Ahli Hadis dan Kutub Al-Zuhd; Framming Hadis Menuju Pembentukan Tradisi Tasawuf Teksto-Psiko-Religio-Moralistik



M. Khoirul Huda
(Pemerhati Kajian Hadis)

Ahli Hadis memberikan perhatian yang cukup besar kepada aspek kerohanian umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya karya-karya yang mengulas tentang pentingnya kehidupan non-duniawi. Zuhud. Asketisme. Dalam kajian literatur hadis (dirasah al-kutub al-hadithiyyah), dapat dengan mudah ditemukan karya-karya yang berbicara tentang tema ini. Biasa dikenal dengan kutub al-zuhd. Terkadang ditambah dengan wa al-raqa’iq

Di antara pengarang kitab-hadis dengan topik khusus zuhud adalah al-Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181 H.), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H.), Hannad bin al-Sari (w. 243 H.), al-Asad bin Musa al-Muhasibi (w. 212 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Abu Hatim al-Razi (w. 277 H.), Ibnu Abi ‘Ashim (w. 282 H.), al-Baihaqi (w. 458 H.) dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.).

Sekian banyak buku tentang kezuhudan ditulis oleh orang-orang penting dalam kajian hadis. Sejak abad kedua hingga abad kelima hijriah. Mereka mengumpulkan hadis-hadis Nabi saw. dari berbagai riwayat. Seluruhnya disatukan dalam satu tema besar. Semacam judul besar untuk menghubungkan satu hadis dengan hadis lainnya. Hadis-hadis yang pada mulanya punya pesan khusus, lahir dalam konteks yang unik, dan berbeda satu sama lain, dianggap sama, lalu satukan dalam satu bingkai judul besar. Muncul pertanyaan penting, apa yang dapat dipahami dari proses pembingkaian ini? 

Pembingkaian hadis-hadis Nabi saw. dalam sebuah topik tertentu merupakan upaya suatu pewacanaan. Mengapa seseorang perlu mewacanakan sesuatu tentu memiliki suatu alasan logis. Secara sadar atau tidak sadar. Namun, yang paling fundamental adalah bahwa wacana itu penting bagi penulisnya. Wacana sebagai sebuah pesan penting disampaikan kepada orang lain. Sebagai bentuk koreksi, kritik, sikap, arahan, atau pembelaan tertentu. Kepada siapa pesan itu disampaikan juga menjadi topik yang penting dibicarakan. Dalam wacana terdapat hubungan saling kelindan. Antara produsen, isi, dan penerima wacana. Belum lagi bila kita bicara tentang implikasi wacana dalam konteksnya yang sosiologis. Dalam studi wacana kritis (critical discourse), wacana dan pesan ini dianggap selalu memiliki keberpihakan tertentu. 

Lalu, apa alasan logis (para ahli hadis penulis kitab-kitab zuhud) yang mendorong mereka berupaya keras menuliskan topik ini? Apa pesan utama karya-karya tersebut? Kepada siapa karya-karya itu ditujukan? Lalu apa implikasi karya-karya tersebut dalam kehidupan sosial umat Islam? 

Sampai di sini, penulis penasaran tentang sejumlah hal. Misalnya, mengapa mereka perlu mengembangkan wacana tentang keakhiratan? Apakah yang mempengaruhi mereka untuk berfikir tentang pentingnya keakhiratan? Apakah diskursus keagamaan saat itu kurang memberikan penekanan pada aspek keakhiratan? Situasi sosial-politik seperti apakah yang mendorong perasaan pentingnya penekanan kehidupan akhirat? Apakah faktor individu yang membuat mereka berfikir pentingnya masalah keakhiratan? 

Di sini kita akan mendiskusikan “teks” dengan “konteks”-nya. “Teks” yang penulis maksud adalah diskursus atau wacana yang disajikan oleh kitab-kitab hadis yang berbicara tentang kezuhudan. Sedangkan “konteks” adalah situasi sosial-politik-kebudayaan yang melingkupi kehadiran teks-teks tersebut. Konteks semacam apa yang melahirkan diskursus kezuhudan. Teks merespon konteks. Meminjam bahasa Teun van Dijk, seorang ahli ilmu wacana, bagaimana konteks sosial mempengaruhi produksi teks (how social context influence text and talk). 

Zuhud; Pengalaman Batin Universal
Agama-agama di dunia punya kesamaan dalam mengajak pengikutnya untuk tidak terjebak dalam kehidupan yang serba duniawi. Agama-agama memberi pandangan alternatif tentang dunia lain. Ada dunia lain yang lebih penting dan lebih agung dibanding dunia yang kita tinggali sekarang. Agama-agama dunia kemudian mengajarkan model-model kehidupan yang bertujuan untuk menggapai kebahagiaan di dunia lain tersebut. Semua manusia akan mendatangi dunia lain tersebut. Dalam beberapa doktrin yang mungkin agak ekstrim para penganut agama kemudian mengembangkan cara pandang terhadap dunia yang ‘anti-dunia’. Cara pandang semacam ini disebut asketik atau zuhud. Asketisme adalah salah satu doktrin yang banyak berkembang dalam agama-agama dunia yang bersifat ‘anti-dunia’. 

Doktrin dan praktik asketisme dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan sosial saat ini pada penganut agama-agama besar dan kepercayaan-kepercayaan lokal. Bahkan mungkin praktik ini tergolong praktik yang cukup tua dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Dalam ajaran Kristen misalnya dikenal praktik selibat. Aturan yang melarang seseorang yang tengah memegang posisi tertentu dalam bidang keagamaan agar tidak melakukan perkawinan. Keharusan membujang ini didasari oleh keyakinan bahwa perkawinan merupakan persoalan duaniawi. Seorang rohaniawan harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu. Praktik ini juga dikenal dalam praktik di kalangan rohaniawan agama Budha. Para biksu tidak melakukan perkawinan sebagai bentuk pengendalian diri dari penguasaan nafsu. 

Sampai di sini, kezuhudan dalam arti cara pandang anti-dunia hidup dalam kehidupan keagamaan dalam banyak agama dunia. Para sosiolog mengkaji pola kehidupan asketik. Misalnya Max Weber yang melihat asketisme sebagai praktik keagamaan memiliki ekspresi yang beraneka macam. Asketisme dalam Katolik mungkin dipraktikkan dengan menjauhi kekuasaan, kegiatan ekonomi, dan lainnya yang dapat mengganggu orientasi kehidupan akhirat seseorang. Sebaliknya, asketisme Protestan dimaknai sebagai kerja keras yang dapat berimplikasi kepada kesejahteraan materil yang dapat digunakan mendukung keselamatan ukhrawi. 

Dalam kebudayaan Islam, teks-teks pokok Islam menyediakan rujukan yang cukup kaya mengenai sikap hidup asketik. Sejarah umat Islam juga mengenal kelompok masyarakat muslim yang secara khusus mengabdikan diri menekuni dunia asketisme. Hal ini seperti ditunjukkan oleh kelompok yang disebut kaum sufi. Mereka memiliki peran yang cukup kuat dalam hal ini. Sufisme telah tumbuh di dunia Islam sejak abad ke-2 H./8 M., menjadi matang pada sekitar abad ke-4 dan 5 H., dan mulai bertransformasi menjadi gerakan sosial yang berbentuk lembaga-lembaga tarekat pada abad ke-6 H. 

Para sarjana Muslim klasik yang menulis sejarah perkembangan sufisme, bahkan mensinyalir sufisme merupakan praktik religiusitas yang bersumber dari Nabi Muhammad saw., dilanjutkan para sahabatnya, dan berkembang lebih luas pada masa setelahnya. Misalnya, al-Kalabadzi (380 H.), al-Qushairi (465 H.) dan al-Hujwiri. Pakar hadis kenamaan, Abu Nu’aim al-Ashbihani (4390 H.), mencatat pertumbuhan kecenderungan sufistik dalam karyanya Hilyatul Auliya’ yang merangkum tokoh-tokoh besar Islam; sejak masa Nabi saw. hingga era dia hidup pada abad kelima hijriah. Berbeda dengan mereka adalah Ibnu Taimiah (728 H.) yang mensinyalir kemunculan pertama kali sufisme adalah pada abad kedua hijriah. Menurutnya, sufisme lahir di dua kota utama. Basrah dan Kufah. Basrah menurut penilaiannya lebih kuat disebut sebagai pusat awal perkembangan sufisme Islam. Dalam sebuah tageline yang cukup terkenal saat itu, “Fiqhun Kufiyun, Zuhdun Basriyyun” (fiqh orang Kufah, asketisme orang Basrah). Secara sosiologis, kesimpulan Ibnu Taimiah tentang kemunculan tasawuf pada abad kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Khaldun (808 H.).

Terlepas dari perdebatan di atas, kedua kelompok sarjana yang telat disebut sepakat bahwa pada mulanya sufisme bermula dari kecenderungan kuat untuk beribadah, membatasi hal-hal yang dapat mengganggu dengan cara zuhud dan menyendiri. Kezuhudan menjadi kata kunci untuk melacak kemunculan tasawuf generasi awal. Bila kita berangkat dari tesis yang menyatakan kemunculan gerakan zuhud pada abad kedua hijriah, maka terdapat banyak literatur yang mejelaskan hal ini. Kita dapat memotret banyak nama, karya tulis, dan kota-kota tempat penyebaran gerakan zuhud. Dalam konteks ini, kita dapat memotret melalui tradisi ahli hadis. Kelompok ini memiliki sumbangan tersendiri dalam perkembangan gerakan zuhud. 

Dalam tulisan terdahulu, berdasarkan sumber-sumber yang ditulis ahli hadis mengenai orang-orang di lingkungan mereka, ditemukan sejumlah orang yang berafiliasi kepada gerakan zuhud. Tidak ada organisasi resmi. Mereka hanya disatukan oleh kecenderungan dan orientasi kezuhudan, ibadah, dan penekanan pentingnya akhirat. Di samping individu-individu ahli hadis yang aktif dalam gerakan zuhud, ahli hadis juga menulis banyak literatur untuk mendukung kecenderungan ini. 

Dalam bagian awal tulisan ini sudah disebutkan beberapa orang penulis ahli hadis yang memberikan perhatian besar kepada kehidupan zuhud. Mereka menulis buku yang berisikan hafalan hadis-hadis mereka yang mendorong umat Islam agar berperilaku zuhud. Dalam tulisan sebelumnya, penulis berasumsi bahwa para ahli hadis zahid berupaya mengamalkan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya. Lalu timbul kecenderungan psiko-spiritual yang kuat seperti bahagia (al-farah), sedih (al-huzn), sesak (al-qabdh), lapang (al-basth), pengharapan (al-raja’), ketakutan (al-khauf), dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman batin semacam inilah yang kemudian menyatukan para praktisi kezuhudan dalam suatu komunitas zuhhad, nussak, dan ‘Ubbad

Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa asketisme atau kezuhudan merupakan fenomena universal yang terdapat dalam setiap komunitas manusia. Kezuhudan dalam konteks kebudayaan Islam memiliki keunikan dalam hal; faktor yang mempengaruhi perkembangan dan implikasi pada pengembangan doktrin-doktrin kezuhudan lebih lanjut.

Zuhud; Respon Terhadap Kemakmuran Materil
Ibnu Khaldun (808 H.) melihat bahwa secara sosiologis gerakan sufisme secara umum, dan gerakan zuhud sebagai embrionya pada mulanya, muncul pada abad kedua hijriah bersamaan dengan berkembangnya kecenderungan yang kuat pada kekayaan material. Menurut Abdurrahman Abdul Jabbar, abad kedua hijriah ditandai dengan kemenangan keturunan Abbas bin Abdil Muthallib, dari klan Hasyim, mengalahkan keturunan Umayyah. Keturunan Abbas ini kemudian mendirikan pemerintahan Daulah Bani Abbas. Dengan mewarisi negeri-negeri takhlukkan Bani Umayyah, Bani Abbas juga mewarisi kekayaannya. Kesejahteraan Bani Abbas berimplikasi pada tersejehaterakannya rakyat pada umumnya. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Namun di sisi lain, perhatian kepada kehidupan rohani cenderung melemah. 

Kerohanian publik kemudian terabaikan sedemikian rupa. Krisis kerohanian ini kemudian direspon oleh masyarakat dengan munculnya kecenderungan rohani yang kuat. Melalui instrumen agama yang menjadi pedoman moral dan sosial masyarakat saat itu. Agama kemudian menjadi sumber bagi perkembangan doktrin-doktrin kerohanian. 

Para ahli hadis sebagai komunitas akademik yang plural dan unik, tidak terlepas dari krisis sosial semacam kekeringan rohani. Pengalaman pribadi sebagai periwayat hadis menunjukkan hal itu. Bagaimana misalnya, Dawud bin Nashir al-Tha’i al-Kufi (160 H.) yang seorang ilmuan tidak terpuaskan dengan keilmuan yang dikuasainya. Frustasinya menghantarkannya pada kecenderungan untuk memperhatikan unsur rohani yang kuat. Dia kemudian memilih mengasingkan diri, memperbanyak ibadah, dan mengikuti pola hidup zuhud. Sebagai ahli hadis, dia juga mendapatkan gelar al-Zahid. Krisis spiritual semacam ini juga menghampiri para ahli hadis sebagai manusia biasa. Kekayaan materil dan puncak karir keilmuan tidak membuat orang menjadi puas dan selesai. Seseorang seakan harus memuaskan aspek lain dalam dirinya. Yaitu aspek jiwanya. 

Era pasca Dawud bin Nashir al-Tha’i (160 H.), para ahli hadis profesional merespon kegelisahan anggota-komunitasnya dengan memberikan ‘panduan’ dan ‘inspirasi’ berdasarkan sumber-sumber tekstual yang mereka yakini memiliki preseden/contoh dari Nabi Muhammad saw. Abdullah bin Mubarak (w. 181 H.), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H.), Hannad bin al-Sari (w. 243 H.), al-Asad bin Musa al-Muhasibi (w. 212 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Abu Hatim al-Razi (w. 277 H.), Ibnu Abi ‘Ashim (w. 282 H.), al-Baihaqi (w. 458 H.) dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.) adalah di antara sekian banyak ahli hadis belakangan yang menulis karya-karya ‘panduan’ zuhud islami ala Nabi Muhammad saw. 

Dinamika hubungan krisis spiritual dengan kelahiran teks-diskursus-kitab hadis zuhud, respon dan implikasi, serta polarisasi kecenderungan spiritual menampilkan suatu mozaik kehidupan yang unik. Potret kehidupan manusiawi para ahli hadis. Ini sekaligus menegaskan bahwa ahli hadis bukan mesin komputer yang hanya bekerja menjaga memori hafalan mereka. Tanpa kehendak dan perasaan. Mereka adalah manusia biasa yang memiliki rasa bosan, marah, sedih, bahagia, dan segala perasaan insani. Mereka mungkin dapat mencapai puncak karir akademik dan memperoleh kesejahteraan materil dari subsidi negara atau sumbangan dermawan. Namun, ruang batiniah mereka tetap membutuhkan pengalaman khusus agar merasa tersentuh. ‘Bagaimana’ memenuhi kebutuhan batiniah ini? Tentu dengan merenungi sabda-sabda Nabi Muhammad saw. dan orang-orang terdekatnya yang diyakini kesalehan dan kekayaan pengalaman rohani mereka. 

Krisis dan kegelisahan semacam ini rupanya yang mendorong orang-orang saat itu berfikir tentang pentingnya mengembangkan pandangan-pandangan keakhiratan. Kemakmuran materil yang disertai kesuksesan karir. Dua variable ini berarti suatu ‘kemajuan’ dalam kehidupan masyarakat saat itu. Implikasinya memang tidak mengarah kepada perebutan sumber daya atau kekayaan saja. Tetepi juga mengarah kepada krisis, kekosongan, dan kegelisahan batin yang cukup kuat. Bagaimana krisis ini direspon?

Waki’ bin al-Jarrah, Pengalaman Hidup dan Kitab Zuhd
Penulis mengenal nama Waki’ bin al-Jarrah dalam sebuah syair yang digubah oleh al-Imam al-Syafi’i. Dalam syairnya, beliau bertanya kepada gurunya yang bernama Waki’ tentang factor yang membuat hafalannya buruk. Syekh Waki’ menjelaskan agar beliau menjauhi maksiat. Karena ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang taat. 

Muncul pertanyaan, mengapa Imam al-Syafi’i mengadu kepada Syekh Waki’? Mengapa tidak kepada gurunya yang lain? Apa keistimewaan Syekh Waki’ dibanding guru-guru beliau yang lain? Di sinilah keunikannya. Syekh Waki’ memiliki posisi yang unik. Beliau berasal dari keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Ayahnya, al-Jarrah, adalah seorang pejabat keuangan Dinasti Abbasiyah era Harun al-Rasyid. Selain memegang jabatan publik tersebut, al-Jarrah juga seorang periwayat hadis terkenal. Para kritikus hadis memberikan predikat ‘terpercaya’. Waki’ kecil pernah belajar hadis kepada ayahnya. Ibunya, Bintu Imarah bin Syaddad, adalah perempuan kaya yang mewariskan seratus ribu dirham. Para peneliti menyebut, Waki’ hidup dalam keluarga yang kaya dan terpelajar. 

Berbekal fasilitas dari orang tuanya, Waki’ menjalani pendidikannya dengan cukup baik. Beliau mulai belajar hadis sejak umurnya di bawah sepuluh tahun. Beliau baru mengajarkan hadis setelah berumur tiga puluh tahun. Ini berarti masa belajarnya lumayan panjang. Yaitu dua puluh tahunan. Waki’ belajar kepada ulama-ulama terkemuka di kota tempat tinggalnya. Kufah, Irak. Di antara guru Waki’ adalah: 

(1) al-Jarrah bin Malih (ayahnya),
(2) al-A’masy, perawi difabel mata,
(3) Sufyan al-Tsauri, pakar hadis yang ahli pemahaman hadis,
(4) Hisyam bin Urwah, sanadnya sampai kepada kakeknya –Urwah bin Zubair bin Awwam, keponakan Sayyidah Aisyah,
(5) al-Auza’i, seorang ahli hadis dan ahli fikih asal Damaskus, Suriah,

Al-Mizzi menyebut daftar guru Waki’ mencapai 191 orang ulama.[1] Sedangkan Ibnu Hajar menyebutkan sampai 81 orang ulama.[2] Hafalan hadisnya mencapai 800 buah hadis.[3] Menurut al-Mizzi, daftar muridnya mencapai 112 orang.[4] Sedangkan Ibnu Hajar hanya mencantumkan 26 orang.[5] Mereka adalah orang-orang yang berhasil menjadi perawi hadis terkemukan pada zamannya. Di antara muridnya yang terkenal adalah;

(1)    Sufyan al-Tsauri, ulama yang juga menjadi gurunya,
(2)    Ibnu al-Mubarak, pengarang kitab “al-Zuhd” dan lainnya,
(3)    Ibnu al-Ma’in, kritikus perawi hadis terkemuka,
(4)    Al-Humaidi, guru imam al-Bukhari,
(5)    Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali,
(6)    Hannad bin al-Sari, penulis kitab “al-Zuhd”.

Bisa dikatakan bahwa Waki’ bin al-Jarrah adalah orang yang cukup sukses dalam pendidikan, karir akademis, dan pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan. Warisan dari ibunya telah mencukupi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan dan kesuksesan apakah membuat Waki’ bin al-Jarrah puas? Ternyata tidak. Beliau merasa ada yang kurang dalam kehidupannya. Kesejahteraan materil dipandu dengan pengetahuan tentang agama yang baik mendorongnya memerhatikan unsur batinnya. Perhatiannya misalnya dapat dilihat dari karya tulisnya tentang kezuhudan. Kitab al-Zuhd. Abdurrahman Abdul Jabbar meneliti, mengedit dan menerbitkan kitab ini dalam tiga juz besar. Kitab ini berisi 539 buah hadis.[6] Berikut adalah daftar kandungan kitab al-Zuhd karya Waki’.

No.
Bab
Kategori
1.
Bab Mau’izhah al-Nabi fi al-Zuhd
Zuhd
2.
Bab Man Qala ‘Udda Nafsaka fi al-Mauta
Kematian
3.
Bab al-Isti’dad li al-Maut
Kematian
4.
Bab Qillah al-Dhahk
Tertawa
5.
Bab fi al-Buka’
Tangis
6.
Bab al-Dhahk
Tertawa
7.
Bab al-Maut wa Shifatuh
Kematian
8.
Bab al-Hadits ‘an Bani Isra’il
Kematian
9.
Bab al-Dunya wa Matsaluha
Dunia
10.
Bab Hawan al-Dunya
Dunia
11.
Bab Radd al-Nafs wa Qillah al-Akl
Makan
12.
Bab Fadhl al-Mu’min
Mukmin
13.
Bab Rahah al-Mu’min
Mukmin
14.
Bab Ma Yujza bihi al-Mu’min
Mukmin
15.
Bab Ma’isyah Ali Muhammad saw.
Penghasilan
16.
Bab Dzikr Ma’isyah Rasulillah saw.
Penghasilan
17.
Bab al-Tawadhu’ wa Labsu al-Shuf
Rendah hati, pakaian
18.
Bab Dzikr al-Faqr
Kemiskinan
19.
Bab Manzilah al-Faqr
Kemiskinan
20.
Bab Syiddah al-Ijtihad fi al-‘Amal
Tekun beramal
21.
Bab Man Qala Ya Laitani Lima Ukhlaq
Takdir

Juz 2

22.
Bab Man Kariha al-Mal wa al-Walad
Kekayaan dan keluarga
23.
Bab Dzikr al-Ghina
Nyanyian
24.
Bab al-Hirshi ‘ala al-Mal
Kekayaan, kerakusan
25.
Bab al-Amal wa al-Ajal
Cita-cita, batas kehidupan
26.
Bab al-Atsar al-Hasan
Penampilan, rasa syukur
27.
Bab Fadhl al-Shabr
Sabar
28.
Bab al-Huznu wa Fadhluhu
Kesedihan
29.
Bab al-Tawadhu’
Rendah hati
30.
Bab al-Ijtihad wa al-Wara’
Pengetahuan, kehati-hatian
31.
Bab al-Tafakkur
Refleksi, pengetahuan
32.
Bab Fadhl al-Fiqh
Pengetahuan agama
33.
Bab al-Iqtishad fi al-‘Amal
Amalan
34.
Bab Muhasabah al-Rajul wa al-Inshaf min Nafsih
Intropeksi
35.
Bab Fadhl ‘Amal al-Sirr
Amalan
36.
Bab Man Kana Yuhibb al-Khalwah
Menyendiri
37.
Bab Man Kariha al-Taswif fi al-‘Amal
Amalan
38.
Bab Man Yukhalif Qauluhu ‘Amalahu
Konsistensi
39.
Bab Qillat al-Dzunub
Dosa
40.
Bab al-Taubah wa Hifzhu al-Lisan
Lisan
41.
Bab al-Tanazhzhuf
Kebersihan
42.
Bab al-Tartil fi al-Khutbah
Ceramah
43.
Bab al-Riya’
Pamer
44.
Bab al-Sum’ah
Kehormatan
45.
Bab Man Qala al-Bala’ Muwakkal bi al-Qaul
Musibah
46.
Bab al-Sumtu al-Hasan wa al-Khusyu’
Diam
47.
Bab al-Hubb fi Allah
Cinta
48.
Bab Ikhfa’ al-Du’a
Doa
49.
Bab Man Yuhbib al-Rabb ila Khalqih
Cinta
50.
Bab Man Taraka al-Syai’ Lillahi Ta’ala
Kerelaan, pengorbanan
51.
Bab al-Bara’ah min al-Kibr wa al-Hamm fi al-Dunya
Kesombongan dan materilistis
52.
Bab al-Hisab
Akhirat
53.
Bab al-Sakha’ wa al-Bukhl
Kedermawanan dan kikir
54.
Bab al-Haya’
Rasa malu

Juz 3

55.
Bab Man Ata Masjid Quba’
Masjid
56.
Bab al-Kadzb wa al-Shidq
Kejujuran dan kebohongan
57.
Bab Shilah al-Rahim
Silaturahim
58.
Bab al-Hilm
Kebijaksanaan
59.
Bab al-Khuluq al-Hasan
Perilaku baik
60.
Bab al-Baghy
Penyimpangan
61.
Bab al-Ghibah
Pergunjingan
62.
Bab al-Hasad
Kedengkian 
63.
Bab al-Namimah
Adu domba
64.
Bab al-Satr
Menutup aib
65.
Bab al-Rifq
Lemah lembut
67.
Bab Shifat al-Nifaq
Kemunafikan
68.
Bab al-Nazhrah
Menjaga pandangan
69.
Bab al-Khid’ah wa al-Tawadhu’
Tipu daya
70.
Bab al-Rahmah
Kasih sayang
71.
Bab al-Kharb
Kerusakan
72.
Bab al-Inshat
Diam
73.
Bab Kitab ahl al-Khair Ba’dhuhum ila Ba’dh
Kebaikan


Sebaran topik kitab al-Zuhd karya Waki’ tidak terbatas pada konsepsi zuhud itu sendiri. Ia berkorelasi dengan isu-isu lain seperti masalah keakhiratan dan keduniaan, praktik individu dan sosial, serta refleksi kontemplatif terhadap praktik-praktik tersebut. Topik keakhiratan berarti doktrin yang menekankan pentingnya kehidupan akhirat. Konsep ini dimulai dari konsepsi kematian. Namun demikian, kehidupan di dunia tetap harus dijalani. Disertai pandangan yang tidak terlalu berlebihan menguatamakan dunia. Berbagai macam peristiwa akan dilalui oleh manusia dalam kehidupan di dunia. Mereka harus menjalani sebaik mungkin. Dengan cara berhati-hati (al-wara), didasari oleh ilmu pengetahuan dan ajaran agama yang benar (al-tafakkur wa al-ijtihad wa al-fiqh). Solidaritas antar sesama melalui penjagaan terhadap lisan (hifzh al-lisan), ucapan (al-qaul), tingkah laku yang santun (al-rifq), kerendah-hatian (al-tawadhu), ketulusan (al-ridha), kesetiaan (al-shidq), cinta (al-hubb) dan kasih sayang (al-rahmah). Solidaritas juga dibangun melalui upaya menghindari perbuatan-perbuatan buruk terhadap sesama. Di sini, konsepsi kezuhudan tidak berdiri sendiri. Zuhud berdiri di atas banyak pilar sikap dan perasaan yang luhur. Dalam bahasa kita pilar-pilar itu sama dengan budi pekerti yang luhur (al-khuluq al-hasan).
Ulasan ini menunjukkan bahwa diskursus kezuhudan membidik banyak tujuan; mengutamakan kehidupan akhirat, bersikap yang baik terhadap sesama, selalu insaf dengan kondisi diri, dan ketekunan mendekatkan diri pada Tuhan.
Materi yang disajikan dalam kitab al-Zuhd adalah hadis-hadis Nabi saw. Hampir tidak ada ulasan yang menyertai pencantuman hadis-hadis tersebut. Kecuali “judul bab”, yang bisa saja bukan berasal dari penulis aslinya. Namun, berangkat dari asumsi bahwa “judul bab” merupakan otentik dari Waki’ bin al-Jarrah, kita bisa memahaminya sebagai proses framming/pembingkaiain. Proses pembingkaian ini merupakan aktifitas mental-pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh dunia sekitar. Ia adalah respon. Respon bermula dari penerimaan informasi dari dunia luar, pengolahan sedemikian rupa dalam pikiran dan kesadaran, lalu pengambilan salah satu pilihan yang dianggap terbaik. Pilihan ini kemudian akan diekspresikan dalam tindakan. Tindakan dalam hal ini merupakan kelanjutan dari respon mentalistik.
Dalam konteks pembingkaian hadis-hadis Nabi saw. dalam satu topik besar, terdapat upaya dan kehendak untuk merespon sesuatu di luar pikiran pengarangnya. Pembingkaian hadis-hadis Nabi saw. tentu melewati sejumlah proses. Pertama, proses pengumpulan. Hadis-hadis Nabi saw. dikumpulkan dari berbagai sumbernya. Perbendaharaan hadis dalam diri Waki’ bin al-Jarrah cukup kaya. Delapan ratus teks hadis lengkap dengan sanadnya ada dalam memori fikirannya. Ini sama saja dengan sebuah ensiklopedi hidup. Kedua, proses penyeleksian. Penyeleksian merupakan upaya memilih, mengambil yang masuk dalam standar dan meninggalkan yang tidak masuk dalam standar. Dalam ilmu wacana, seleksi melibatkan proses inklusi (memasukkan informasi yang sesuai) dan ekseklusi (menolak informasi yang tidak sesuai). Dari sekian hadis yang terdapat dalam memori, tentu Waki’ bin al-Jarrah memilih hadis-hadis yang dapat menjadi dasar bagi peningkatan kepedulian terhadap kehidupan ukhrawi, menolak tenggelam dalam kehidupan duniawi, pentingnya ibadah, dan pentingnya berbuat baik kepada orang lain. Dalam proses inklusi, beliau akan mencatat, menuliskan, atau mendiktekan hadis yang ditemukan dalam memorinya. Proses ekseklusi dapat berarti upaya pengabaian sejumlah hadis yang tidak mendukung gagasan kehidupan ukhrawi. Misalnya hadis-hadis yang menekankan pentingnya kehidupan di dunia, keutamaan hidup di dunia, memperjuangkan dunia dan sejenisnya. Ketiga, proses kategorisasi wacana. Hadis-hadis yang telah masuk dalam proses seleksi akan dikelompokkan dalam sejumlah kategori. Kategori dibuat berdasarkan konten hadis itu sendiri. Pemilihan kategori, dengan demikian, diawali oleh pemahaman tertentu terhadap isi hadis Nabi saw. Secara umum, penafsiran yang digunakan bercorak tekstual. Namun dengan penekanan pada pembacaan kontemplatif-reflektif yang didasarkan kepada kepercayaan penuh terhadap hadis-hadis tersebut sebagai dasar pelaksanaan amal perbuatan. Karakter kontemplatif-reflektif dengan modus pengamalan aktual inilah yang membedakannya dari pembacaan rasional-dialektis seperti yang dikembangkan dalam ilmu kalam, atau legal-tekstual-dialogis seperti dalam ilmu fikih.
Keempat, proses kodifikasi kategori. Kategori tekstual-kontemplatif dikodifikasi dalam bentuk bab-bab yang tersebar dalam seluruh kandungan buku. Di sinilah terjadi proses transforming data. Data yang telah diseleksi oleh kesadaran kritis ditransformasikan ke dalam bentuk kode-kode bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain melalui sistem bahasa. Tulis maupun lisan. Dalam tahap terakhir inilah kodifikasi data terjadi.
Seluruh proses framming ini bertujuan merespon kondisi sosial yang cenderung mengabaikan dimensi psiko-moral-religius. Kecenderungan psiko-moral-religi Waki’ bin al-Jarrah sepertinya bersumber dari pengalaman personal yang kuat. Dilihat dari latar belakang kedaerahan (Kufah), keluarga (ahli hadis dan pejabat tinggi yang sejahtera) dan jaringan keguruan (ahli hadis, fikih dan mujahada). Waki’ bin al-Jarrah lahir dan besar di Kufah. Kota peradaban yang menjadi salah satu pusat gerakan politik dan kebudayaan pada era Abbasiyah. Terdapat berbagai macam aliran hidup di kota ini. Komunitas ahli hadis umumnya mencurigai hadis-hadis yang bersumber dari kota ini. Kecuali yang sudah diseleksi oleh beberapa tokoh ahli hadis terkemukanya. Kufah menjadi kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. Para pendukungnya, yang kemudian disebut Shi’ah Ali, berkembang luas. Ketika kekuasaan dinasti Abbasiyah, para pendukung (keturunan) Ali, ditekan sehingga melahirkan gerakan bawah tanah. Di satu sisi mendukung keturunan Ali, namun secara faktual mereka hidup dalam pemerintahan yang mencurigai mereka akan memberontak. Lahirlah cara pandang yang serba dualistik. Antara yang kelihatan (zahir) dan yang tersembunyi (batin).
Masyarakat yang dualistik ini kemudian memiliki perhatian yang cukup besar terhadap dunia yang tak tampak, hanya dirasakan, dan terkadang bertentangan dengan realitas. Dibutuhkan keyakinan teologis dan mentalitas-psikis yang kuat untuk mendukung kelestarian cita-cita mereka tentang kemenangan keturunan Ali. Di sini kemudian lahir kecenderungan kesarjanaan yang bersifat spiritual-esoteristik.
Di sisi lain, kekayaan material yang dimiliki rezim penguasa dimana mereka dapat menggunakan kekuatan-kekuatan intelektual untuk menguatkan posisi strategis mereka. Dengan dukungan kekuasaan, kekuatan intelektual ini berani menampilkan secara terbuka argumen-argumennya.  Lahirlah kecenderungan kesarjanaan yang skriptualis-formalistik. Kota Kufah adalah saksi pertarungan dua kekuataan kesarjanaan ini. Hal ini menjadikan dinamika berpengetahuan masyarakat berkembang cukup baik. Kufah melahirkan tradisi pengetahuan-religius yang unik dan kaya. Baik pengetahuan esoteris maupun eksoteris. Situasi ini merupakan kondisi yang memungkinkan lahirnya masyarakat yang terdidik melalui fasilitas kultural. Pengetahuan mengalami pembentukan gradasi (tingkatan). Dari level paling dasar hingga paling tinggi.
Waki’ bin al-Jarrah memiliki keluarga yang cukup kuat secara ekonomi dan keagamaan. Ayahnya seorang ahli agama yang bekerja di bagian keuangan pemerintah. Warisan dari keluarga ibunya cukup besar. Kesejahteraan ekonomi tentu tidak membuat Waki’ bin al-Jarrah kekurangan dan kesulitan mencapai puncak pendidikan yang diinginkannya. Beliau berguru kepada banyak tokoh besar di zamannya.  
Jejaring guru yang sangat berpengaruh adalah melalui komunitas ahli fikih dan ahli hadis. Hal ini seperti dapat dilihat dalam kepribadian Sufyan al-Tsauri dan al-Auza’i. Keduanya adalah ahli fikih terkemuka, selain dikenal sebagai ahli hadis. Sufyan al-Tsauri adalah tokoh penting di kota Kufah. Sedang al-Auza’i menjadi tokoh utama ahli fikih di kota Damaskus. Pengetahuan tentang sumber-sumber tekstual diperoleh dari para perawi hadis yang menjadi gurunya. Dimana jumlah mereka mencapai angka seratus orang. Waki’ bin al-Jarrah mendapatkan banyak rujukan tekstual. Model dan metode penafsiran teks yang cukup dari para ahli fikih. Kekayaan, pengetahuan dan puncak karir, sepertinya menciptakan kepuasan tertinggi dalam diri Waki’ bin al-Jarrah. Membuatnya harus berfikir, apa lagi yang perlu dilakukan? Untuk apa pengetahuan dan kekayaan itu? Hendak diabdikan untuk apa? Waki’ bin al-Jarrah menghadapi semacam krisis nilai (baca: aksiologis). Di sinilah pentingnya mengarahkan kekayaan dan pengetahuan untuk suatu kepentingan yang lebih luhur. Yaitu untuk menyongsong suatu kehidupan yang akan datang, di dunia selanjutnya. Kehidupan di alam akhirat. Dengan demikian, apapun yang dimiliki manusia saat ini, hanya menjadi pengantara menuju dunia selanjutnya tersebut.
Hadis-hadis Nabi saw. adalah media yang dapat menghantarkan dan menuntun manusia mencapai kebahagiaan di dunia yang baru nanti. Tuntunan dan orientasi eksistensial semacam inilah yang hendak dihadirkan oleh kitab al-Zuhd. Wallau a’lam.
 


      





[1] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz 8, hal. 832
[2] Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 123
[3] Ibnu Ma’in, Tartib Tarikh Ibn Ma’in, juz 2, hal. 632
[4] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz 8, hal. 732
[5] Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 123
[6] Waki’ bin al-Jarrah, Kitab al-Zuhd, Hal. 862

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api