Ahli Hadis dan Pengalaman Spiritualnya



M. Khoirul Huda

Ahli hadis merupakan kelompok sosial yang pernah eksis ratusan tahun lalu. Mereka berkarir di bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Mereka mencarinya, menghafalnya, mencatat, meneliti, menyeleksi, dan terkadang memberi penjelasan serta penafsiran-penafsiran tertentu. Kelompok ini juga pernah mengalami konfrontasi dengan kelompok kesarjanaan lain saat itu. Jasa mereka dapat dilihat dari melimpahkanya literatur yang berisi koleksi hadis-hadis Nabi saw. Puncak kejayaan ahli hadis adalah sekitar abad ketiga hijriah dengan lahirnya tokoh-tokoh besar dalam bidang studi hadis seperti al-Bukhari (194-256 H.) dan Muslim (204-261 H.). Keduanya merupakan simbol kejayaan studi hadis di dunia Islam.
        Populasi ahli hadis mencapai puluhan ribu orang.  Pada generasi pertama perawi, yaitu para sahabat Nabi saw., ditemukan paling tidak sejumlah 12.308 (dua belas ribu tiga ratus delapan) nama.[1] Para perawi hadis yang namanya disebut dalam enam kitab induk hadis, kutub al-sittah, berjumlah 8.045 (delapan ribu empat puluh lima) nama.[2] Lebih sedikit dibanding daftar nama sahabat yang dicantumkan dalam ensiklopedi para sahabat Nabi saw. Hal ini bisa dimaklumi karena tidak semua sahabat Nabi Muhammad saw. meriwayatkan hadis. Daftar terbesar tentang perawi hadis dapat ditemukan dalam kitab al-Thiqat karya Ibnu Hibban al-Busti (354 H.) yang memuat 16.261 (enam belas ribu dua ratus enam puluh satu) nama perawi.[3] 
Para ahli hadis tersebut hidup dari abad pertama hingga abad keempat hijriah. Sekitar empat ratus tahun. Kita ambil saja daftar terpanjang di atas, al-Thiqat, bisa dikatakan bahwa setiap seratus tahun, terdapat sekitar 4000 orang yang berkarir dan berprofesi sebagai ahli hadis. Jumlah yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap proyek penelitian hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Tidak heran bila kemudian gambaran tentang Nabi Muhammad saw., detil kata-katanya, tindak-tanduknya, karakter fisikal dan kejiwaannya, serta ajaran-ajarannya dapat ditemukan dengan mudah oleh orang-orang setelahnya melalui sumber-sumber literatur yang dapat dipercaya.
Para ahli hadis tersebut memiliki berbagai macam latar belakang, asal-usul daerah, ras, pendidikan, dan pengalaman meneliti hadis-hadis Nabi Muhammad saw. yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam setelah para sahabat Nabi bermigrasi ke wilayah-wilayah takhlukkan. Salah satu karakter ahli hadis adalah ada di antara mereka yang rajin menjalankan ibadah dan mengembangkan pengalaman rohani. Mereka pada umumnya dikenal dengan sebutan ‘abid (ahli ibadah) dan zahid (pengamal doktrin asketik).  
Dalam al-Thiqat ditemukan 45 orang perawi hadis dengan kualifikasi abid dan 16 orang diidentifikasi sebagai zahid. Total keseluruhan perawi yang dikenal ahli ibadah 61 orang perawi. Berbeda dengan Taqrib al-Tahdzib yang memuat 28 nama perawi abid dan 19 orang perawi zahid. Total seluruhnya 47 orang perawi ahli ibadah.
Kitab al-Thiqat mengidentifikasi dari 61 orang ahli ibadah. Ahli hadis yang menekuni dunia spiritual terbanyak dari kota Basrah, sebanyak 17 orang. Disusul kota Kufah sebanyak 11 orang. Urutan ini dilanjutkan oleh kota Baghdad sebanyak 5 orang dan Marwa 5 orang. Syam atau Damaskus sebanyak 4 orang. Bukhara dan kota Madinah masing-masing 3 orang. Selebihnya dari kota-kota kecil seperti Moushul, Ray, dan Shaida. Bila dilihat dari sudut demografi, rata-rata para ahli hadis yang menekuni dunia spiritual berasal dari daerah bekas wilayah Persia Kuno seperti Basrah, Kufah, Baghdad, Marwa, Bukhara, Balkha, Ray, dan Shaida. Wilayah Hijaz/semenanjung Arab menyumbangkan 5 orang nama ahli hadis yang juga ahli ibadah. Disusul wilayah Arab-Utara/Syam yang mencatatkan 4 nama ahli hadisnya.
Pembacaan demografis ini menunjukkan kenyataan unik. Yaitu penghayatan terhadap ajaran agama, pendalaman pengalaman rohani, lebih banyak berkembang di wilayah Persia, dibanding Arab sendiri. Ahli hadis yang hidup di wilayah bekas Persia kuno lebih banyak mengembangkan tradisi pengalaman rohani, dibanding mereka yang hidup di wilayah Hijaz maupun Sham/Arab-utara. Empat puluh satu (41) dari enam puluh satu (61) orang perawi terpercaya yang ahli di bidang pengalaman rohani atau sufisme hidup di wilayah ini. Mereka mungkin masih memiliki darah Arab, namun kondisi geografi, situasi sosial-politik, dan tingkat kesejahteraan berpengaruh terhadap perkembangan kecenderungan rohani para ahli hadis. Basrah, yang tercatat memiliki banyak spiritualis dari kalangan ahli hadis, merupakan kota pelabuhan kuno Persia. Basrah menjadi pusat pengembangan pengetahuan selain Kufah, dan kemudian Baghdad. Basrah sebagai pusat para spiritualis bahkan pernah menjadi slogan untuk mempopulerkan keunikan kota ini, “fiqhun kufiyyun, ‘ibadatun basriyyatun” (fiqh Kufah, ibadah Basrah).[4]
Tesis bahwa pusat sufisme awal adalah Basrah, sepertinya akan termentahkan oleh data yang terdapat dalam kitab Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Dalam kitab tersebut terdapat 26 orang perawi abid dan 20 perawi berkualifikasi zahid. Seluruhnya berjumlah 46 (empat puluh enam) orang perawi sufi.
No.
Nama Kota
Jumlah
Latar Budaya
1.
Kufah
10
Persia
2.
Sham/Damaskus /Ramla
8
Romawi
3.
Basrah
7
Persia
4.
Baghdad
5
Persia
5.
Madinah
2
Hijaz
6.
Balkha
2
Persia
7.
Mekah
2
Hijaz
8.
Marwa
2
Persia
9.
Bukhara
1
Persia
10.
Ashbahan
1
Persia
11.
Shan’a
1
Yaman
12.
Abiwardi
1
Persia
13.
Wasith
1
Persia
14.
Tak diketahui
1
---
Total
46
---

Berdasarkan data ini, perawi sufi terbanyak terdapat di kota Kufah. Disusul oleh wilayah Sham, dan berikutnya Basrah. Kufah menyumbangkan 10 orang perawi sufi, sedangkan Basrah hanya 7 orang. Namun, pembacaan demografi memperlihatkan hasil yang sama. Posisi tertinggi penyumbang ahli hadis sufi adalah Kufah. Secara demografi, wilayah yang dulu merupakan kota-kota Persia Kuno merupakan penyumban terbesar para ahli hadis yang gemar berkontemplasi dan berrefleksi diri. Hal ini dibandingkan wilayah bekas Romawi maupun Arab Jazirah. 

Ragam Pengalaman Sufistik
Para ahli hadis sufi, seperti kelompok dari latar belakang selain ahli hadis, memiliki pengalaman rohani yang beragam ketika menghayati ajaran agamanya. Konsep-konsep kunci dalam sufisme yang berkembang lebih kompleks di kemudian hari, dapat ditemukan akar-akarnya dalam tradisi sufisme ahli hadis. Bahkan, bisa dikatakan, konsep-konsep kunci itu telah cukup matang di kalangan ahli hadis sufi. Misalnya, mengasingkan diri atau yang biasa disebut ‘uzlah.
Salah satu yang mengembangkannya adalah Dawud bin Nashir al-Tha’i al-Kufi (160 H.). Awalnya, dia adalah orang yang punya hasrat yang kuat terhadap ilmu pengetahuan. Namun, karir intelektualnya dia hentikan setelah berdebat keras dengan Abu Hanifah (150 H.), teman yang sekaligus gurunya dalam masalah fiqh. Saking kerasnya perdebatan, emosinya memuncah dan dia hendak menyerang secara fisik. Untungnya, serangannya tidak mengenai gurunya, tapi mengenai orang lain. Peristiwa itu membuatnya menyesal. Dia merenung selama satu tahun. Lalu dia berfikir, dirinya harus menghentikan dan menghindari hal-hal yang membuatnya dikuasai amarah. Dia awalnya mencoba memaksa dirinya untuk diam. Setelah berhasil, dia membuang semua kitab dan bukunya ke sungai Eufrat. Lalu dia mengasingkan diri, menjauhi teman-temannya untuk fokus beribadah (‘uzlah). Dia banyak menolak ajakan kawan-kawannya dalam pembahasan ilmu-ilmu agama. Sekalipun sekadar untuk menjawab sebuah pertanyaan. Seringkali, dia menyuruh orang-orang yang mengajaknya kembali meneruskan karir intelektualnya agar memohon ampun kepada Allah. Dia berfikir bahwa ajaran agama sudah jelas, tinggal diamalkan saja. Tidak perlu dibahas terlalu mendalam. Dawud bin Nashir al-Tha’i adalah salah satu perawi terpercaya (thiqah), berguru kepada delapan orang ahli hadis terkemuka di zamannya, dan berhasil mendidik sembilan belas orang perawi hadis profesional. Salah satu hadisnya diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam kitab al-Sunan al-Sughra. Dia memilih mengakhiri karir akademiknya, dan mulai menyendiri untuk fokus beribadah. Atas pilihannya tersebut, para kritikus perawi hadis memberinya gelar al-zahid.
Contoh lain pengembang tradisi uzlah adalah Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Umari al-Madani (184 H.). Abdullah al-Umari masih terbilang cucu salah satu sahabat Nabi saw., Abdullah bin Umar. Hal ini seperti dapat dilihat dalam gelar yang beliau sandang, al-‘Umari yang berarti keluarga Umar bin al-Khatthab. Al-para penulis biografi perawi hadis mencatat dia sebagai orang yang mengembangkan tradisi khalwah wa al-infirad (mengasingkan diri) serta menerapkan secara ketat  standar hidup halal (aqbal ‘ala al-halal al-mahdh). Pengalaman kejiwaan-kerohanian-spiritualnya, ketika mengamalkan ajaran agama Islam secara ketat dan untuk diri sendiri, merupakan teladan bagi para spiritualis Muslim.
Model pengalaman rohani para ahli hadis lainnya adalah khauf atau ‘rasa takut’. Salah satu contoh perawi hadis yang dikenal mengembangkan pengalaman ini adalah Ali bin Fudhail bin Iyadh al-Makki (180 H.). Para penulis biografi memberikan gelar al-‘Abid (ahli ibadah) kepada beliau. Al-Dzahabi menyebutnya sebagai salah satu wali Allah (ahad auliya’). Pengalaman rohaninya yang paling fenomenal adalah khauf. Bahkan, kematiannya yang terbilang cukup muda konon disebabkan oleh pengalaman ini. Cerita tentang pengalaman khaufnya dapat ditemukan dalam banyak literatur biografi ahli hadis. Abu Bakar bin ‘Ayyasy, salah seorang murid ayahnya, pernah menyaksikan peristiwa unik. Ketika Fudhail bin Iyadh, ayah Ali bin Fudhail, menjadi imam salat, beliau membaca ayat alhakum al-takatsur.. (berlomba memperbanyak harta, telah membuat kalian lalai..). Ketika sampai ayat, latarawunna al-jahim.. (niscaya kalian akan melihat neraka jahim), Ali bin Fudhail tiba-tiba pingsan karena membayangkan betapa mengerikan neraka jahim itu. Batinnya bergejolak hebat hingga dia pingsan. Ayahnya mengetahui jika anaknya tak sadarkan diri. Dia tidak sanggup meneruskan bacaannya. Abu Bakar bin Ayyasy membatin, “Mengapa diriku tidak merasa takut seperti kedua orang ini?” Ali bin Fudhail sadar ketika menjelang sepertiga malam. Cerita lain mengatakan, Fudhail bin Iyadh melihat puteranya menangis tersedu. Dia bertanya, “Kenapa engkau menangis anakku?” Ali bin Fudhail menjawab, “Aku takut, kiamat memisahkan kita.” Ada banyak kisah bagaimana Ali bin Fudhail pingsan setelah mendengar hal-hal yang terkait dengan Allah, neraka, siksaan, kiamat, dan lainnya. Pengalaman semacam ini hanya dapat dipahami melalui pendekatan psikologi. Saat ini, mungkin sulit membayangkan seseorang pingsan karena mendengar bacaan Alquran. Dan di sini, khauf merupakan salah satu pengalaman rohani yang berkembangkan di kalangan ahli hadis.[5]
Pengalaman lainnya adalah sakha’ (kedermawanan). Pengalaman ini dikembangkan oleh, salah satunya, Muhammad bin Suqah al-Ghanawi al-Kufi (145 H.). Para penulis biografi mencatat dia pernah menyumbangkan seratus dua puluh dirham emas untuk  bidang pendidikan. Informasi lain, dia dikabarkan menyumbangkan seratus ribu dirham emas untuk program sosial. Muhammad bin Suqah selain dikenal baik hati, dermawan, dia juga bagian dari para qurra’ atau kelompok terpelajar. Kekayaannya berasal dari bisnis kainnya yang cukup sukses. Sekalipun seorang pebisnis sukses, Muhammad bin Suqah tetap dapat menjalankan aktifitasnya sebagai ahli hadis, ahli ibadah, dan pemikir (qurra’).[6]
Ahli hadis lain yang mengembangkan tradisi kedermawanan adalah Abdurrahman Abu Abdi Rabbin (112 H.). Dia adalah orang Eropa yang masuk Islam. Nama aslinya Kostantine, lalu ketika sudah masuk Islam diganti menjadi Abdurrahman. Perawi terkenal yang hidup di Damaskus, Suriah. Seperti Muhammad bin Suqah al-Kufi, Abdurrahman adalah seorang pebisnis sukses. Dia pernah melakukan ekspedisi bisnis ke wilayah Azerbaijan. Ketika kembali ke Damaskus, dia menyedekahkan seluruh hartanya. Kecuali sebuah rumah dan uang yang cukup untuk membeli kain kafan. Dia adalah perawi hadis yang hadis-hadisnya dapat ditemukan dalam enam kitab hadis terpopuler (al-kutub al-sittah).[7]
Masing-masing orang memiliki pengalaman yang unik. Sebagian di antaranya adalah spiritualis murni, tidak bekerja, dan hanya fokus beribadah. Sebagian lainnya berprofesi sebagai akademisi, namun kemudian beralih menjadi ahli ibadah. Sebagian lain, berprofesi sebagai pebisnis, dan sukses. Kesamaan di antara mereka adalah ketekunan mereka menghafal hadis, nama mereka dicatat buku-buku biografi perawi hadis, dalam kitab-kitab himpunan hadis, dan mereka juga aktif menjadi praktisi spiritual. Sebagian mungkin punya pengalaman yang di luar nalar, namun itulah pengalaman psiko-spiritual para ahli hadis. Mereka dapat memadukan antara menjaga hadis-hadis Nabi saw. dan pengamalannya secara maksimal. Itulah model dialog pengetahuan dalam diri para ahli hadis. Spiritualitas sufi dan tekstualitas hadis. Berpegang teguh kepada hadis Nabi saw., tidak mengharuskan menolak pengalaman spiritual sufistik. Sebagian di antara mereka bahkan, disebut oleh para penulis biografi para ahli hadis sebagai seorang waliyullah.



[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Jilid 8, h. 492
[2] Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Jilid 35, h. 401
[3] Ibnu Hibban, al-Thiqat, Jilid 9, h. 249
[4] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’ah al-Mushaf al-Sharif, 2004), jilid 11, h. 7
[5] Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), jilid 7, h. 407
[6] Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), jilid 6, h. 135, Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), jilid 25, h. 335
[7] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), jilid 34, h. 35

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api