Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api (2)







Dalam sebuah artikel berjudul Kalian Mencontoh Salaf Dalam Pembakaran Kalian Mencontoh Salaf Dalam Pembakaran yang ditulis oleh Syekh Husen Ibnu Mahmud dan diterjemahkan oleh Abu Sulaiman al-Arkhabili, dikatakan bahwa melakukan pembakaran terhadap manusia, pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Khalid bin al-Walid. 


Namun demikian, riwayat yang kuat tentang praktik pembakaran manusia hidup-hidup hanya ada satu. Yaitu yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dua riwayat lainnya yang melibatkan Khalifah Abu Bakar dan sahabat Khalid bin al-Walid belum penulis temukan. Karenanya, dalam pembahasan ini, penulis akan membatasi pada riwayat mengenai praktik Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kesahihan riwayat pembakaran Khalifah Ali bin Abi Thalib dapat dipertanggungjawabkan karena riwayat tersebut disebutkan dalam kitab Sahih Ibn Hibban. Yang mengindikasikan bahwa riwayat tersebut sahih. 


Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pernyataan sahabat dapat menjadi dalil dalam masalah agama? bagaimana jika pendapat sahabat tersebut bertentangan dengan pernyataan Nabi Muhammad saw? masih dapatkah pernyataan dijadikan pegangan?  



Dalam kasus yang sedang kita bahas, pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mudah. Yaitu pernyataan Nabi Muhammad saw. harus didahulukan. Berikut ini, adalah dalil mengapa perkataan Rasulullah saw. harus didahulukan.


Pertama, Allah azza wa jalla memerintahkan agar umat Islam mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Lalu baru kemudian para pemimpin. 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا



Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin kalian. Bila kalian berselisih tentang sesuatu hal, kembalikan lah kepada Allah dan rasul-Nya. Bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hal itu adalah yang terbaik dan penjelasan paling baik. 


Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa yang paling berhak ditaati adalah Allah, lalu rasul-Nya, lalu para pemimpin. Ketika terjadi perbedaan antara Rasulullah saw. dengan sahabatnya, tentu saja yang dikedepankan adalah Rasulullah saw. Karena, Allah lebih mendahulukan rasul-Nya dibanding pemimpin umat Islam lainnya.


Setelah Rasulullah saw. wafat, para sahabat menggantikan tugas beliau. Baik dalam urusan duniawi maupun agama. Di sini, para sahabat adalah para pemimpin bagi umat Islam saat itu. Sedangkan para khalifah adalah sahabat yang menjadi pemimpin bagi sahabat yang lain. Dalam masalah pembakaran hidup-hidup, para sahabat berbeda pendapat. Karenanya, cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah tidak memberi hak kepada para pemimpin dalam persoalan ini. Dengan demikian, mengembalikan khilafiah yang terjadi tentang pembakaran kepada para khalifah, padahal ada keputusan dari Nabi saw., adalah tidak tepat. Cara berfikir seperti itu tidak sesuai dengan yang diajarkan Alquran. 


Kedua, ijtihad sahabat masih diperselisihkan di kalangan ulama apakah boleh dijadikan dalil atau tidak. Menurut ulama mazhab Syafi’I, Asy’ari, Muktazilah dan Syiah, pendapat sahabat  semacam itu bukan hujjah. Sedangkan menurut mazhab hanafi, maliki dan hanbali, pendapat sahabat adalah hujjah. 


Pembakaran yang diinstruksikan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib jelas-jelas merupakan hasil ijtihad beliau. Apakah ijtihad ini hujjah syar’iyyah atau bukan, para ulama berbeda pendapat. Bagi Syafi’iyyah tentu saja bukan hujjah. Tapi bagi hanabilah, adalah hujjah syar’iyyah. Kemudian, bila ijtihad itu ditarik kembali oleh pemiliknya, apakah juga masih dapat dijadikan pegangan? Tentu saja, tidak.


Ketiga, ijtihad seorang sahabat pastinya didasarkan kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dalam syariat seperti Alquran dan al-Sunnah. Baiklah, kita huznuzzhan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib mendasarkan ijtihadnya pada hadis Nabi, misalnya. Ketika ijtihad ini bertentangan dengan hadis Nabi, artinya telah terjadi pertentangan antara satu hadis dengan hadis yang lain. Mana yang boleh diambil? Menurut teori tarjih nomor 25 yang disebutkan oleh al-Hazimi (584 H.) dalam kitab al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, dikatakan, “Ketika terjadi pertentangan antara dua hadis salah satunya dinisbatkan kepada Nabi saw. secara tekstual (nasshan wa qaulan), sedangkan hadis lain dinisbatkan kepada beliau secara ijtihad (istidlalan wa ijtihadan), maka yang pertam harus diunggulkan.” 


Katakan misalnya, pendapat Khalifah Ali bin Abi Thalib bersumber dari Nabi saw. melalui ijtihad, maka ia harus dikalahkan oleh hadis yang secara tekstual dinisbatkan kepada Nabi saw. yaitu hadis yang melarang pembakaran. 


Hal ini sama dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Said bahwa beliau menjual ummu aulad pada masa Nabi saw. masih hidup. Di sisi lain, Abdullah bin Umar pernah mendengar Rasulullah melarang menjual ummu aulad. Keduanya sama-sama sahabat nabi. Kedua informasi yang mereka bawa juga sama-sama hadis. hanya saja, hadis yang pertama dari Abu Said tidak bersumber dari pernyataan Nabi langsung. Sedangkan hadis riwayat Ibnu Umar bersumber dari perkatan langsung. Para ulama lebih menggunggulkan hadis Ibnu Umar yang melarang penjualan ummu aulad. Sedangkan perbuatan yang dilakukan Abu Said, tidak diketahui apakah Rasulullah mengizinkan atau tidak. Maka, diduga kuat bahwa perbuatan Abu Said al-Khudri adalah didasarkan kepada ijtihad. 


Keempat, hadis yang harus didahulukan adalah yang lebih sesuai dengan qiyas (cara berfikir syar’i). Dalam kaidah nomor 29, al-Hazimi mengatakan, “Bila bertentangan dua hadis, dan salah satunya sesuai dengan qiyas sedang yang lain tidak, maka lebih utama mengambil yang pertama (yang sesuai qiyas).” Qiyas atau cara berfikir syar’I ini selalu didasarkan kepada kemaslahatan. Kemaslahatan yang diperhatikan oleh syarak ada lima: menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjawa agama (hifzhud din), menjaga akal fikiran (hifzhul aqli), menjaga harta (hifzhul mal), dan menjaga garis keturunan (hifzhun nasab). Sebagian ulama menambahkan, kehormatan insani (al-karamah al-insaniyyah). 


Pembakaran hidup-hidup jelas tidak sesuai dengan prinsip kehormatan insani yang dianugerahkan Allah. Wa laqad karramna bani adam.. (kami telah memberikan kemuliaan kepada keturunan Adam..). Dan karena prinsip inilah Rasulullah saw. tidak jadi memerintahkan pembakaran. 


Dalam sebuah riwayat sahih dikatakan, Rasulullah saw. melihat sebagian sahabat membakar sarang semut. Kemudian beliau marah dan mengatakan, “Tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah.” Qiyas yang dapat diambil dari hadis ini adalah, membakar sarang semut saja tidak boleh, apalagi membakar manusia hidup-hidup.


Nabi saw. juga pernah berkata, “Idza qataltum fa ahsinu al-qitlah” (ketika kalian membunuh, lakukan dengan cara terbaik). Cara yang terbaik menurut para ulama adalah yang paling cepat menghilangkan nyawa dan tidak ada unsur siksaan. Pembakaran hidup-hidup jelas bentuk penyiksaan murni yang melanggar banyak perintah Rasulullah saw. 


Kelima, berdasarkan kaidah nomor 30 yang dikemukakan al-Hazimi dikatakan, bila salah satu hadis memberi kesan atau dapat menimbulkan kesan menurunkan kemuliaan sahabat, sedangkan hadis yang lain tidak, maka wajib mendahulukan hadis yang tidak akan menimbulkan kesan kebobrokan moral sahabat. 


Pembakaran hidup-hidup merupakan perbuatan kejam, brutal, dan tidak manusiawi. Sahabat Nabi saw. adalah orang-orang yang mulia. Kemuliaan mereka disebut-sebut dalam Alquran, hadis-hadis Nabi, dan perkataan mayoritas ulama Muslim. Tidak dapat dibayangkan bila mereka melakukan perbuatan yang jauh dari rasa kemanusiaan. 


Lebih-lebih, pendapat mereka yang membolehkan pembakaran telah ditarik kembali setelah mendengar Rasulullah saw. pernah melarangnya.  Maka menggunakannya sebagai dalil jelas akan menurunkan derajat kemuliaan mereka. Jika demikian, hal ini sama dengan perbuatan mencaci sahabat (sabb al-shahabah) yang dilarang agama.


Demikian uraian kami bahwa pembakaran hidup-hidup yang dilakukan kelompok ISIS tidak memiliki pijakan agama yang kuat sekalipun mereka berusaha mencari-cari dalil dari agama.









    




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api