Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Ahli Hadis dan Kutub Al-Zuhd; Framming Hadis Menuju Pembentukan Tradisi Tasawuf Teksto-Psiko-Religio-Moralistik

M. Khoirul Huda (Pemerhati Kajian Hadis) Ahli Hadis memberikan perhatian yang cukup besar kepada aspek kerohanian umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya karya-karya yang mengulas tentang pentingnya kehidupan non-duniawi. Zuhud. Asketisme. Dalam kajian literatur hadis ( dirasah al-kutub al-hadithiyyah ), dapat dengan mudah ditemukan karya-karya yang berbicara tentang tema ini. Biasa dikenal dengan kutub al-zuhd . Terkadang ditambah dengan wa al-raqa’iq .  Di antara pengarang kitab-hadis dengan topik khusus zuhud adalah al-Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181 H.), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H.), Hannad bin al-Sari (w. 243 H.), al-Asad bin Musa al-Muhasibi (w. 212 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Abu Hatim al-Razi (w. 277 H.), Ibnu Abi ‘Ashim (w. 282 H.), al-Baihaqi (w. 458 H.) dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.).

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Gambar
M. Khoirul Huda      A.      Pendahuluan Diskusi tentang “klasifikasi ilmu pengetahuan” dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari megaproyek “islamisasi pengetahuan”. Ide ini muncul pada pertengahan abad kedua puluh, pascakolonialisme, di tangan sejumlah pemikir-filosof Muslim Asia-Amerika seperti Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986), Taha Jabir Alwani (1935-2016), Sayyed Hosein Nasr (1933-sekarang), Sayyed Muhammad Naquib Al Attas (1931-sekarang), dan Osman Bakar (1946-sekarang). [1] Para pemikir tersebut berupaya mengembangkan gagasan islamisasi pengetahuan melalui pendirian lembaga riset dan pendidikan. Ismail Faruqi dan Taha Jabir mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT), pada 1980. Sedangkan Sayyed Naquib Al Attas mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC), pada 1987. Sebelumnya, pada 1977, Osman Bakar mendirikan Islamic Academy of Science (IAS).

Istihsan; Sejarah, Konsepsi, Argumentasi dan Aplikasi*

M. Khoirul Huda chairool_hoeda @yahoo.co.id “Allah menghendaki kemudahan untuk kalian, dan tidak menghendaki kesulitan.” QS. al-Baqarah [2]: 185 “Apa yang   menurut seorang Muslim baik, maka ia baik pula menurut Allah” Ibn Mas’ud

Ahli Hadis dan Pengalaman Spiritualnya

M. Khoirul Huda Ahli hadis merupakan kelompok sosial yang pernah eksis ratusan tahun lalu. Mereka berkarir di bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Mereka mencarinya, menghafalnya, mencatat, meneliti, menyeleksi, dan terkadang memberi penjelasan serta penafsiran-penafsiran tertentu. Kelompok ini juga pernah mengalami konfrontasi dengan kelompok kesarjanaan lain saat itu. Jasa mereka dapat dilihat dari melimpahkanya literatur yang berisi koleksi hadis-hadis Nabi saw. Puncak kejayaan ahli hadis adalah sekitar abad ketiga hijriah dengan lahirnya tokoh-tokoh besar dalam bidang studi hadis seperti al-Bukhari (194-256 H.) dan Muslim (204-261 H.). Keduanya merupakan simbol kejayaan studi hadis di dunia Islam.

Hadis dan Tasawuf dalam Perspektif Integrasi Dialogis-Interkoneksi

M. Khoirul Huda Prawacana; Konfrontasi Menuju Dialog Dalam kehidupan praktis, hadis merupakan rujukan penting bagi umat Islam. Ada sejumlah alasan mengapa hadis, dalam kenyataannya, lebih berpengaruh dalam kehidupan praktis mereka, bahkan mungkin terkadang dibanding Alquran sendiri yang dalam memberikan perintah dan larangan, sering menggunakan bahasa-bahasa yang berciri general. Hadis ini memberikan tuntunan praktis untuk menjelaskan kandungan Alquran. Dominasi hadis dalam kehidupan keagamaan praktis umat Islam di antaranya disampaikan seorang sarjana beraliran kritis, George Tharabisi. Dia mengatakan bahwa pola keberagamaan umat Islam lebih didominasi oleh hadis dibanding Alquran. [1]

Tarekat Alawiyah dan Nusantara

Oleh: M. Khoirul Huda Pendahuluan Bangsa-bangsa kepulauan Nusantara telah mengenal praktik tarekat sejak awal kedatangan Islam pada sekitar abad ke-15. Hal ini karena para penyebar Islam awal Nusantara pada umumnya merupakan penganut aliran tarekat.  Sebut saja Nur al-Din al-Raniri yang pernah menjadi penasihat raja-raja Aceh. Al-Raniri adalah seorang habaib yang berasal dari India. Sebagaimana tradisi keluarga Alawiyyin, beliau menganut tarekat Alawiyyah. Demikian pula para tokoh yang menyebarkan Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dalam catatan Alwi Shihab dan Umar Ibrahim, sembilan wali itu merupakan para sayid keturunan Arab-Hadhramaut. Al-Raniri dan Wali Songo adalah contoh peran penting keluarga Alawiyyin dalam menyebarkan Islam di kepulauan Nusantara.  Pada abad ke-18, keluarga ini berdiaspora menyeberangi samudra menuju kota-kota di sepanjang pantai Samudera Hindia. Sejak dari pantai timur Afrika hingga pelabuhan-pelabuhan di India,