Hadis "Pasukan Panji Hitam" dan Penggunaanya dalam Sejarah Politik Muslim Abad Pertengahan
M. Khoirul Huda
A. Pendahuluan
Munculnya kelompok
Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) melahirkan perdebatan di kalangan akademik.
Bagi para pengkaji hadis, wacana yang mereka hadirkan banyak bersumber dari
hadis-hadis Nabi. Hal ini menjadi isu menarik bagi para pengkaji hadis Nabi
saw.
Penggunaan
hadis untuk mendukung agenda politik kekuasaan merupakan fenomena yang jamak
terjadi dalam dunia Islam. Berdirinya Daulah Bani Abbas pada abad kedua hijriah
misalnya banyak didukung dengan kampanye politik yang menggunakan hadis-hadis
Nabi tentang akhir zaman. Baik hadis-hadis sahih maupun yang lemah dan palsu. Para
ulama hadis sudah berusaha menjernihkan persoalan dengan meneliti hadis-hadis
tersebut berikut kepalsuannya. Bahkan, setelah berdirinya Daulah Bani Abbas
para sarjana yang pro terhadap pemerintah saat itu mengembangkan hadis palsu
dan lemah. Para ulama hadis berupaya menjernihkan situasi dengan melakukan
kritik hadis. Namun, situasi saat itu sungguh unik. Pemerintah berhasil menarik
simpati hampir seluruh elemen masyarakat Muslim. Terbukti berbondong para
sarjana dan cerdik cendekia datang menuju pusat kota Baghdad. Kedatangan mereka
merupakan bentuk dukungan dan restu terhadap pemerintahan ini. Baghdad
merupakan saksi sejarah bahwa hadis Nabi pernah digunakan mendongkrak
popularitasnya.[1]
Banyak umat
Islam yang beranggapan bahwa ketika suatu peristiwa memiliki rujukan dalam
kitab sucinya, maka berarti itu adalah perwujudan janji Tuhan. Demikian pula
ketika terjadi peristiwa kemudian memiliki aspek kemiripan sumber yang
diidentifikasi sebagai pernyataan Nabi, adalah bentuk perwujudan dari kebenaran
pernyataan beliau. Sebagian orang menyebutnya mukjizat. Yang menunjukkan
kehebatan Nabi saw. karena dia mampu membicarakan kejadian masa depan secara tepat.
Namun, seringkali isyarat futuristik Nabi saw. dalam sejarah Islam, merupakan penafsiran
sepihak oleh kelompok tertentu. Mereka mencoba melakukan semacam
‘kontekstualisasi’ kandungan hadis. Para ulama pun bangkit melawan tafsir
keagamaan spekulatif-imajinatif semacam itu.[2]
Akhir-akhir
ini, ada sekelompok Muslim yang menggunakan hadis-hadis Nabi untuk menarik
perhatian seluruh kaum Muslimin. Mereka berusaha membujuk agar kaum Muslimin
bergabung dengan mereka, karena mereka merasa sebagai kelompok yang dijanjikan
oleh Nabi sebagai pahlawan akhir zaman. Memenangkan pertempuran dan membawa
kejayaan kaum Muslim. Fenomena semacam ini bukan perkara baru dalam sejarah
umat Islam. Selama berabad-abad sejak era Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani
Abbas di Timur Tengah hingga Pangeran Diponegoro di Jawa, aktor-aktor politik sudah
menggunakan hadis akhir zaman sebagai alat mobilisasi massa.
Tulisan ini
akan mengulas hadis-hadis tersebut dan menunjukkan tafsir-tafsir (baca:
kontektualisasi)-nya pada suatu masa. Pertama, kami akan mengulas
eksistensi hadis 'pahlawan akhir zaman' tersebut dalam perspektif ilmu hadis. Kedua,
penggunaan hadis-hadis tersebut dalam peristiwa politik. Ketiga,
kontekstualisasi terhadap hadis-hadis tersebut oleh aktor-aktor sejarah. Keempat,
penggunaan hadis dalam aktifitas politik. Dan kelima, penutup.
Sedangkan pokok
kajian akan dibatasi pada hadis-hadis yang bertemakan 'pasukan panji hitam' (ashab
rayah al-sud). Data diperoleh dari kitab-kitab hadis dan buku-buku sejarah
yang dinilai otoritatif dalam tradisi Islam. Yaitu buku sejarah yang ditulis
ulama klasik yang menggunakan pendekatan kritik hadis dalam menyeleksi
informasi sejarah.
Data hadis
kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan peristiwa politik dalam suatu
babakan sejarah tertentu. Hadirnya hadis dalam peristiwa politik diasumsikan
melibatkan motif politik para aktor yang menggunakan hadis tersebut. Pada masa
di mana agama mendominasi cara berfikir massa, tentu justifikasi teks-teks
agama sangat berpengaruh kuat dalam imajinasi mereka. Dalam model analisis
wacana kritis, sebuah informasi selalu mengalami proses inklusi dan ekslusi
(penyaringan untuk suatu kepentingan), pembingkaian (framming), yang
disertai penafsiran tertentu, kemudian digunakan untuk mendukung suatu gagasan
kunci yang disebut ideologi. Kritik ideologi di sini menjadi penting dilakukan
untuk membongkar struktur wacana, inti, dan fungsinya dalam suatu diskursus
politik. Karenanya, analisis wacana kritis meniscayakan sejumlah penilaian
kritis terhadap; teks, konteks, produsen teks, dan motif-ideologi. Rukun
analisis wacana kritis ini haram ditinggalkan untuk mengetahui penafsiran teks.
B. Landasan Metodologi: Peta Kajian Hadis-Hadis “Pasukan Panji
Hitam”
Hadis-hadis
yang membicarakan akan datangnya pasukan panji hitam umumnya disebutkan, atau
menjadi bagian dari topik besar kitab-kitab hadis, yaitu dalam topik al-fitan
(kekacauan). Topik ini merupakan salah satu tema utama kitab-kitab hadis.
Umumnya digunakan istilah kitab al-fitan dan/atau seringkali
diberi tambahan judul tertentu seperti al-fitan wa al-malahim.
Kitab-kitab induk hadis hampir seluruhnya membuat topik khusus ini. Dari keenam
kitab induk hadis (kutub al-sittah) hanya Sunan al-Nasa’i yang
tidak membuat topik khusus ini.[3]
Sekalipun demikian, ada satu sub bab yang mengulas tema al-firar bi al-din
min al-fitan (menjauhkan agama dari konflik).[4]
Selain menjadi
topik pokok kitab-kitab hadis babon, tema ini juga membuat sebagian ulama ahli
hadis menyusun karya tersendiri. Karangan independen pertama yang muncul dalam
catatan sejarah intelektual berjudul Kitab al-Fitan karya Abu Abdillah
Nu’aim bin Hammad al-Marwazi (229 H./844 M.). Edisi cetaknya tidak kurang dari
400 halaman. Karya ini dianggap paling awal karena dikarang pada paruh pertama
abad ketiga hijriah. Era paling dinamis dalam sejarah pengkajian hadis Nabi
saw.
Mulai paruh
kedua abad ketiga hijriah sampai beberapa abad kemudian, tidak ada karangan
khusus mengenai topik al-Fitan. Topik al-fitan pada era ini hanya menjadi
bagian dari topik besar kitab-kitab hadis karya al-Bukhari (256 H.), Muslim
(261 H.), Abu Dawud (275 H.), al-Tirmidzi (279 H.), Ibnu Majah (273 H.), dan
al-Nasa’i (303 H).
Baru pada abad kelima,
melompat dua abad, seorang bernama Abu ‘Amr Uthman bin al-Muqri’ al-Dani (444
H.) menyusun kitab berjudul al-Sunan al-Waridah fi al-Fitan wa Ghawa’iluha
wa al-Sa’ah wa Ashratuha (Sunnah-sunnah yang berbicara tentang kekacauan
akhir zaman, tipu dayanya, kiamat dan tanda-tandanya). Edisi cetakannya terdiri
dari enam juz dalam satu jilid. Kitab ini memiliki 1374 halaman. Kitab yang
sangat tebal.
Tiga abad
berikut, abad kedelapan, Ibnu Kathir (774 H.) menyusun kitab al-Nihayah fi al-Fitan
wa al-Malahim (Ensiklopedi Hadis Lengkap tentang Kekacauan dan Perang Akhir
Zaman). Dicetak dalam dua jilid besar sekitar 300-400 halaman. Judul kecil
kitab ini sepertinya mengikuti Abu Dawud dalam kitab al-Fitan wa al-Malahim.
Sarjana Timur
Tengah yang mengarang topik fitan ini, di antaranya Muhammad Ahmad al-Mubayyadh
dalam sebuah ensiklopedi berjudul al-Mausu’ah Fi al-Fitan wa al-Malahim wa
Ashrat al-Sa’ah (2006). Buku memiliki ketebalan kurang lebih delapan ratus
halaman.
Kemudian Abu
Ubaidah Mashhur bin Hasan Alu Sulaiman menyusun buku berjudul al-Tahdzib
al-Hasan li kitab al-‘Iraq fi Ahadith wa Athar al-Fitan (2007). Terdiri
dari sekitar 400 halaman.
Karangan-karangan
jenis ini juga berkembang di Indonesia. Dan karena itu, istilah seperti imam
mahdi, akhir zaman, dajjal, ya’juj wa ma’juj, pasukan panji hitam, dan lainnya
cukup populer. Buku-buku yang mengulas topik semacam itu cukup laris di pasaran
buku Indonesia. Baik di kalangan pengkaji agama maupun masyarakat awamnya. Di
dunia pesantren, kitab-kitab yang mengulas tentang sejarah dunia, dari awal
penciptaan hingga akhir zaman banyak diajarkan. Dalam dunia populer Indonesia,
buku-buku yang merupakan adopsi ataupun terjemahan ide-ide yang terdapat dalam
hadis-hadis Nabi saw.
Strategi
promosi narasi
perang akhir zaman
|
Dari gaya
populer semacam ini, gagasan tentang akhir zaman dapat dicerna pikiran
masyarakat luas. Terutama melalui media internet, gagasan tersebut terus
dipompakan ke dalam benak mereka. Sebagian mengendap menjadi ideologi statis.
Tanpa perlu mengerti apa sebenarnya yang ada di balik kampanye tersebut. Dalam
tahap ini, hadis-hadis Nabi sudah dilengkapi dengan penafsiran-penafsiran
tentang aktor-aktor yang diramalkan. Bahkan, saat ini, penafsiran itu telah
berhasil menarik banyak orang untuk bergabung mengimani penafsiran tersebut.
Bahwa apa yang mereka lakukan dan terjadi pada mereka adalah faktualitas sabda
Nabi tentang akhir zaman. Orang awam yang sudah beriman terhadap hadis
sebelumnya, serta tidak pernah mendapatkan pengajaran kritis terhadap
penafsiran hadis, akan mudah terpengaruh pada penafsiran sewenang-wenang
tersebut.
Kembali kepada
topik kita, bahwa pada prinsipnya persoalan ini timbul dari penafsiran terhadap
hadis-hadis akhir zaman. Referensi paling awal, muncul pada abad ketiga
hijriah. Yaitu melalui kitab al-Fitan karya Abu Abdillah Nu’aim bin
Hammad al-Marwazi (229 H./844 M.). Dalam penelusuran penulis terhadap
hadis-hadis pasukan panji hitam, hadis-hadis pasukan panji hitam disebutkan
dalam sejumlah kitab sebagai berikut:
No.
|
Nama Kamus Takhrij
|
Simbol
|
Arti Simbol
|
1.
|
Al-Fath al-Kabir fi Dhamm
al-Ziyadah Ila al-Jami’ al-Shaghir[5]
|
حم
ك
|
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
|
2.
|
Kanz al-‘Ummal[6]
|
حم
ك
ت
هـ
ابن
المنادي
نعيم
|
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
Al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi
Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah
Ibnu al-Munadi dalam al-Malahim
Nu’aim bin Hammad dalam al-Fitan
|
3.
|
Kasyf al-Khafa’ Wa Muzil
al-Ilbas[7]
|
أحمد
الحاكم
|
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad
Ahmad
Al-Hakim dalam al-Mustadrak
|
4.
|
Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a bi al-Nazhar fi
Kutub al-Amajid[8]
|
البزار
|
Al-Bazzar dalam Musnad al-Bazzar
|
Data
ini menunjukkan bahwa hadis pasukan panji hitam disebutkan dalam tujuh kitab
hadis. Meliputi Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, al-Fitan,
al-Malahim, Musnad al-Bazzar dan al-Mustadrak. Berdasarkan penelusuran
terhadap kitab-kitab tersebut, ditemukan hadis sebagai berikut;
No.
|
Penulis Kitab
|
sanad
|
Matan
|
01.
|
Ahmad bin Hanbal[9]
|
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ، وَقُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا رِشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ يَحْيَى بْنُ غَيْلَانَ
فِي حَدِيثِهِ: قَالَ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ
قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
أَنَّهُ قَالَ:
|
"
يَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ، لَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ
بِإِيلِيَاءَ "
|
02.
|
Ahmad bin Hanbal[10]
|
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
|
"
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّودَ قَدْ جَاءَتْ مِنْ قِبَلِ خُرَاسَانَ، فَأْتُوهَا؛
فَإِنَّ فِيهَا خَلِيفَةَ اللهِ الْمَهْدِيَّ "
|
03.
|
Ibnu Majah[11]
|
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، وَأَحْمَدُ
بْنُ يُوسُفَ، قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ،
عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ الرَّحَبِيِّ،
عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
|
«يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ، كُلُّهُمُ
ابْنُ خَلِيفَةٍ، ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ
السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ، فَيَقْتُلُونَكُمْ قَتْلًا لَمْ يُقْتَلْهُ قَوْمٌ»
- ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا لَا أَحْفَظُهُ فَقَالَ - فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ
وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ، فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ
"
|
04.
|
Al-Bazzar[12]
|
وَحَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ سَهْلٍ، قَالَ: نا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاهِرٍ الرَّازِيُّ، قَالَ: نا أَبِي، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى،
عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ:
|
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ فِتْيَةً مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَاغْرَوْرَقَتَا عَيْنَاهُ، وَذَكَرَ الرَّايَاتِ
السُّودِ، فَقَالَ: «فَمَنْ أَدْرَكَهَا فَلْيَأْتِهَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ»
وَهَذَا الْحَدِيثُ لَا نَعْلَمُ رَوَاهُ عَنِ الْحَكَمِ إِلَّا ابْنُ أَبِي لَيْلَى،
وَلَا نَعْلَمُ يُرْوَى إِلَّا مِنْ حَدِيثِ دَاهَرِ بْنِ يَحْيَى، عَنِ ابْنِ أَبِي
لَيْلَى، وَدَاهِرٌ هَذَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ صَالِحُ الْحَدِيثِ، وَإِنَّمَا
يُعْرَفُ مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ
|
05.
|
Al-Hakim[13]
|
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُ،
ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَرُومَةَ، ثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حَفْصٍ،
ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ،
عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
|
«يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمُ
ابْنُ خَلِيفَةَ، ثُمَّ لَا يَصِيرُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ
السُّودُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ فَيُقَاتِلُونَكُمْ قِتَالًا لَمْ يُقَاتِلْهُ
قَوْمٌ - ثُمَّ ذَكَرَ شَيْئًا فَقَالَ - إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ
حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ، فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ» هَذَا حَدِيثٌ
صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ "
|
06.
|
Al-Tirmidzi[14]
|
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا رِشْدِينُ
بْنُ سَعْدٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ
ذُؤَيْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
|
«تَخْرُجُ مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ لَا
يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَاءَ» هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ "
|
07.
|
Nu’aim bin Hammad[15]
|
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا
رِشْدِينُ بْنُ سَعْدٍ الْمَهْرِيِّ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ الْأَيْلِيِّ، عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
|
«تَخْرُجُ
مِنْ خُرَاسَانَ رَايَاتٌ سُودٌ لَا يَرُدُّهَا شَيْءٌ حَتَّى تُنْصَبَ بِإِيلِيَاءَ»
يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ "
|
skema sanad hadis pasukan panji hitam
Menurut ilmu hadis, untuk mengetahui otentisitas sebuah hadis,
diperlukan penilaian kritis terhadap sumber hadis. Sumber hadis di sini
merupakan perawi-perawi yang terdapat dalam sanad. Selain para penulis kitab
hadis. Di sini, keterpercayaan sebuah informasi ditentukan oleh tingkat
keterpecayaan terhadap sumber atau perawinya. Penilaian ditujukan pada tiga
aspek yang meliputi; konsistensi dalam menjalankan ajaran agama (‘adalah),
kekuataan hafalan (dhabth), dan
hubungan guru-murid masing-masing (ittishal). Hafalan dan keberagamaan
di sini didasarkan pada hal-hal yang dapat diamati oleh indera. Demikian pula
dengan keterbuhungan masing-masing perawi. Bukan merujuk kepada unsur-unsur
abstrak yang ada dalam diri manusia seperti aspek mental, keyakinan dan klaim
pertemuan.
Dalam skema di atas, terdapat 35 orang perawi. Tiga di antaranya
merupakan perawi level sahabat yang dalam tradisi kritik hadis Sunni dianggap
tidak perlu diteliti. Berarti terdapat 32 orang perawi.
Guru
|
al-Dzahabi
|
Ibnu Hajar
|
Wafat
|
Nama
|
No.
|
Rasulullah
|
Sahabi
|
Sahabi
|
57
H.
|
Abu Hurairah
|
01.
|
Abu Hurairah
|
Alim Rabbani
|
Lahu Ru’yah
|
80
H.
|
Qabishah bin Dzuaib
|
02.
|
Qabishah
|
Ahad a’lam
|
Faqih, hafizh
|
125
H.
|
Ibnu Syihab
|
03.
|
Ibnu Syihab
|
Ahad al-athbat
|
Tsiqah
|
159 H.
|
Yunus bin Yazid
|
04.
|
Yunus bin Yazid
|
Sayyi’ul Hifzh
|
Dhaif, Mukhtalith
|
188 H.
|
Risydin bin Sa’d
|
05.
|
Risydin bin Sa’d
|
Thiqah
|
Thiqah
|
220 H.
|
Yahya bin Ghailan
|
06.
|
Risydin bin Sa’d
|
-
|
Thiqah
|
240 H.
|
Qutaibah bin Sa’id
|
07.
|
Yahya dan Qutaibah
|
Imam
|
Imam, Thiqah
|
241 H.
|
Ahmad bin Hanbal
|
08.
|
Qutaibah bin Said
|
Al-Hafizh
|
Ahad al-Aimmah
|
279 H.
|
Al-Tirmidzi
|
09.
|
No.
|
Nama
|
Wafat
|
Ibnu
Hajar
|
Dzahabi
|
Guru
|
01.
|
Thauban
|
54
H.
|
Sahabi
|
Sahabi
|
Rasulullah
|
02.
|
Abu
Asma’
|
Khilafa
Abdul Malik
|
Thiqah
|
Wuthiqa
|
Thauban
|
03.
|
Abu
Qilabah
|
105
H.
|
Kibar
Tabi’in
|
Thiqah
Fadhil
|
Abu
Asma’
|
04.
|
Ali bin
Zaid
|
-----
|
--------
|
----------
|
|
05.
|
Syarik
|
177
H.
|
Saduq, Yukhthi’
|
Ahad
A’lam
|
|
06.
|
Waki’
|
196
H.
|
Thiqah
|
Ahad
A’lam
|
|
07.
|
Ahmad
bin Hanbal
|
241 H.
|
Imam, Thiqah
|
Imam
|
No.
|
Nama
|
Wafat
|
Ibnu
Hajar
|
Dzahabi
|
Guru
|
01.
|
Thauban
|
54
H.
|
Sahabi
|
Sahabi
|
Rasulullah
|
02.
|
Abu
Asma’
|
Khilafa
Abdul Malik
|
Thiqah
|
Wuthiqa
|
Thauban
|
03.
|
Abu
Qilabah
|
105
H.
|
Kibar
Tabi’in
|
Thiqah
Fadhil
|
Abu
Asma’
|
04.
|
Khalid
al-Haddza’
|
142
H.
|
Thiqah,
Yursil
|
Hafizh,
thiqa
|
Abu
Qilaba
|
05.
|
Sufyan
al-Tsauri
|
161
H.
|
Thiqa,
hafizh
|
Ahad
a’lam
|
Khalid
|
06.
|
Abdurrazzaq
|
211
H.
|
Thiqa, hafizh, thaghayyara fi akhiri
umrih, tasyayya’a
|
Ahad
a’lam
|
Sufyan
|
07.
|
Ahmad
bin Yusuf
|
264
H.
|
Hafizh, thiqa
|
Hafizh,
thiqa
|
Abdurrazzaq
|
08.
|
Muhammad
bin Yahya
|
243
H./258 H.
|
hafizh
|
hafizh
|
Abdurrazzaq
|
09.
|
Ibnu
Majah
|
273
H.
|
hafizh
|
hafizh
|
Ahmad
bin Yusuf dan Muhammad bin Yahya
|
No.
|
Nama
|
Wafat
|
Ibnu
Hajar
|
Dzahabi
|
Guru
|
01.
|
Thauban
|
54
H.
|
Sahabi
|
Sahabi
|
Rasulullah
|
02.
|
Abu Asma’
|
Khilafa
Abdul Malik
|
Thiqah
|
Wuthiqa
|
Thauban
|
03.
|
Abu
Qilabah
|
105
H.
|
Kibar
Tabi’in
|
Thiqah
Fadhil
|
Abu
Asma’
|
04.
|
Khalid
al-Haddza’
|
142
H.
|
Thiqah, Yursil
|
Hafizh,
thiqa
|
Abu
Qilaba
|
05.
|
Sufyan
al-Tsauri
|
161
H.
|
Thiqah,
hafizh
|
Ahad
a’lam
|
Khalid
|
06.
|
Husain
bin Hafsh
|
210
H.
|
Saduq
|
Mahall
Sidq
|
Sufyan
|
07.
|
Muhammad
bin Ibrahim Arumah
|
-----
|
-----
|
-----
|
-----
|
08.
|
Abu
Abdillah Shaffar
|
339
H.
|
-----
|
-----
|
-----
|
09.
|
Al-Hakim
|
405
H.
|
Al-Hafizh
|
Al-Hafizh
|
-----
|
guru
|
Al-Dzahabi
|
Ibnu Hajar
|
Wafat
|
Nama
|
No.
|
-----
|
sahabi
|
sahabi
|
33
H.
|
Abdullah (bin Mas’ud)
|
01.
|
Abdullah bin Mas’ud
|
Ashabh al-nas bi abdillah
|
Thiqa, thabat
|
60
H.
|
‘Alqamah
al-Kufi
|
02.
|
‘Alqamah
|
Al-faqih, al-wari’
|
Thiqa, yursil kathiran
|
96 H.
|
Ibrahim (bin Yazid bin Qais)
|
03.
|
Ibrahim
|
Thiqat shahib sunnah
|
Thiqat thabat yudallis
|
113 H.
|
Al-Hakam (bin Utbah)
|
04.
|
------
|
------
|
------
|
---
|
Ibnu Abi Laila
|
05.
|
------
|
------
|
------
|
---
|
Dahir al-Razi
|
06.
|
Dahir al-Razi
|
Syaikh, saduq
|
Abdullah bin Dahir
|
07.
|
||
Abdullah
|
Dzakiyy, yahfazh
|
Saduq,
|
255
H.
|
Al-Fadhl bin Sahl
|
08.
|
Al-Fadhl
|
Thiqa, hafizh
|
Saduq, mashhur
|
292 H.
|
Al-Bazzar
|
09.
|
Terdapat tiga orang perawi pada level sahabat. Ketiganya adalah Abu
Hurairah, Abdullah bin Mas’ud dan Thauban. Dari ketiganya, hanya riwayat
Abdullah bin Mas’ud yang berstatus mauquf. Artinya, matan hadis itu adalah
perkataan Abdullah bin Mas’ud. Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud ini tidak kuat
karena ada dua orang yang perlu dicurigai. Yaitu Ibrahim bin Yazid bin Qais
yang dikenal thiqah namun banyak meriwayatkan hadis secara mursal
(terpotong sanadnya, jenis inqitha’ atau terputusnya sanad yang
menyebabkan hadis menjadi daif) dan al-Hakam bin Utbah yang dikenal thiqah-thabat
namun pelaku tadlis (memperbaiki sanad). Al-Hakam meriwayatkan hadis
dari gurunya menggunakan redaksi ‘an yang tidak diizinkan bagi orang
seperti dia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hadis pasukan panji hitam dalam isnad
al-Bazzar adalah daif (lemah).
Riwayat dari Abu Hurairah yang dicantumkan dalam kitab Musnad Ahmad dan
Sunan al-Tirmidzi memiliki masalah dalam jalur sanadnya. Yaitu pada perawi
bernama Risydin bin Sa’d yang dinilai dha’if, mukhtalith, dan
sayyi’ul hifzh. Dari aspek hafalan, perawi ini memiliki kekurangan yang
menyebabkan hadisnya menjadi daif (lemah).
Riwayat Thauban yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah dan Mustadrak
karya al-Hakim juga memiliki masalah dalam sanadnya. Dalam sanad Ibnu Majah
terdapat perawi bernama Abdurrazzaq yang dinilai majruh (memiliki
cacat). Dia dinilai thiqah dan hafizh, namun di sisi lain beliau kemudian
mengalami penurunan kemampuan hafalan dan cenderung kepada paham/aliran syiah.
Hal ini menyebabkan hadis yang berasal darinya dinilai bermasalah (baca: daif).
Pada riwayat al-Hakim terdapat perawi bernama Khalid al-Haddza’ yang
dikenal thiqah namun banyak meriwayatkan secara mursal. Karena perawi ini
dinilai memiliki cacat, harusnya hadisnya dinilai lemah. Namun al-Hakim melihat
bahwa cacat yang terdapat pada perawi ini tidak berpengaruh terhadap hadis
pasukan panji hitam. Tidak ada bukti bahwa hadis ini diriwayatkan secara mursal
atau terpotong sanadnya yang dapat menyebabkan hadisnya menjadi lemah. Karenanya,
al-Hakim menilai hadis ini sahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim. Masalah
kedua adalah pada perawi bernama Muhammad bin Ibrahim bin Arumah yang tidak
diketahui biografinya. Berdasarkan hal ini, perawi ini tergolong majhul.
Demikian pula Abu Abdillah al-Shaffar. Sanad yang di dalamnya terdapat perawi majhul
patut dicurigai, dan dalam beberapa kasus, dianggap tidak ada alias munqathi’.
Sedangkan riwayat dari Thauban yang terdapat dalam Musnad Ahmad
sepertinya harus mengalami nasib yang sama. Dalam sanad ini terdapat perawi
bernama Syarik dan Ali bin Zaid. Syarik dikenal saduq, bahasa halus Ibnu
Hajar untuk menyebut perawi yang memiliki masalah dalam kekuatan hafalan, namun
masih ditolerir. Sedangkan Ali bin Zaid biografinya belum ditemukan. Hal ini
menempatkan nama ini dalam golongan majhul.
Berdasarkan analisis ini, dapat disimpulkan bahwa hampir semua sanad
hadis ‘pasukan panji hitam’, memiliki sisi kelemahan (daif). Hal ini meneguhkan
pernyataan Ibnu Kathir (w. 774 H.) yang menyatakan semua sanad hadis pasukan
panji hitam bermasalah. Karena terdapat perawi-perawi kurang kredibel dalam
masing-masing sanad.[16]
C. Penggunaan Hadis Panji Hitam dalam Sejarah
Ulasan di atas memiliki arti penting dalam penelusuran jejak hadis
tersebut pada era yang lebih awal. Bila diperhatikan, pada era sahabat, hanya
ada tiga orang yang mempopulerkan hadis tersebut. Mereka yang mengetahui bahwa
tersebut kemudian bertambah banyak pada masa yang lebih belakangan. Berdasarkan
teori pertumbuhan sanad yang dikembangkan Nabia Abbout, sebuah sanad cenderung
berkembang seperti sebuah piramida. Semakin ke bawah semakin besar. Sebuah
sanad cenderung bertambah dua kali lipat pada generasi setelahnya. Dari tiga
orang pada abad pertama hijriah, menjadi tiga puluh orang lebih pada abad
ketiga hijriah.
Adanya tiga jalur periwayatan memang dapat membuat hadis ini disebut
populer (masyhur). Namun menjadi tidak wajar bila dibandingkan populasi Muslim
saat itu, atau populasi ahli hadis selama tiga abad yang mencapai delapan ribu
orang. Yang berarti tiap seratus tahun, ada sekitar 2000 orang lebih perawi
hadis. Atau dengan kata lain, 1300-an orang tiap 50 tahun. Dari 1300-an orang
itu, sungguh sangat sedikit perawi yang mengenal hadis pasukan panji hitam ini.
Bahkan bila seluruh perawi selama tiga abad dikumpulkan, tidak akan mencapai
sepuluh persen dari total populasi para perawi hadis. Ketidak-populeran hadis
ini pada tiga abad pertama merupakan kenyataan yang tidak wajar mengingat
peristiwa politik yang melibatkan kampanye pasukan panji hitam sangat marak
saat itu. Utamanya dalam masa peralihan (transisi) pemerintahan Dinasti Umayyah
dan kebangkitan Dinasti Abbasiah yang didukung oleh simpatisan Ahli Bait, Bani
Hasyim dan orang-orang Khurasan. Tiga kekuatan ini yang berhasil menjatuhkan
kekuasaan Dinasti Umayyah pada akhir abad kedua hijriah.
Di sini, menganalisis dinamika politik paruh kedua abad kedua hijriah
menjadi penting. Karena dinamika itulah yang menjadi latar belakang kelahiran
kitab al-Fitan karya Nu’aim bin Hammad pada paruh pertama abad ketiga
hijriah. Dinamika itu pula yang sedang dihadapi oleh perawi-perawi hadis ini
pada akhir kedua hijriah hingga awal abad ketiga hijriah. Pada paruh pertama
abad ketiga hijriah, hadis-hadis pasukan panji hitam baru dikodifikasi menjadi
sebuah karya dalam bidang hadis. Pemberian judul merupakan sebuah penafsiran
atas peristiwa sejarah. Ia merupakan opini seorang ahli hadis yang dalam
berwacana menggunakan hadis sebagai mediumnya. Opini ahli hadis juga dapat
ditemukan dalam judul-judul bab yang tersebar dalam kitabnya. Menggali opini
ahli hadis di sini menjadi penting dilakukan untuk melihat fungsi ideologis
karya tersebut. Penulis membangun asumsi ini dengan meminjam teori eksklusi dan
inklusi yang dikembangkan dalam analisis wacana. Bahwa seorang penulis akan
cenderung memilih informasi yang dia setujui dan mendukung gagasannya, di sisi
lain akan menyeleksi serta mengeliminir informasi yang tidak dia sepakati dalam
konteks framming. Pembuatan judul dalam sebuah kitab hadis merupakan upaya
pembingkaian (framming) yang semuanya dikembalikan kepada isi kepala penulisnya
yang memiliki keberpihakan tertentu. Hal ini sangat lumrah untuk mendukung
suatu kekuasaan tertentu. Wacana dalam konteks ini cenderung berpihak.
Analisis ini terlepas dari
kualitas kesahihan hadis pasukan panji hitam, yang dalam faktanya, telah
berkembang menjadi wacana politik. Isu pasukan panji hitam telah menghiasi
panggung politik umat Islam sejak abad kedua hijriah.
a. Daulah Bani Abbas dan Sejarah Awal Diskursus Pasukan Panji Hitam
Pada akhir pemerintahan Bani
Umayyah, ada tiga kekuatan oposisi yang menjadi ancaman bagi kelangsungan
dinasti tersebut. Ketiganya adalah sisa-sisa kekuatan kelompok Ali (Syi’at
Ali), kaum Khawarij, dan orang-orang Persia yang merasa dianak-tirikan oleh
Pemerintahan Bani Umayyah yang berorientasi Arab.
Para pendukung Ali bin Abi Thalib
dipimpin oleh Hasan, kemudian Husain, lalu putra Ali bin Abi Thalib yang lain,
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib al-Hanafiyyah. Kepemimpinan yang terakhir ini,
kemudian dilanjutkan oleh putra Muhammad bin Ali yang bernama Abu Hasyim. Nama
aslinya Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Hanafiyyah. Masyarakat kemudian mulai
mendukung posisi Abu Hasyim. Abu Hasyim kemudian menjadi incaran pemerintah
Umayyah. Di tengah situasi yang terancam, karena dia hidup di dekat pusat
kekuasaan Umayyah, dia bermaksud pindah ke kota Hamimah. Tempat pamannya, Ali
bin Abdullah bin Abbas al-Sajjad. Sebelum berhasil ditangkap, Abu Hasyim telah
meninggal. Sebelum meninggal, Abu Hasyim berwasiat kepada Muhammad, putra Ali
bin Abdullah bin Abbas, agar meneruskan perjuangan politiknya. Abu Hasyim
membekali Muhammad bin Ali bin Abdullah dengan sebuah dokumen yang berisi
daftar pengikut dan pendukungnya. Sebuah dokumen yang dicari-cari oleh
pemerintahan Umayyah. Pada saat inilah, terjadi perpindahan kepemimpinan dari
keturunan Ali bin Abi Thalib kepada keturunan Abdullah bin Abbas. Kedua orang
ini adalah sahabat muda Nabi Muhammad yang masih satu klan dengan beliau. Klan
Bani Hasyim.
Di tangan Muhammad bin Ali bin
Abdullah inilah, kekuatan politik ini menjadi lebih terorganisir dibanding
sebelumnya. Setelah Muhammad bin Ali bin Abdullah wafat, perjuangan politiknya
dilanjutkan oleh putranya Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah. Di era
kepemimpinan Ibrahim bin Muhammad ini, para pejuang di wilayah timur, Khurasan,
berhasil memenangkan sejumlah pertempuran melawan para gubernur Umayah.
Ibrahim bin Muhammad kemudian
memerintahkan jenderalnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani agar
memproklamirkan perjuangan politiknya atas nama keluarga Bani Abbas. Dalam perintah
itu, Ibrahim bin Muhammad memerintahkan agar seluruh pasukan menggunakan simbol
yang sama. Yaitu bendera hitam serta jubah hitam. Sejak saat itulah, warna
hitam simbol politik Bani Abbas.
Belum selesai perjuangan Ibrahim
bin Muhammad, kematian telah menghampirinya. Kepemimpinan kemudian diambil oleh
adiknya yang bernama, Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas.
Perjuangan politiknya berhasil menumbangkan pemerintahan Daulah Bani Umayyah.
Dalam revolusi ini, keluarga Bani Umayyah dibantai habis. Hanya satu
keturunannya yang berhasil selamat. Yaitu Abdurrahman al-Dakhil. Dia berhasil
dilarikan oleh pengikut Bani Umayyah ke Andalusia. Di tangan Abdurrahman,
Daulah Bani Umayyah berhasil berkibar di Andalusia, bumi Spanyol Islam. Di
timur, setelah kekalahan Bani Umayyah, berdiri pemerintahan baru oleh Abdullah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Ketika menjadi pemimpin, dia
menggunakan gelar Abul Abbas al-Saffah.
Kemenangan Bani Abbas dalam
perebutan kekuasaan didukung oleh sejumlah alasan. Pertama, kemerosotan
moral pemerintah Bani Umayyah, dimana agama tidak dijalankan dengan baik.
Masyarakat mengharapkan perbaikan moral. Hal inilah yang membuat banyak orang
memberikan dukungan kepada Abu Hasyim dan penerusnya. Kedua,
ketidak-adilan yang diterima oleh orang-orang non-Arab. Hal ini akibat
kebijakan pemerintah Umayyah yang dikenal berorientasi Arab. Ketiga,
keahlian para pemimpin awal Bani Abbas dalam mengobarkan sentimen agama. Dalam
hal ini, mereka banyak menggunakan pesan-pesan agama, utamanya yang tertuang
dalam hadis Nabi saw.[17]
Faktor terakhir ini, dapat
dilihat dalam sejumlah gejala yang menyertai kebangkitan dan kesuksesan karir
politik keluarga Abbas. Pertama, Nabi saw. pernah meramalkan bahwa
kepemimpinan umat Islam akan dipegang keturunan Abbas bin Abdul Muthallib.
Sejak Nabi saw. menyabdakan itu, beberapa anggota keluarga ini mulai aktif
berpolitik. Contohnya, Ibnu Abbas, seorang yang dikenal punya karir intelektual
yang baik, adalah pendukung utama sekaligus penasihat pada era kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib. Kedua, Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, kemudian
Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, mengonsolidasikan kekuatan
militernya dengan mengadopsi pesan-pesan yang terkandung dalam hadis-hadis
akhir zaman. Seperti warna hitam yang menyertai kedatangan al-Mahdi.
Berdasarkan Instruksi Ibrahim bin Muhammad, Jenderal Abu Muslim al-Khurasani
mengonsolidasikan pasukannya dalam misi ashhabur rayah al-sud min
khurasan (pasukan panji hitam dari Khurasan). Bukan hanya menggunakan panji
hitam, tapi juga seluruh atribut kemiliteran dipenuhi warna hitam. Ketiga,
ketika berhasil menduduki kursi pemerintahan, para pemimpin Bani Abbas
menggelari diri mereka dengan atribut yang disebut-sebut dalam para pemimpin
akhir zaman seperti al-Saffah, al-Manshur dan al-Mahdi.[18]
D. Hadis dan Politik
Pembahasan
sebelumnya menggambarkan kepada kita tentang fenomena penggunaan hadis-hadis
Nabi untuk mendukung suatu praktik politik. Politik dalam hal ini berarti upaya
memperoleh kekuasaan terlepas dari motif, strategi, dan tujuan yang
melatarbelakanginya. Dalam konteks Dinasti Abbasiyyah, hadis-hadis Nabi
digunakan untuk membenarkan motif penguasaan keluarga Bani Abbas terhadap umat
Islam saat itu.
Untuk
memaksimalkan upaya ini, tiga isu digunakan oleh penguasa Bani Abbasiyah. Pertama,
runtuhnya moral masyarakat karena pemerintah Umayyah dianggap menjauhi ajaran
agama. Isu ini kemudian digunakan dalam wacana politik Bani Abbas, bahwa mereka
mendakwahkan agar umat kembali kepada agama. yaitu kembali kepada al-Quran dan
al-Sunnah. Kedua, bahwa Bani Abbas adalah gerakan yang berupaya
mewujudkan ramalan-ramalan Nabi tentang kepemimpinan akhir zaman yang akan
diperoleh oleh keturunan Abbas bin Abdul Muthallib. Ketiga, kedekatan
dengan Nabi melalui hubungan kekerabatan digunakan dengan baik. Dimana gagasan
superioritas keluarga Nabi ini diterima oleh orang-orang sunni dan orang-orang
Syiah. Gagasan ini ditemukan pula dalam hadis Nabi. Seperti hadis yang
menyatakan kemunculan pemimpin akhir zaman yang akan memenuhi dunia dengan
keadilan yang disebut sebagai al-Mahdi. Al-Mahdi dalam hadis-hadis tersebut
berasal dari keluarga Nabi. Sekalipun masih bisa diperdebatkan, faktanya, isu
tersebut cukup efektif mendulang dukungan masyarakat. Keempat, Bani
Abbas menggunakan gelar-gelar yang diadopsi dari hadis-hadis Nabi saw. seperti
al-Saffah, al-Manshur, dan al-Mahdi. Kelima, dalam mengonsolidasikan kekuatan
militer, keluarga Bani Abbas menggunakan hadis-hadis akhir zaman tentang
pasukan panji hitam sebagai materi kampanye dan diadopsi sebagai simbol
politik.
Dari sini dapat
diambil gejala umum penggunaan hadis dalam politik. Pertama,
hadis keutamaan sesuatu digunakan menjustifikasi kepentingan tertentu. Seperti
keutamaan keluarga Nabi dan keturunan Abbas bin Abdul Muthallib. Kedua,
hadis-hadis ramalan tentang masa depan dunia ditafsirkan untuk suatu konteks
tertentu dan untuk suatu kepentingan tertentu. Di sisi lain, harus diakui
absurditas dan ambiguitas maksud dari hadis-hadis ramalan tersebut. Jadi, pada
dasarnya praktik ini cukup sewenang-wenang karena tidak ada yang dapat
dikonfirmasi akan kebenaran penafsiran tersebut.
Ketiga,
orang-orang berupaya mengidentifikasi hubungan mereka dengan otoritas kenabian.
Baik itu adalah kekeluargaan maupun keagamaan. Bila dulu orang-orang Bani Abbas
menggunakan kekuatan pendukung Ali (Syi’at Ali), lalu mereka mengidentifikasi
sebagai keluarga Nabi, lalu mereka memosisikan diri sebagai orang-orang yang
punya otoritas dalam agama. Hal ini berarti, upaya-upaya ini dilakukan secara
sengaja dengan cara mencari-cari hubungan. Atau menciptakan suatu hubungan
tertentu.
Keempat,
kandungan-kandungan hadis akhir zaman diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Hal ini seperti
dalam penggunaan gelar dan penggunaan atribut bendera dan seragam hitam dalam
saya militer Bani Abbas. Kelima,
aktor-aktor politik menafsirkan dan mewujudkan pesan-pesan yang terkandung
dalam hadis Nabi. Tafsir-tafsir tersebut kemudian menjadi pegangan bagi
pengikut-pengikutnya. Yang menjadi persoalan adalah, kebenaran penafsiran
tersebut tidak memiliki standar kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan.
E. Penutup
Ulasan dalam
artikel ini mengarah kepada kesimpulan bahwa penggunaan hadis untuk suatu upaya
politik telah dikenal dalam sejarah Islam. Isu pasukan akhir zaman yang
digaungkan NIIS, melalui media internet, yang didasarkan kepada hadis-hadis
akhir zaman, al-Mahdi, Khurasan, pasukan panji hitam dan lainnya, bukan hanya
dimonopoli oleh kelompok ini. Seribu tahun yang lalu, hadis-hadis tersebut
sudah pernah digunakan oleh pemerintah Bani Abbas.
Di sini, kita
menemukan fenomena penggunaan hadis untuk mendukung aksi-aksi radikal. Uniknya,
hadis-hadis itu selalu memiliki pengertian yang absurd. Samar. Dan tidak tegas dalalah-nya.
Ini tentu mengkhawatirkan karena sulitnya menemukan ukuran kebenaran penafsiran
yang ditawarkan oleh para pengguna hadis tersebut. Absurditas ini muncul
karena, penafsiran tersebut dikembalikan kepada kenyataan yang sedang dibangun
oleh sang penafsir. Jadi, realitas itu merupakan realitas ciptaan yang coba
diwujudkan untuk mewujudkan kandungan hadis itu sendiri. Di sini, argumen untuk
mengukuhkan kebenaran bersifat melingkar (tasalsul). Dalam teori argumen
klasik, argumen semacam ini dapat tergolong lemah bahkan menyesatkan (al-tasalsul
muhal). Namun, kemudian kenyataan ciptaan itu dijadikan standar kebenaran
sabda Nabi. Inilah dilema paradigma pemahaman hadis kelompok NIIS.
Sebagai
penutup, perlu diketengahkan bahwa apa yang dikampanyekan NIIS hanyalah salah
satu model tafsir atas teks-teks keagamaan yang bersifat ambigu. Yang standar
kebenarannya menjadi sangat sulit ditentukan. Hal ini, belum lagi bila kita
melihat bahwa hadis-hadis yang digunakan dalam konteks ini bernilai lemah.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Kathir. Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu
A’lam.
*Kertas kerja ini ditulis untuk membantu riset pemetaan pemikiran ideologi gerakan Islam radikal oleh Institute for International Peace Building (IIPB).
[1]
Seorang ulama ahli hadis abad kelima hijriah Abu Bakr Ali bin Tsabit
al-Baghdadi menulis buku khusus tentang kota ini. Fokus utamanya adalah para
intelektual yang pernah mengunjungi, bermukim, berkarir dan meninggal di kota
ini. Salah satu bagiannya memuat hadis-hadis tentang keutamaan kota ini. Baik
hadis-hadis yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya maupun yang tidak.
Demikian pula dengan kesaksian para sarjana yang hidup saat itu. Semua adalah
strategi promosi untuk memajukan kota Baghdad yang sebelumnya dinamakan Madina
al-Salam (kota kedamaian). Abu Bakr Ali bin Tsabit al-Baghdadi, Tarikh
Baghdad, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001), juz 1, hlm. 325
[2]
Dalam tinjauan sejarah, Ibnu Katsir telah melakukan banyak kritik terhadap
penggunaan hadis-hadis akhir zaman untuk mendukung kepentingan politik pendiri
Daulah Abbasiyyah pada abad kedua hijriah. Beliau mengomentari hadis-hadis yang
digunakan dalam kampanye politik pendukung Daulah Abbasiyyah, “Hadza Kulluhu
Tafri’un ‘Ala Shihhati Hadzihi al-Ahadith, wa Illa fala yakhlu sanadun minha
kalamun wa allahu subhanahu wa ta’ala a’lam bi al-shawab.” (Perdebatan
tentang kandungan hadis-hadis mahdi dan peristiwa akhir zaman, didasarkan pada
asumsi kesahihan hadis-hadisnya. Bila tidak, maka sebenarnya seluruh sanad
hadis-hadis tersebut memiliki cacat yang perlu dikomentari. Allah SWT yang maha
tahu yang benar. Abu al-Fida’ Ibnu Katsir al-Qurashi, al-Bidayah wa
al-Nihayah, (Beirut: Dar Ihya’ Turath), juz 6, hlm. 278
[3]
Imam Al-Bukhari menyusun hadis-hadis akhir zaman dalam Kitab al-Fitan
yang memuat tidak kurang dari dua puluh judul sub bab. Bab ini merupakan salah
satu bagian dari Sahih al-Bukhari.
Imam Muslim menamakan topik ini dengan Kitab al-Fitan wa Ashrat
al-Sa’ah. Memuat 28 judul sub bab. Imam Abu Dawud memberi judul Kitab
al-Fitan wa al-Malahim. Ada 7 sub bab dalam topik kitab Sunan Abu Dawud. Namun
setelah topik ini, Imam Abu Dawud membuat bab yang pada umumnya ahli hadis
menggabungkannya dengan Kitab Al-Fitan. Dua bab tersebut adalah Kitab
al-Mahdi dan Kitab Al-Malahim. Masing-masing berisi satu hadis untuk
topik pertama, dan 18 hadis untuk topik terakhir (kitab al-Malahim).
Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, menyusun topik Abwab al-Fitan.
Memuat 79 sub bab. Sedangkan Sunan Ibnu Majah menggunakan judul Kitab
al-Fitan yang berisi 36 bab.
[4]
Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali al-Khurasani al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, editor Abdul Fattah Abu Ghuddah (Halb: Maktab al-Mathbu’at
al-Islamiyyah, 1986), juz 8, hlm. 128
[5]
Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadah Ila al-Jami’
al-Shaghir, juz 1, hlm.106
[6]
Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, juz
14, hlm. 261-590
[7]
Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, juz
1, hlm. 104
[8]
Abu Ishaq al-Huwaini, Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a bi al-Nazhar fi Kutub
al-Amajid, hlm. 512
[9] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz
14, hlm. 383
[10] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz
37, hlm. 70
[11] Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2, hlm. 1367
[12] Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, juz 4, hlm. 310
[13] Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, juz
4, hlm. 510
[14]
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, juz 4, hlm. 531
[15]
Nu’aim bin Hammad, al-Fitan, hlm. 231
[16] Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid
6, hlm. 278. Sebagian
orang meyakini bahwa pasukan panji hitam itu akan muncul menegakkan kebenaran
di akhir zaman. Dan seperti diulas sebelumnya, kualitas hadis pasukan panji
hitam yang mendasari keyakinan tersebut masih dipertanyakan. Muncul pertanyaan
mengenai sejauhmana hadis dapat dijadikan pijakan dalam masalah akidah.Pertanyaan ini sebenarnya telah didiskusikan para
ulama sejak abad kedua hijriah. Terutama oleh sebagian aliran dalam sekte
Muktazilah dan kelompok yang berpihak pada penggunaan hadis ahad (baca: ahl
al-hadith). Kedua kelompok sarjana ini sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan
secara mutawatir (massal) dapat diterima sebagai dasar keyakinan teologis
karena sulit dikritik. Namun keduanya berbeda pendapat tentang hadis ahad yang
diriwayatkan oleh sejumlah informan yang kurang dari jumlah informan mutawatir.
Menurut sarjana Muktazilah, hadis ahad tidak dapat
dijadikan dasar akidah. Mereka berargumen bahwa akidah merupakan persoalan
keyakinan sehingga dasar argumennya juga harus meyakinkan. Atas asumsi dasar
ini, mereka mengembangkan pada wilayah yang lebih teknis dengan menolak
penggunaan hadis ahad untuk masalah keyakinan. Hadis-hadis yang berbicara
mengenai siksa kubur, konon ditolak oleh kelompok ini. Pandangan ini pada awal
abad kedua puluh kembali dipopulerkan oleh kelompok Syekh Rasyid Ridha dan
orang-orang yang setuju dengan gagasannya seperti Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah
dan Mahmud Syaltut.
Sedangkan menurut kelompok ahl al-hadith, hadis
ahad dapat dijadikan dasar dalam berkeyakinan. Argumennya, penerimaan informan
yang kurang dari jumlah mutawatir dalam persoalan akidah sudah terjadi sejak
masa Nabi saw. dan terus berlanjut hingga masa-masa setelahnya. Artinya, hadis
ahad direstui oleh Nabi saw. sebagai sumber informasi yang dapat diterima.
Hadis ahad yang dimaksud di sini tentu saja yang dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya melalui serangkaian uji sumber (baca: kritik
sanad). Uji sumber dalam konteks ini seperti telah dilakukan pada sub bab
sebelumnya. Bila sumber informasi hadis ahad kuat, maka hadis ahad dapat
dijadikan dasar berkeyakinan. Bila sebaliknya, maka hadis ahad harus ‘ditahan’
dengan tidak digunakan dalam membicarakan wacana keyakinan (akidah).
Hadis pasukan panji hitam, yang menurut ulama
sahih, hanyalah pada riwayat al-Hakim. Seperti diulas sebelumnya, pada
prinsipnya, terdapat perawi yang bermasalah dalam sanad imam al-Hakim. Hal ini
menyebabkan hadis riwayat al-Hakim problematis. Karenanya hadis ini tidak
memberikan keyakinan sepenuhnya. Terlalu riskan mendasarkan keyakinan pada
dasar yang masih diragukan.
[17]
Ali Muhammad al-Shulabi menyimpulkan ada tiga faktor isu yang digunakan oleh
Bani Abbas. Pertama, perbaikan moral masyarakat dengan mengajak kembali kepada
al-Quran dan al-Sunnah. Hal ini sebenarnya sangat lumrah dikampanyekan oleh
kelompok-kelompok saat itu. Beberapa hadis ditafsirkan oleh pemimpin-pemimpin
Bani Abbas untuk mendukung posisi mereka. Kedua, kesetaraan yang diberlakukan
oleh pemerintahan baru ini. Antara orang-orang Arab dan orang-orang non-Arab.
Sehingga diskriminasi rasial tidak berlaku. Ketiga, menyerahkan
kepemimpinan kepada keluarga Nabi yang diterima masyarakat. Isu keluarga Nabi
ini diterima baik oleh orang-orang Sunni maupun Syi’i. Lihat dalam Ali Muhammad
al-Shulabi, al-Da’wah al-‘Abbasiyyah
wa Dauruha fi Nihayat al-Daulah al-Umawiyyah, diakses dari
https://www.islamtoday.net/bohooth/artshow-86-6797.htm
[18] Ibnu
Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid 6, hlm. 277-278.
Sumber Bacaan:
Abu Bakr Ali bin Tsabit al-Baghdadi, Tarikh Baghdad,
(Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 2001).
Abu al-Fida’ Ibnu Katsir al-Qurashi, al-Bidayah wa
al-Nihayah, (Beirut: Dar Ihya’ Turath).
Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ‘Ali
al-Khurasani al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, editor Abdul Fattah Abu Ghuddah
(Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1986).
Abu Bakr al-Suyuthi, Al-Fath al-Kabir fi Dhamm
al-Ziyadah Ila al-Jami’ al-Shaghir.
Al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan
al-Aqwal wa al-Af’al.
Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa
Muzil al-Ilbas.
Abu Ishaq al-Huwaini, Tanbih al-Hajid ila Ma Waqa’a
bi al-Nazhar fi Kutub al-Amajid,. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hanbal.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah.
Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar.
Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi.
Nu’aim bin Hammad, al-Fitan.
Ali Muhammad al-Shulabi, al-Da’wah al-‘Abbasiyyah wa Dauruha fi
Nihayat al-Daulah al-Umawiyyah, diakses dari
https://www.islamtoday.net/bohooth/artshow-86-6797.htm
DEKLARASI PERANG PENEGAKKAN DINUL ISLAM
BalasHapusDISELURUH DUNIA
Bismillahir Rahmanir Rahiim
Dengan Memohon Perlindungan dan Izin
Kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
Rabb Pemelihara dan Penguasa Manusia,
Raja Manusia yang Berhak Disembah Manusia.
Rabb Pemilik Tentara Langit dan Tentara Bumi
Pada Hari Ini : Yaumul Jum'ah 6 Jumadil Akhir 1436H
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mengeluarkan Pengumuman kepada
1. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Afrika
2. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Eropa
3. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia
4. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia Tenggara
5. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Amerika
6. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Australia
7. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Utara
8. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Selatan
9. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) diseluruh Dunia
PENGUMUMAN DEKLARASI PERANG SEMESTA
Terhadap Seluruh Negara yang Tidak
Menggunakan Hukum Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Perang Penegakkan Dinuel Islam ini Berlaku disemua Pelosok Dunia.
MULAI HARI INI
YAUMUL JUM'AH 6 JUMADIL AKHIR 1436H
BERLAKULAH PERANG AGAMA
BERLAKULAH PERANG DINUL ISLAM ATAS DINUL BATHIL
BERLAKULAH HUKUM PERANG ISLAM DISELURUH DUNIA
MEMBUNUH DAN TERBUNUH FISABILILLAH
"Dan BUNUHLAH mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan USIRLAH mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
(Q.S: al-Baqarah: 191-193).
BUNUH SEMUA TENTARA , POLISI, INTELIJEN , MILISI SIPIL ,HAKIM DAN
BUNUH SEMUA PEJABAT SIPIL Pemerintah Negara Yang Memerintah dengan Hukum Buatan Manusia (Negara Kufar).
BUNUH SEMUA MEREKA-MEREKA MENDUKUNG NEGARA-NEGARA KUFAR DAN MELAKUKAN PERMUSUHAN TERHADAP ISLAM.
JANGAN PERNAH RAGU MEMBUNUH MEREKA sebagaimana mereka tidak pernah ragu untuk MEMBUNUH, MENGANIAYA DAN MEMENJARAKAN UMMAT ISLAM YANG HANIF.
INTAI, BUNUH DAN HANCURKAN Mereka ketika mereka sedang ada dirumah mereka jangan diberi kesempatan lagi.
GUNAKAN SEMUA MACAM SENJATA YANG ADA DARI BOM SAMPAI RACUN YANG MEMATIKAN.
JANGAN PERNAH TAKUT KEPADA MEREKA, KARENA MEREKA SUDAH SANGAT KETERLALUAN MENENTANG ALLAH AZZIZUJ JABBAR , MENGHINA RASULULLAH SAW, MENGHINA DAN MEMPERBUDAK UMMAT ISLAM.
BIARKAN MEREKA MATI SEPERTI KELEDAI KARENA MEREKA ADALAH THOGUT DAN PENYEMBAH THOGUT
HANCURKAN LULUHKAN SEMUA PENDUKUNG PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA KUFAR
DARI HULU HINGGA HILIR
HANYA SATU UNTUK KATA UNTUK BERHENTI PERANG,
MEREKA MENYERAH DAN MENJADI KAFIR DZIMNI.
DAN BERDIRINYA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH.
KHALIFAH IMAM MAHDI.
Kemudian jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Al-Baqarah : 192-193
SAMPAIKAN PESAN INI KESELURUH DUNIA,
KEPADA SEMUA ORANG YANG BELUM TAHU ATAU BELUM MENDENGAR
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
PANGLIMA ANGKATAN PERANG PANJI HITAM
Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh
yang nulis begini biasanya intel kotor ngintai naik pangkat
HapusApakah seperti itu sikap seorang guru? Ada baiknya anda belajar lagi..
Hapus