Hadis "Pasukan Panji Hitam" dan Penggunaanya dalam Sejarah Politik Muslim Abad Pertengahan


M. Khoirul Huda

A.     Pendahuluan
Munculnya kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) melahirkan perdebatan di kalangan akademik. Bagi para pengkaji hadis, wacana yang mereka hadirkan banyak bersumber dari hadis-hadis Nabi. Hal ini menjadi isu menarik bagi para pengkaji hadis Nabi saw.

Penggunaan hadis untuk mendukung agenda politik kekuasaan merupakan fenomena yang jamak terjadi dalam dunia Islam. Berdirinya Daulah Bani Abbas pada abad kedua hijriah misalnya banyak didukung dengan kampanye politik yang menggunakan hadis-hadis Nabi tentang akhir zaman. Baik hadis-hadis sahih maupun yang lemah dan palsu. Para ulama hadis sudah berusaha menjernihkan persoalan dengan meneliti hadis-hadis tersebut berikut kepalsuannya. Bahkan, setelah berdirinya Daulah Bani Abbas para sarjana yang pro terhadap pemerintah saat itu mengembangkan hadis palsu dan lemah. Para ulama hadis berupaya menjernihkan situasi dengan melakukan kritik hadis. Namun, situasi saat itu sungguh unik. Pemerintah berhasil menarik simpati hampir seluruh elemen masyarakat Muslim. Terbukti berbondong para sarjana dan cerdik cendekia datang menuju pusat kota Baghdad. Kedatangan mereka merupakan bentuk dukungan dan restu terhadap pemerintahan ini. Baghdad merupakan saksi sejarah bahwa hadis Nabi pernah digunakan mendongkrak popularitasnya.[1]


Banyak umat Islam yang beranggapan bahwa ketika suatu peristiwa memiliki rujukan dalam kitab sucinya, maka berarti itu adalah perwujudan janji Tuhan. Demikian pula ketika terjadi peristiwa kemudian memiliki aspek kemiripan sumber yang diidentifikasi sebagai pernyataan Nabi, adalah bentuk perwujudan dari kebenaran pernyataan beliau. Sebagian orang menyebutnya mukjizat. Yang menunjukkan kehebatan Nabi saw. karena dia mampu membicarakan kejadian masa depan secara tepat. Namun, seringkali isyarat futuristik Nabi saw. dalam sejarah Islam, merupakan penafsiran sepihak oleh kelompok tertentu. Mereka mencoba melakukan semacam ‘kontekstualisasi’ kandungan hadis. Para ulama pun bangkit melawan tafsir keagamaan spekulatif-imajinatif semacam itu.[2]

Akhir-akhir ini, ada sekelompok Muslim yang menggunakan hadis-hadis Nabi untuk menarik perhatian seluruh kaum Muslimin. Mereka berusaha membujuk agar kaum Muslimin bergabung dengan mereka, karena mereka merasa sebagai kelompok yang dijanjikan oleh Nabi sebagai pahlawan akhir zaman. Memenangkan pertempuran dan membawa kejayaan kaum Muslim. Fenomena semacam ini bukan perkara baru dalam sejarah umat Islam. Selama berabad-abad sejak era Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani Abbas di Timur Tengah hingga Pangeran Diponegoro di Jawa, aktor-aktor politik sudah menggunakan hadis akhir zaman sebagai alat mobilisasi massa.
Tulisan ini akan mengulas hadis-hadis tersebut dan menunjukkan tafsir-tafsir (baca: kontektualisasi)-nya pada suatu masa. Pertama, kami akan mengulas eksistensi hadis 'pahlawan akhir zaman' tersebut dalam perspektif ilmu hadis. Kedua, penggunaan hadis-hadis tersebut dalam peristiwa politik. Ketiga, kontekstualisasi terhadap hadis-hadis tersebut oleh aktor-aktor sejarah. Keempat, penggunaan hadis dalam aktifitas politik. Dan kelima, penutup.
Sedangkan pokok kajian akan dibatasi pada hadis-hadis yang bertemakan 'pasukan panji hitam' (ashab rayah al-sud). Data diperoleh dari kitab-kitab hadis dan buku-buku sejarah yang dinilai otoritatif dalam tradisi Islam. Yaitu buku sejarah yang ditulis ulama klasik yang menggunakan pendekatan kritik hadis dalam menyeleksi informasi sejarah.
Data hadis kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan peristiwa politik dalam suatu babakan sejarah tertentu. Hadirnya hadis dalam peristiwa politik diasumsikan melibatkan motif politik para aktor yang menggunakan hadis tersebut. Pada masa di mana agama mendominasi cara berfikir massa, tentu justifikasi teks-teks agama sangat berpengaruh kuat dalam imajinasi mereka. Dalam model analisis wacana kritis, sebuah informasi selalu mengalami proses inklusi dan ekslusi (penyaringan untuk suatu kepentingan), pembingkaian (framming), yang disertai penafsiran tertentu, kemudian digunakan untuk mendukung suatu gagasan kunci yang disebut ideologi. Kritik ideologi di sini menjadi penting dilakukan untuk membongkar struktur wacana, inti, dan fungsinya dalam suatu diskursus politik. Karenanya, analisis wacana kritis meniscayakan sejumlah penilaian kritis terhadap; teks, konteks, produsen teks, dan motif-ideologi. Rukun analisis wacana kritis ini haram ditinggalkan untuk mengetahui penafsiran teks. 

B.     Landasan Metodologi: Peta Kajian Hadis-Hadis “Pasukan Panji Hitam”
Hadis-hadis yang membicarakan akan datangnya pasukan panji hitam umumnya disebutkan, atau menjadi bagian dari topik besar kitab-kitab hadis, yaitu dalam topik al-fitan (kekacauan). Topik ini merupakan salah satu tema utama kitab-kitab hadis. Umumnya digunakan istilah kitab al-fitan dan/atau seringkali diberi tambahan judul tertentu seperti al-fitan wa al-malahim. Kitab-kitab induk hadis hampir seluruhnya membuat topik khusus ini. Dari keenam kitab induk hadis (kutub al-sittah) hanya Sunan al-Nasa’i yang tidak membuat topik khusus ini.[3] Sekalipun demikian, ada satu sub bab yang mengulas tema al-firar bi al-din min al-fitan (menjauhkan agama dari konflik).[4]
Selain menjadi topik pokok kitab-kitab hadis babon, tema ini juga membuat sebagian ulama ahli hadis menyusun karya tersendiri. Karangan independen pertama yang muncul dalam catatan sejarah intelektual berjudul Kitab al-Fitan karya Abu Abdillah Nu’aim bin Hammad al-Marwazi (229 H./844 M.). Edisi cetaknya tidak kurang dari 400 halaman. Karya ini dianggap paling awal karena dikarang pada paruh pertama abad ketiga hijriah. Era paling dinamis dalam sejarah pengkajian hadis Nabi saw.
Mulai paruh kedua abad ketiga hijriah sampai beberapa abad kemudian, tidak ada karangan khusus mengenai topik al-Fitan. Topik al-fitan pada era ini hanya menjadi bagian dari topik besar kitab-kitab hadis karya al-Bukhari (256 H.), Muslim (261 H.), Abu Dawud (275 H.), al-Tirmidzi (279 H.), Ibnu Majah (273 H.), dan al-Nasa’i (303 H).
Baru pada abad kelima, melompat dua abad, seorang bernama Abu ‘Amr Uthman bin al-Muqri’ al-Dani (444 H.) menyusun kitab berjudul al-Sunan al-Waridah fi al-Fitan wa Ghawa’iluha wa al-Sa’ah wa Ashratuha (Sunnah-sunnah yang berbicara tentang kekacauan akhir zaman, tipu dayanya, kiamat dan tanda-tandanya). Edisi cetakannya terdiri dari enam juz dalam satu jilid. Kitab ini memiliki 1374 halaman. Kitab yang sangat tebal.
Tiga abad berikut, abad kedelapan, Ibnu Kathir (774 H.) menyusun kitab al-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim (Ensiklopedi Hadis Lengkap tentang Kekacauan dan Perang Akhir Zaman). Dicetak dalam dua jilid besar sekitar 300-400 halaman. Judul kecil kitab ini sepertinya mengikuti Abu Dawud dalam kitab al-Fitan wa al-Malahim.
Sarjana Timur Tengah yang mengarang topik fitan ini, di antaranya Muhammad Ahmad al-Mubayyadh dalam sebuah ensiklopedi berjudul al-Mausu’ah Fi al-Fitan wa al-Malahim wa Ashrat al-Sa’ah (2006). Buku memiliki ketebalan kurang lebih delapan ratus halaman.
Kemudian Abu Ubaidah Mashhur bin Hasan Alu Sulaiman menyusun buku berjudul al-Tahdzib al-Hasan li kitab al-‘Iraq fi Ahadith wa Athar al-Fitan (2007). Terdiri dari sekitar 400 halaman.
Karangan-karangan jenis ini juga berkembang di Indonesia. Dan karena itu, istilah seperti imam mahdi, akhir zaman, dajjal, ya’juj wa ma’juj, pasukan panji hitam, dan lainnya cukup populer. Buku-buku yang mengulas topik semacam itu cukup laris di pasaran buku Indonesia. Baik di kalangan pengkaji agama maupun masyarakat awamnya. Di dunia pesantren, kitab-kitab yang mengulas tentang sejarah dunia, dari awal penciptaan hingga akhir zaman banyak diajarkan. Dalam dunia populer Indonesia, buku-buku yang merupakan adopsi ataupun terjemahan ide-ide yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi saw. 
 Strategi promosi narasi 
perang akhir zaman
Dari gaya populer semacam ini, gagasan tentang akhir zaman dapat dicerna pikiran masyarakat luas. Terutama melalui media internet, gagasan tersebut terus dipompakan ke dalam benak mereka. Sebagian mengendap menjadi ideologi statis. Tanpa perlu mengerti apa sebenarnya yang ada di balik kampanye tersebut. Dalam tahap ini, hadis-hadis Nabi sudah dilengkapi dengan penafsiran-penafsiran tentang aktor-aktor yang diramalkan. Bahkan, saat ini, penafsiran itu telah berhasil menarik banyak orang untuk bergabung mengimani penafsiran tersebut. Bahwa apa yang mereka lakukan dan terjadi pada mereka adalah faktualitas sabda Nabi tentang akhir zaman. Orang awam yang sudah beriman terhadap hadis sebelumnya, serta tidak pernah mendapatkan pengajaran kritis terhadap penafsiran hadis, akan mudah terpengaruh pada penafsiran sewenang-wenang tersebut.
Kembali kepada topik kita, bahwa pada prinsipnya persoalan ini timbul dari penafsiran terhadap hadis-hadis akhir zaman. Referensi paling awal, muncul pada abad ketiga hijriah. Yaitu melalui kitab al-Fitan karya Abu Abdillah Nu’aim bin Hammad al-Marwazi (229 H./844 M.). Dalam penelusuran penulis terhadap hadis-hadis pasukan panji hitam, hadis-hadis pasukan panji hitam disebutkan dalam sejumlah kitab sebagai berikut: 

No.
Nama Kamus Takhrij
Simbol
Arti Simbol
1.
Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah Ila al-Jami’ al-Shaghir[5]
حم
ك
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
2.
Kanz al-‘Ummal[6]
حم
ك
ت
هـ
ابن المنادي
نعيم
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
Al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi
Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah
Ibnu al-Munadi dalam al-Malahim
Nu’aim bin Hammad dalam al-Fitan
3.
Kasyf al-Khafa’ Wa Muzil al-Ilbas[7]
أحمد
الحاكم
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
4.
Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a bi al-Nazhar fi Kutub al-Amajid[8]
البزار
Al-Bazzar dalam Musnad al-Bazzar

               Data ini menunjukkan bahwa hadis pasukan panji hitam disebutkan dalam tujuh kitab hadis. Meliputi Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, al-Fitan, al-Malahim, Musnad al-Bazzar dan al-Mustadrak. Berdasarkan penelusuran terhadap kitab-kitab tersebut, ditemukan hadis sebagai berikut;



No.
Penulis Kitab
sanad
Matan
01.
Ahmad bin Hanbal[9]
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا رِشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ فِي حَدِيثِهِ: قَالَ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ:
" يَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ، لَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَاءَ "

02.
Ahmad bin Hanbal[10]
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّودَ قَدْ جَاءَتْ مِنْ قِبَلِ خُرَاسَانَ، فَأْتُوهَا؛ فَإِنَّ فِيهَا خَلِيفَةَ اللهِ الْمَهْدِيَّ "

03.
Ibnu Majah[11]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ، قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ الرَّحَبِيِّ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ، كُلُّهُمُ ابْنُ خَلِيفَةٍ، ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ، فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلًا لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ» - ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا لَا أَحْفَظُهُ فَقَالَ - فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ، فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ "
04.
Al-Bazzar[12]
وَحَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ سَهْلٍ، قَالَ: نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاهِرٍ الرَّازِيُّ، قَالَ: نا أَبِي، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ فِتْيَةً مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَاغْرَوْرَقَتَا عَيْنَاهُ، وَذَكَرَ الرَّايَاتِ السُّودِ، فَقَالَ: «فَمَنْ أَدْرَكَهَا فَلْيَأْتِهَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ» وَهَذَا الْحَدِيثُ لَا نَعْلَمُ رَوَاهُ عَنِ الْحَكَمِ إِلَّا ابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَلَا نَعْلَمُ يُرْوَى إِلَّا مِنْ حَدِيثِ دَاهَرِ بْنِ يَحْيَى، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَدَاهِرٌ هَذَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ صَالِحُ الْحَدِيثِ، وَإِنَّمَا يُعْرَفُ مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ
05.
Al-Hakim[13]
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَرُومَةَ، ثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمُ ابْنُ خَلِيفَةَ، ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيُقَاتِلُونَكُمْ قِتَالًا لَمْ يُقَاتِلْهُ قَوْمٌ - ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا فَقَالَ - إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ، فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ "
06.
Al-Tirmidzi[14]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا رِشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«تَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ لَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَاءَ» هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ "

07.
Nu’aim bin Hammad[15]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا رِشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ الْمَهْرِيِّ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ الْأَيْلِيِّ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«تَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ لَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَاءَ» يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ "



skema sanad hadis pasukan panji hitam

Menurut ilmu hadis, untuk mengetahui otentisitas sebuah hadis, diperlukan penilaian kritis terhadap sumber hadis. Sumber hadis di sini merupakan perawi-perawi yang terdapat dalam sanad. Selain para penulis kitab hadis. Di sini, keterpercayaan sebuah informasi ditentukan oleh tingkat keterpecayaan terhadap sumber atau perawinya. Penilaian ditujukan pada tiga aspek yang meliputi; konsistensi dalam menjalankan ajaran agama (‘adalah), kekuataan hafalan (dhabth),  dan hubungan guru-murid masing-masing (ittishal). Hafalan dan keberagamaan di sini didasarkan pada hal-hal yang dapat diamati oleh indera. Demikian pula dengan keterbuhungan masing-masing perawi. Bukan merujuk kepada unsur-unsur abstrak yang ada dalam diri manusia seperti aspek mental, keyakinan dan klaim pertemuan.  

Dalam skema di atas, terdapat 35 orang perawi. Tiga di antaranya merupakan perawi level sahabat yang dalam tradisi kritik hadis Sunni dianggap tidak perlu diteliti. Berarti terdapat 32 orang perawi.

Guru
al-Dzahabi
Ibnu Hajar
Wafat
Nama
No.
Rasulullah
Sahabi
Sahabi
57 H.
Abu Hurairah
01.
Abu Hurairah
Alim Rabbani
Lahu Ru’yah
80 H.
Qabishah bin Dzuaib
02.
Qabishah
Ahad a’lam
Faqih, hafizh
125 H.
Ibnu Syihab
03.
Ibnu Syihab
Ahad al-athbat
Tsiqah
159 H.
Yunus bin Yazid
04.
Yunus bin Yazid
Sayyi’ul Hifzh
Dhaif, Mukhtalith
188 H.
Risydin bin Sa’d
05.
Risydin bin Sa’d
Thiqah
Thiqah
220 H.
Yahya bin Ghailan
06.
Risydin bin Sa’d
-
Thiqah
240 H.
Qutaibah bin Sa’id
07.
Yahya dan Qutaibah
Imam
Imam, Thiqah
241 H.
Ahmad bin Hanbal
08.
Qutaibah bin Said
Al-Hafizh
Ahad al-Aimmah
279 H.
Al-Tirmidzi
09.


No.
Nama
Wafat
Ibnu Hajar
Dzahabi
Guru
01.
Thauban
54 H.
Sahabi
Sahabi
Rasulullah
02.
Abu Asma’
Khilafa Abdul Malik
Thiqah
Wuthiqa
Thauban
03.
Abu Qilabah
105 H.
Kibar Tabi’in
Thiqah Fadhil
Abu Asma’
04.
Ali bin Zaid
-----
--------
----------

05.
Syarik
177 H.
Saduq, Yukhthi’
Ahad A’lam

06.
Waki’
196 H.
Thiqah
Ahad A’lam

07.
Ahmad bin Hanbal
241 H.
Imam, Thiqah
Imam


No.
Nama
Wafat
Ibnu Hajar
Dzahabi
Guru
01.
Thauban
54 H.
Sahabi
Sahabi
Rasulullah
02.
Abu Asma’
Khilafa Abdul Malik
Thiqah
Wuthiqa
Thauban
03.
Abu Qilabah
105 H.
Kibar Tabi’in
Thiqah Fadhil
Abu Asma’
04.
Khalid al-Haddza’
142 H.
Thiqah, Yursil
Hafizh, thiqa
Abu Qilaba
05.
Sufyan al-Tsauri
161 H.
Thiqa, hafizh
Ahad a’lam
Khalid
06.
Abdurrazzaq
211 H.
Thiqa, hafizh, thaghayyara fi akhiri umrih, tasyayya’a
Ahad a’lam
Sufyan
07.
Ahmad bin Yusuf
264 H.
Hafizh, thiqa
Hafizh, thiqa
Abdurrazzaq
08.
Muhammad bin Yahya
243 H./258 H.
hafizh
hafizh
Abdurrazzaq
09.
Ibnu Majah
273 H.
hafizh
hafizh
Ahmad bin Yusuf dan Muhammad bin Yahya

No.
Nama
Wafat
Ibnu Hajar
Dzahabi
Guru
01.
Thauban
54 H.
Sahabi
Sahabi
Rasulullah
02.
Abu Asma’
Khilafa Abdul Malik
Thiqah
Wuthiqa
Thauban
03.
Abu Qilabah
105 H.
Kibar Tabi’in
Thiqah Fadhil
Abu Asma’
04.
Khalid al-Haddza’
142 H.
Thiqah, Yursil
Hafizh, thiqa
Abu Qilaba
05.
Sufyan al-Tsauri
161 H.
Thiqah, hafizh
Ahad a’lam
Khalid
06.
Husain bin Hafsh
210 H.
Saduq
Mahall Sidq
Sufyan
07.
Muhammad bin Ibrahim Arumah
-----
-----
-----
-----
08.
Abu Abdillah Shaffar
339 H.
-----
-----
-----
09.
Al-Hakim
405 H.
Al-Hafizh
Al-Hafizh
-----


guru
Al-Dzahabi
Ibnu Hajar
Wafat
Nama
No.
-----
sahabi
sahabi
33 H.
Abdullah (bin Mas’ud)
01.
Abdullah bin Mas’ud
Ashabh al-nas bi abdillah
Thiqa, thabat
60 H.
‘Alqamah al-Kufi
02.
‘Alqamah
Al-faqih, al-wari’
Thiqa, yursil kathiran
96 H.
Ibrahim (bin Yazid bin Qais)
03.
Ibrahim
Thiqat shahib sunnah
Thiqat thabat yudallis
113 H.
Al-Hakam (bin Utbah)
04.
------
------
------
---
Ibnu Abi Laila
05.
------
------
------
---
Dahir al-Razi
06.
Dahir al-Razi

Syaikh, saduq

Abdullah bin Dahir
07.
Abdullah
Dzakiyy, yahfazh
Saduq,
255 H.
Al-Fadhl bin Sahl
08.
Al-Fadhl
Thiqa, hafizh
Saduq, mashhur
292 H.
Al-Bazzar
09.

Terdapat tiga orang perawi pada level sahabat. Ketiganya adalah Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud dan Thauban. Dari ketiganya, hanya riwayat Abdullah bin Mas’ud yang berstatus mauquf. Artinya, matan hadis itu adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud. Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ini tidak kuat karena ada dua orang yang perlu dicurigai. Yaitu Ibrahim bin Yazid bin Qais yang dikenal thiqah namun banyak meriwayatkan hadis secara mursal (terpotong sanadnya, jenis inqitha’ atau terputusnya sanad yang menyebabkan hadis menjadi daif) dan al-Hakam bin Utbah yang dikenal thiqah-thabat namun pelaku tadlis (memperbaiki sanad). Al-Hakam meriwayatkan hadis dari gurunya menggunakan redaksi ‘an yang tidak diizinkan bagi orang seperti dia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hadis pasukan panji hitam dalam isnad al-Bazzar adalah daif (lemah). 

Riwayat dari Abu Hurairah yang dicantumkan dalam kitab Musnad Ahmad dan Sunan al-Tirmidzi memiliki masalah dalam jalur sanadnya. Yaitu pada perawi bernama Risydin bin Sa’d yang dinilai dha’if, mukhtalith, dan sayyi’ul hifzh. Dari aspek hafalan, perawi ini memiliki kekurangan yang menyebabkan hadisnya menjadi daif (lemah). 

Riwayat Thauban yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah dan Mustadrak karya al-Hakim juga memiliki masalah dalam sanadnya. Dalam sanad Ibnu Majah terdapat perawi bernama Abdurrazzaq yang dinilai majruh (memiliki cacat). Dia dinilai thiqah dan hafizh, namun di sisi lain beliau kemudian mengalami penurunan kemampuan hafalan dan cenderung kepada paham/aliran syiah. Hal ini menyebabkan hadis yang berasal darinya dinilai bermasalah (baca: daif). 

Pada riwayat al-Hakim terdapat perawi bernama Khalid al-Haddza’ yang dikenal thiqah namun banyak meriwayatkan secara mursal. Karena perawi ini dinilai memiliki cacat, harusnya hadisnya dinilai lemah. Namun al-Hakim melihat bahwa cacat yang terdapat pada perawi ini tidak berpengaruh terhadap hadis pasukan panji hitam. Tidak ada bukti bahwa hadis ini diriwayatkan secara mursal atau terpotong sanadnya yang dapat menyebabkan hadisnya menjadi lemah. Karenanya, al-Hakim menilai hadis ini sahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim. Masalah kedua adalah pada perawi bernama Muhammad bin Ibrahim bin Arumah yang tidak diketahui biografinya. Berdasarkan hal ini, perawi ini tergolong majhul. Demikian pula Abu Abdillah al-Shaffar. Sanad yang di dalamnya terdapat perawi majhul patut dicurigai, dan dalam beberapa kasus, dianggap tidak ada alias munqathi’.

Sedangkan riwayat dari Thauban yang terdapat dalam Musnad Ahmad sepertinya harus mengalami nasib yang sama. Dalam sanad ini terdapat perawi bernama Syarik dan Ali bin Zaid. Syarik dikenal saduq, bahasa halus Ibnu Hajar untuk menyebut perawi yang memiliki masalah dalam kekuatan hafalan, namun masih ditolerir. Sedangkan Ali bin Zaid biografinya belum ditemukan. Hal ini menempatkan nama ini dalam golongan majhul.

Berdasarkan analisis ini, dapat disimpulkan bahwa hampir semua sanad hadis ‘pasukan panji hitam’, memiliki sisi kelemahan (daif). Hal ini meneguhkan pernyataan Ibnu Kathir (w. 774 H.) yang menyatakan semua sanad hadis pasukan panji hitam bermasalah. Karena terdapat perawi-perawi kurang kredibel dalam masing-masing sanad.[16]

C.     Penggunaan Hadis Panji Hitam dalam Sejarah
Ulasan di atas memiliki arti penting dalam penelusuran jejak hadis tersebut pada era yang lebih awal. Bila diperhatikan, pada era sahabat, hanya ada tiga orang yang mempopulerkan hadis tersebut. Mereka yang mengetahui bahwa tersebut kemudian bertambah banyak pada masa yang lebih belakangan. Berdasarkan teori pertumbuhan sanad yang dikembangkan Nabia Abbout, sebuah sanad cenderung berkembang seperti sebuah piramida. Semakin ke bawah semakin besar. Sebuah sanad cenderung bertambah dua kali lipat pada generasi setelahnya. Dari tiga orang pada abad pertama hijriah, menjadi tiga puluh orang lebih pada abad ketiga hijriah. 

Adanya tiga jalur periwayatan memang dapat membuat hadis ini disebut populer (masyhur). Namun menjadi tidak wajar bila dibandingkan populasi Muslim saat itu, atau populasi ahli hadis selama tiga abad yang mencapai delapan ribu orang. Yang berarti tiap seratus tahun, ada sekitar 2000 orang lebih perawi hadis. Atau dengan kata lain, 1300-an orang tiap 50 tahun. Dari 1300-an orang itu, sungguh sangat sedikit perawi yang mengenal hadis pasukan panji hitam ini. Bahkan bila seluruh perawi selama tiga abad dikumpulkan, tidak akan mencapai sepuluh persen dari total populasi para perawi hadis. Ketidak-populeran hadis ini pada tiga abad pertama merupakan kenyataan yang tidak wajar mengingat peristiwa politik yang melibatkan kampanye pasukan panji hitam sangat marak saat itu. Utamanya dalam masa peralihan (transisi) pemerintahan Dinasti Umayyah dan kebangkitan Dinasti Abbasiah yang didukung oleh simpatisan Ahli Bait, Bani Hasyim dan orang-orang Khurasan. Tiga kekuatan ini yang berhasil menjatuhkan kekuasaan Dinasti Umayyah pada akhir abad kedua hijriah.
Di sini, menganalisis dinamika politik paruh kedua abad kedua hijriah menjadi penting. Karena dinamika itulah yang menjadi latar belakang kelahiran kitab al-Fitan karya Nu’aim bin Hammad pada paruh pertama abad ketiga hijriah. Dinamika itu pula yang sedang dihadapi oleh perawi-perawi hadis ini pada akhir kedua hijriah hingga awal abad ketiga hijriah. Pada paruh pertama abad ketiga hijriah, hadis-hadis pasukan panji hitam baru dikodifikasi menjadi sebuah karya dalam bidang hadis. Pemberian judul merupakan sebuah penafsiran atas peristiwa sejarah. Ia merupakan opini seorang ahli hadis yang dalam berwacana menggunakan hadis sebagai mediumnya. Opini ahli hadis juga dapat ditemukan dalam judul-judul bab yang tersebar dalam kitabnya. Menggali opini ahli hadis di sini menjadi penting dilakukan untuk melihat fungsi ideologis karya tersebut. Penulis membangun asumsi ini dengan meminjam teori eksklusi dan inklusi yang dikembangkan dalam analisis wacana. Bahwa seorang penulis akan cenderung memilih informasi yang dia setujui dan mendukung gagasannya, di sisi lain akan menyeleksi serta mengeliminir informasi yang tidak dia sepakati dalam konteks framming. Pembuatan judul dalam sebuah kitab hadis merupakan upaya pembingkaian (framming) yang semuanya dikembalikan kepada isi kepala penulisnya yang memiliki keberpihakan tertentu. Hal ini sangat lumrah untuk mendukung suatu kekuasaan tertentu. Wacana dalam konteks ini cenderung berpihak. 

Analisis ini terlepas dari kualitas kesahihan hadis pasukan panji hitam, yang dalam faktanya, telah berkembang menjadi wacana politik. Isu pasukan panji hitam telah menghiasi panggung politik umat Islam sejak abad kedua hijriah. 

a.      Daulah Bani Abbas dan Sejarah Awal Diskursus Pasukan Panji Hitam
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, ada tiga kekuatan oposisi yang menjadi ancaman bagi kelangsungan dinasti tersebut. Ketiganya adalah sisa-sisa kekuatan kelompok Ali (Syi’at Ali), kaum Khawarij, dan orang-orang Persia yang merasa dianak-tirikan oleh Pemerintahan Bani Umayyah yang berorientasi Arab.

Para pendukung Ali bin Abi Thalib dipimpin oleh Hasan, kemudian Husain, lalu putra Ali bin Abi Thalib yang lain, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib al-Hanafiyyah. Kepemimpinan yang terakhir ini, kemudian dilanjutkan oleh putra Muhammad bin Ali yang bernama Abu Hasyim. Nama aslinya Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Hanafiyyah. Masyarakat kemudian mulai mendukung posisi Abu Hasyim. Abu Hasyim kemudian menjadi incaran pemerintah Umayyah. Di tengah situasi yang terancam, karena dia hidup di dekat pusat kekuasaan Umayyah, dia bermaksud pindah ke kota Hamimah. Tempat pamannya, Ali bin Abdullah bin Abbas al-Sajjad. Sebelum berhasil ditangkap, Abu Hasyim telah meninggal. Sebelum meninggal, Abu Hasyim berwasiat kepada Muhammad, putra Ali bin Abdullah bin Abbas, agar meneruskan perjuangan politiknya. Abu Hasyim membekali Muhammad bin Ali bin Abdullah dengan sebuah dokumen yang berisi daftar pengikut dan pendukungnya. Sebuah dokumen yang dicari-cari oleh pemerintahan Umayyah. Pada saat inilah, terjadi perpindahan kepemimpinan dari keturunan Ali bin Abi Thalib kepada keturunan Abdullah bin Abbas. Kedua orang ini adalah sahabat muda Nabi Muhammad yang masih satu klan dengan beliau. Klan Bani Hasyim.

Di tangan Muhammad bin Ali bin Abdullah inilah, kekuatan politik ini menjadi lebih terorganisir dibanding sebelumnya. Setelah Muhammad bin Ali bin Abdullah wafat, perjuangan politiknya dilanjutkan oleh putranya Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah. Di era kepemimpinan Ibrahim bin Muhammad ini, para pejuang di wilayah timur, Khurasan, berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan para gubernur Umayah. 

Ibrahim bin Muhammad kemudian memerintahkan jenderalnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani agar memproklamirkan perjuangan politiknya atas nama keluarga Bani Abbas. Dalam perintah itu, Ibrahim bin Muhammad memerintahkan agar seluruh pasukan menggunakan simbol yang sama. Yaitu bendera hitam serta jubah hitam. Sejak saat itulah, warna hitam simbol politik Bani Abbas.

Belum selesai perjuangan Ibrahim bin Muhammad, kematian telah menghampirinya. Kepemimpinan kemudian diambil oleh adiknya yang bernama, Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Perjuangan politiknya berhasil menumbangkan pemerintahan Daulah Bani Umayyah. Dalam revolusi ini, keluarga Bani Umayyah dibantai habis. Hanya satu keturunannya yang berhasil selamat. Yaitu Abdurrahman al-Dakhil. Dia berhasil dilarikan oleh pengikut Bani Umayyah ke Andalusia. Di tangan Abdurrahman, Daulah Bani Umayyah berhasil berkibar di Andalusia, bumi Spanyol Islam. Di timur, setelah kekalahan Bani Umayyah, berdiri pemerintahan baru oleh Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Ketika menjadi pemimpin, dia menggunakan gelar Abul Abbas al-Saffah.     

Kemenangan Bani Abbas dalam perebutan kekuasaan didukung oleh sejumlah alasan. Pertama, kemerosotan moral pemerintah Bani Umayyah, dimana agama tidak dijalankan dengan baik. Masyarakat mengharapkan perbaikan moral. Hal inilah yang membuat banyak orang memberikan dukungan kepada Abu Hasyim dan penerusnya. Kedua, ketidak-adilan yang diterima oleh orang-orang non-Arab. Hal ini akibat kebijakan pemerintah Umayyah yang dikenal berorientasi Arab. Ketiga, keahlian para pemimpin awal Bani Abbas dalam mengobarkan sentimen agama. Dalam hal ini, mereka banyak menggunakan pesan-pesan agama, utamanya yang tertuang dalam hadis Nabi saw.[17]
 
Faktor terakhir ini, dapat dilihat dalam sejumlah gejala yang menyertai kebangkitan dan kesuksesan karir politik keluarga Abbas. Pertama, Nabi saw. pernah meramalkan bahwa kepemimpinan umat Islam akan dipegang keturunan Abbas bin Abdul Muthallib. Sejak Nabi saw. menyabdakan itu, beberapa anggota keluarga ini mulai aktif berpolitik. Contohnya, Ibnu Abbas, seorang yang dikenal punya karir intelektual yang baik, adalah pendukung utama sekaligus penasihat pada era kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Kedua, Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, kemudian Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, mengonsolidasikan kekuatan militernya dengan mengadopsi pesan-pesan yang terkandung dalam hadis-hadis akhir zaman. Seperti warna hitam yang menyertai kedatangan al-Mahdi. Berdasarkan Instruksi Ibrahim bin Muhammad, Jenderal Abu Muslim al-Khurasani mengonsolidasikan pasukannya dalam misi ashhabur rayah al-sud min khurasan (pasukan panji hitam dari Khurasan). Bukan hanya menggunakan panji hitam, tapi juga seluruh atribut kemiliteran dipenuhi warna hitam. Ketiga, ketika berhasil menduduki kursi pemerintahan, para pemimpin Bani Abbas menggelari diri mereka dengan atribut yang disebut-sebut dalam para pemimpin akhir zaman seperti al-Saffah, al-Manshur dan al-Mahdi.[18]      

D.     Hadis dan Politik
Pembahasan sebelumnya menggambarkan kepada kita tentang fenomena penggunaan hadis-hadis Nabi untuk mendukung suatu praktik politik. Politik dalam hal ini berarti upaya memperoleh kekuasaan terlepas dari motif, strategi, dan tujuan yang melatarbelakanginya. Dalam konteks Dinasti Abbasiyyah, hadis-hadis Nabi digunakan untuk membenarkan motif penguasaan keluarga Bani Abbas terhadap umat Islam saat itu. 

Untuk memaksimalkan upaya ini, tiga isu digunakan oleh penguasa Bani Abbasiyah. Pertama, runtuhnya moral masyarakat karena pemerintah Umayyah dianggap menjauhi ajaran agama. Isu ini kemudian digunakan dalam wacana politik Bani Abbas, bahwa mereka mendakwahkan agar umat kembali kepada agama. yaitu kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah. Kedua, bahwa Bani Abbas adalah gerakan yang berupaya mewujudkan ramalan-ramalan Nabi tentang kepemimpinan akhir zaman yang akan diperoleh oleh keturunan Abbas bin Abdul Muthallib. Ketiga, kedekatan dengan Nabi melalui hubungan kekerabatan digunakan dengan baik. Dimana gagasan superioritas keluarga Nabi ini diterima oleh orang-orang sunni dan orang-orang Syiah. Gagasan ini ditemukan pula dalam hadis Nabi. Seperti hadis yang menyatakan kemunculan pemimpin akhir zaman yang akan memenuhi dunia dengan keadilan yang disebut sebagai al-Mahdi. Al-Mahdi dalam hadis-hadis tersebut berasal dari keluarga Nabi. Sekalipun masih bisa diperdebatkan, faktanya, isu tersebut cukup efektif mendulang dukungan masyarakat. Keempat, Bani Abbas menggunakan gelar-gelar yang diadopsi dari hadis-hadis Nabi saw. seperti al-Saffah, al-Manshur, dan al-Mahdi. Kelima, dalam mengonsolidasikan kekuatan militer, keluarga Bani Abbas menggunakan hadis-hadis akhir zaman tentang pasukan panji hitam sebagai materi kampanye dan diadopsi sebagai simbol politik.  
  
Dari sini dapat diambil gejala umum penggunaan hadis dalam politik. Pertama, hadis keutamaan sesuatu digunakan menjustifikasi kepentingan tertentu. Seperti keutamaan keluarga Nabi dan keturunan Abbas bin Abdul Muthallib. Kedua, hadis-hadis ramalan tentang masa depan dunia ditafsirkan untuk suatu konteks tertentu dan untuk suatu kepentingan tertentu. Di sisi lain, harus diakui absurditas dan ambiguitas maksud dari hadis-hadis ramalan tersebut. Jadi, pada dasarnya praktik ini cukup sewenang-wenang karena tidak ada yang dapat dikonfirmasi akan kebenaran penafsiran tersebut. 

Ketiga, orang-orang berupaya mengidentifikasi hubungan mereka dengan otoritas kenabian. Baik itu adalah kekeluargaan maupun keagamaan. Bila dulu orang-orang Bani Abbas menggunakan kekuatan pendukung Ali (Syi’at Ali), lalu mereka mengidentifikasi sebagai keluarga Nabi, lalu mereka memosisikan diri sebagai orang-orang yang punya otoritas dalam agama. Hal ini berarti, upaya-upaya ini dilakukan secara sengaja dengan cara mencari-cari hubungan. Atau menciptakan suatu hubungan tertentu.

Keempat, kandungan-kandungan hadis akhir zaman diwujudkan dalam  bentuk kebijakan-kebijakan. Hal ini seperti dalam penggunaan gelar dan penggunaan atribut bendera dan seragam hitam dalam saya militer Bani Abbas. Kelima, aktor-aktor politik menafsirkan dan mewujudkan pesan-pesan yang terkandung dalam hadis Nabi. Tafsir-tafsir tersebut kemudian menjadi pegangan bagi pengikut-pengikutnya. Yang menjadi persoalan adalah, kebenaran penafsiran tersebut tidak memiliki standar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. 
E.      Penutup  
Ulasan dalam artikel ini mengarah kepada kesimpulan bahwa penggunaan hadis untuk suatu upaya politik telah dikenal dalam sejarah Islam. Isu pasukan akhir zaman yang digaungkan NIIS, melalui media internet, yang didasarkan kepada hadis-hadis akhir zaman, al-Mahdi, Khurasan, pasukan panji hitam dan lainnya, bukan hanya dimonopoli oleh kelompok ini. Seribu tahun yang lalu, hadis-hadis tersebut sudah pernah digunakan oleh pemerintah Bani Abbas.

Di sini, kita menemukan fenomena penggunaan hadis untuk mendukung aksi-aksi radikal. Uniknya, hadis-hadis itu selalu memiliki pengertian yang absurd. Samar. Dan tidak tegas dalalah-nya. Ini tentu mengkhawatirkan karena sulitnya menemukan ukuran kebenaran penafsiran yang ditawarkan oleh para pengguna hadis tersebut. Absurditas ini muncul karena, penafsiran tersebut dikembalikan kepada kenyataan yang sedang dibangun oleh sang penafsir. Jadi, realitas itu merupakan realitas ciptaan yang coba diwujudkan untuk mewujudkan kandungan hadis itu sendiri. Di sini, argumen untuk mengukuhkan kebenaran bersifat melingkar (tasalsul). Dalam teori argumen klasik, argumen semacam ini dapat tergolong lemah bahkan menyesatkan (al-tasalsul muhal). Namun, kemudian kenyataan ciptaan itu dijadikan standar kebenaran sabda Nabi. Inilah dilema paradigma pemahaman hadis kelompok NIIS. 

Sebagai penutup, perlu diketengahkan bahwa apa yang dikampanyekan NIIS hanyalah salah satu model tafsir atas teks-teks keagamaan yang bersifat ambigu. Yang standar kebenarannya menjadi sangat sulit ditentukan. Hal ini, belum lagi bila kita melihat bahwa hadis-hadis yang digunakan dalam konteks ini bernilai lemah. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Kathir. Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

*Kertas kerja ini ditulis untuk membantu riset pemetaan pemikiran ideologi gerakan Islam radikal oleh Institute for International Peace Building (IIPB).



[1] Seorang ulama ahli hadis abad kelima hijriah Abu Bakr Ali bin Tsabit al-Baghdadi menulis buku khusus tentang kota ini. Fokus utamanya adalah para intelektual yang pernah mengunjungi, bermukim, berkarir dan meninggal di kota ini. Salah satu bagiannya memuat hadis-hadis tentang keutamaan kota ini. Baik hadis-hadis yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya maupun yang tidak. Demikian pula dengan kesaksian para sarjana yang hidup saat itu. Semua adalah strategi promosi untuk memajukan kota Baghdad yang sebelumnya dinamakan Madina al-Salam (kota kedamaian). Abu Bakr Ali bin Tsabit al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), juz 1, hlm. 325

[2] Dalam tinjauan sejarah, Ibnu Katsir telah melakukan banyak kritik terhadap penggunaan hadis-hadis akhir zaman untuk mendukung kepentingan politik pendiri Daulah Abbasiyyah pada abad kedua hijriah. Beliau mengomentari hadis-hadis yang digunakan dalam kampanye politik pendukung Daulah Abbasiyyah, “Hadza Kulluhu Tafri’un ‘Ala Shihhati Hadzihi al-Ahadith, wa Illa fala yakhlu sanadun minha kalamun wa allahu subhanahu wa ta’ala a’lam bi al-shawab.” (Perdebatan tentang kandungan hadis-hadis mahdi dan peristiwa akhir zaman, didasarkan pada asumsi kesahihan hadis-hadisnya. Bila tidak, maka sebenarnya seluruh sanad hadis-hadis tersebut memiliki cacat yang perlu dikomentari. Allah SWT yang maha tahu yang benar. Abu al-Fida’ Ibnu Katsir al-Qurashi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar Ihya’ Turath), juz 6, hlm. 278

[3] Imam Al-Bukhari menyusun hadis-hadis akhir zaman dalam Kitab al-Fitan yang memuat tidak kurang dari dua puluh judul sub bab. Bab ini merupakan salah satu bagian dari Sahih al-Bukhari.  Imam Muslim menamakan topik ini dengan Kitab al-Fitan wa Ashrat al-Sa’ah. Memuat 28 judul sub bab. Imam Abu Dawud memberi judul Kitab al-Fitan wa al-Malahim. Ada 7 sub bab dalam topik kitab Sunan Abu Dawud. Namun setelah topik ini, Imam Abu Dawud membuat bab yang pada umumnya ahli hadis menggabungkannya dengan Kitab Al-Fitan. Dua bab tersebut adalah Kitab al-Mahdi dan Kitab Al-Malahim. Masing-masing berisi satu hadis untuk topik pertama, dan 18 hadis untuk topik terakhir (kitab al-Malahim). Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, menyusun topik Abwab al-Fitan. Memuat 79 sub bab. Sedangkan Sunan Ibnu Majah menggunakan judul Kitab al-Fitan yang berisi 36 bab. 

[4] Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali al-Khurasani al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, editor Abdul Fattah Abu Ghuddah (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1986), juz 8, hlm. 128 

[5] Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah Ila al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hlm.106

[6] Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, juz 14, hlm. 261-590

[7] Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, juz 1, hlm. 104

[8] Abu Ishaq al-Huwaini, Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a bi al-Nazhar fi Kutub al-Amajid, hlm. 512

[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 14, hlm. 383

[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 37, hlm. 70

[11] Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2, hlm. 1367

[12] Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, juz 4, hlm. 310

[13] Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, juz 4, hlm. 510

[14] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, juz 4, hlm. 531

[15] Nu’aim bin Hammad, al-Fitan, hlm. 231

[16] Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 6, hlm. 278. Sebagian orang meyakini bahwa pasukan panji hitam itu akan muncul menegakkan kebenaran di akhir zaman. Dan seperti diulas sebelumnya, kualitas hadis pasukan panji hitam yang mendasari keyakinan tersebut masih dipertanyakan. Muncul pertanyaan mengenai sejauhmana hadis dapat dijadikan pijakan dalam masalah akidah.Pertanyaan ini sebenarnya telah didiskusikan para ulama sejak abad kedua hijriah. Terutama oleh sebagian aliran dalam sekte Muktazilah dan kelompok yang berpihak pada penggunaan hadis ahad (baca: ahl al-hadith). Kedua kelompok sarjana ini sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan secara mutawatir (massal) dapat diterima sebagai dasar keyakinan teologis karena sulit dikritik. Namun keduanya berbeda pendapat tentang hadis ahad yang diriwayatkan oleh sejumlah informan yang kurang dari jumlah informan mutawatir.
Menurut sarjana Muktazilah, hadis ahad tidak dapat dijadikan dasar akidah. Mereka berargumen bahwa akidah merupakan persoalan keyakinan sehingga dasar argumennya juga harus meyakinkan. Atas asumsi dasar ini, mereka mengembangkan pada wilayah yang lebih teknis dengan menolak penggunaan hadis ahad untuk masalah keyakinan. Hadis-hadis yang berbicara mengenai siksa kubur, konon ditolak oleh kelompok ini. Pandangan ini pada awal abad kedua puluh kembali dipopulerkan oleh kelompok Syekh Rasyid Ridha dan orang-orang yang setuju dengan gagasannya seperti Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah dan Mahmud Syaltut.
Sedangkan menurut kelompok ahl al-hadith, hadis ahad dapat dijadikan dasar dalam berkeyakinan. Argumennya, penerimaan informan yang kurang dari jumlah mutawatir dalam persoalan akidah sudah terjadi sejak masa Nabi saw. dan terus berlanjut hingga masa-masa setelahnya. Artinya, hadis ahad direstui oleh Nabi saw. sebagai sumber informasi yang dapat diterima. 
Hadis ahad yang dimaksud di sini tentu saja yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya melalui serangkaian uji sumber (baca: kritik sanad). Uji sumber dalam konteks ini seperti telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Bila sumber informasi hadis ahad kuat, maka hadis ahad dapat dijadikan dasar berkeyakinan. Bila sebaliknya, maka hadis ahad harus ‘ditahan’ dengan tidak digunakan dalam membicarakan wacana keyakinan (akidah). 
Hadis pasukan panji hitam, yang menurut ulama sahih, hanyalah pada riwayat al-Hakim. Seperti diulas sebelumnya, pada prinsipnya, terdapat perawi yang bermasalah dalam sanad imam al-Hakim. Hal ini menyebabkan hadis riwayat al-Hakim problematis. Karenanya hadis ini tidak memberikan keyakinan sepenuhnya. Terlalu riskan mendasarkan keyakinan pada dasar yang masih diragukan.


[17] Ali Muhammad al-Shulabi menyimpulkan ada tiga faktor isu yang digunakan oleh Bani Abbas. Pertama, perbaikan moral masyarakat dengan mengajak kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah. Hal ini sebenarnya sangat lumrah dikampanyekan oleh kelompok-kelompok saat itu. Beberapa hadis ditafsirkan oleh pemimpin-pemimpin Bani Abbas untuk mendukung posisi mereka. Kedua, kesetaraan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru ini. Antara orang-orang Arab dan orang-orang non-Arab. Sehingga diskriminasi rasial tidak berlaku. Ketiga, menyerahkan kepemimpinan kepada keluarga Nabi yang diterima masyarakat. Isu keluarga Nabi ini diterima baik oleh orang-orang Sunni maupun Syi’i. Lihat dalam Ali Muhammad al-Shulabi,  al-Da’wah al-‘Abbasiyyah wa Dauruha fi Nihayat al-Daulah al-Umawiyyah, diakses dari https://www.islamtoday.net/bohooth/artshow-86-6797.htm


[18] Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 6, hlm. 277-278.



Sumber Bacaan:

Abu Bakr Ali bin Tsabit al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001).

Abu al-Fida’ Ibnu Katsir al-Qurashi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar Ihya’ Turath).

Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali al-Khurasani al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, editor Abdul Fattah Abu Ghuddah (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1986).   

Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah Ila al-Jami’ al-Shaghir.

Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al.

Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas.

Abu Ishaq al-Huwaini, Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a bi al-Nazhar fi Kutub al-Amajid,. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal.

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal.

Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah.

Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar.

Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.

Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi.

Nu’aim bin Hammad, al-Fitan.

Ali Muhammad al-Shulabi,  al-Da’wah al-‘Abbasiyyah wa Dauruha fi Nihayat al-Daulah al-Umawiyyah, diakses dari https://www.islamtoday.net/bohooth/artshow-86-6797.htm

Komentar

  1. DEKLARASI PERANG PENEGAKKAN DINUL ISLAM
    DISELURUH DUNIA
    Bismillahir Rahmanir Rahiim
    Dengan Memohon Perlindungan dan Izin
    Kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
    Rabb Pemelihara dan Penguasa Manusia,
    Raja Manusia yang Berhak Disembah Manusia.
    Rabb Pemilik Tentara Langit dan Tentara Bumi


    Pada Hari Ini : Yaumul Jum'ah 6 Jumadil Akhir 1436H
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mengeluarkan Pengumuman kepada
    1. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Afrika
    2. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Eropa
    3. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia
    4. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia Tenggara
    5. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Amerika
    6. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Australia
    7. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Utara
    8. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Selatan
    9. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) diseluruh Dunia

    PENGUMUMAN DEKLARASI PERANG SEMESTA
    Terhadap Seluruh Negara yang Tidak
    Menggunakan Hukum Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
    Perang Penegakkan Dinuel Islam ini Berlaku disemua Pelosok Dunia.

    MULAI HARI INI
    YAUMUL JUM'AH 6 JUMADIL AKHIR 1436H
    BERLAKULAH PERANG AGAMA
    BERLAKULAH PERANG DINUL ISLAM ATAS DINUL BATHIL
    BERLAKULAH HUKUM PERANG ISLAM DISELURUH DUNIA
    MEMBUNUH DAN TERBUNUH FISABILILLAH

    "Dan BUNUHLAH mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan USIRLAH mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
    (Q.S: al-Baqarah: 191-193).

    BUNUH SEMUA TENTARA , POLISI, INTELIJEN , MILISI SIPIL ,HAKIM DAN
    BUNUH SEMUA PEJABAT SIPIL Pemerintah Negara Yang Memerintah dengan Hukum Buatan Manusia (Negara Kufar).

    BUNUH SEMUA MEREKA-MEREKA MENDUKUNG NEGARA-NEGARA KUFAR DAN MELAKUKAN PERMUSUHAN TERHADAP ISLAM.
    JANGAN PERNAH RAGU MEMBUNUH MEREKA sebagaimana mereka tidak pernah ragu untuk MEMBUNUH, MENGANIAYA DAN MEMENJARAKAN UMMAT ISLAM YANG HANIF.

    INTAI, BUNUH DAN HANCURKAN Mereka ketika mereka sedang ada dirumah mereka jangan diberi kesempatan lagi.
    GUNAKAN SEMUA MACAM SENJATA YANG ADA DARI BOM SAMPAI RACUN YANG MEMATIKAN.

    JANGAN PERNAH TAKUT KEPADA MEREKA, KARENA MEREKA SUDAH SANGAT KETERLALUAN MENENTANG ALLAH AZZIZUJ JABBAR , MENGHINA RASULULLAH SAW, MENGHINA DAN MEMPERBUDAK UMMAT ISLAM.
    BIARKAN MEREKA MATI SEPERTI KELEDAI KARENA MEREKA ADALAH THOGUT DAN PENYEMBAH THOGUT

    HANCURKAN LULUHKAN SEMUA PENDUKUNG PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA KUFAR
    DARI HULU HINGGA HILIR

    HANYA SATU UNTUK KATA UNTUK BERHENTI PERANG,
    MEREKA MENYERAH DAN MENJADI KAFIR DZIMNI.
    DAN BERDIRINYA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH.
    KHALIFAH IMAM MAHDI.

    Kemudian jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
    Maha Penyayang.

    Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
    Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
    maka tidak ada permusuhan (lagi),
    kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
    Al-Baqarah : 192-193

    SAMPAIKAN PESAN INI KESELURUH DUNIA,
    KEPADA SEMUA ORANG YANG BELUM TAHU ATAU BELUM MENDENGAR

    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
    PANGLIMA ANGKATAN PERANG PANJI HITAM
    Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang nulis begini biasanya intel kotor ngintai naik pangkat

      Hapus
    2. Apakah seperti itu sikap seorang guru? Ada baiknya anda belajar lagi..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api