Tarekat Alawiyah dan Nusantara


Oleh: M. Khoirul Huda



Pendahuluan
Bangsa-bangsa kepulauan Nusantara telah mengenal praktik tarekat sejak awal kedatangan Islam pada sekitar abad ke-15. Hal ini karena para penyebar Islam awal Nusantara pada umumnya merupakan penganut aliran tarekat. 

Sebut saja Nur al-Din al-Raniri yang pernah menjadi penasihat raja-raja Aceh. Al-Raniri adalah seorang habaib yang berasal dari India. Sebagaimana tradisi keluarga Alawiyyin, beliau menganut tarekat Alawiyyah. Demikian pula para tokoh yang menyebarkan Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dalam catatan Alwi Shihab dan Umar Ibrahim, sembilan wali itu merupakan para sayid keturunan Arab-Hadhramaut. Al-Raniri dan Wali Songo adalah contoh peran penting keluarga Alawiyyin dalam menyebarkan Islam di kepulauan Nusantara. 

Pada abad ke-18, keluarga ini berdiaspora menyeberangi samudra menuju kota-kota di sepanjang pantai Samudera Hindia. Sejak dari pantai timur Afrika hingga pelabuhan-pelabuhan di India, Aceh, Malaka, dan Jawa. 

Mengenai motif penyebaran kaum Alawiyyin ini, para sarjana berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa migrasi itu terkait dengan urusan bisnis perdagangan. Kalau toh ada praktik penyebaran agama, itu sekadar untuk memperlancar urusan dagang mereka. Hal ini seperti digambarkan oleh Van den Bergh dalam bukunya yang terkenal Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans I’archipel Indien (Arab Hadhramaut di Kepulauan Hindia). Dia menyebut orang-orang Arab sebagai broker haji, pedagang minyak, dan kadang-kadang lintah darat. Sarjana lain berpandangan bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk menyebarkan agama. 

Faktanya, sumbangsih kaum Alawiyyin cukup besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Kalau tidak menginspirasi. Pada era kebangkitan nasional, kaum Alawiyyin dapat dikatakan sebagai pelopor organisasi-organisasi nasional seperti Jamiat al-Khair, al-Khairat, al-Irsyad, dan lainnya. Para jutawan Arab juga dikenal banyak berperan dalam pembentukan organisasi pribumi seperti Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan dan Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pernah belajar di perguruan Jamiat al-Khair. 

Dalam menyebarkan Islam, kaum Alawiyyin berpegang teguh kepada tradisi keluarga. Terdapat tiga ciri penting dalam corak keberagamaan kaum Alawiyyin. Pertama, mengikuti mazhab fiqh Syafi’i. Leluhur kaum Alawiyyin di Hadhramaut, Yaman, merupakan orang-orang yang teguh dalam berpegang kepada mazhab Syafi’i. Mereka mendirikan ribat (pesantren), menulis kitab, dan menyebarkannya kepada murid-muridnya. Karangan-karangan kaum Alawiyyin tentang fiqh Syafi’I masih banyak digunakan di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia. Kitab Safinat al-Najah karya Salim bin Sumair merupakan kitab yang diajarkan untuk para santri pemula. Dan Bughyat al-Mustarsyidin adalah kitab yang menjadi dasar pengakuan atas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, mengikuti mazhab Asy’ari dalam akidah. Kaum Alawiyyin Hadhramaut dikenal sebagai kelompok yang berhasil menumbangkan dominasi mazhab Khawarij-Ibadhiyah yang dianut masyarakat Yaman pada umumnya sebelum abad keempat hijriah. Namun setelah kedantangan Ahmad bin Isa al-Muhajir, leluhur pertama kaum Alawiyyin yang berhijrah ke Hadhramaut, keluarga dan anak cucunya telah menjadi kekuatan kultural yang berhasil menggeser dominasi mazhab khawarij  tersebut. Ketiga, mengikuti tarekat Alawiyyah dalam bidang tasawuf. Tarekat Alawiyyah merupakan tarekat yang dikembangkan oleh keluarga Alawiyyin selama berabad-abad lamanya. Nama tarekat ini dikaitkan dengan pengembangnya yang keturunan Alawiyyin. Alawiyyin atau kaum Alawiyyah merupakan keluarga yang berasal dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. 


Sampai pada abad ke-18, tradisi keluarga ini bertahan dengan cukup baik. Dan dalam beberapa hal, sangat mempengaruhi corak keislaman masyarakat sepanjang kepulauan Nusantara. Hal ini seperti dapat diamati dalam keberislaman mayoritas masyarakat Nusantara yang saat ini meliputi negara-negara Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina dan Thailand Selatan. 


Di antara ketiga ciri tradisi keluarga Alawiyyah yang mempengaruhi corak keberagamaan masyarakat Nusantara, yang paling kuat pengaruhnya adalah dalam bidang fiqh dan akidah. Dan cukup aneh ketika praktik tarekat mereka tidak sepopuler dua ciri lainnya. Ada beberapa alasan yang memungkinkan ketidak-populeran tarekat Alawiyyah seperti fiqh dan akidahnya. Pertama, tarekat ini pada mulanya hanya diamalkan dan disebarkan di lingkungan keluarga para sayid (sadah). Baru pada perkembangan selanjutnya, tarekat ini diajarkan kepada masyarakat luas. Kedua, aturan tarekat yang tidak terlalu ketat. Ketika disebarkan ke luar lingkungan sadah, praktik tarekat Alawiyyah tidak seketat pengajaran tarekat-tarekat lain. Hampir tidak dikenal praktik baiat, talqin zikir, khalwat, riyadhah, dan lainnya seperti dalam umumnya tarekat-tarekat. Kaum Muslim secara umum dapat mengamalkan doa, hizib, aurad, dan semua amalan yang dirumuskan para pendiri tarekat Alawiyyah setelah diijazahkan tanpa perlu berbaiat. 


Ketiga, tarekat Alawiyyah merupakan fusi (penggabungan) antara tarekat al-Ghazaliyyah dan al-Shadhiliyyah. Tarekat al-Ghazaliyyah lebih menekankan olah fisik (riyadhah badaniyyah) seperti puasa, qiyam al-lail, khalwat, dan sejenisnya. Sedangkan al-Shadhiliyyah lebih menekankan olah batin (riyadhah bathiniyyah) seperti ikhlas, menjauhi riya’, refleksi diri (tafakkur) dan lainnya. Tarekat Alawiyyah menyeimbangkan dua aspek esensial dari kedua tarekat tersebut. Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ilmu dan amal yang seimbang.  


Keempat, para tokoh tarekat Alawiyyah belum sepakat tentang keharusan baiat. Sebagian di antaranya sengaja tidak mengharuskan baiat seperti Habib Abdullah al-Haddad, sufi besar kaum Alawiyyin yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan kalangan pesantren. Generasi Alawiyyin mutakhir penulis sejarah tarekat Alawiyyah, seperti Ibrahim Umar dan Alwi Shihab, lebih menyetujui bahwa tarekat ini tidak mengajarkan baiat. Kalaupun ada, baiat merupakan bentuk keutamaan semata (afdhaliyyah) dan untuk mendapatkan kewenangan mengijazahkan kepada orang lain.


Tarekat Alawiyyah dalam Literatur

Ulasan di atas menunjukkan kepada kita bahwa tarekat Alawiyyah adalah tarekat pertama yang masuk ke wilayah Nusantara. Tepatnya sejak abad ke-15 M. Namun penyebarannya sejak ia masuk ke Nusantara tidak mendapatkan perhatian para sarjana. Sekalipun al-Raniri dan para Wali Songo dapat diidentifikasi sebagai orang-orang yang memiliki nasab Alawiyyin, hampir-hampir para sarjana tidak menyinggung ke-Alawiyyah-an mereka. Selain itu, peran mereka dalam menyebarkan tarekat tersebut juga tidak mendapatkan porsi yang banyak. 


Ada kemungkinan tarekat Alawiyyah menyebar luas bersamaan dengan datangnya para imigran Arab ke Nusantara pada abad ke-19 dan 20. Hal ini seperti dinyatakan dalam penelitian Ulrike Freitag berjudul Hadhramaut: A Religious Centre for the Indian Ocean in the Late 19th  and Early 20th Centuries yang menyatakan bahwa Hadhramaut telah menjadi pusat keagamaan masyarakat samudera Hindia akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. 


Menurut catatan Martin van Bruinessen, studi ilmiah terhadap tarekat sebelum abad sembilan belas sangat minim. Sarjana generasi pertama yang tertarik dengan isu ini pada umumnya berasal dari Belanda, lalu Inggris, Prancis dan diikuti Jerman. Dari tahun 1976 sampai 1995, sarjana Muslim Indonesia mulai melakukan penelitian terhadap dunia tarekat. Ada sekitar delapan puluh (80) kajian tentang tarekat secara umum. Sampai akhir abad 20, belum ada kajian khusus yang membahas perkembangan tarekat Alawiyyah. Dan pada tahun 2000 oleh Ibrahim Umar mengkaji tarekat kaum habaib ini melalui disertasi berjudul al-Thariqah al-‘Alawiyyah Menurut Pandangan Abdullah al-Haddad (Suatu Kajian Tasawuf Akhlaqi)


Penelitian tingkat kesarjanaan mulai meneliti pusat-pusat penyebaran dan peran sosial pengikut Alawiyyah sejak tahun 2009. Di antara pusat pengembangan tarekat Alawiyyah adalah Desa Sayegan Sleman dan Kotagede di Jogjakarta, serta Desa Cipari yang masuk Kabupaten Cilacap. 


Buku-buku tentang tarekat, sekalipun banyak beredar di pasaran, namun masih sangat jarang yang mengulas tarekat Alawiyyah. Sebut saja buku Tarekat Muktabarah di Indonesia karya Sri Mulyati yang tidak memasukkan tarekat Alawiyyah di dalamnya. Bergitu pula Martin van Bruenessen dalam Kitab Kuning, Tarekat dan Pesantren-nya. Sebelumnya, Pengantar Ilmu Tarekat karya Abu Bakar Atjeh menyinggung tarekat Alawiyyah dalam dua judul sub bab. Hanya saja kajian buku tersebut lebih banyak bersifat normatif daripada perkembangan sosiologis mutakhirnya. Perspektif historis-sosiologis lebih nampak dalam paparan Alwi Shihab dalam Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia. Paparan mengenai generasi Alawiyyin Nusantara cukup lugas. Hubungan silsilah Wali Songo dengan Ahmad bin Isa al-Muhajir mendapat perhatian yang luas. Ada dua kekurangan utama ulasannya. Pertama, buku ini tidak membahas kondisi kontemporer tarekat Alawiyyah. Kedua, dasar-dasar normatif seperti ditinggalkan karena tujuan utama buku ini adalah mendeskripsikan dialektika tasawuf sunni dan falsafi. Selain bahwa buku ini memang tidak secara khusus menyoroti tarekat Alawiyyah. 


Dari sini dapat dibayangkan betapa jarangnya karya-karya mengenai tarekat Alawiyyah. Padahal, peran pengikut tarekat ini dalam proses islamisasi masyarakat Nusantara  cukup besar. Ketiadaan referensi secama ini menunjukkan bahwa minimnya minat menghargai jasa para pendahulu. Para pengikut tarekat yang pada umumnya masyarakat awam seringkali kesulitan mengakses kitab-kitab rujukan tarekat yang berbahasa Arab. Sekalipun karya-karya para tokoh Alawiyyah pada dasarnya sangat banyak. Karya lengkap tentang tarekat Alawiyyah yang ditulis oleh Umar Ibrahim lebih menitik beratkan pada ajaran-ajaran Syekh Abdullah al-Haddad. Dan belum mengeksplorasi pandangan-pandangan tokoh-tokoh Alawiyyah lainnya. Paling jauh, karya tersebut sekadar menunjukkan kecenderungan praktis tarekat Alawiyyah dalam arti siapapun bisa dan boleh mengamalkannya. 


Pandangan ini merupakan pengaruh dari pemikiran Syekh Abdullah al-Haddad. Menurut beliau, “Kita tidak boleh memaksa orang-orang awam mengikuti tarekat orang-orang elit (khash).” Berdasar fatwa tersebut, orang-orang awam memiliki tarekatnya sendiri yang bersifat praktis, tidak tenggelam dalam penalaran filosofis dan tentu saja dibangun di atas dasar ilmu syariat yang benar dan memiliki rujukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. 


Di sisi lain, muncul tanggapan dari para pembesar Alawiyyah yang mulai melihat para pengikut tarekat yang bersikap kurang takzim terhadap aurad, dzikir, dan ajaran-ajaran Alawiyyah. Hal ini berdampak pada lahirnya pandangan yang menyatakan bahwa Alawiyyah bukan sebuah tarekat seperti pada umumnya. Tarekat Alawiyyah sekadar tempat pengajian yang mengajarkan dzikir dan ilmu-ilmu agama. Tidak lebih dari itu. Kondisi ini mendorong sebagian pembesar Alawiyyah untuk menyadarkan bahwa ajaran Alawiyyah merupakan tarekat yang bertujuan menghantarkan umat manusia kepada Tuhannya. Sama seperti tarekat-tarekat lainnya. 


Dalam semangat itulah buku ini ditulis. Semangat untuk berbagi pengetahuan mengenai tarekat Alawiyyah. Bahwa tarekat ini adalah benar-benar tarekat yang memiliki keunikannya sendiri. Yang mendasarkan ajarannya pada ilmu dan amal, berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Sekalipun terbilang ringan, dibandingkan dengan ajaran dalam tarekat-tarekat lain, tarekat Alawiyyah tetap memiliki aturan yang harus diketahui dan dipatuhi orang-orang yang mempercayainya. Keringanan itu tidak lain adalah untuk memudahkan masyarakat awam melaksanakan ajaran tarekat. Menjadikan mereka manusia-manusia yang mengenal dengan baik Tuhannya. Menjalankan dengan taat ajaran-ajaran agamanya. Serta menjadikan mereka manusia dengan kualitas keberagamaan yang tinggi.


Fatwa Hadhramaut dan NKRI
Selepas pesantren pertama, sebagian kawan saya berupaya mengikuti ujian ke sebuah Universitas di Tarim Hadhramaut. Sebagian lagi sangat bersemangat mencari bekal untuk berangkat ke Ribat milik seorang habaib di Tarim. Saya tidak tahu betul mengapa Tarim dan mengapa Hadhramaut. Saya merasa Hadhramaut baru kemarin menjadi begitu populer di telinga kawan-kawan santri. Sebagai pusat pendidikan Islam, Hadhramaut mungkin tidak sepopuler Kairo, Mekah maupun Madinah. 

Masuknya Hadhramaut dalam daftar destinasi baru perguruan tinggi dunia Islam dalam bayangan saya di atas buyar ketika saya menelusuri hubungan Hadhramaut dan Nusantara lima abad terakhir. Para penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, merupakan orang-orang keturunan Arab-Hadhramaut. Generasi mereka pendahulu mereka melakukan migrasi ke seluruh wilayah di sepanjang samudera Hindia. Di sebelah timur mereka masuk ke Gujarat, India. Di India keturunan mereka berkembang menyebar ke arah timur seperti Thailan Selatan, Kamboja, Malaysia, Sumatera dan Jawa. Sampailah mereka pada gugusan kepulauan Nusantara (nusantara archipelago). Di sinilah keturunan bangsa Arab tersebut hidup bersama orang-orang pribumi, berbaur dan mewarnai corak agama dan kebudayaan mereka.

Hubungan Hadhramaut dan Nusantara dapat dilacak pada abad kesembilan belas. Pada abad  tersebut, muncul wacana bahwa Hindia Belanda, negara yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, adalah negara Islam (dar al-islam). Keputusan itu didasarkan kepada fatwa seorang ulama Hadhramaut dalam kitab Bughyat al-Murtasyidin. Argumen utamanya, secara demografi nusantara dihuni oleh mayoritas Muslim. Selain bahwa wilayah tersebut pernah dikuasai negara-kerajaan Islam. Kondisi mutakhirnya saat itu, pemerintah kolonial memberikan jaminan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama sehingga syiar-syiar keagamaan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian, hukum nusantara sebagai dar al-islam tidak hilang. 

Dengan demikian, karya dari Hadhramaut ini menjadi sangat penting secara politik kebangsaan. Dan fatwa Hadhramaut itu terus digunakan ketika muncul Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pertengahan abad dua puluh. Di sini, fatwa Hadhramaut memiliki arti cukup penting dalam pembentukan NKRI. 

Hadhramaut, Rumah Kaum Sadah
Hadhramaut memang jauh dari Nusantara. Sejauh Mekah, Madinah dan Kairo sebagai pusat pengajaran Islam. Namun beberapa judul kitab kuning membuat nama itu cukup akrab dan dekat di telinga saya. Sama seperti beberapa doa yang disusun oleh ulama-ulama asal negeri tersebut yang dibaca kawan-kawan santri. Belum lagi dengan keberadaan para sayid yang menjadi simbol kemuliaan dan media penghormatan kepada Nabi saw. Orang pesantren sangat tulus memberikan penghormatan kepada para sayid atau habaib, sekalipun masih anak-anak, dengan penghormatan yang tidak kurang dari penghormatan mereka kepada kiai dan anak-anaknya. Inilah yang membuat Hadhramaut yang jauh secara geografi itu terasa dekat. 
Saat ini, Hadhramaut merupakan sebuah provinsi di Republik Yaman. Wilayahnya meliputi seluruh pantai Arab Selatan. Mulai dari teluk Aden hingga Ra’s al-Hadd. Daerah ini terdiri dari pegunungan, padang pasir, dan lembah-lembah luas yang segera menjadi jalur sungai (masil) pada musim hujan atau bahkan jalur air bah yang mengalir deras (sail). Uniknya, pada musim kering, lembah jalur air itu berubah menjadi sangat keras sehingga dapat dilewati mirip jalan aspal. Pegunungan Hadhramaut pada umumnya dihuni oleh suku Badui.
Penduduk Hadhramaut terdiri dari kabilah-kabilah dengan strata sosial yang berbeda-beda. Van den Berg mengatakan, mereka terdiri dari empat golongan; (1) kaum sayid, (2) suku-suku, (3) golongan menengah, (4) dan budak. Para sayid merupakan imigran yang bermigrasi secara massal dari wilayah Arab utara dan Irak pada abad ke-4 H. Kaum imigran ini menempati status sosial yang tinggi. Status sosial yang tinggi ini diperoleh oleh keluarga sayid karena kharisma, nasab, penguasaan ilmu agama, kedermawanan, dan solidaritas tinggi para leluhur dan tokoh-tokoh besar mereka sejak kedatangan pertama kali keluarga ini di Hadhramaut.    
Alexander Knysh dalam artikel berjudul The Sada in History A Critical Essay on Hadrami Historiography (1999) mengkaji secara kritis mengenai peran penting nasab dan penulisan sejarah oleh keluarga sayid dan orang-orang yang simpati terhadap keluarga tersebut dalam menjaga dan melestarikan posisi strategis kaum sayid di lingkungan masyarakat Hadhramaut. Mikhail Rodionov dalam The Jinn in Hadhramaut Society in The Last Century (2008) melihat bahwa pengaruh kaum sayid muncul karena kemampuan orang-orang kharismatik mereka dalam memobilisir wacana mistik yang dalam beberapa kasus dapat secara efektif menyelesaikan masalah atau konflik sosial. Di sini, titik tekannya adalah pada kemampuan menyelesaikan masalah sosial secara efektif melalui cara-cara unik.
Bagaimanapun, kaum sayid menempati posisi yang terhormat dalam masyarakat Muslim Hadhramaut. Sebagaimana kehormatan ini akan turut menyebar ke seluruh wilayah diaspora. Ciri utama kaum sayid adalah kemampuan mereka dalam menegosiasikan identitas budaya, menjaga tradisi keluarga, dan tentu saja adaptasi dengan lingkungan-lingkungan baru yang mengagumkan.
Van den Berg menggambarkan orang-orang Arab Hadhramaut, sekalipun tidak pernah menyebarangi laut, namun ketika mereka di laut, tiba-tiba saja mereka bisa menjadi kapten-kapten kapal yang andal. Ketika masuk ke daerah pedalaman mereka dapat berbaur capat dengan penduduk pribumi. Kemampuan akulturasi yang luar biasa inilah yang membuatnya dapat mudah diterima di tempat-tempat baru.
Nusantara; Negeri Baru dan Ladang Dakwah
Pada umumnya, tulisan para orientalis tidak simpatik, terlalu kasar, dan terkadang bila dilihat dari perspektif kaum santri, cenderung merendahkan. Sebut saja misalnya tentang motif kaum Arab, atau Alawiyyin secara khusus, datang ke nusantara untuk mengejar-ngejar kekayaan. Van den Berg mengatakan, orang Arab yang memustkan pindah bukanlah golongan yang terkaya di Hadhramaut. Mereka dan bangsa Eropa sama. Golongan kaya dan hidup nyaman tidak pergi ke luar negeri untuk mengadu nasib, atau seperti kata pepatah Arab, “mencari cincin Nabi Sulaiman.” Kalimat-kalimat dalam paragraf setelahnya dalam buku Le Hadhramaut Et Les Colonies Arabes Dans I’archipel Indien bahkan lebih kasar lagi.
Perspektif kaum Alawiyyin dan penulis-penulis pendukungnya tentu saja berbeda. Bahwa mereka datang ke Nusantara untuk tujuan pokok mengajarkan agama. Sedangkan kekayaan yang mereka peroleh serta posisi sosial mereka yang tinggi merupakan berkah dari sikap baik, kedermawanan, ilmu dan nasab mereka. Dalam perspektif ini, Nusantara adalah ladang dakwah. Zaib bin Ibrahim bin Sumaith menulis, “Tarekat Alawiyyah sebagai cara berperilaku dan mendidik merupakan sebab utama tersebarnya Islam dan konversi massal masyarakat dalam batas geografi yang luas. Yaitu sepanjang India, Melayu, Burma, India, Filipina, Sri Langka, dan Asia Tenggara dan Pantai Timur Afrika. Kaum Alawiyyin, dalam usaha dagang mereka sepanjang pantai negeri-negeri tersebut, berhasil menjadi teladan yang sempurna untuk pribadi muslim saleh, berilmu dan bekerja dengan baik. Mereka berhasil menarik simpati masyarakat karena akhlak, tata krama, dan ilmu mereka. Mereka menjadi contoh sosok yang sempurna secara agama dan dunia.”
Syakib Arselan menulis, “Orang-orang Hadhramaut merupakan penjelajah pertama dunia. Kemiskinan negeri dan kekuatan tekat mendorong penjelajahan itu. Pada umumnya, mereka menyebar menuju kepulauan Jawa (nusantara) dan samudera Hindia. Pemerintah Belanda menarik upeti besar dari mereka untuk menghentikan migrasi mereka karena khawatir mereka menyebarkan Islam (yang selama berabad-abad merepotkan pemerintah kolonial, pen.) atau menginspirasi penduduknya dengan ide-ide kebangkitan yang tanpa mereka orang-orang Nusantara tidak akan tahu. Mereka membuat peraturan-peraturan untuk mempersempit ruang gerak kaum imigran Hadhramaut.”
Sekalipun mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun migrasi itu sulit dihentikan. Maka, selama abad sembilan belas dan dua puluh, muncul pusat-pusat migrasi Arab. Sensus pada tahun 1885 terhadap populasi orang-orang Arab di Nusantara menunjukkan angka sekitar dua puluh ribu orang. Jawa dan Madura mencapai 10.888 dan Luar Jawa 9613 orang. Pada 1884, sensus Pemerintah Inggris menunjukkan populasi orang Arab di Malaka, Singapura, Penang dan Weelesley mencapai angka 1637 orang (lihat Van den Berg, 2010, 96-99).
Dalam arus migrasi ini, kaum Alawiyyin melibatkan diri secara aktif. Membangun pusat-pusat kebudayaan, kemakmuran, keilmuan dan keagamaan. Menurut Zain bin Ibrahim bin Sumaith, hal ini disebabkan ketika mereka menginjak suatu negeri mereka akan mendapatkan status sosial yang tinggi dan penghormatan karena keluarga dan leluhur mereka yang suci. Selain itu, banyaknya orang-orang yang terdidik (ulama) yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. Dimana pun mereka berada, mereka membawa manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Ada faktor lain, yaitu kehebatan mereka dalam berdakwah mengajak masyarakat mengenal Allah dan agamanya. Selain bahwa mereka memiliki akhlak yang lembut, dan dominasi tata krama tasawuf. Mereka adalah orang-orang yang paling halus akhlaknya dan paling tinggi tingkat pendidikannya.” (lihat Zain bin Ibrahim Sumaith, 2005, 36).
Prinsipnya, menurut perpsektif ini kaum orang-orang Arab imigran memiliki keunggulan perilaku yang membuat mereka mudah diterima di mana pun mereka berada. Namun tidak seluruhnya orang-orang ini harus bersikap lemah. Beberapa kasus dibawah ini menunjukkan ketegasan mereka dalam menjaga kemurnian tradisi Islam dari pengaruh kecenderungan mistik yang berlebihan dari penganut tarekat.
Pada abad kelima belas, setelah berhasil membentuk pemerintahan Islam Demak, Wali Songo menghadapi penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar yang dinilai menyimpang. Polemik itu berujung kepada kematian Syekh Siti Jenar. Dewan Wali Songo mendapatkan dukungan penuh dari penguasa Kerajaan Demak.  
Pada abad ketujuh belas, Syekh Nur al-Din al-Raniri harus berhadapan dengan pengikut Syekh Hamzah Fansuri yang mengajarkan tasawuf filosofis. Beruntungnya, Syekh Nur al-Din al-Raniri mendapatkan dukungan dari Kerajaan Aceh. Bertepatan saat itu beliau sedang menjabat sebagai penasehat raja. Selama tujuh tahun di Aceh, sebelum pada akhirnya beliau kembali ke negeri asalnya Ranir, India, beliau menulis banyak karya yang mengeritik ajaran tasawuf filosofis Syekh Hamzah Fansuri.
Pada abad kesembilan belas, dua orang sayid tampil sebagai penentang aliran tarekat yang menyimpang. Yang pertama adalah Sayid Salim bin Abdullah bin Sumair, seorang sayid yang lahir di Hadhramaut, kemudian berhijrah ke Singapura dan kemudian Batavia. Pengarang kitab Safinat al-Najah ini dikenal sebagai seorang penentang yang keras gerakan tarekat. Beliau meninggal pada 1854 dan dimakamkan di Pemakaman Arab dekat Tanah Abang. Usaha menentang tarekat yang tidak syar’i ini dilanjutkan oleh Sayid Usman bin Abdullah bin Yahya. Seorang yang ahli dalam bidang teologi (kalam) dan hukum (fiqh). Posisinya dalam pemerintahan cukup strategis, yaitu penasehat bidang keagamaan. Selain dikenal sebagai mufti Betawi, beliau juga dikenal sebagai kritikus gerakan pembaharuan dan politik Pan-Islamisme, beliau juga dikenal sebagai penentang tarekat dan kebatinan.
Negeri baru yang menjadi medan dakwah ahli-ahli agama orang-orang Arab ini, memiliki kelemahan di bidang pendidikan keagamaan sehingga pemahaman agama pribumi yang cenderung minim mendapatkan sentuhan mistik lokal. Hal ini merupakan dampak dari pengawasan yang ketat oleh pemerintah kolonial terhadap pendidikan agama, utamanya yang diadakan oleh pesantren-pesantren. Hadirnya para tokoh sayid dari Hadhramaut membawa ajaran Sunni-Syafi’i ini pada akhirnya harus berhadapan dengan paham-paham yang berkembang di sebagian masyarakat Nusantara.
Selain mengajarkan fiqh, sebenarnya para sayid juga mengajarkan tarekat untuk mengisi dimensi kerohanian masyarakat Nusantara. Hanya saja, sepertinya konsepsi tarekat yang dikembangkan dalam lingkungan para sayid ini berbeda dengan pemahaman umum tentang tarekat yang menekankan latihan fisik, olah kekuatan batin, dan cenderung mistik. Lebih-lebih tarekat yang cenderung pada tasawuf filosofis.
Sampai saat ini, saya masih menjumpai fenomena ini. Yaitu adanya anggapan bahwa tarekat harus identik dengan baiat, talqin, zikir, wirid, riyadhah yang melelahkan, dan sejenisnya yang menekankan aspek fisik. Bahwa bertarekat harus melalui tahap-tahap formal tersebut. Saya sendiri masih sangat dipengaruhi doktrin yang diberikan selama di pesantren melalui kitab-kitab tasawuf yang dikarang oleh ulama-habaib seperti kitab Kifayat al-Atqiya Wa Minhaj al-Ashfiya’ Syarh Hidayatil Adzkiya’ Ila Thariq al-Auliya’ karya Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi. Kitab ini diberi ulasan oleh Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi yang diterbitkan dengan judul Salalim al-Fudhala’ li khatimat al-Nubala’. Kitab-kitab tersebut mengajarkan suatu tarekat inklusif yang mementingkan keseimbangan antara ibadah dan mu’amalah. Antara ilmu dan amal. Penyusunnya yang berasal dari keluarga sayid menurut saya sangat dipengaruhi oleh tradisi tarekat Alawiyyah. Di sisi lain, pandangan tersebut tanpa disadari telah membentuk cara pandang tersendiri pada diri saya sehingga saya perlu menjelaskan tentang tarekat kepada seorang kawan yang sedang aktif mengikuti tarekat. Perbedaan pandangan yang saya rasakan tersebut mungkin memiliki kesamaan dengan yang dirasakan para sayid yang menolak tarekat aneh-aneh.
Sampai di sini, para sayid dari Hadhramaut harus menghadapi nalar mistik yang berkembang kuat di masyarakat menggunakan fiqh-Syafi’i, akidah-Asy’ari dan tarekat-Alawi.  Negeri baru dan medan dakwah unik. Pesantren-pesantren yang menggunakan karya-karya ulama habaib seperti pesantren saya dulu, menjadi jejaring keilmuan yang luas. Dari Hadhramaut hingga Nusantara. Melalui jaringan teks-nya yang panjang.
Indonesia Merdeka dan Pergolakan Alawiyin Hadrami
Situasi menjadi berbeda beberapa waktu kemudian ketika perjuangan bangsa ini telah mencapai gerbang kemerdekaan. Hampir seluruh elemen bangsa memiliki problem tersendiri dalam menyikapi situasi yang berbeda ini. Proses menjadi bangsa terkadang tidak selalu mudah seperti yang dibayangkan. Mereka harus mengintegrasikan diri kepada suatu komunitas dan cara pandang baru. Dalam beberapa hal harus meninggalkan pandangan lama yang terwariskan.
Tidak terkecuali bangsa Arab yang sudah sejak lama menghuni Nusantara. Para diaspora Arab yang membentuk koloni-koloni (baca: perkampungan Arab) di sejumlah kota pelabuhan di Indonesia harus menyesuaikan dengan kondisi baru. Masalah pertama yang harus mereka jawab adalah tentang kewarganegaraan (citizenship). Ada pandangan umum di kalangan keturunan Arab bahwa tanah air mereka adalah Hadramaut, Yaman. Keberadaan mereka di Nusantara, sekalipun sudah cukup lama, hanyalah sekadar ‘mampir’. Mencari bekal kehidupan, mendakwahkan agama, atau untuk suatu tujuan tertentu. Namun mereka tetap tidak dapat melupakan tanah leluhurnya. Hadramaut.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi mereka bersikap demikian. Yang paling kuat adalah pengaruh kebijakan pemerintah kolonial tentang bangsa Timur Asing. Untuk memudahkan kontrol, pemerintah melokalisir mereka dalam perkampungan-perkampungan ekseklusif. Mereka tidak diizinkan berbaur dengan pribumi. Bangsa Timur Asing meliputi mereka yang mempunyai garis keturunan Cina dan Arab. Karenanya, saat ini kita dapati sejumlah perkampungan Arab dan Cina di sebagian kota besar di Indonesia. Untuk bangsa Arab, hal ini berdampak kurang baik. Karena, sebelumnya mereka adalah masyarakat mudah berbaur dengan masyarakat pribumi. Inklusifitas ini berakhir dengan lahirnya kebijakan tersebut. Masyarakat keturunan menjadi lebih ekseklusif.
Dampaknya, mereka kemudian hanya lebih banyak menggunakan bahasa Arab, makan makanan Arab, menikah dengan orang-orang sebangsanya, melestarikan sistem nasab, dan membangun hubungan yang kuat dengan tanah air nenek moyang mereka di Hadramaut, Yaman. Tradisi kearaban menjadi semakin kuat yang dibarengi ekseklusifitas sikap. Mereka merasa lebih tinggi dibanding penduduk pribumi. Sikap-sikap ini lahir karena kebijakan kolonial. Berbeda dengan sikap-sikap pendahulunya yang dikenal mudah berbaur. Dari sinilah mereka mulai menyadari Nusantara bukan tanah air mereka. Padahal, mereka lahir, hidup, dan berjuang hidup di wilayah ini selama beberapa generasi. Kebijakan kolonial melahirkan ambivalensi keturunan Arab.
Menjelang kemerdekaan, warga jajahan mulai membayangkan hadirnya suatu zaman baru. Era kemerdekaan. Dimana mereka dapat hidup dalam situasi yang bebas dari sistem yang diskriminatif dan mengerdilkan. Cita-cita itu terwujud beberapa waktu kemudian dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan struktur lama ke dalam struktur baru. Mereka harus memikirkan tentang masa lalu, nilai-nilai, kebudayaan, kebijakan, dan arah masa depan mereka. Dalam beberapa hal, terdapat pilihan sulit bahwa mereka harus meninggalkan sebagian cara pandang yang kadung mendominasi cara berfikir mereka selama bertahun-tahun dan bersifat kolektif.
Di kalangan bangsa Arab keturunan misalnya, tradisi nasab yang kuat kemudian diekseklusifkan oleh kebijakan demografis pemerintah kolonial, membelah mereka ke dalam dua kelompok. Kelompok sayid atau Alawiyin dan non-sayid atau non-Alawiyin. Fatwa baru bermunculan mengenai kesetaraan bangsa Arab, baik Alawi maupun non-Alawi dengan bangsa-bangsa lainnya. Fatwa kesetaraan ini berimplikasi pada model perkawinan campur antara bangsa Arab dengan non-Arab. Sayid dan non-sayid. Hatta perempuan golongan sayid dengan lelaki non-sayid. Fatwa ini pertama kali muncul dari Rasyid Ridha, reformis Mesir yang juga masih memiliki darah sayid-Alawi. Fatwa ini segera menyebar melalui jaringan media kaum pembaharu dan membuat khawatir pemerintah kolonial. Karena fatwa adalah soal gagasan keagamaan, yang dalam Islam menjadi wewenang para intelektual spesialis, pemerintah kolonial menggunakan fatwa Sayid Usman Betawi tentang ketidak-setaraan perempuan sayid dengan lelaki non-sayid. Hal ini berarti larangan pernikahan campur. Kebijakan ini sebenarnya dapat dibaca melalui perspektif kebijakan yang menginginkan ekseklusi masyarakat sehingga tidak terjadi pertukaran ide, kebudayan, dan kemudian akan merepotkan pemerintah. Bangsa Arab memiliki jaringan ke dunia Arab yang sedang bergejolak dengan lahirnya gerakan Pan-Islamisme. Di sisi lain, sudah menjadi pengalaman bahwa ide-ide Arab sering menjadi motor penggerak perlawanan di Nusantara. Di era modern, ide-ide dari Arab cukup membahayakan eksistensi pemerintah kolonial.
Fatwa mana yang lebih kuat? Tidak ada jawaban yang jelas. Namun perdebatan ini melahirkan perpecahan di kalangan Arab keturunan. Apakah akan meneruskan ekseklusifitasnya atau mengambil semangat baru, berintegrasi dengan bangsa yang baru berdiri. Taruhannya, mereka harus meninggalkan sebagian pandangan lama yang telah mendominasi cara berfikir mereka. Lahirlah dua organisasi kearaban. Al-Irsyad yang berorientasi pembaharuan dan al-Khairat yang berorientasi konservasif.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api