposisikan sesuai tempatnya.

Imam Muslim mendasarkan pada riwayat ‘Āisyah r.a. yang menginformasikan perintah Rasulullah saw. agar menempatkan orang sesuai derajatnya. Hal itu sesuai dengan QS. Yusuf :76, ada yang lebih alim dari setiap yang punya ilmu. Sedangkan orang-orang yang mendapatkan tuduhan (muttaham) melakukan kesalahan dalam pandangan ahli hadis, riwayatnya tidak dimasukkan dalam kitabnya. Lebih-lebih orang yang dalam riwayatnya ditemukan banyak perbedaan dengan kelompok besar yang teliti (baca; munkar). Pengujian riwayat itu sendiri dilakukan dengan cara mu’āraah (aḥīḥ Muslim, 2011, h. 6). Bukan saja melalui informasi personal yang diperoleh melalui pengamat rawi seperti sebelumnya. Sedangkan para rawi yang diakui memiliki ketelitian namun ternyata dalam riwayatnya ditemukan tambahan redaksi, maka redaksi itu bisa diterima dan tidak menurunkan derajat keilmuan mereka.
            Kerja keilmuan semacam ini berujung pada diperolehnya informasi (hadis) yang otentik sebagaimana dituntut oleh nilai-nilai normatif Islam. Baik yang disebutkan Alquran, hadis-hadis Nabi saw. maupun praktik para intelektual generasi awal yang dinilai memiliki otoritas keagamaan tertentu. Pola kerjanya berupa penyaringan informasi secara ketat. Hal ini meniscayakan suatu mekanisme penyaringan-pengukuran yang tepat. Itulah yang disebut Imam Muslim dengan metodologi ahli hadis atau mażhab al-qaum. Cara para ahli hadis mengukur dan menilai kebenaran suatu informasi. Sebuah kerangka bernalar yang oleh al-Jabiri disebut dengan al-‘aql al-mukawwan, kaidah-kaidah berfikir yang digunakan oleh kelompok akademik tertentu. Hal ini sekaligus menunjukkan kekurangan al-Jabiri dalam memetakan ragam epistem dalam dunia Islam. Dimana dia membatasi pada tiga epistem besar, Bayānī, Irfānī dan Burhānī, dengan memasukkan ahli hadis dalam kerangka Bayānī karena didasarkan pada anggapan posisinya sebagai mekanisme keilmuan yang bertujuan meneguhkan eksistensi teks. Hal ini tentu saja tidak tepat. Objek studi mażhab al-qaum bukan teks hadis an sich, tapi lebih banyak diarahkan pada subjek-subjek hidup yang membawanya.    

Penutup
Tulisan ini mengapresiasi Imam Muslim bin al-ajjāj yang memiliki peran besar dalam pembentukan ilmu hadis. Jasanya yang terbesar terutama mengembalikan para ahli hadis kepada jalan yang seharusnya; menjaga (otentisitas teks) agama di muka bumi melalui ide(ologi) kesahihan. Imam Muslim melancarkan kritik terhadap internal ahli hadis yang terjebak dalam kebanggaan semu; sebuah obsesi mengumpulkan banyak sanad (al-ikṡār fī al-isnād), memburu sanad tertua (alab ālīmin al-isnād), serta hadis-hadis tidak populer (gharabah). Para ahli hadis harus kembali kepada posisinya yang semula.
Ahli hadis merupakan kelompok intelektual yang berdialektika dengan kondisi zamannya, terlepas dari kritikan yang diarahkan kepada mereka. Para ahli hadis sendiri telah melakukan koreksi atas dirinya sendiri. Mażhab al-qaum atau yang dikemudian hari dikenal dengan naqd rijāl yang bertujuan menguji otentisitas teks-teks keagamaan yang digunakan masyarakat Muslim di setiap masa. Sama seperti sekarang, masyarakat Muslim pada saat itu menggunakan hadis, hanya saja obsesi-obsesi semu ahli hadis telah memancing kritik terhadap mereka. Dalam pandangan Imam Muslim bin al-ajjāj, mażhab al-qaum merupakan kritik terhadap kaum (baca: ahli hadis) itu sendiri untuk memperbaiki kondisi mereka. Mungkin  lebih tepat kalau apa yang dilakukan Imam Muslim bin al-ajjaj kita sebut sindiran.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api