Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*



M. Khoirul Huda



     A.     Pendahuluan
Diskusi tentang “klasifikasi ilmu pengetahuan” dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari megaproyek “islamisasi pengetahuan”. Ide ini muncul pada pertengahan abad kedua puluh, pascakolonialisme, di tangan sejumlah pemikir-filosof Muslim Asia-Amerika seperti Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986), Taha Jabir Alwani (1935-2016), Sayyed Hosein Nasr (1933-sekarang), Sayyed Muhammad Naquib Al Attas (1931-sekarang), dan Osman Bakar (1946-sekarang).[1] Para pemikir tersebut berupaya mengembangkan gagasan islamisasi pengetahuan melalui pendirian lembaga riset dan pendidikan. Ismail Faruqi dan Taha Jabir mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT), pada 1980. Sedangkan Sayyed Naquib Al Attas mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC), pada 1987. Sebelumnya, pada 1977, Osman Bakar mendirikan Islamic Academy of Science (IAS).
Para sarjana di Indonesia memiliki respon yang cukup beragam tentang ide islamisasi pengetahuan. Sebagian seakan menerima gagasan islamisasi pengetahuan apa adanya, dan sebagian lain mengembangkan dalam bentuk ide-ide baru seperti “pengilmuan Islam” ala Kuntowijoyo dan “integrasi ilmu pengetahuan” ala akademisi-IAIN dengan beragam variannya yang mendasari lahirnya sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN).
Baik dalam konteks global maupun nasional, diskursus islamisasi pengetahuan atau integrasi ilmu pengetahuan berhubungan erat dengan upaya memajukan kehidupan Muslim melalui jalur ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan. Proyek islamisasi pengetahuan berupaya menggali kembali kekayaan ilmu pengetahuan, lalu menampilkannya dalam kehidupan kontemporer sebagai cara hidup yang beradab dan bermartabat, dan terkadang untuk menghadapi superioritas “Barat”. Menurut Fazlur Rahman, islamisasi pengetahuan bertujuan memberikan nilai moral pada pengembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan. Hal ini karena masalah utama ilmu pengetahuan modern (yang berkembang di Barat) adalah terabaikannya nilai-nilai moral sehingga ilmu pengetahuan justru menciptakan kehancuran bagi manusia.[2] Karenanya, menggali kekayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang hidup di wilayah-wilayah Muslim menjadi penting dilakukan. Diskursus yang dikembangkan pada umumnya meliputi konsepsi pengetahuan, nilai-nilai pengetahuan, metode dan epistemologi pengetahuan, sistem pengetahuan, cabang-cabang ilmu pengetahuan, struktur pengetahuan, kebudayaan, peradaban; seni, bahasa, lembaga pendidikan dan lainnya.
Dalam struktur diskursus “islamiasasi pengetahuan”, “konsepsi pengetahuan dalam Islam” merupakan tema sentral bagi sub-diskursus lainnya. Pengkajian konsep pengetahuan Islam pada umumnya dimulai dengan mengeksplorasi “objek-objek pengetahuan” yang menjadi topik diskusi para filosof Muslim-klasik seperti Al-Farabi (951 M.), Ibnu Sina (1037 M.) dan Al-Ghazali (1111 M.). Hubungan “konsep pengetahuan Islam” dengan “objek-objek pengetahuan islami” inilah yang kemudian melahirkan “klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam”. “Klasifikasi ilmu pengetahuan Islam” dibahas secara utuh oleh Osman Bakar dalam karyanya, Classification Of Knowledge In Islam; A Study In Islamic Philosophis Of Science (1998). Buku ini mencoba mengeksplorasi model-model pengelompokkan ilmu pengetahuan dalam pandangan para filosof Muslim. Tiga filosof yang diangkat oleh buku ini mewakili era dan tradisi pemikiran yang berbeda; al-Farabi, al-Ghazali dan al-Shirazi. Makalah ini akan berupaya mendeskripsikan temuan Osman Bakar dalam eksplorasinya terhadap model-model klasifikasi ilmu pengetahuan dalam filsafat Islam Klasik.
Makalah ini disusun dalam beberapa bagian. Bagian pertama mengulas biografi Osman Bakar. Kedua, pemikiran Osman Bakar yang konsen pada isu hubungan Islam dan sains. Ketiga, konsep klasifikasi ilmu model al-Farabi dan al-Ghazali. Bagian keempat adalah penutup.            

    
      B.     Biografi
Osman Bakar lahir di sebuah desa kecil dekat kota Temerloh, di pantai timur negara Pahang, Semenanjung Malaysia pada 1946. Ia lahir dari pasangan Haji Bakar bin Yusof dan Hajah Besah bint Taib. Ia menjalani pendidikan tingkat SMA di sekolah asrama bergengsi, Melayu College Kuala Kangsar, yang sejak era pemerintahan Inggris dijuluki sebagai “Eaton dari Timur”. Sejak awal, Osman memiliki minat khusus dalam sains dan matematika. Setelah menyelesaikan SMA, ia bekerja sebagai guru sementara di Kuantan. Pada bulan September 1967, ia meninggalkan Malaysia karena mendapatkan beasiswa untuk belajar matematika di Woolwich Polytechnic, London University. Ia lulus dengan gelar Bachelor pada bulan Juni 1970. Ia kemudian kembali ke Malaysia untuk menjadi guru di Departemen Matematika, National University of Malaysia, Kuala Lumpur. Setelah beberapa bulan, Osman kembali ke London pada bulan September untuk melanjutkan studi pascasarjana mengenai Aljabar di Bedford College, Universitas London. Tahun berikutnya, ia memperoleh gelar Master of Science.[3]
Pada tahun yang sama, Osman memulai studi doktornya di perguruan tinggi yang sama. Dia mengkhususkan diri pada teori grup aljabar. Namun, ia menjadi sangat tertarik pada agama dan filsafat. Dia mulai membaca lebih banyak buku tentang pemikiran Islam, filsafat Barat dan Islam, dibanding aljabar. Dia sangat tertarik dengan tulisan-tulisan dua pemikir besar Muslim, sarjana Iran kontemporer Seyyed Hossein Nasr, dan cendekiawan abad pertengahan al-Ghazali. Dia mengakui bahwa tulisan-tulisan dari kedua pemikir tersebut memberikan pengaruh besar pada pandangan intelektual dan perkembangan dirinya pada masa selanjutnya. Karya Al-Ghazali yang berjudul al-Munqidz min al-Dhalal memiliki kontribusi besar terhadap perspektif Islam tentang agama dan ilmu pengetahuan. Tiga karya Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, The Encounter of Man and Nature, dan Science and Civilization in Islam, menurut Osman, memiliki dampak terbesar pada pemikiran filosofis. Sangat jelas bahwa ia sudah menganut banyak pandangan intelektual Nasr tentang agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebagai hasil dari pencariannya terhadap kecenderungan intelektual baru dan beberapa keadaan yang menekan, Osman mengakhiri studi doktor dalam matematika, lalu pulang ke National University of Malaysia pada bulan Oktober 1973 dan menjadi dosen di Departemen Matematika.[4]
Pada bulan Oktober 1981, Osman pergi ke Temple University, Philadelphia untuk melanjutkan studi doktornya dalam filsafat Islam tentang ilmu pengetahuan di bawah pengawasan Sayyed Hoesin Nasr. Dia menulis Classification of the Sciences in Islamic Intellectual History: A Study in Islamic Philosophies of Science yang telah diterbitkan dengan judul Classification of Knowledge in Islam. Edisi Malaysia pertama kali diterbitkan pada tahun 1992, dan edisi Inggris pada tahun 1997. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Persia. Setelah memperoleh gelar PhD, Osman dipromosikan menjadi Associate Professor pada tahun 1989, dan Profesor pada tahun 1992 sebagai ahli dalam bidang Filsafat Ilmu. Dari Juli sampai Desember 1992, dia terlibat dalam program Fulbright Visiting Scholar di Departemen Sejarah Ilmu Pengetahuan, Harvard University di mana dia melakukan penelitian tentang Matematika dalam Budaya Muslim.[5]
Selama 25 tahun terakhir, Osman telah memiliki kontribusi besar dalam mempopulerkan “ilmu pengetahuan Islam” dan wacana intelektual “agama dan ilmu pengetahuan”, dan turut andil dalam memajukan studi lintas budaya, sejarah dan filsafat ilmu. Kontribusi intelektualnya memiliki dampak, tidak hanya di negerinya sendiri, Malaysia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Muslim. Dia adalah pendiri utama Islamic Academy of Science, yang didirikan pada tahun 1977. Dia adalah yang Sekretaris Jenderal pertama (1977-1981), dan kemudian menjadi Presiden lembaga tersebut (1987-1992). Di antara tujuan dari Academy adalah untuk mempromosikan studi dan penelitian tentang “agama dan ilmu pengetahuan”, khususnya dari sudut pandang Islam.[6]
Karya-karyanya cukup melimpah. Di antaranya;[7]

No.
Tahun
Judul
1.
1991
The History and Philosophy of Islamic Science. Islamic Texts Society, Cambridge (UK) 1999; 1991 edition published by Secretariat for Islamic Philosophy and Science, Science University of Penang and Nurin Enterprise, Kuala Lumpur under the title Tawhid and Science.
2.
1992
Classification of Knowledge in Islam. Islamic Texts Society, Cambridge (UK) 1998; 1992 edition published by Institute for Policy Studies, Kuala Lumpur.
3.
1992
(ed.). Science, Technology, and Art in Human Civilizations. University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1992. (in Malay)
4.
1989
(ed.). Islam and Contemporary Scientific Thought. Islamic Academy of Science, Kuala Lumpur, 1989. (in Malay)
5.
1987
(ed.). Critique of Evolutionary Theory: A Collection of Essays. Islamic Academy of Science and Nurin Enterprise, Kuala Lumpur, 1987.


Ensiklopedi
6.
1995
“Cosmology” in John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 1(1995), pp. 322-328.
7.
1995
“Abortion: Islamic Perspectives” in Warren Thomas Reich (ed.), Encyclopedia of Bioethics, rev. edition, vol. 1(1995), pp. 38-42.


Bunga Rampai
8.
1997
. “The Importance of Cosmology in the Cultivation of the Arts,” in Wan Abdul Kadir & Hashim Awang (eds.), Art and Cosmology: Islamic Cosmology and Malay Art, Academy of Malay Studies, Kuala Lumpur, pp. 1-6.
9.
1996
“Science (as a Branch of Philosophy)” in S.H. Nasr & O. Leaman (eds.), History of Islamic Philosophy, Routledge History of World Philosophies, vol. II, chapter 53, pp. 926-958.
10.
1994.
“Knowledge of Divine Unity (tawhid) on the Basis of Scientific Knowledge,” Ismail Ibrahim & Mohd Sahri Abdul Rahman (eds.), Knowledge and Excellence in Islamic Perspective, Institute of Islamic Understanding (IKIM), Kuala Lumpur, pp. 1-9.
11.
1993
“Science in Islamic Perspective,” in Azizan Baharuddin (ed.), Malay Students and Science Education, Academy of Malay Studies Monograph (Cendekia), University of Malaya, Kuala Lumpur, no. 2, pp. 8-24. (in Malay)
12.
1991
“The Unity of Science and Spiritual Knowledge: The Islamic Experience,” in R. Ravindra (ed.), Science and Spirit, International Cultural Foundation, New York, pp. 87-101.
13.
1991
“Spiritual Traditions and Science and Technology,” in ALIRAN, The Human Being: Perspectives from Different Spiritual Traditions, ALIRAN, Kuala Lumpur, pp. 140-155.
14.
1984
“The Question of Methodology in Islamic Science,” in Rais Ahmad & S. Naseem Ahmad (eds.), Quest for New Science: Selected Papers of a Seminar, Center for Studies on Science, Aligarh (India), pp. 91-109.

15.
1979
“The Role of Science Education in the Spiritual Development of Man,” in PKPIM Collection:  Symposium on Islamic Education, National Union of Muslim Students of Malaysia (PKPIM), Kuala Lumpur, pp. 119-135.



Jurnal
16.
1996
“Truth and Wisdom in a Holistic Concept of Knowledge,” Pemikir, no. 3, Jan-March 1996, pp. 100-112. (in Malay)
17.
1994
“The Common Philosophical Foundation of Traditional Medicines,” Sophia, Winter 1994, no. 6, pp. 1-4.
18.
1993
“Symbol and Archetype: A Study of the Meaning of Existence: A Review Article,” Studies in Tradition, 2:1(Jan-March 1993), pp. 62-78.
19.
1991
“Atomistic Conception of Nature in Ash’arite Theology,” Iqbal Review, 32:3 (October 1991), pp. 19-44.
20.
1990
“The Philosophy of Islamic Medicine and Its Relevance to the Modern World,” MAAS Journal of Islamic Science, 6:1 (Jan-June 1990), pp. 39-58.
21.
1990
“Designing a Sound Syllabus for Courses on Philosophy of Applied and Engineering Sciences in a 21st Century Islamic University,” Muslim Education Quarterly, 7:3 (Spring 1990), pp. 19-25.
22.
1988 
“The Influence of Islamic Science on Medieval Christian Conceptions of Nature,” MAAS Journal of Islamic Science, 4:1 (Jan-June 1988), pp. 25-43.
23.
1986
 “Islam and Bioethics,” Greek Orthodox Theological Review, 3:2 (1986), pp. 157-179.
24.
1986
 “The Meaning and Significance of Doubt in al-Ghazzali’s Philosophy,” The Islamic Quarterly, 30:1 (1986), pp. 20-31.
25.
1985
“Umar Khayyam’s Criticism of Euclid’s Theory of Parallels,” MAAS Journal of Islamic Science, 1:2 (July 1985), pp. 9-18.
26.
1984  
“The Question of Methodology in Islamic Science,” Muslim Education Quarterly, 2:1 (Autumn 1984), pp. 16-30.
27.
1984 
“Ibn Sina’s Methodological Approach Toward the Study of Nature in His Oriental Philosophy,” Hamdard Islamicus, vol. VII, no. 2 (Summer 1984), pp. 33-49.

Secara ringkas, Osman Bakar mengawali dunianya dengan matematika dan berakhir dengan kecintaannya terhadap pemikiran filosofis Islam. Dia termasuk orang yang percaya bahwa Islam memiliki karakter pengetahuan yang khas, berbeda dari apapun yang coba dibandingkan dengannya. Sumber ide islamisasi pengetahuannya berasal dari dua orang pemikir; Abu Hamid al-Ghazali dan Sayyed Hosein Nasr. Berkat bimbingan Sayyed Hosein Nasr, Osman Bakar menyelesaikan karya monumentalnya yang kemudian menjadi basis bagi ide islamisasi pengetahuan yang dikembangkannya di kemudian hari.   

      C.     Diskursus “Hubungan Islam dan Sains”
Perbincangan “hubungan Islam dan Sains (modern)” sudah marak sejak akhir abad sembilan belas. Sains (modern) yang lahir dari rahim abad pencerahan menjadi ‘masalah’ pada saat itu karena ada sejumlah pandangan keagamaan yang didasarkan kepada cara pandang yang berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan terhadap pandangan keagamaan yang telah mapan. Para sarjana Muslim berbeda pendapat dalam banyak kasus yang berhubungan dengan isu ini. Paling tidak terdapat tiga model pandangan yang berkembang. Pertama, pandangan tradisionalistik yang melihat sains dan agama dalam kerangka teologi-tradisional yang dibangun di atas dasar logika skolastik. Sains dianggap tidak keluar dari batas-batas kuasa Tuhan. Ia berada di wilayah posibilitas, yang karenanya, tidak perlu dipermasalahkan. Pandangan ini banyak berkembang dalam kesarjanaan tradisional Islam, yang lebih cenderung pada pengembangan pendidikan keagamaan murni.
Kedua, sekuleristik yang memandang sains dan agama merupakan dua entitas yang saling bertentangan. Hal ini seperti yang berkembang di Turki awal abad dua puluh. Modernisasi yang dikembangkan kemudian mengadopsi pandangan-pandangan saintifik, dan terkesan menganaktirikan warisan agama. Keduanya lebih banyak dilihat dalam paradigma konflik.
Ketiga, pandangan apologistik yang melihat bahwa teks-teks Islam yang utama (Alquran) menerima sains di satu sisi, dan di sisi lain, penafsiran-penafsiran yang berasal dari abad pertengahan (turath) banyak yang sudah tidak relevan dengan cara pandang modern. Dari pandangan ini kemudian lahir sejumlah tafsir baru terhadap teks suci Islam yang sesuai dengan temuan saintifik. Pandangan semacam ini berkembang pesat di Mesir, yang dimulai oleh Muhammad Abduh, lalu para sarjana yang setuju dengan gagasannya seperti Tantawi Jauhari.
Ketiga pandangan ini tidak berangkat dari perenungan filosofis yang mendalam sehingga perdebatan hanya berkisar pada aspek temuan. Misalnya dalam diskursus “bumi bulat-datar”, “jin-bakteri”, dan lainnya. Perdebatan memasuki wilayah yang lebih filosofis pada paruh kedua abad dua puluh. Utamanya dari generasi Muslim yang pernah hidup di dua wilayah kultural yang berbeda; negeri-negeri Muslim dan negeri-negeri Barat. Generasi Muslim yang mengenyam pendidikan tinggi Barat ini kemudian mengenal lebih jauh dasar-dasar sains modern; lalu mencoba melakukan kritik terhadapnya. Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986), Taha Jabir Alwani (1935-2016), Sayyed Hosein Nasr (1933-sekarang), Sayyed Muhammad Naquib Al Attas (1931-sekarang), dan Osman Bakar (1946-sekarang), merupakan contoh di antara sekian pemikir Muslim yang selain mewarisi sensitivitas Islam, juga mewarisi tradisi sains Barat. Dengan caranya sendiri-sendiri, mereka mencoba mengembangkan sains Islam melalui mega proyek “islamisasi pengetahuan”. Generasi ini berbeda dengan generasi akhir abad delapan belas atau awal abad sembilan belas karena mereka adalah orang-orang yang belajar langsung di negeri-negeri Barat. Hampir seluruhnya ingin mengembangkan pandangan bahwa Islam sanggup menjadi pendorong lahirnya peradaban; sains dan kebudayaan. Mereka bergerak dari wilayah filosofis pengetahuan; ruang yang ditinggalkan oleh sains abad pencerahan, dan mulai dilirik kembali pada era kontemporer, lalu digunakan menjadi titik-tolak kritik terhadap perjalanan sains yang ternyata menyisahkan sejumlah persoalan moral.[8]
Wilayah filsafat ilmu inilah yang memberikan kesempatan bagi para pemikir tersebut mengembangkan kritik terhadap sains, yang selalu diklaim netral dan objektif, lalu memasukkan nilai-nilai etis Islam ke dalam cara berfikir saintifik; paradigma, metodologi, dan terutama berupaya memberikan panduan etis bagi pengembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan. Masing-masing pemikir islamisasi pengetahuan hampir sepakat bahwa nilai Islam fundamental yang hendak dimasukkan ke dalam sistem ilmu pengetahuan adalah tauhid.[9] Osman Bakar menyebut tauhid sebagai jalan sintesis bagi ilmu pengetahuan.[10]
Di sinilah hubungan Islam dan sains hendak dibangun. Mereka yang ingin menempatkan sains dalam kerangka religius-monoteistik. Sains yang dibingkai dalam kerangka world-view atau paradigma monoteisme Islam. Inilah yang disebut para pemikir di atas sebagai “islamisasi pengetahuan”.

      D.     Klasifikasi Ilmu; Kasus Al-Farabi dan Al-Ghazali
Osman Bakar mengawali debutnya dalam percaturan wacana “islamisasi pengetahuan” setelah membaca karya Sayyed Hosein Nasr. Beruntungnya, pada tahun selanjutnya, dia mendapatkan kesempatan belajar langsung kepada Nasr dalam program doktoralnya. Klasifikasi pengetahuan menjadi topik pokok proyek disertasinya. Dalam disertasinya, dia mengkaji model-model pengklasifikasian ilmu dalam sejarah Islam klasik. Osman Bakar mengangkat dua model pengklasifikasian pengetahuan. Pertama, klasifikasi pengetahuan yang dikembangkan oleh al-Farabi yang dipandang mewakili gaya Aristotelian. Kedua, klasifikasi pengetahuan yang dirancang oleh al-Ghazali.
Sebelum memasuki model-model pengklasifikasian pengetahuan, Osman Bakar terlebih dahulu merumuskan pandangan dasar yang menjadi fondasi klasifikasi pengetahuan dalam tradisi filsafat Islam klasik. Bahwa, baik al-Farabi maupun al-Ghazali, merupakan filosof Muslim yang memiliki karakter Islam dalam melihat realitas. Karakter Islam ini mempengaruhi cara-pandang mereka terhadap objek-objek pengetahuan, bentuk-bentuk pengetahuan dan juga klasifikasinya. Karenanya, dalam diskursus Islamisasi pengetahuan, teori-teori mengenai “cara-pandang”, “paradigma” dan “world-view” hampir selalu digunakan. Dalam pandangan Osman Bakar, “paradigma pengetahuan” ini kemudian membedakan klasifikasi pengetahuan model filosof-filosof Yunani kuno. Implikasi dari “paradigma”-Islam adalah dimasukkannya objek-objek, bentuk-bentuk, dan sumber-sumber pengetahuan religius. Para pemikir islamisasi pengetahuan selalu berangkat dari teori wahyu (theory of revelation), yang kemudian dilanjutkan pada peneguhan eksistensi teori kenabian (nubuwwah), dan produk-produk teori kenabian seperti kitab suci, praktik keberagamaan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya. Dari sinilah kemudian, sistem ilmu pengetahuan agama (baca: ‘ulum al-din) dihubungkan dengan ilmu-ilmu empiris, ilmu-ilmu rasional, dan ilmu-ilmu sosial. Jadilah sebuah bangunan ilmu pengetahuan yang dipandang holistik yang meliputi seluruh realitas yang mungkin diakses manusia. Baik dalam al-Farabi maupun al-Ghazali, ilmu-ilmu empiris diklasifikasikan bersama ilmu-ilmu berbasis wahyu seperti fiqh dan kalam. Kedua jenis pengetahuan tersebut, dalam pandangan para pemikir islamisasi pengetahuan, diakui oleh para pemikir Muslim klasik seperti al-Farabi dan al-Ghazali. Ini berbeda dengan sistem pengetahuan modern yang menolak memasukkan pengetahuan religius dalam kerangka ilmu pengetahuan.  
Osman Bakar mendasarkan klasifikasi pengetahuan model al-Farabi merujuk kepada salah satu karya al-Farabi, yaitu Ihsha’ al-‘Ulum (pengetahuan holistik).[11] Osman Bakar mulai menjelaskan teori pengetahuan al-Farabi. Menurut al-Farabi, pengetahuan manusia diproduksi dalam tiga wilayah kemampuan manusia (faculty); kemampuan merasa (the sensitive faculty, al-hawwas al-hassah), kemampuan berimajinasi (the imajinative faculty, al-hawwas al-batinah), dan kemampuan berfikir rasional (the rasional faculty).   

Diagram fakultas kesadaran manusia menurut al-Farabi

Kemampuan imajinatif manusia terdiri dari lima kemampuan dasar. Struktur kemampuan imajinatif adalah; kemampuan merepresentasikan sesuatu (al-quwwat al-musawwirah), kemampuan kalkulatif (al-quwwat al-wahm), kemampuan menyimpan informasi (al-quwwat al-hafizah), kemampuan menggabungkan seluruh kemampuan insani, dan kemampuan menggabungkan insting hewani.[12]  
Struktur kemampuan bernalar manusia di atas bekerja secara gradasif (meningkat secara bertahap). Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (‘aql bi al-quwwah), yang disebut oleh al-Farabi dengan ‘aql al-hayuli (material intelect). ‘Aql al-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai berubah menjadi akal produktif (‘aql bi al-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al-surah, forms) melalui kodrat indrawi (al-hassat) maupun kodrat imajinasi (al-mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al-ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (‘aql al-mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan di antara segala pengertian, untuk merekamkan pengetahuan (al-’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal aktif (‘aql al-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Pengetahuan di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al-madah dan al-shurah) yang ditangkap oleh kodrat indrawi dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran senantiasa materi itu dipisahkan dari bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al-hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.[13] Dalam konteks ini, prinsip akal bekerja ketika potensi dasar akalnya bertemu dengan objek-objek pengetahuan; baik yang berupa realitas empiris maupun realitas mental. Dari sini kemudian lahir sejumlah ilmu pengetahuan. Al-Farabi mencatat, seperti disimpulkan oleh Osman Bakar, ada cabang ilmu pengetahuan. Kelimanya adalah (1) ilmu matematika (mathematical science), (2) ilmu alam (natural science), (3) metafisika (metaphysics), (4) ilmu politik (metaphysics), dan (5) fiqh dan kalam (jurisprudence and dialectical theology).[14]
Diagram klasifikasi ilmu pengetahuan model al-Farabi
 

Klasifikasi ilmu pengetahuan model al-Ghazali berbeda dengan model al-Farabi di atas. Klasifikasi model al-Ghazali terdapat dalam beberapa buku karangannya. Osman Bakar menggunakan beberapa sumber; al-Munqidz Min al-Dhalal, Ihya’ ‘Ulum al-Din, dan Risalat al-Laduniyyah. Dalam al-Munqidz, al-Ghazali mengklasifikasi ilmu pengetahuan berdasar kelompok ilmuwan. Terdapat empat kelompok ilmuwan; (1) mutakallimin, (2), filosof (3) ta’limi-batini, (4) sufi. Pengelompokan ini didasarkan kepada tingkat keterpercayaan pengetahuan itu sendiri. Standar ini didasarkan pada perjalanan intelektual al-Ghazali yang pernah mengalami krisis kepercayaan terhadap ilmu-ilmu yang pernah digelutinya.[15]
Klasifikasi ilmu pengetahuan dalam al-Munqidz

Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, pada sub bab Kitab al-‘Ilm, al-Ghazali mengelompokkan ilmu pengetahuan berdasar beberapa prinsip. Osman Bakar mencatat, terdapat empat model klasifikasi ilmu pengetahuan. Pertama, berdasarkan penggunaannya ilmu pengetahuan diklasifikasikan kepada ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Kedua, berdasarkan metode pemerolehannya ilmu pengetahuan dikelompokkan kepada kehadiran-hudhuri dan upaya pencapaian rasional-hushuli. Ketiga, berdasarkan corak sumber pengetahuan, ilmu pengetahuan dipilah ke dalam ilmu religius-syar’iyyah dan rasional-‘aqliyyah. Keempat, pemilahan ilmu pengetahuan berdasarkan hukum mempelajarinya; ilmu fardu ‘ayn dan ilmu fardu kifayah.[16]

Teoritis-praktis
Hudhuri-hushuli

aqliyyah-syar’iyyah

fardu ‘ayn -fardu kifayah


Ilmu agama (syar’iyyah, religius science)  memiliki dua sub cabang ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu yang bersifat fundamental (ushul). Terdapat empat sub cabang dalam bagian ini. Keempatnya adalah ilmu tauhid, ilmu kenabian (science of prophethood), ilmu tentang alam akhirat (eschatology) dan ilmu tentang sumber ilmu agama (science of source of religion knowledge) seperti Alquran, sunnah, ijma dan praktik sahabat. Science of source terdiri dari dua sub cabang ilmu. Pertama, ilmu pengantar (preludes science, muqaddimat) seperti ilmu menulis dan seluruh cabang ilmu bahasa.  Kedua, ilmu tambahan (supplementary science, tatimmat) yang terdiri dari tiga cabang pengetahuan.
1. ilmu-ilmu Alquran, yang salah satu cabangnya adalah ilmu tafsir.
2. ilmu periwayatan hadis
3. ilmu biografi (perjalanan hidup Nabi saw., sahabat, dan pengikutnya).

Bagian kedua dari ilmu syar’iyyah disebut cabang atau furu’. Bagian ini tediri dari beberapa sub cabang. Cabang-cabang itu adalah sebagai berikut:
1.      Ilmu yang berhubungan dengan kewajiban manusia kepada Tuhan.
2.      Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Ilmu ini terdiri dari dua bagian; (a) ilmu yang membahas berbagai macam transaksi ekonomi (muamalah) dan penegakan hukuman qisas (jinayah), (b) ilmu yang berhubungan dengan keluarga (family law).
3.      Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban seseorang pada diri-jiwanya sendiri atau ilmu akhlak.

Sedangkan ilmu rasional-‘aqliyyah terdiri empat cabang utama sebagai berikut;
1.      Matematik
a.      Aritmatika
b.      Geometri
c.      Astronomi dan astrologi
d.      Musik
2.      Logika
3.      Fisika atau ilmu alam
a.      Ilmu kesehatan
b.      Meteorologi
c.      Mineralogi
d.      Alkemi
4.      Metafisika
a.      Ontologi
b.      Ilmu tentang hakikat Tuhan, atribut, aktifitasnya, dan hubungan Tuhan dengan alam semesta
c.      Ilmu tentang materi terkecil
d.      Ilmu tentang alam gaib (subtle world)
e.      Propetologi, saintologi dan ilmu mimpi
f.       Ilmu tentang penggunaan kekuatan bumi untuk menciptakan kekuatan supernatural

No.
Jenis Ilmu
Cabang
Sub Cabang
Ranting
1.
syar’iyyah
Ushul

1.           ilmu tauhid,
2.           ilmu kenabian (science of prophethood),
3.           ilmu tentang alam akhirat (eschatology) dan
4.           ilmu tentang sumber ilmu agama (science of source of religion knowledge)





1. ilmu-ilmu Alquran, yang salah satu cabangnya adalah ilmu tafsir.
2. ilmu periwayatan hadis
3. ilmu biografi (perjalanan hidup Nabi saw., sahabat, dan pengikutnya).

Furu’


1.      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan,
2.      kewajiban manusia terhadap masyarakatnya,
3.      Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban seseorang pada diri-jiwanya


1.      family law
2.      muamalah
3.      jinayah

2.
aqliyyah
Matematik
1.      Aritmatika
2.      Geometri
3.      Astronomi dan astrologi
4.      Musik

Logika


Fisika atau ilmu alam

1.      Ilmu kesehatan
2.      Meteorologi
3.      Mineralogi
4.      Alkemi

Metafisika

1.      Ontologi
2.      Ilmu tentang hakikat Tuhan, atribut, aktifitasnya, dan hubungan Tuhan dengan alam semesta
3.      Ilmu tentang materi terkecil
4.      Ilmu tentang alam gaib (subtle world)
5.      Propetologi, saintologi dan ilmu mimpi
6.      Ilmu tentang penggunaan kekuatan bumi untuk menciptakan kekuatan supernatural


Osman Bakar memberikan uraian terhadap kerangka besar klasifikasi ilmu pengetahuan menurut al-Ghazali. Namun, yang patut menjadi catatan adalah Osman Bakar belum menyajikan klasifikasi pengetahuan al-Ghazali yang tertuang dalam Jawahir al-Qur’an tanpa menjelaskan mengapa dia tidak mengutip model klasifikasi dalam kitab tersebut. Osman Bakar hanya menggunakan tiga sumber primer ketika mendedahkan model klasifikasi al-Ghazali; al-Munqidz, Kitab al-‘Ilm, Risalah Laduniyyah dan Mizan al-A’mal. Padahal, bila persepktif Osman Bakar adalah islamisasi pengetahuan, maka sebenarnya skema pengetahuan model Jawahir al-Qur’an akan sangat islami karena mendasarkan semua sistem klasifikasi kepada al-Qur’an sebagai poros pengetahuan Islam klasik; termasuk ilmu-ilmu rasional-aqliyah. Ulasan menarik tentang klasifikasi ilmu Jawahir al-Quran diberikan oleh Nasr Hamid Abu Zaid,[17] tokoh yang seringkali menjadi sasaran kritik para sarjana yang berafiliasi pada proyek islamisasi pengetahuan di Indonesia.
klasifikasi pengetahuan qurani model Jawahir al-Quran


       E.      Penutup
Pemaparan di atas menunjukkan kepada kita model-model klasifikasi ilmu pengetahuan yang pernah dikembangkan para sarjana Muslim di masa lalu dalam narasi yang diracik oleh Osman Bakar dalam karya disertasinya Classification of Knowledge in Islam. Dua sarjana yang menjadi sampel studinya memiliki sejumlah persamaan prinsip klasifikasi. Pertama, baik al-Farabi maupun al-Ghazali memasukkan wahyu sebagai sumber dari pengetahuan. Hal ini seperti dapat diketahui dari dimasukkannya sejumlah ilmu yang berhubungan dan bersumber dari teks-teks wahyu seperti Alquran dan hadis. Ketika secara ontologis, eksistensi wahyu diakui, maka selanjutnya ada seluruh upaya pengkajian terhadapnya merupakan tradisi yang diakui secara ilmiah. Kedua, klasifikasi pengetahuan menggabungkan dua model pengetahuan; pengetahuan berbasis wahyu dan pengetahuan rasional. Ketiga, kedua pemikir dan filosof tersebut menjadikan tauhid sebagai basis pengetahuannya. 
Demikian deskripsi mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan yang dipaparkan Osman Bakar dalam bukunya Classification of Knowledge in Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

*Artikel ini adalah tugas kelas Mata Kuliah Religion, Knowledge and Philoshophy, 2016.

[1] Mohamed Aslam Haneef, A Critical Survey of Islamization of Knowledge diakses dari isdb.org [DOC].
[2] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response”  Islamic Studies, Vol. 50, No. 3/4  2011 pp. 449-457 sumber: http://www.jstor.org/stable/41932607 diakses pada  16-06-2016 04:30
[3] http://www.cis-ca.org/voices/b/bakar.htm
[4] http://www.cis-ca.org/voices/b/bakar.htm
[5] http://www.cis-ca.org/voices/b/bakar.htm
[6] http://www.cis-ca.org/voices/b/bakar.htm
[7] http://www.cis-ca.org/voices/b/bakar.htm
[8] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response”  Islamic Studies, Vol. 50, No. 3/4  2011 pp. 449-457 sumber: http://www.jstor.org/stable/41932607 diakses pada  16-06-2016 04:30
[9] Lihat misalnya dalam Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, (Cambridge (UK): Islamic Texts Society, 1998), h. 43-46, Taha Jabir, Ma’alim fi al-Manhaj al-Qur’ani, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), cet. ke-1, h. 86,
[10] Osman Bakar, Islamic Science, Modern Science, and Post-Modernity: Towards a New Synthesis through a Tawhidic Epistemology”, Revelation and Science Vol. 01, No. 03 (1433H/2011) 13-20,  
[11] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, (Cambridge (UK): Islamic Texts Society, 1998), h. 43
         [12] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, h. 51
         [13] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, h. 62-63
         [14] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, h. 137-145
[15] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, h.  182-197
[16] Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, h.  203
         [17] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, (tt: Haiah Misriyyah Ammah lil Kitab, 1990), h. 341


Referensi

Mohamed Aslam Haneef, A Critical Survey of Islamization of Knowledge diakses dari isdb.org [DOC].
Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response”  Islamic Studies, Vol. 50, No. 3/4  2011 pp. 449-457 sumber: http://www.jstor.org/stable/41932607 diakses pada  16-06-2016 04:30
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, (Cambridge (UK): Islamic Texts Society, 1998).  
Taha Jabir, Ma’alim fi al-Manhaj al-Qur’ani, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), cet. ke-1.
Osman Bakar, Islamic Science, Modern Science, and Post-Modernity: Towards a New Synthesis through a Tawhidic Epistemology”, Revelation and Science Vol. 01, No. 03 (1433 H./2011 M.) 13-20.
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, (tt: Haiah Misriyyah Ammah lil Kitab, 1990),


Komentar

  1. Baccarat Rules - Urbana
    The concept behind the Baccarat is worrione to divide the bets into 카지노 two parts and use the number of possible places to draw, with the หาเงินออนไลน์ lower being the higher.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api