Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2013

Hadis Transformasi Khilafāh; Otentisitas, Pemaknaan dan Perang Ideologi (Kritik Sanad dan Matan)

*M. Khoirul Huda I.     Pendahuluan Pasca keruntuhan simbol politiknya pada bulan Maret 1924 oleh Perlemen Turki, kaum muslimin harus berfikir keras merumuskan bagaimana dan seperti apa kehidupan politik mereka selanjutnya. Bentuk negara bangsa, monarkhi, atau bentuk lain yang merepresentasikan lokalitas sepertinya diambil oleh seluruh bangsa beragama Islam. Sebagian berdiri di atas puing dinasti yang pernah berdiri sebelumnya, sebagian lagi mengadopsi sistem politik modern seperti republik, dan yang lain mencoba mengawinkan antara kerajaan dan sistem perpolitikan modern seperti monarkhi konstitusional-parlementer.

Kanonisasi Sahihain Perspektif Jonathan Brown; Pembentukan dan Fungsinya bagi Tradisi Hadis Sunni[1]

M. Khoirul Huda chairool _hoeda@yahoo.co.id _ ABSTRAK Umumnya, kanonisasi diaplikasikan untuk melacak proses menjadi kitab suci suatu agama. Berbeda dengan Jonathan Brown yang menggunakannya untuk membaca kesejarahan Sahihain. Historisitas Sahihain yang dibongkar melalui proses kanonisasi memperlihatkan keunikan pandangan Brown di satu sisi, juga mengungkap beberapa sejarahtentang fungsi sosial Sahihain, pembentukan wajah keislaman muslim modern, dan tentu saja memperlihatkan proses-proses kesejarahan sunnisme atau yang dikenal dengan ahlus-sunnah wal jamaah yang ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang.Sunnisme bukanlah mazhab yang telah jadi , tapi suatu proses keberislaman yang masih menjadi dengan hadirnya intrumen baru dari suatu peradaban dengan tanpa menghilangkan jati dirinya; sanad orientid . Kata Kunci: Kanonisasi, Sahihain, Jonathan Brown.

Hermeneutika Perspektif Maqasid Syariah [1]

Chairul Huda Muhammad   1.          Pendahuluan “Pemeluk agama hanya menjalankan teks-teks suci, sedang para agamawan mengkritisi ajaran-ajaran suci.” Kutipan ini berasal dari Sholeh UG, penyunting buku Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran, saat memberikan pengantar untuk buku tersebut. Fenomena ini sudah cukup umum dalam komunitas agama-agama. Kahlil Gibran yang hidup dalam tradisi Kristen Lebanon memahami betul akan fenomena itu, kemudian dia tuangkan temuannya tersebut dalam sosok Affandi Karamy dan Pendeta Galib. Affandi Karamy merupakan seorang kaya yang jujur lagi taat beragama. Sedangkan pendeta Galib adalah sosok agamawan terkemuka yang cerdas dan mempunyai jaringan luas. Sayangnya, Gibran menggambarkan sosok terakhir ini sebagai orang yang mudah mencarikan justifikasi agama, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga maupun kolega-koleganya. Baiklah, sementara kita kesampingkan narasi sang pujangga di atas, dan kita beralih pada fenomena “mengkritisi ajaran suci”.

Maqāsid dalam Pemahaman Hadis; Bedah Pemikiran Hadis Ibnu ‘Āsyur dalam Maqāsid Syarī’ah al-Islāmiyyah

*Chairul Huda Muhammad Abstrak Ibn Ā sy ūr merupakan guru kedua [ al-mu ‘allim al-tsāni ] dalam maqāshid al-syarī‘ah, setelah al-Syāthibi. Dalam perkembangan kontemporer, pemikiran maqāshid al-syarī‘ah telah meluas mulai dari lapangan fiqh, ushūl al-fiqh, tafsir dan bahkan strategi kebijakan perusahaan/negara. Tulisan ini berusaha membedah konsep maqāshid al-syarī‘ah Ibn Āsyūr dalam bukunya Maqāshid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah , terutama relasinya dengan model pemahaman hadis. Ketika maqāshid al-syarī‘ah menjadi asumsi awal, pra-pemahaman, dan perspektif tentunya hasil penilaian akan berbeda jika kita menggunakan perspektif lain. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam pemikiran Ibn Āsyūr seperti yang akan dikaji dalam tulisan ini.