Ahli Hadis dan Kutub Al-Zuhd; Framming Hadis Menuju Pembentukan Tradisi Tasawuf Teksto-Psiko-Religio-Moralistik
M. Khoirul Huda
(Pemerhati Kajian Hadis)
Ahli
Hadis memberikan perhatian yang cukup besar kepada aspek kerohanian umat Islam.
Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya karya-karya yang mengulas tentang
pentingnya kehidupan non-duniawi. Zuhud. Asketisme. Dalam kajian literatur
hadis (dirasah al-kutub al-hadithiyyah), dapat dengan mudah ditemukan
karya-karya yang berbicara tentang tema ini. Biasa dikenal dengan kutub
al-zuhd. Terkadang ditambah dengan wa al-raqa’iq.
Di
antara pengarang kitab-hadis dengan topik khusus zuhud adalah al-Imam Abdullah
bin Mubarak (w. 181 H.), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H.), Hannad bin al-Sari
(w. 243 H.), al-Asad bin Musa al-Muhasibi (w. 212 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241
H.), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Abu Hatim al-Razi (w. 277 H.), Ibnu
Abi ‘Ashim (w. 282 H.), al-Baihaqi (w. 458 H.) dan al-Khathib al-Baghdadi (w.
463 H.).
Sekian
banyak buku tentang kezuhudan ditulis oleh orang-orang penting dalam kajian
hadis. Sejak abad kedua hingga abad kelima hijriah. Mereka mengumpulkan
hadis-hadis Nabi saw. dari berbagai riwayat. Seluruhnya disatukan dalam satu
tema besar. Semacam judul besar untuk menghubungkan satu hadis dengan hadis
lainnya. Hadis-hadis yang pada mulanya punya pesan khusus, lahir dalam konteks
yang unik, dan berbeda satu sama lain, dianggap sama, lalu satukan dalam satu
bingkai judul besar. Muncul pertanyaan penting, apa yang dapat dipahami dari
proses pembingkaian ini?
Pembingkaian
hadis-hadis Nabi saw. dalam sebuah topik tertentu merupakan upaya suatu pewacanaan.
Mengapa seseorang perlu mewacanakan sesuatu tentu memiliki suatu alasan logis.
Secara sadar atau tidak sadar. Namun, yang paling fundamental adalah bahwa
wacana itu penting bagi penulisnya. Wacana sebagai sebuah pesan penting
disampaikan kepada orang lain. Sebagai bentuk koreksi, kritik, sikap, arahan,
atau pembelaan tertentu. Kepada siapa pesan itu disampaikan juga menjadi topik
yang penting dibicarakan. Dalam wacana terdapat hubungan saling kelindan.
Antara produsen, isi, dan penerima wacana. Belum lagi bila kita bicara tentang
implikasi wacana dalam konteksnya yang sosiologis. Dalam studi wacana kritis (critical
discourse), wacana dan pesan ini dianggap selalu memiliki keberpihakan
tertentu.
Lalu,
apa alasan logis (para ahli hadis penulis kitab-kitab zuhud) yang mendorong
mereka berupaya keras menuliskan topik ini? Apa pesan utama karya-karya
tersebut? Kepada siapa karya-karya itu ditujukan? Lalu apa implikasi
karya-karya tersebut dalam kehidupan sosial umat Islam?
Sampai
di sini, penulis penasaran tentang sejumlah hal. Misalnya, mengapa mereka perlu
mengembangkan wacana tentang keakhiratan? Apakah yang mempengaruhi mereka untuk
berfikir tentang pentingnya keakhiratan? Apakah diskursus keagamaan saat itu
kurang memberikan penekanan pada aspek keakhiratan? Situasi sosial-politik
seperti apakah yang mendorong perasaan pentingnya penekanan kehidupan akhirat?
Apakah faktor individu yang membuat mereka berfikir pentingnya masalah
keakhiratan?
Di
sini kita akan mendiskusikan “teks” dengan “konteks”-nya. “Teks” yang penulis
maksud adalah diskursus atau wacana yang disajikan oleh kitab-kitab hadis yang
berbicara tentang kezuhudan. Sedangkan “konteks” adalah situasi
sosial-politik-kebudayaan yang melingkupi kehadiran teks-teks tersebut. Konteks
semacam apa yang melahirkan diskursus kezuhudan. Teks merespon konteks. Meminjam
bahasa Teun van Dijk, seorang ahli ilmu wacana, bagaimana konteks sosial
mempengaruhi produksi teks (how social context influence text and talk).
Zuhud; Pengalaman Batin Universal
Agama-agama
di dunia punya kesamaan dalam mengajak pengikutnya untuk tidak terjebak dalam
kehidupan yang serba duniawi. Agama-agama memberi pandangan alternatif tentang
dunia lain. Ada dunia lain yang lebih penting dan lebih agung dibanding dunia
yang kita tinggali sekarang. Agama-agama dunia kemudian mengajarkan model-model
kehidupan yang bertujuan untuk menggapai kebahagiaan di dunia lain tersebut.
Semua manusia akan mendatangi dunia lain tersebut. Dalam beberapa doktrin yang
mungkin agak ekstrim para penganut agama kemudian mengembangkan cara pandang
terhadap dunia yang ‘anti-dunia’. Cara pandang semacam ini disebut asketik atau
zuhud. Asketisme adalah salah satu doktrin yang banyak berkembang dalam
agama-agama dunia yang bersifat ‘anti-dunia’.
Doktrin
dan praktik asketisme dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan sosial saat
ini pada penganut agama-agama besar dan kepercayaan-kepercayaan lokal. Bahkan
mungkin praktik ini tergolong praktik yang cukup tua dalam kehidupan keagamaan
masyarakat. Dalam ajaran Kristen misalnya dikenal praktik selibat. Aturan yang
melarang seseorang yang tengah memegang posisi tertentu dalam bidang keagamaan
agar tidak melakukan perkawinan. Keharusan membujang ini didasari oleh
keyakinan bahwa perkawinan merupakan persoalan duaniawi. Seorang rohaniawan
harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu. Praktik ini juga dikenal
dalam praktik di kalangan rohaniawan agama Budha. Para biksu tidak melakukan
perkawinan sebagai bentuk pengendalian diri dari penguasaan nafsu.
Sampai
di sini, kezuhudan dalam arti cara pandang anti-dunia hidup dalam kehidupan
keagamaan dalam banyak agama dunia. Para sosiolog mengkaji pola kehidupan
asketik. Misalnya Max Weber yang melihat asketisme sebagai praktik keagamaan
memiliki ekspresi yang beraneka macam. Asketisme dalam Katolik mungkin
dipraktikkan dengan menjauhi kekuasaan, kegiatan ekonomi, dan lainnya yang
dapat mengganggu orientasi kehidupan akhirat seseorang. Sebaliknya, asketisme
Protestan dimaknai sebagai kerja keras yang dapat berimplikasi kepada
kesejahteraan materil yang dapat digunakan mendukung keselamatan ukhrawi.
Dalam
kebudayaan Islam, teks-teks pokok Islam menyediakan rujukan yang cukup kaya
mengenai sikap hidup asketik. Sejarah umat Islam juga mengenal kelompok
masyarakat muslim yang secara khusus mengabdikan diri menekuni dunia asketisme.
Hal ini seperti ditunjukkan oleh kelompok yang disebut kaum sufi. Mereka
memiliki peran yang cukup kuat dalam hal ini. Sufisme telah tumbuh di dunia
Islam sejak abad ke-2 H./8 M., menjadi matang pada sekitar abad ke-4 dan 5 H.,
dan mulai bertransformasi menjadi gerakan sosial yang berbentuk lembaga-lembaga
tarekat pada abad ke-6 H.
Para
sarjana Muslim klasik yang menulis sejarah perkembangan sufisme, bahkan
mensinyalir sufisme merupakan praktik religiusitas yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw., dilanjutkan para sahabatnya, dan berkembang lebih luas pada masa
setelahnya. Misalnya, al-Kalabadzi (380 H.), al-Qushairi (465 H.) dan al-Hujwiri. Pakar hadis kenamaan, Abu Nu’aim al-Ashbihani
(4390 H.), mencatat pertumbuhan kecenderungan sufistik dalam karyanya Hilyatul
Auliya’ yang merangkum tokoh-tokoh besar Islam; sejak masa Nabi saw. hingga
era dia hidup pada abad kelima hijriah. Berbeda dengan mereka adalah Ibnu
Taimiah (728 H.) yang mensinyalir kemunculan pertama kali sufisme adalah pada
abad kedua hijriah. Menurutnya, sufisme lahir di dua kota utama. Basrah dan
Kufah. Basrah menurut penilaiannya lebih kuat disebut sebagai pusat awal
perkembangan sufisme Islam. Dalam sebuah tageline yang cukup terkenal saat itu,
“Fiqhun Kufiyun, Zuhdun Basriyyun” (fiqh orang Kufah, asketisme orang Basrah). Secara
sosiologis, kesimpulan Ibnu Taimiah tentang kemunculan tasawuf pada abad kedua
ini dikuatkan oleh Ibnu Khaldun (808 H.).
Terlepas
dari perdebatan di atas, kedua kelompok sarjana yang telat disebut sepakat
bahwa pada mulanya sufisme bermula dari kecenderungan kuat untuk beribadah,
membatasi hal-hal yang dapat mengganggu dengan cara zuhud dan menyendiri.
Kezuhudan menjadi kata kunci untuk melacak kemunculan tasawuf generasi awal.
Bila kita berangkat dari tesis yang menyatakan kemunculan gerakan zuhud pada
abad kedua hijriah, maka terdapat banyak literatur yang mejelaskan hal ini.
Kita dapat memotret banyak nama, karya tulis, dan kota-kota tempat penyebaran
gerakan zuhud. Dalam konteks ini, kita dapat memotret melalui tradisi ahli
hadis. Kelompok ini memiliki sumbangan tersendiri dalam perkembangan gerakan
zuhud.
Dalam
tulisan terdahulu, berdasarkan sumber-sumber yang ditulis ahli hadis mengenai
orang-orang di lingkungan mereka, ditemukan sejumlah orang yang berafiliasi
kepada gerakan zuhud. Tidak ada organisasi resmi. Mereka hanya disatukan oleh
kecenderungan dan orientasi kezuhudan, ibadah, dan penekanan pentingnya
akhirat. Di samping individu-individu ahli hadis yang aktif dalam gerakan
zuhud, ahli hadis juga menulis banyak literatur untuk mendukung kecenderungan
ini.
Dalam
bagian awal tulisan ini sudah disebutkan beberapa orang penulis ahli hadis yang
memberikan perhatian besar kepada kehidupan zuhud. Mereka menulis buku yang
berisikan hafalan hadis-hadis mereka yang mendorong umat Islam agar berperilaku
zuhud. Dalam tulisan sebelumnya, penulis berasumsi bahwa para ahli hadis zahid
berupaya mengamalkan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya. Lalu timbul kecenderungan
psiko-spiritual yang kuat seperti bahagia (al-farah), sedih (al-huzn),
sesak (al-qabdh), lapang (al-basth), pengharapan (al-raja’),
ketakutan (al-khauf), dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman batin
semacam inilah yang kemudian menyatukan para praktisi kezuhudan dalam suatu
komunitas zuhhad, nussak, dan ‘Ubbad.
Sampai
di sini, kita dapat memahami bahwa asketisme atau kezuhudan merupakan fenomena
universal yang terdapat dalam setiap komunitas manusia. Kezuhudan dalam konteks
kebudayaan Islam memiliki keunikan dalam hal; faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan implikasi pada pengembangan doktrin-doktrin kezuhudan lebih
lanjut.
Zuhud; Respon Terhadap
Kemakmuran Materil
Ibnu
Khaldun (808 H.) melihat bahwa secara sosiologis gerakan sufisme secara umum,
dan gerakan zuhud sebagai embrionya pada mulanya, muncul pada abad kedua
hijriah bersamaan dengan berkembangnya kecenderungan yang kuat pada kekayaan
material. Menurut Abdurrahman Abdul Jabbar, abad kedua hijriah ditandai dengan
kemenangan keturunan Abbas bin Abdil Muthallib, dari klan Hasyim, mengalahkan
keturunan Umayyah. Keturunan Abbas ini kemudian mendirikan pemerintahan Daulah
Bani Abbas. Dengan mewarisi negeri-negeri takhlukkan Bani Umayyah, Bani Abbas
juga mewarisi kekayaannya. Kesejahteraan Bani Abbas berimplikasi pada
tersejehaterakannya rakyat pada umumnya. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan
mendapatkan perhatian yang cukup besar. Namun di sisi lain, perhatian kepada
kehidupan rohani cenderung melemah.
Kerohanian
publik kemudian terabaikan sedemikian rupa. Krisis kerohanian ini kemudian
direspon oleh masyarakat dengan munculnya kecenderungan rohani yang kuat.
Melalui instrumen agama yang menjadi pedoman moral dan sosial masyarakat saat
itu. Agama kemudian menjadi sumber bagi perkembangan doktrin-doktrin
kerohanian.
Para
ahli hadis sebagai komunitas akademik yang plural dan unik, tidak terlepas dari
krisis sosial semacam kekeringan rohani. Pengalaman pribadi sebagai periwayat
hadis menunjukkan hal itu. Bagaimana misalnya, Dawud bin Nashir al-Tha’i
al-Kufi (160 H.) yang seorang ilmuan tidak terpuaskan dengan keilmuan yang
dikuasainya. Frustasinya menghantarkannya pada kecenderungan untuk
memperhatikan unsur rohani yang kuat. Dia kemudian memilih mengasingkan diri,
memperbanyak ibadah, dan mengikuti pola hidup zuhud. Sebagai ahli hadis, dia
juga mendapatkan gelar al-Zahid. Krisis spiritual semacam ini juga
menghampiri para ahli hadis sebagai manusia biasa. Kekayaan materil dan puncak
karir keilmuan tidak membuat orang menjadi puas dan selesai. Seseorang seakan
harus memuaskan aspek lain dalam dirinya. Yaitu aspek jiwanya.
Era
pasca Dawud bin Nashir al-Tha’i (160 H.), para ahli hadis profesional merespon
kegelisahan anggota-komunitasnya dengan memberikan ‘panduan’ dan ‘inspirasi’
berdasarkan sumber-sumber tekstual yang mereka yakini memiliki preseden/contoh
dari Nabi Muhammad saw. Abdullah bin Mubarak (w. 181 H.), Waki’ bin al-Jarrah
(w. 197 H.), Hannad bin al-Sari (w. 243 H.), al-Asad bin Musa al-Muhasibi (w.
212 H.), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H.), Abu
Hatim al-Razi (w. 277 H.), Ibnu Abi ‘Ashim (w. 282 H.), al-Baihaqi (w. 458 H.)
dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.) adalah di antara sekian banyak ahli
hadis belakangan yang menulis karya-karya ‘panduan’ zuhud islami ala Nabi
Muhammad saw.
Dinamika
hubungan krisis spiritual dengan kelahiran teks-diskursus-kitab hadis zuhud,
respon dan implikasi, serta polarisasi kecenderungan spiritual menampilkan
suatu mozaik kehidupan yang unik. Potret kehidupan manusiawi para ahli hadis. Ini
sekaligus menegaskan bahwa ahli hadis bukan mesin komputer yang hanya bekerja
menjaga memori hafalan mereka. Tanpa kehendak dan perasaan. Mereka adalah
manusia biasa yang memiliki rasa bosan, marah, sedih, bahagia, dan segala
perasaan insani. Mereka mungkin dapat mencapai puncak karir akademik dan
memperoleh kesejahteraan materil dari subsidi negara atau sumbangan dermawan.
Namun, ruang batiniah mereka tetap membutuhkan pengalaman khusus agar merasa
tersentuh. ‘Bagaimana’ memenuhi kebutuhan batiniah ini? Tentu dengan merenungi
sabda-sabda Nabi Muhammad saw. dan orang-orang terdekatnya yang diyakini
kesalehan dan kekayaan pengalaman rohani mereka.
Krisis
dan kegelisahan semacam ini rupanya yang mendorong orang-orang saat itu
berfikir tentang pentingnya mengembangkan pandangan-pandangan keakhiratan. Kemakmuran
materil yang disertai kesuksesan karir. Dua variable ini berarti suatu
‘kemajuan’ dalam kehidupan masyarakat saat itu. Implikasinya memang tidak
mengarah kepada perebutan sumber daya atau kekayaan saja. Tetepi juga mengarah
kepada krisis, kekosongan, dan kegelisahan batin yang cukup kuat. Bagaimana
krisis ini direspon?
Waki’ bin al-Jarrah, Pengalaman Hidup dan Kitab Zuhd
Penulis
mengenal nama Waki’ bin al-Jarrah dalam sebuah syair yang digubah oleh al-Imam
al-Syafi’i. Dalam syairnya, beliau bertanya kepada gurunya yang bernama Waki’
tentang factor yang membuat hafalannya buruk. Syekh Waki’ menjelaskan agar
beliau menjauhi maksiat. Karena ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah
hanya diberikan kepada orang-orang yang taat.
Muncul
pertanyaan, mengapa Imam al-Syafi’i mengadu kepada Syekh Waki’? Mengapa tidak
kepada gurunya yang lain? Apa keistimewaan Syekh Waki’ dibanding guru-guru
beliau yang lain? Di sinilah keunikannya. Syekh Waki’ memiliki posisi yang
unik. Beliau berasal dari keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Ayahnya,
al-Jarrah, adalah seorang pejabat keuangan Dinasti Abbasiyah era Harun
al-Rasyid. Selain memegang jabatan publik tersebut, al-Jarrah juga seorang
periwayat hadis terkenal. Para kritikus hadis memberikan predikat ‘terpercaya’.
Waki’ kecil pernah belajar hadis kepada ayahnya. Ibunya, Bintu Imarah bin
Syaddad, adalah perempuan kaya yang mewariskan seratus ribu dirham. Para
peneliti menyebut, Waki’ hidup dalam keluarga yang kaya dan terpelajar.
Berbekal
fasilitas dari orang tuanya, Waki’ menjalani pendidikannya dengan cukup baik.
Beliau mulai belajar hadis sejak umurnya di bawah sepuluh tahun. Beliau baru
mengajarkan hadis setelah berumur tiga puluh tahun. Ini berarti masa belajarnya
lumayan panjang. Yaitu dua puluh tahunan. Waki’ belajar kepada ulama-ulama
terkemuka di kota tempat tinggalnya. Kufah, Irak. Di antara guru Waki’ adalah:
(1)
al-Jarrah bin Malih (ayahnya),
(2)
al-A’masy, perawi difabel mata,
(3)
Sufyan al-Tsauri, pakar hadis yang ahli pemahaman hadis,
(4)
Hisyam bin Urwah, sanadnya sampai kepada kakeknya –Urwah bin Zubair bin Awwam,
keponakan Sayyidah Aisyah,
(5)
al-Auza’i, seorang ahli hadis dan ahli fikih asal Damaskus, Suriah,
Al-Mizzi
menyebut daftar guru Waki’ mencapai 191 orang ulama.[1]
Sedangkan Ibnu Hajar menyebutkan sampai 81 orang ulama.[2]
Hafalan hadisnya mencapai 800 buah hadis.[3]
Menurut al-Mizzi, daftar muridnya mencapai 112 orang.[4]
Sedangkan Ibnu Hajar hanya mencantumkan 26 orang.[5]
Mereka adalah orang-orang yang berhasil menjadi perawi hadis terkemukan pada
zamannya. Di antara muridnya yang terkenal adalah;
(1)
Sufyan al-Tsauri, ulama yang juga menjadi gurunya,
(2)
Ibnu al-Mubarak, pengarang kitab “al-Zuhd” dan lainnya,
(3)
Ibnu al-Ma’in, kritikus perawi hadis terkemuka,
(4)
Al-Humaidi, guru imam al-Bukhari,
(5)
Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali,
(6)
Hannad bin al-Sari, penulis kitab “al-Zuhd”.
Bisa
dikatakan bahwa Waki’ bin al-Jarrah adalah orang yang cukup sukses dalam
pendidikan, karir akademis, dan pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan.
Warisan dari ibunya telah mencukupi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan dan
kesuksesan apakah membuat Waki’ bin al-Jarrah puas? Ternyata tidak. Beliau
merasa ada yang kurang dalam kehidupannya. Kesejahteraan materil dipandu dengan
pengetahuan tentang agama yang baik mendorongnya memerhatikan unsur batinnya.
Perhatiannya misalnya dapat dilihat dari karya tulisnya tentang kezuhudan. Kitab
al-Zuhd. Abdurrahman Abdul Jabbar meneliti, mengedit dan menerbitkan kitab
ini dalam tiga juz besar. Kitab ini berisi 539 buah hadis.[6]
Berikut adalah daftar kandungan kitab al-Zuhd karya Waki’.
No.
|
Bab
|
Kategori
|
1.
|
Bab Mau’izhah
al-Nabi fi al-Zuhd
|
Zuhd
|
2.
|
Bab Man Qala
‘Udda Nafsaka fi al-Mauta
|
Kematian
|
3.
|
Bab al-Isti’dad
li al-Maut
|
Kematian
|
4.
|
Bab Qillah
al-Dhahk
|
Tertawa
|
5.
|
Bab fi al-Buka’
|
Tangis
|
6.
|
Bab al-Dhahk
|
Tertawa
|
7.
|
Bab al-Maut wa
Shifatuh
|
Kematian
|
8.
|
Bab al-Hadits
‘an Bani Isra’il
|
Kematian
|
9.
|
Bab al-Dunya wa
Matsaluha
|
Dunia
|
10.
|
Bab Hawan
al-Dunya
|
Dunia
|
11.
|
Bab Radd
al-Nafs wa Qillah al-Akl
|
Makan
|
12.
|
Bab Fadhl
al-Mu’min
|
Mukmin
|
13.
|
Bab Rahah
al-Mu’min
|
Mukmin
|
14.
|
Bab Ma Yujza
bihi al-Mu’min
|
Mukmin
|
15.
|
Bab Ma’isyah Ali Muhammad saw.
|
Penghasilan
|
16.
|
Bab Dzikr Ma’isyah Rasulillah saw.
|
Penghasilan
|
17.
|
Bab al-Tawadhu’ wa Labsu al-Shuf
|
Rendah hati,
pakaian
|
18.
|
Bab Dzikr al-Faqr
|
Kemiskinan
|
19.
|
Bab Manzilah al-Faqr
|
Kemiskinan
|
20.
|
Bab Syiddah al-Ijtihad fi al-‘Amal
|
Tekun beramal
|
21.
|
Bab Man Qala Ya Laitani Lima Ukhlaq
|
Takdir
|
|
Juz 2
|
|
22.
|
Bab Man Kariha
al-Mal wa al-Walad
|
Kekayaan dan
keluarga
|
23.
|
Bab Dzikr
al-Ghina
|
Nyanyian
|
24.
|
Bab al-Hirshi
‘ala al-Mal
|
Kekayaan,
kerakusan
|
25.
|
Bab al-Amal wa al-Ajal
|
Cita-cita, batas
kehidupan
|
26.
|
Bab al-Atsar al-Hasan
|
Penampilan, rasa
syukur
|
27.
|
Bab Fadhl al-Shabr
|
Sabar
|
28.
|
Bab al-Huznu wa Fadhluhu
|
Kesedihan
|
29.
|
Bab al-Tawadhu’
|
Rendah hati
|
30.
|
Bab al-Ijtihad wa al-Wara’
|
Pengetahuan,
kehati-hatian
|
31.
|
Bab al-Tafakkur
|
Refleksi,
pengetahuan
|
32.
|
Bab Fadhl al-Fiqh
|
Pengetahuan agama
|
33.
|
Bab al-Iqtishad fi al-‘Amal
|
Amalan
|
34.
|
Bab Muhasabah al-Rajul wa al-Inshaf min Nafsih
|
Intropeksi
|
35.
|
Bab Fadhl ‘Amal al-Sirr
|
Amalan
|
36.
|
Bab Man Kana Yuhibb al-Khalwah
|
Menyendiri
|
37.
|
Bab Man Kariha al-Taswif fi al-‘Amal
|
Amalan
|
38.
|
Bab Man Yukhalif Qauluhu ‘Amalahu
|
Konsistensi
|
39.
|
Bab Qillat al-Dzunub
|
Dosa
|
40.
|
Bab al-Taubah wa Hifzhu al-Lisan
|
Lisan
|
41.
|
Bab al-Tanazhzhuf
|
Kebersihan
|
42.
|
Bab al-Tartil fi al-Khutbah
|
Ceramah
|
43.
|
Bab al-Riya’
|
Pamer
|
44.
|
Bab al-Sum’ah
|
Kehormatan
|
45.
|
Bab Man Qala al-Bala’ Muwakkal bi al-Qaul
|
Musibah
|
46.
|
Bab al-Sumtu al-Hasan wa al-Khusyu’
|
Diam
|
47.
|
Bab al-Hubb fi Allah
|
Cinta
|
48.
|
Bab Ikhfa’ al-Du’a
|
Doa
|
49.
|
Bab Man Yuhbib al-Rabb ila Khalqih
|
Cinta
|
50.
|
Bab Man Taraka al-Syai’ Lillahi Ta’ala
|
Kerelaan,
pengorbanan
|
51.
|
Bab al-Bara’ah min al-Kibr wa al-Hamm fi al-Dunya
|
Kesombongan dan
materilistis
|
52.
|
Bab al-Hisab
|
Akhirat
|
53.
|
Bab al-Sakha’ wa al-Bukhl
|
Kedermawanan dan
kikir
|
54.
|
Bab al-Haya’
|
Rasa malu
|
|
Juz 3
|
|
55.
|
Bab Man Ata Masjid Quba’
|
Masjid
|
56.
|
Bab al-Kadzb wa al-Shidq
|
Kejujuran dan
kebohongan
|
57.
|
Bab Shilah al-Rahim
|
Silaturahim
|
58.
|
Bab al-Hilm
|
Kebijaksanaan
|
59.
|
Bab al-Khuluq al-Hasan
|
Perilaku baik
|
60.
|
Bab al-Baghy
|
Penyimpangan
|
61.
|
Bab al-Ghibah
|
Pergunjingan
|
62.
|
Bab al-Hasad
|
Kedengkian
|
63.
|
Bab al-Namimah
|
Adu domba
|
64.
|
Bab al-Satr
|
Menutup aib
|
65.
|
Bab al-Rifq
|
Lemah lembut
|
67.
|
Bab Shifat al-Nifaq
|
Kemunafikan
|
68.
|
Bab al-Nazhrah
|
Menjaga pandangan
|
69.
|
Bab al-Khid’ah wa al-Tawadhu’
|
Tipu daya
|
70.
|
Bab al-Rahmah
|
Kasih sayang
|
71.
|
Bab al-Kharb
|
Kerusakan
|
72.
|
Bab al-Inshat
|
Diam
|
73.
|
Bab Kitab ahl al-Khair Ba’dhuhum ila Ba’dh
|
Kebaikan
|
Sebaran topik kitab al-Zuhd karya Waki’ tidak terbatas pada
konsepsi zuhud itu sendiri. Ia berkorelasi dengan isu-isu lain seperti masalah
keakhiratan dan keduniaan, praktik individu dan sosial, serta refleksi
kontemplatif terhadap praktik-praktik tersebut. Topik keakhiratan berarti doktrin
yang menekankan pentingnya kehidupan akhirat. Konsep ini dimulai dari konsepsi
kematian. Namun demikian, kehidupan di dunia tetap harus dijalani. Disertai
pandangan yang tidak terlalu berlebihan menguatamakan dunia. Berbagai macam
peristiwa akan dilalui oleh manusia dalam kehidupan di dunia. Mereka harus
menjalani sebaik mungkin. Dengan cara berhati-hati (al-wara), didasari oleh
ilmu pengetahuan dan ajaran agama yang benar (al-tafakkur wa al-ijtihad wa
al-fiqh). Solidaritas antar sesama melalui penjagaan terhadap lisan (hifzh
al-lisan), ucapan (al-qaul), tingkah laku yang santun (al-rifq),
kerendah-hatian (al-tawadhu), ketulusan (al-ridha), kesetiaan (al-shidq),
cinta (al-hubb) dan kasih sayang (al-rahmah). Solidaritas juga
dibangun melalui upaya menghindari perbuatan-perbuatan buruk terhadap sesama.
Di sini, konsepsi kezuhudan tidak berdiri sendiri. Zuhud berdiri di atas
banyak pilar sikap dan perasaan yang luhur. Dalam bahasa kita pilar-pilar itu sama
dengan budi pekerti yang luhur (al-khuluq al-hasan).
Ulasan ini menunjukkan bahwa diskursus kezuhudan membidik banyak tujuan;
mengutamakan kehidupan akhirat, bersikap yang baik terhadap sesama, selalu
insaf dengan kondisi diri, dan ketekunan mendekatkan diri pada Tuhan.
Materi yang disajikan dalam kitab al-Zuhd adalah hadis-hadis
Nabi saw. Hampir tidak ada ulasan yang menyertai pencantuman hadis-hadis
tersebut. Kecuali “judul bab”, yang bisa saja bukan berasal dari penulis
aslinya. Namun, berangkat dari asumsi bahwa “judul bab” merupakan otentik dari
Waki’ bin al-Jarrah, kita bisa memahaminya sebagai proses
framming/pembingkaiain. Proses pembingkaian ini merupakan aktifitas mental-pemikiran
yang sangat dipengaruhi oleh dunia sekitar. Ia adalah respon. Respon bermula
dari penerimaan informasi dari dunia luar, pengolahan sedemikian rupa dalam
pikiran dan kesadaran, lalu pengambilan salah satu pilihan yang dianggap
terbaik. Pilihan ini kemudian akan diekspresikan dalam tindakan. Tindakan dalam
hal ini merupakan kelanjutan dari respon mentalistik.
Dalam konteks pembingkaian hadis-hadis Nabi saw. dalam satu topik
besar, terdapat upaya dan kehendak untuk merespon sesuatu di luar pikiran
pengarangnya. Pembingkaian hadis-hadis Nabi saw. tentu melewati sejumlah
proses. Pertama, proses pengumpulan. Hadis-hadis Nabi saw. dikumpulkan
dari berbagai sumbernya. Perbendaharaan hadis dalam diri Waki’ bin al-Jarrah
cukup kaya. Delapan ratus teks hadis lengkap dengan sanadnya ada dalam memori
fikirannya. Ini sama saja dengan sebuah ensiklopedi hidup. Kedua, proses
penyeleksian. Penyeleksian merupakan upaya memilih, mengambil yang masuk dalam
standar dan meninggalkan yang tidak masuk dalam standar. Dalam ilmu wacana,
seleksi melibatkan proses inklusi (memasukkan informasi yang sesuai) dan ekseklusi
(menolak informasi yang tidak sesuai). Dari sekian hadis yang terdapat dalam
memori, tentu Waki’ bin al-Jarrah memilih hadis-hadis yang dapat menjadi dasar
bagi peningkatan kepedulian terhadap kehidupan ukhrawi, menolak tenggelam dalam
kehidupan duniawi, pentingnya ibadah, dan pentingnya berbuat baik kepada orang
lain. Dalam proses inklusi, beliau akan mencatat, menuliskan, atau mendiktekan
hadis yang ditemukan dalam memorinya. Proses ekseklusi dapat berarti upaya
pengabaian sejumlah hadis yang tidak mendukung gagasan kehidupan ukhrawi.
Misalnya hadis-hadis yang menekankan pentingnya kehidupan di dunia, keutamaan
hidup di dunia, memperjuangkan dunia dan sejenisnya. Ketiga, proses
kategorisasi wacana. Hadis-hadis yang telah masuk dalam proses seleksi akan
dikelompokkan dalam sejumlah kategori. Kategori dibuat berdasarkan konten hadis
itu sendiri. Pemilihan kategori, dengan demikian, diawali oleh pemahaman
tertentu terhadap isi hadis Nabi saw. Secara umum, penafsiran yang digunakan
bercorak tekstual. Namun dengan penekanan pada pembacaan kontemplatif-reflektif
yang didasarkan kepada kepercayaan penuh terhadap hadis-hadis tersebut sebagai
dasar pelaksanaan amal perbuatan. Karakter kontemplatif-reflektif dengan modus
pengamalan aktual inilah yang membedakannya dari pembacaan rasional-dialektis
seperti yang dikembangkan dalam ilmu kalam, atau legal-tekstual-dialogis
seperti dalam ilmu fikih.
Keempat, proses kodifikasi kategori. Kategori
tekstual-kontemplatif dikodifikasi dalam bentuk bab-bab yang tersebar dalam
seluruh kandungan buku. Di sinilah terjadi proses transforming data. Data yang
telah diseleksi oleh kesadaran kritis ditransformasikan ke dalam bentuk
kode-kode bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain melalui sistem bahasa.
Tulis maupun lisan. Dalam tahap terakhir inilah kodifikasi data terjadi.
Seluruh proses framming ini bertujuan merespon kondisi sosial yang cenderung
mengabaikan dimensi psiko-moral-religius. Kecenderungan psiko-moral-religi
Waki’ bin al-Jarrah sepertinya bersumber dari pengalaman personal yang kuat. Dilihat
dari latar belakang kedaerahan (Kufah), keluarga (ahli hadis dan pejabat tinggi
yang sejahtera) dan jaringan keguruan (ahli hadis, fikih dan mujahada). Waki’
bin al-Jarrah lahir dan besar di Kufah. Kota peradaban yang menjadi salah satu
pusat gerakan politik dan kebudayaan pada era Abbasiyah. Terdapat berbagai
macam aliran hidup di kota ini. Komunitas ahli hadis umumnya mencurigai
hadis-hadis yang bersumber dari kota ini. Kecuali yang sudah diseleksi oleh
beberapa tokoh ahli hadis terkemukanya. Kufah menjadi kota yang pernah menjadi
pusat kekuasaan pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ra. Para
pendukungnya, yang kemudian disebut Shi’ah Ali, berkembang luas. Ketika
kekuasaan dinasti Abbasiyah, para pendukung (keturunan) Ali, ditekan sehingga
melahirkan gerakan bawah tanah. Di satu sisi mendukung keturunan Ali, namun
secara faktual mereka hidup dalam pemerintahan yang mencurigai mereka akan
memberontak. Lahirlah cara pandang yang serba dualistik. Antara yang kelihatan
(zahir) dan yang tersembunyi (batin).
Masyarakat yang dualistik ini kemudian memiliki perhatian yang cukup
besar terhadap dunia yang tak tampak, hanya dirasakan, dan terkadang
bertentangan dengan realitas. Dibutuhkan keyakinan teologis dan
mentalitas-psikis yang kuat untuk mendukung kelestarian cita-cita mereka
tentang kemenangan keturunan Ali. Di sini kemudian lahir kecenderungan
kesarjanaan yang bersifat spiritual-esoteristik.
Di sisi lain, kekayaan material yang dimiliki rezim penguasa dimana
mereka dapat menggunakan kekuatan-kekuatan intelektual untuk menguatkan posisi
strategis mereka. Dengan dukungan kekuasaan, kekuatan intelektual ini berani
menampilkan secara terbuka argumen-argumennya.
Lahirlah kecenderungan kesarjanaan yang skriptualis-formalistik. Kota
Kufah adalah saksi pertarungan dua kekuataan kesarjanaan ini. Hal ini
menjadikan dinamika berpengetahuan masyarakat berkembang cukup baik. Kufah
melahirkan tradisi pengetahuan-religius yang unik dan kaya. Baik pengetahuan
esoteris maupun eksoteris. Situasi ini merupakan kondisi yang memungkinkan
lahirnya masyarakat yang terdidik melalui fasilitas kultural. Pengetahuan
mengalami pembentukan gradasi (tingkatan). Dari level paling dasar hingga
paling tinggi.
Waki’ bin al-Jarrah memiliki keluarga yang cukup kuat secara ekonomi
dan keagamaan. Ayahnya seorang ahli agama yang bekerja di bagian keuangan
pemerintah. Warisan dari keluarga ibunya cukup besar. Kesejahteraan ekonomi
tentu tidak membuat Waki’ bin al-Jarrah kekurangan dan kesulitan mencapai
puncak pendidikan yang diinginkannya. Beliau berguru kepada banyak tokoh besar
di zamannya.
Jejaring guru yang sangat berpengaruh adalah melalui komunitas ahli
fikih dan ahli hadis. Hal ini seperti dapat dilihat dalam kepribadian Sufyan
al-Tsauri dan al-Auza’i. Keduanya adalah ahli fikih terkemuka, selain dikenal
sebagai ahli hadis. Sufyan al-Tsauri adalah tokoh penting di kota Kufah. Sedang
al-Auza’i menjadi tokoh utama ahli fikih di kota Damaskus. Pengetahuan tentang
sumber-sumber tekstual diperoleh dari para perawi hadis yang menjadi gurunya.
Dimana jumlah mereka mencapai angka seratus orang. Waki’ bin al-Jarrah
mendapatkan banyak rujukan tekstual. Model dan metode penafsiran teks yang
cukup dari para ahli fikih. Kekayaan, pengetahuan dan puncak karir, sepertinya
menciptakan kepuasan tertinggi dalam diri Waki’ bin al-Jarrah. Membuatnya harus
berfikir, apa lagi yang perlu dilakukan? Untuk apa pengetahuan dan kekayaan
itu? Hendak diabdikan untuk apa? Waki’ bin al-Jarrah menghadapi semacam krisis
nilai (baca: aksiologis). Di sinilah pentingnya mengarahkan kekayaan dan
pengetahuan untuk suatu kepentingan yang lebih luhur. Yaitu untuk menyongsong
suatu kehidupan yang akan datang, di dunia selanjutnya. Kehidupan di alam
akhirat. Dengan demikian, apapun yang dimiliki manusia saat ini, hanya menjadi
pengantara menuju dunia selanjutnya tersebut.
Hadis-hadis Nabi saw. adalah media yang dapat menghantarkan dan
menuntun manusia mencapai kebahagiaan di dunia yang baru nanti. Tuntunan dan
orientasi eksistensial semacam inilah yang hendak dihadirkan oleh kitab al-Zuhd.
Wallau a’lam.
[1]
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz 8, hal. 832
[2]
Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 123
[3]
Ibnu Ma’in, Tartib Tarikh Ibn Ma’in, juz 2, hal. 632
[4]
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, juz 8, hal. 732
[5]
Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 123
[6]
Waki’ bin al-Jarrah, Kitab al-Zuhd, Hal. 862
Komentar
Posting Komentar