Istihsan; Sejarah, Konsepsi, Argumentasi dan Aplikasi*





M. Khoirul Huda
chairool_hoeda@yahoo.co.id



“Allah menghendaki kemudahan untuk kalian, dan tidak menghendaki kesulitan.”
QS. al-Baqarah [2]: 185

“Apa yang  menurut seorang Muslim baik, maka ia baik pula menurut Allah”
Ibn Mas’ud


      A.   Pendahuluan
Sebagian sarjana berpendapat bahwa hukum Islam bersifat final, statis dan tidak berubah. Sebagian yang lain menyatakan hukum Islam bersifat dinamis, berkembang dan dalam beberapa hal mengalami perubahan.[1] Perkembangan ini meliputi sumber hukum, metode penafsiran terhadap sumber-sumber dan hasil penafsiran atas sumber-sumber tersebut. 
Sumber hukum yang pertama kali digunakan dalam sejarah hukum Islam adalah Alquran. Alquran menjadi rujukan sejak masa Nabi Muhammad saw. Hal ini berlanjut pada masa setelahnya. Sunnah atau praktik Nabi saw. juga menjadi rujukan dalam memutuskan permasalahan hukum. Hal ini karena sejumlah alasan seperti Alquran hanya memberikan pedoman-pedoman yang bersifat umum. Dan Alquran sangat butuh penjelasan. Itulah alasan utama mengapa para ulama merujuk Sunnah Nabi. Sunnah Nabi dalam konteks ini berbentuk informasi-informasi lisan (oral). Yang pada dua abad berikutnya baru dikodifikasi dalam sejumlah karya tertulis (literal). Pada era kodifikatif inilah keduanya menjadi sumber hukum yang statis. Kecuali dalam aspek penafsiran atas keduanya. Ketika permasalahan terus bermunculan, sumber-sumber statis itu memerlukan penafsiran-penafsiran yang memungkinkan lahirnya jawaban-jawaban yang bersumber dari sumber-sumber statis tersebut.
Dalam konteks ini, ijtihad menjadi menjadi upaya individual-massif para ahli hukum. Menurut Ahmad Hasan, ijtihad awalnya memiliki arti yang sempit yaitu pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Selain ijtihad, istilah lain yang muncul pada tahap ini adalah ra’yu dan qiyas.[2] Istilah-istilah ini merujuk kepada serangkaian aktifitas berfikir yang berada dalam konteks ‘perumusan’ hukum. Sampai di sini, ada dualisme sumber hukum. Yaitu hukum-hukum yang bersumber dari teks tertulis dan hukum-hukum yang bersumber dari ijtihad. Dualisme ini terkadang melahirkan ‘kontradiksi’ di antara sumber-sumber tersebut. Bahkan, kontradiksi ini kemudian juga melibatkan sesama sumber hukum yang berbentuk teks. Karena ijtihad juga mencakup aktifitas berfikir yang didasarkan kepada teks-teks hukum.
Kontradiksi ini melahirkan diskursus baru di kalangan ahli hukum. Mereka mulai mendiskusikan mengenai sumber-sumber hukum yang dianggap memiliki otoritas. Hal ini menjadi semacam proses seleksi mengenai keabsahan sumber-sumber hukum yang digunakan para ahli hukum. Al-Syafi’i (w. 204 H.) misalnya menulis buku khusus mengenai kontradiksi yang terjadi di antara hadis-hadis Nabi, Ikhtilaf al-Hadis.[3] Buku ini mencerminkan fenomena kontradiksi yang terjadi di antara sumber-sumber yang berbentuk teks. Sedangkan kontradiksi yang melibatkan sumber hukum tertulis dengan ijtihad di antaranya dapat dilihat dalam pernyataan al-Syafi’i mengenai teori istihsan. Al-Syafi’i pernah mengatakan, man istahsana fa qad syarra’a (orang yang menggunakan istihsan, berarti telah membuat syariat baru). Pada akhir abad kedua, teori-teori perumusan hukum didiskusikan dengan sangat tajam. Setelah sebelumnya dipraktikkan oleh para ahli generasi yang lebih senior. 
Di sini, seperti disinggung di muka, hukum Islam dapat dinilai mengalami perkembangan. Pertama, dari segi sumber hukum yang tidak hanya didasarkan kepada sumber-sumber tertulis, tapi kemudian juga mengakomodir pemikiran teoritik tak tertulis yang merupakan hasil ijtihad. Kedua, hasil perkembangan ini tentu saja berimplikasi kepada putusan hukum yang dihasilkan melalui sumber-sumber yang berbeda-beda itu.
Dalam makalah ini, penulis bermaksud mengulas mengenai istihsan. Ada beberapa asumsi yang digunakan ulasan ini. Pertama, istihsan diposisikan sebagai salah satu bentuk ijtihad (metode berfikir). Kedua, dan ini merupakan tahap perkembangan selanjutnya, istihsan sebagai sumber atau dasar keputusan hukum. Ketiga, nilai argumentasi istihsan sebagai sumber hukum. Keempat, aplikasi istihsan dalam proses ‘penemuan’ hukum pada masa klasik dan kontemporer.
Guna memudahkan, penulis akan membuat sistematika pembahasan sebagai berikut. Pertama, penulis akan mengulas sejarah kemunculan istihsan dalam perbincangan hukum Islam. pembahasan ini menitik-tekankan pada aspek faktor, ide-ide yang mendahului, dan kondisi yang membidani lahirnya gagasan mengenai istihsan. Kedua, konsepsi istihsan dalam bentuknya yang mutakhir dan keragaman modelnya merupakan pembahasan yang tidak boleh penulis lewatkan. Ketiga, konsepsi dan keragaman model yang dijelaskan pada bab sebelumnya akan diperdebatkan otoritasnya dalam konteks sumber hukum Islam. Hal ini karena para ulama senantiasa mendiskusikan otoritas istihsan. Keempat, penulis akan mencoba melihat penggunaannya dalam ‘perumusan’ hukum Islam pada era klasik dan kontemporer.

      B.   Sejarah Istihsan
Pada bagian pendahuluan, penulis telah mengulas bahwa umat Islam mengikuti norma atau aturan yang bersumber dari Alquran. Inilah prinsip dari segala prinsip untuk memahami hukum Islam. Bila pada bagian pendahuluan saya melihat dari sudut kesejarahan, dalam konteks ini, kita perlu melihatnya sebagai fenomena sosial. Yaitu bahwa umat Islam generasi pertama merujuk kepada Alquran dalam bersikap, berperilaku, menyelesaikan masalah sosial, dan tentu saja masalah keagamaan. Lalu penjelasan petunjuk Alquran itu diberikan oleh Nabi saw. melalui penjelasan-penjelasan verbal, tindakan, dan kebijakan-kebijakan. Dari sinilah Nabi saw. mendapatkan kewenangan diikuti oleh umatnya.
Setelah Nabi saw. meninggal, para sahabat tetap merujuk Alquran, praktik dan penjelasan beliau ketika menghadapi permasalahan. Kedua sumber ini kemudian menjadi sumber yang ditulis. Pada era selanjutnya, kegiatan memahami keduanya berjalan dinamis karena munculnya persoalan-persoalan baru yang belum ditemukan sebelumnya. Aktifitas memahami ini melahirkan tradisi ijtihad. Beragam model ijtihad lahir dalam konteks ini. Keragaman model ijtihad berimplikasi pada keragaman aliran pemikiran hukum Islam. Joshep Schact menggunakan pemilahan berdasarkan wilayah geografi untuk menjelaskan kelompok-kelompok ahli hukum Islam seperti mazhab Madinah, Irak dan Syam.[4] Manna’ al-Qatthan mengelompokkan para ahli hukum dalam dua aliran. Yaitu aliran ahl al-ra’y dan aliran ahl al-hadith.[5]
Berdasarkan Manna’ al-Qatthan, kedua kelompok ini sebenarnya sama-sama mengembangkan model ijtihad terhadap sumber-sumber tekstual. Di antara perbedaan ijtihad yang mereka kembangkan adalah konsep mengenai maslahah mursalah dan istihsan. Maslahah mursalah dikenal digunakan oleh aliran ahl al-hadith, yang tidak lain adalah para pengikut mazhab Malik. Sedangkan istihsan merupakan konsepsi yang khas dikembangkan oleh aliran ahl al-ra’y yang berkembang di Irak. Sekalipun aliran fiqh Madinah juga menggunakannya.
Kebutuhan pengembangan model ijtihad ini dilandasi oleh situasi masyarakat yang membutuhkan rujukan keagamaan dalam kasus-kasus yang membutuhkan keputusan hukum. Di sisi lain, negara telah menyusun sistem peradilan resmi. Hal ini tentu saja menuntut para praktisi mengembangkan cara-cara tertentu dalam menafsirkan sumber-sumber tertulis. Para sarjana independen juga mulai lahir dan mempengaruhi perkembangan diskursus hukum Islam.
Dari kelompok ahl al-ra’y yang bekerja dalam kerangka ijtihad, melahirkan tradisi analogi atau qiyas. Yaitu suatu mekanisme berfikir yang berangkat dari premis yang terdapat dalam rujukan tekstual untuk menjelaskan peristiwa yang tidak dijelaskan teks karena adanya suatu kemiripan tertentu. Seperti disebutkan sebelumnya, dualisme rujukan antara yang literal dan ijtihad, melahirkan kontradiksi. Ahl al-ra’y sering menjadi sasaran kritik karena mereka dianggap tidak konsisten berpegang kepada rujukan literal. Kontradiksi terjadi antar rujukan literal, antara literal dengan ijtihad, dan antara ijtihad dengan ijtihad. Kontradiksi ini melahirkan pemikiran tentang perlunya mencari yang paling kuat. Upaya ini melahirkan konsepsi preferensi atau tarjih.
Dalam konteks kontradiksi antara teks dengan ijtihad, atau ijtihad dengan ijtihad, muncul pula kecenderungan mencari dasar yang lebih kuat. Namun, dalam praktiknya, terdapat situasi dimana teks yang tidak sesuai dengan prinsip syariah atau ijtihad yang lebih lemah dikuatkan. Hal ini karena suatu pertimbangan tertentu yang tidak ada dalam ketentuan teks, dan seringkali hanya dapat ditemukan dalam situasi objektif. Praktik ini dikenal di kalangan ahl al-ra’y yang secara geografis merujuk kepada para ahli hukum Islam Irak dengan istilah istihsan (dinilai baik). Istihsan bukan sekadar perumusan hukum Islam yang didasarkan kepada selera pribadi. Ia harus didasarkan kepada pertimbangan yang matang terhadap teks sumber hukum, prinsip hukum, dan kebutuhan masyarakat. Seringkali yang dijadikan contoh adalah keputusan-keputusan Umar bin al-Khatthab yang dipandang berseberangan dengan ketentuan awal sebuah hukum seperti penghentian penerapan hukum potong tangan pada masa kelaparan dan talak tiga kali sama dengan talak rangkap tiga.[6]  
Goldziher menyatakan bahwa orang yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifah (150 H.). Hal ini berbeda dengan Joseph Schacht yang berpendapat istihsan pertama kali digunakan oleh Abu Yusuf al-Syaibani (182 H.), pengikut terkemuka Abu Hanifah. Argumennya, Abu Hanifah tidak meninggal kitab yang dapat bertahan hingga sekarang sehingga sulit mengidentifikasi pernyataannya. Berbeda dengan Abu Yusuf yang meninggalkan karya tulis. Ahmad Hasan menjembatani dua pendapat ini, bahwa perumus konsep istihsan adalah Abu Hanifah karena Abu Yusuf sendiri dalam ulasannya menyandarkan istihsan kepada praktik-praktik gurunya.[7]
Sejak saat itu, istihsan menjadi bahan perdebatan dalam diskursus hukum. Al-Syafi’i mengeritik dengan tajam praktik penggunaan istihsan ini. Pernyataannya yang paling keras adalah, man istahsana fa qad syarra’a (orang yang menggunakan istihsan dalam merumuskan hukum adalah orang yang telah membuat syariat baru). Hal ini karena dalam pandangan al-Syafi’i praktik istihsan banyak berlawanan dengan ketentuan syariat yang sudah jelas.[8] Sebagai contoh, para ahli hukum Irak berpendapat bahwa seorang penguasa yang menyaksikan seseorang mencuri, melacur, atau minum miras, ia tidak boleh menghukum dengan kesaksian pribadinya sampai bukti yang sah secara hukum dikukuhkan. Dasar fatwa ini adalah praktik istihsan yang asal usulnya dapat ditelusuri hingga Abu Bakar dan Umar. Fatwa ini bertentangan dengan qiyas (kaidah umum) yang membolehkan imam (otoritas politik) menerapkan hukuman bagi pelaku kejahatan atas dasar kesaksiannya.[9]
Contoh lainnya mengenai praktik isy’ar (memberi tanda pada hewan kurban dengan cara menyayat bagian tubuhnya) yang dilakukan pada perayaan haji. Menurut Abu Hanifah, praktik itu tergolong perbuatan kejam terhadap hewan. Padahal, isy’ar merupakan kebiasaan yang ditetapkan berdasarkan hadis Nabi saw. Ulama mazhab Hanafi memberikan pembelaan bahwa penolakan Abu Hanifah itu bukan berarti beliau menolak hadis Nabi. Namun, beliau mengeritik praktik isy’ar yang berlebihan seperti yang dipraktikkan masyarakat Irak. Ini tentu saja tidak baik untuk hewan karena luka-luka itu dapat membuatnya mati dan mengundang lalat.[10]
Konsep istihsan kemudian menjadi populer di kalangan ahli hukum. Bahkan sebagian di antaranya memberikan pujian kepada teori ini. Imam Malik bin Anas (179 H.) misalnya pernah menyatakan, al-istihsan tis’at a’syar al-‘Ilm (istihsan adalah sembilan dari sepuluh bagian ilmu pengetahuan). Sedangkan Imam Muhammad bin al-Hasan menceritakan bahwa murid-murid Abu Hanifah sering mendebat gurunya atas pendapat-pendapat yang didasarkan kepada qiyas. Namun ketika beliau mengatakan, saya anggap ini baik (astahsinu), maka tidak ada seorang pun yang mendebatnya.[11] Kedua mazhab hukum ini dikenal sebagai kelompok yang menerima dan mengembangkan konsep istihsan. Demikian sejarah awal kemunculan konsep istihsan dalam diskursus hukum Islam.

      C.   Konsepsi Istihsan Menurut Hanafiyah dan Malikiyah
Istihsan secara kebahasaan merupakan derivasi dari kata al-husn yang berarti baik (tidak buruk).[12] Sedangkan istihsan berarti mencari sesuatu yang baik (thalab al-husn) atau menganggap baik suatu hal. Kedua pengertian ini terdapat dalam konsep istihsan yang dikembangkan para ahli ushul fiqh. Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (340 H.) mendefinisikan dengan an ya’dila al-mujtahid ‘an an yahkum fi al-mas’alah bi mitsli ma hukima bihi fi nazha’iriha li wajhin aqwa yaqtadhi al-‘udul ‘an al-awwal (beralihnya seorang mujtahid dari menghukumi masalah dengan hukum yang terdapat pada kasus-kasus yang identik, karena suatu alasan yang lebih kuat yang menuntut peralihan tersebut).[13]
Sedangkan menurut ulama mazhab Malik, pengertian istihsan dapat ditemukan di antaranya dalam pernyataan Ibn al-‘Arabi (543 H.), al-istihsan itsar tark al-dalil wa al-tarkhish bi mukhalafatihi, li mu ‘aradhati dalilin akhar fi ba‘dhi muqtadhayatihi (istihsan adalah mengedepankan meninggalkan dalil dan rukhshah dengan cara melakukan yang berbeda, karena suatu dalil lain dalam sebagian kasus).[14]
Ibn al-Anbari dari aliran Maliki mengartikannya dengan, isti‘mal mashlahatin juz’iyyatin fi muqabil qiyasin kulliyyin (menggunakan maslahat juz’iyyah yang berseberangan dengan qiyas kulli).[15]
Ibn al-Rusyd (595 H.) menyatakan, al-istihsan alladzi yaktsuru isti’maluhu huwa tharhun li qiyasin yu’addi ila ghuluwwin fi al-hukm wa mubalaghatin fihi fa ‘adala ‘anhu fi ba‘dhi al-mawadhi‘ li ma‘na yu’attsiru fi al-hukm yakhtashshu bihi dzalika al-maudhi‘ (istihsan yang banyak digunakan adalah membuang qiyas yang dapat menghantarkan kepada sikap berlebihan dalam memutuskan hukum, lalu seorang mujtahid berpindah darinya dalam sebagian kasus karena suatu alasan yang dapat berpengaruh pada hukum dan khusus untuk permasalahan tersebut).[16]
Dalam perspektif Malikiyah, sebagaimana dapat dilihat dalam definisi di atas, istihsan secara umum berarti ‘peralihan’ dalam merujuk sumber hukum dengan mempertimbangkan maslahat yang bersifat parsial dalam sebuah kasus hukum yang bertentangan dengan kaidah umum (qiyas ‘am).
Dari sini, prinsip umum istihsan adalah meninggalkan suatu dalil yang dianggap kuat dan beralih mempertimbangkan dalil atau pertimbangan lain yang dianggap lebih kuat dalam suatu kasus tertentu untuk menjawab masalah hukum. Para ulama ushul fiqh kemudian mengidentifikasi kasus-kasus yang diduga menggunakan argumen istihsan. Hasilnya, ditemukan setidaknya enam model istihsan. Yaitu (1) istihsan yang didasarkan kepada teks (nash), (2) istihsan yang didasarkan kepada ijma’, (3) istihsan berdasar keadaan darurat, (4) istihsan berdasar qiyas khafi, (5) istihsan dengan ‘urf, dan (6) istihsan dengan maslahat.[17]


      D.   Kritik al-Syafi’i Atas Istihsan
Istihsan merupakan rujukan yang diperdebatkan oleh kalangan ahli ushul fiqh. Sebagian menerima dan menggunakan istihsan dalam praktik ‘penemuan’ hukum. Sebagian yang lain menolak penggunaannya karena sejumlah alasan. Di antara yang paling keras menolak istihsan adalah al-Syafi’i. Beliau bahkan menulis kitab khusus berjudul Ibthal al-Istihsan ‘inda al-Syafi’i (kritik atas istihsan menurut al-Syafi’i). Abu Zahrah meringkas kritik al-Syafi’I dalam enam poin besar.[18]
Pertama, syariat harus selalu berdasar tek (nash) dan upaya penalaran yang terhubung dengannya seperti melalui metode qiyas. Istihsan bukan dari jenis teks maupun upaya penalaran yang didasarkan kepada teks. Karena, jika istihsan tergolong teks atau yang berafiliasi kepada teks, maka berarti tidak perlu membuat istilah baru. Sebaliknya, bila istihsan bukan bagian keduanya, maka berarti ada yang belum dijelaskan Allah kepada umat manusia dalam petunjuk-petunjuknya. Ada kesan bahwa Allah meninggalkan umat manusia tanpa bimbingannya (hukum dari-Nya), padahal kesan itu adalah salah karena Allah menyatakan dia tidak meninggalkan manusia tanpa tuntunan-Nya (QS. al-Qiyamah [75]: 36).  
Kedua, ada banyak ayat Alquran yang memerintahkan agar umat manusia mematuhi Allah dan rasul-Nya. Dan juga melarang mereka mengikuti hawa nafsu. Alquran memerintahkan kita agar kembali kepada kitab-Nya (QS. al-Nisa’ [4]: 59). Istihsan bukan lah kitab-Nya maupun sunnah rasul-Nya. Juga tidak berbentuk penolakan terhadap keduanya. Istihsan adalah satu prinsip yang berada di tengah-tengah keduanya. Untuk menerimanya, diperlukan dalil dari Alquran dan sunnah. Dan tidak ada dalil yang mendukung keberadaannya sebagai rujukan hukum.
Ketiga, Nabi tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Beliau tidak pernah mengikuti keinginan pribadinya. Sebagai bukti, ketika ditanya seorang laki-laki yang melakukan zihar (mengharamkan istri dengan cara bersumpah yang di dalamnya terdapat upaya penyamaan dengan keluarga dekat), Nabi saw. tidak langsung memberikan fatwa berdasarkan apa yang beliau anggap baik. Bahkan beliau menunggu turunnya wahyu. Demikian pula dalam kasus li’an (tuduhan perselingkuhan oleh pasangan yang sah). Jika Nabi saw. membolehkan istihsan, pastinya beliau dapat saja memberikan fatwa.
Keempat, Nabi saw. mengingkari pendapat sahabat yang mendasarkan fatwa mereka kepada ‘sekadar’ pertimbangan yang mereka anggap baik. Seperti kasus sebagian sahabat yang membakar kaum Musyrik. Atau kasus Usamah yang membunuh musuh yang sudah mengikrarkan kalimat syahadat. Menurut Usamah, laki-laki itu hanya cari selamat karena sudah terpojok. Keimaman yang pura-pura justru berbahaya bagi dirinya dan orang-orang Islam saat itu. Dia kemudian membunuhnya. Nabi saw. menolak keputusan tersebut. Jika istihsan diperbolehkan, niscaya Nabi tidak mengingkarinya.
Kelima, istihsan tidak memiliki standar yang pasti. Setiap orang dapat menganggap sesuatu sebagai baik, namun tidak bagi orang lain. Hal ini berbeda dengan qiyas yang memiliki standar yang tegas dan terukur. Hal ini tentu saja akan mengacaukan hukum sebuah persoalan.
Keenam, bila praktik istihsan diperbolehkan bagi ahli hukum tanpa berpegang kepada nash atau teori yang didasarkan kepadanya, dan hanya berdasar pada akal fikiran, niscaya ijtihad tidak lagi memerlukan pengetahuan yang baik terhadap Alquran dan al-Sunnah. Dan dengan demikian, setiap orang boleh berijtihad dengan apa yang dianggapnya baik.
Beberapa kritik ini dianggap tidak terlalu tepat. Dan al-Syafi’i sepertinya memahami istihsan secara umum menurut pengertian kebahasannya. Padahal, seperti disebutkan sebelumnya, istihsan memiliki pengertian yang spesifik. Yaitu sekalipun keluar dari ‘dalil’, namun sebenarnya didasarkan kepada dalil lain. Inilah yang tidak dibaca oleh al-Syafi’i. Kritik balik ini seperti diungkapkan oleh al-Qaffal (417 H.) dan Ibn al-Sam’ani (562 H.).[19]  
Para pengusung istihsan lebih meyakini bahwa istihsan merupakan praktik pengambilan hukum yang berdasarkan dalil yang otoritatif. Seperti diungkap sebelumnya, istihsan memiliki banyak varian. Paling tidak ada enam model istihsan. Seluruhnya merupakan dalil (baca: sumber hukum) yang diakui oleh para sarjana ushul fiqh. Baik itu nash, ijma, darurat, qiyas khafi, ‘urf dan maslahat. Dengan demikian, perdebatan tentang otoritas istihsan harus dikembalikan kepada otoritas masing-masing dalil tersebut. Istihsan dengan demikian, tidak berdiri sendiri.
Di antara bukti bahwa istihsan tidak berdiri sendiri, dan bahwa istihsan mendapatkan persetujuan dari sumber hukum tertulis, adalah pernyataan para pendukungnya yang menyatakan bahwa istihsan dalam banyak kasus merupakan pengejawantahan perintah Allah. Allah menghendaki kemudahan untuk kalian dan tidak menghendaki kesukaran (QS. al-Baqarah [2]:185). Selain itu, istihsan juga didasarkan kepada dalil-dalil yang diakui oleh para ulama seperti ijma, qiyas, darurat dan lainnya seperti dijelaskan sebelumnya.  

      E.   Aplikasi Konsep Istihsan dalam Perumusan Hukum
Sampai di sini, istihsan telah menjadi salah satu sumber perumusan hukum (masadir al-ahkam) yang cukup populer di kalangan ahli fiqh. Praktik paling awal yang biasa dijadikan contoh adalah praktik Umar bin al-Khatthab ketika tidak membagikan tanah takhlukkan Irak kepada para pejuang. Padahal, harta yang diperoleh dari penakhlukkan harus diberikan kepada para pasukan seperti diatur dalam hukum ghanimah (rampasan perang). Demikian pula ketika Umar bin al-Khatthab sebagai kepala negara tidak melaksanakan potong tangan kepada para pencuri karena mempertimbangkan kondisi darurat saat itu. Yaitu maraknya kelaparan.
Pada masa Abu Hanifah beberapa praktik yang secara tekstual disebutkan (baca: diperintahkan) diharamkan dikritik karena melihat fakta sebaliknya bahwa praktik tersebut adalah bentuk penyiksaan yang berlebihan terhadap makhluk Allah. Jika sampai di sini terkesan bahwa istihsan selalu berbentuk ‘keputusan’ yang berbeda dengan yang dijelaskan sumber hukum, kesan itu tidak lah benar. Salah satu contoh istihsan bahkan menunjukkan sebaliknya, yaitu kaidah umum (qiyas) ditinggalkan karena bertentangan dengan sumber hukum tertulis. Hal ini seperti dalam kasus wasiat. Wasiat merupakan proses pemindahan kepemilikan yang akan dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Proses ini bila ditinjau dari akal sehat tidak mungkin terjadi. Karena, pemilikan dilakukan ketika seseorang sudah tidak layak memiliki lagi. Orang yang sudah meninggal tidak punya kapasitas memiliki sesuatu. Berdasarkan hal ini, secara logis, praktik wasiat harusnya ilegal alias tidak sah. Namun ayat-ayat Alquran menerangkan sebaliknya (QS. al-Nisa’ [4]: 11).
Contoh lainnya adalah keabsahan puasa seseorang yang secara tidak sadar melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa seperti makan. Berdasarkan ketentuan, dan logisnya memang demikian, puasa orang tersebut batal. Namun ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa orang yang puasa kemudian makan tanpa sadar, maka puasanya tidak batal. Bahkan makanan tersebut adalah rizki dari Allah (man akala au syaraba nasiyan fa yafthur fa innama huwa rizqun razaqahu allah).
Kasus-kasus di atas adalah praktik peralihan dari perujukan sumber hukum (dalil) yang dianggap kuat, kepada dalil lain yang dinilai lebih kuat, atau dalam konteks pembicaraan kita disebut istihsan. Di dunia modern ada banyak kasus yang diselesaikan dengan metode istihsan seperti masalah wakaf tunai. Wakaf memiliki prinsip keberlangsungan pada benda yang diwakafkan. Untuk mendukung prinsip ini, para ahli fiqh mensyaratkan benda wakaf harus berupa benda tak berpindah. Hal ini untuk mewujudkan tujuan wakaf sebagai amalan yang terus mengalirkan pahala kepada pelakunya (amal jariyah). Namun, seiring bergesernya waktu, benda wakaf dapat berupa benda bernilai yang seperti uang. Konsep wakaf tunai dikembangkan dari prinsip istihsan. Contoh lainnya adalah pemanfaatan kolam renang oleh pengunjung yang termasuk dalam praktik sewa (ijarah). Berdasarkan prinsip ijarah yang mengharuskan kejelasan transaksi, maka sebenarnya sangat sulit membatasi pemanfaatan fasilitas yang ada di lingkungan kolam renang berikut durasi pemanfaatan. Ketidakjelasan ini menuntut batalnya transaksi. Namun, berdasarkan istihsan dimana kebiasaan masyarakat membolehkan hal itu, transaksi semacam itu dianggap wajar.   
Contoh kasus lain adalah dalam konteks kenegaraan, salah satu prinsip yang dipegang dalam Islam adalah kesatuan kepemimpinan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang menyatakan, ketika dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang terakhir (idza buyi’a li khalifataini fa uqtulu al-akhir minhuma) (HR Muslim).
Mayoritas ulama melarang adanya dua pemimpin di dunia Islam pada waktu yang bersamaan. Ketika ditemukan dua pemimpin secara bersamaan, maka baiat kepada yang pertama saja yang dianggap sah. Atau ketika tidak diketahui yang lebih dahulu, maka sama-sama batal, baiat yang diberikan oleh seseorang. Pendapat ini difatwakan oleh ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Sebagian ulama mazhab Syafi’i dan ulama mazhab Malik membolehkan dualisme, atau bahkan pluralitas kepemimpinan jika memang dibutuhkan. Seperti ketika wilayah suatu negara terlalu luas.[20]
Pendapat ulama mazhab Malik ini dibangun di atas dasar istihsan. Yaitu beralih dari menggunakan hadis yang merupakan dalil (sumber hukum) yang dianggap kuat, kepada dalil hajat atau bahkan darurat yang dinilai lebih kuat. Hal ini karena, prinsip berdirinya sebuah negara adalah untuk memberikan pelayakan kepada masyarakat baik dalam aspek kerohanian maupun kesejahteraan (hirasat al-din wa siyasat al-dunya). Peralihan penggunaan dalil inilah yang disebut istihsan.Wallahu A’lam.


 *Tulisan ini merupakan makalah kelas semester 3 pada Mata Kuliah "Contemporary Issue in Ushul Fiqh", Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.


[1] Konon, di antara yang menyatakan hukum Islam bersifat statis adalah Joseph Schacth, sedangkan Khalid Masud dikenal sebagai sarjana yang mengkampanyekan dinamitas hukum Islam.
[2] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2, hlm.104
[3] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Mansurah: Dar al-Wafa’, 2001), cet. ke-1, juz 7.
[4] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Tentang Asal Usul Hukum Islam dan Masalah Otentisitas Sunah, (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), cet. ke-1, hlm. 38, 44, 54
[5] Manna’ al-Qatthan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), cet. ke-2, hlm. 289
[6] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2, hlm.137
[7] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2, hlm.137
[8] Al-Syafi’I bahkan menyusun karya khusus tentang kritiknya terhadap istihsan, yaitu kitab Ibthal al-Istihsan yang merupakan salah satu bagian dari kitab al-Umm. Lihat AbuZahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 270
[9] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2, hlm.137
[10] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2, hlm.137
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 270, Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), cet. ke-1, juz 1, hlm. 735
[12] Ahmad bin Faris al-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), juz 2, hlm. 57
[13] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 262-263
[14] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 262-263
[15] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 262-263
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 262-263
[17] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), cet. ke-1, juz 1, hlm. 743
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hlm. 269-271
[19] Lihat Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2000), cet. ke-1, juz 2, hlm. 988
[20] Lihat dalam ulasan entri “Imarah” mengenai topik “aqd al-bai’ah li Imamain”, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Kuwait. Juz 6, hlm. 226



Daftar Pustaka

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), cet. ke-2.
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Mansurah: Dar al-Wafa’, 2001), cet. ke-1.
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Tentang Asal Usul Hukum Islam dan Masalah Otentisitas Sunah, (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), cet. ke-1.
Manna’ al-Qatthan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), cet. ke-2.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt).
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), cet. ke-1.
Ahmad bin Faris al-Razi, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Riyadh: Dar al-Fadhilah, 2000), cet. ke-1.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, diterbitkan oleh Kementerian Wakaf  Kuwait.







Komentar

  1. Terimakasih kak, sangat bermanfaat. Saya mau tau biografi Shalih bin Ahmad Ridha, kira-kira informasi tentang beliau bisa saya dapatkan dibuku apa ya kak?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api