Hadis dan Tasawuf dalam Perspektif Integrasi Dialogis-Interkoneksi



M. Khoirul Huda


Prawacana; Konfrontasi Menuju Dialog
Dalam kehidupan praktis, hadis merupakan rujukan penting bagi umat Islam. Ada sejumlah alasan mengapa hadis, dalam kenyataannya, lebih berpengaruh dalam kehidupan praktis mereka, bahkan mungkin terkadang dibanding Alquran sendiri yang dalam memberikan perintah dan larangan, sering menggunakan bahasa-bahasa yang berciri general. Hadis ini memberikan tuntunan praktis untuk menjelaskan kandungan Alquran. Dominasi hadis dalam kehidupan keagamaan praktis umat Islam di antaranya disampaikan seorang sarjana beraliran kritis, George Tharabisi. Dia mengatakan bahwa pola keberagamaan umat Islam lebih didominasi oleh hadis dibanding Alquran.[1]

Selain dapat dipotret melalui realitas empiris seperti di atas, urgensi hadis dapat pula dilihat dari kebiasaan para sarjana Muslim dalam kehidupan akademik mereka. Dalam tradisi hukum Islam contohnya. Para ahli hukum Muslim hampir sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran.[2] Para ahli gramatika Arab (baca: nahwu) juga sepakat bahwa hadis merupakan sumber perumusan hukum-hukum gramatikal Arab kedua setelah Alquran, dan di atas puisi-puisi Arab pra-Islam.[3] Bagi banyak pemikir politik Muslim, hadis juga menjadi rujukan yang tak dapat diabaikan dalam konsepsi-konsepsi politik dan kenegaraan mereka.[4]  
Tidak jauh berbeda dengan para pegiat kerohanian Islam (baca: sufisme). Para sufi merujuk hadis-hadis Nabi saw., disamping Alquran, pengalaman rohani  para sahabat, tabiin dan para imam yang punya kontribusi besar dalam bidang pengembangan sufisme.[5]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa hadis merupakan rujukan penting dalam diskursus keilmuan Islam. Bukan hanya dalam kehidupan praktis masyarakat Muslim seperti dikatakan sebelumnya. Urgensivitas hadis dalam wacana keilmuan Islam menegaskan posisi penting hadis Nabi Muhammad saw. sebagai sumber pengetahuan dan kebudayaan (masdaran li al-ma’rifah wa al-hadharah).[6]
Berangkat dari premis “hadis sebagai sumber pengetahuan dan kebudayaan”, dapat disimpulkan bahwa hadis memiliki hubungan yang kuat ilmu-ilmu keislaman di satu sisi. Dan di sisi lain, hadis memiliki hubungan yang tidak kalah kuatnya dengan realitas empiris masyarakat Muslim. Hadis, seperti juga Alquran, masuk ke dalam wilayah pengetahuan, kebudayaan, sosial, politik, ekonomi, arsitektur, seni, etika dan kehidupan keseharian Muslim. Hadis-hadis Nabi saw. hadir dalam dua dimensi masyarakat Muslim; level nilai dan level realitas.
Atas dasar asumsi di atas, pengetahuan mengenai pengalaman rohani Muslim  (baca: sufisme, tasawuf, mistisisme Islam), tidak dapat dilepaskan dari pengaruh hadis-hadis Nabi saw. Seyyed Muhammad Rastgoo Far dan Mahdi Dasht Bozorgi menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi saw. sudah lebih dari cukup untuk mendorong lahirnya kecenderungan kerohanian dalam tubuh umat Islam. Tanpa perlu meminjam tradisi kerohanian agama lain.[7] Sebelumnya, Sayed Husein Nasr mengungkapkan pernyataan serupa bahwa thariqah atau jalan spiritual yang biasa disebut tasawuf...memiliki dasar di dalam Alquran serta sunnah Nabi saw.[8] Pandangan bercorak integratif-dialogis-interkoneksionis ini, relevan dengan tesis di atas tentang peran penting hadis sebagai sumber pengetahuan dalam Islam.
Gagasan integratif ini berbeda pandangan sebagian sarjana Muslim beraliran konfronsionis. Dimana pesan utama gagasannya adalah, sufisme merupakan bid’ah yang bertentangan dengan hadis-hadis Nabi saw. yang sahih. Bila hadis adalah sunnah yang harus diikuti, maka sufisme adalah sebentuk bid’ah yang harus dijauhi.[9] Artikel ini merupakan salah satu diantara banyak artikel yang memandang sufisme beserta praktik-praktiknya sebagai ajaran yang menyimpang dari Islam. Dalam konteks modern, pandangan ini diilhami oleh gagasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi (1115-1206 H.).[10]
Kesimpulan utama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah, praktik-praktik yang banyak diamalkan masyarakat Muslim pada umumnya, dan secara khusus kaum sufi, adalah bagian dari penyimpangan dari ajaran Islam yang benar. Praktik keagamaan mereka bertentangan dengan hadis-hadis sahih.[11]
Model argumen Muhammad bin Abdul Wahhab seperti di atas sebenarnya bukan hal baru. Karena ratusan tahun sebelumnya sudah ada seorang ulama yang menggunakannya, dan dia dinilai banyak orang merupakan inspirator Muhammad bin Abdul Wahhab. Ulama tersebut adalah Syekh Ibnu Taimiyyah (661-728 H.). Namun bila kita membaca karya-karya Ibnu Taimiyyah, terlihat kedalaman ilmu, analisis, dan kedetilannya. Dia banyak melakukan perincian. Sekalipun demikian, seringkali dia melakukan generalisir yang membuatnya tampak seperti sebuah kesepakatan umum dari kalangan umat Islam. Generalisasi ini kemudian dia konfrontirkan dengan suatu subjek yang sedang diulasnya. Pada akhirnya, dia mengeneralisir bahwa subjeknya adalah antara sesuai dengan syariat dan tidak. Pada umumnya, Ibnu Taimiyyah mengambil posisi akademik yang dinilainya sesuai dengan teks-teks Alquran dan hadis. Hal itu dilakukannya pada subjek-subjek pokok yang sedang diulasnya seperti fiqh, kalam, dan tasawuf. Sebagai contoh adalah karyanya yang berjudul Kitab Tasawuf yang dicetak dalam juz ke-11 dari bunga rampai tulisannya (majmu’ al-fatawa). Karya ini merupakan ulasan kritis Ibnu Taimiyyah terhadap tradisi sufisme secara umum. Terdapat banyak topik bahasan. Serangan paling tajam dia arahkan kepada model sufisme filosofis yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi, pendiri doktrin Wahdatul Wujud[12] dan al-Hakim al-Tirmidzi penggagas doktrin khatmul auliyah’ (puncak kewalian).[13] Dia kemudian seperti menyetujui model sufisme moderat-praksis-amali seperti dikembangkan oleh Abdurrahman al-Sulami, Abdul Karim bin Hawazin al-Qushairi, dan al-Ghazali. Sekalipun bahasanya sangat tidak mencerminkan penghargaannya terhadap ketokohan mereka, terutama al-Ghazali.[14] Sebagaimana dia lebih menyetujui tradisi sufisme yang dikembangkan oleh para sarjana hadis seperti Ahmad bin Hanbal dan lainnya yang dikenal sebagai pengarang kitab-kitab akhlak berbasis riwayat (al-zuhd wa al-riqaq).[15] Jasa terbesar Ibnu Taimiyyah adalah pemisahan secara tegas antara sufisme filosofis dan sufisme praktis yang ketat berdasarkan fiqh atau syariat, dimana pada dasarnya fiqh yang dibangunnya adalah yang lebih mengedepankan kesesuaian dengan pengertian-pengertian tekstual Alquran dan hadis, atau pada tataran tertentu kesesuaian dengan hadis-hadis Nabi saw. dan praktik para ulama salaf. Di sinilah kemudian penggunaan hadis atau tradisi ilmu hadis menjadi penting dalam pemikiran Ibnu Taimiyyah dalam proyek kritik terhadap seluruh bid’ah yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam seperti fiqh, kalam dan tasawuf.[16]   
Sekalipun Ibnu Taimiyyah mengembangkan sikap selektif terhadap sufisme, dengan ungkapan-ungkapan yang sedikit kasar dan sarkas tentunya, yang di satu sisi dia menerima beberapa praktik tasawuf yang dipandangnya sesuai dengan syariat yang dia pahami, namun para pembaca Ibnu Taimiyyah terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menilai Ibnu Taimiyyah anti-sufisme seperti dapat dilihat dalam pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya. Kedua, kelompok yang melihat Ibnu Taimiyyah sebagai pengusung sufisme jenis baru (neo-sufisme, sufisme-kritis). Hal ini seperti dicerminkan oleh Mustafa Hilmi. Guru besar sufisme dari Universitas Kairo, Mesir.
Dari diskusi ini, kita dapat menyumpulkan bahwa terdapat dua model perspektif dalam melihat hubungan hadis dan tasawuf. Pertama, perspektif konfronsionis-kontradiksionis yang menyatakan bahwa sufisme merupakan bentuk praktik menyimpang (bid’ah, heretik) karena bertentangan dengan hadis-hadis Nabi saw. Di sini, sufisme dikonfrontasikan dengan hadis. Gagasan ini dikembangkan pada mulanya oleh Ibnu Taimiyyah (728 H.), lalu Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H.). Kedua, perspektif integratif-dialogis-interkoneksionis yang melihat bahwa sufisme merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam sejak kehadiran Islam itu sendiri pada abad ketujuh Masehi. Hal ini seperti yang dikembangkan oleh Sayed Husein Nasr, Sayed Muhammad Rastgoo Far dan Mahdi Dasht Bozorgi.  
Perdebatan ini menarik dilihat dalam kerangka dialektika hadis dengan realitas keragaman cara berfikir umat Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa hadis, seperti juga Alquran, merupakan teks suci yang menyediakan beragam pembacaan, dan pada kenyataannya telah dibaca dengan berbagai macam perspektif. Dialektika ini telah berjalan cukup lama dalam sejarah perjalanan hadis dan tasawuf. Tulisan ini akan mengapresiasi dialog klasik keduanya dalam konteks keterhubungan dua disiplin keilmuan Islam (interkoneksi).
    
 bersambung...
  



[1] Lihat ulasan George Tharabisi, Min Islam al-Qur’an Ila Islam al-Hadith al-Nash’ah al-Musta’nafah, (Beirut: Dar al-Saqi, 2010), cet. Ket-1.
[2] Literatur pertama yang dinilai sebagai pioner dalam menempatkan hadis sebagai sumber hukum Islam adalah kitab al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Shafi’i (204 H.). lihat Muhammmad bin Idris al-Shafi’i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2014), cet. ke-3, h. 97-132
[3] Said Afghani, Ushul al-Nahw, (tt: Mudiriyah al-Kutub wa al-Mathbu’at al-Jami’iyyah, 1994), h. 46
[4] Lihat misalnya masalah kepemimpinan politik dalam Islam. Pada umumnya, para ahli fiqh menyetujui gagasan kesatuan kepemimpinan. Kalaupun ada yang membolehkan dualisme atau lebih kepemimpinan, ia karena tuntutan kondisi. Begitu pula dalam masalah pentingnya garis keturunan yang harus berasal dari keturunan Quraish. Abu al-Hasan Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kuwait: Maktabah Dar Ibn Qutaybah, 1989), cet. ke-1, h. 5
[5] Lihat Abdul Karim bin Hawazin al-Qushayri, al-Risalah al-Qushayriyyah, (Kairo: Muassasah Dar al-Sha’b, 1989), h. 58, 67, 79, 80
[6] Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah,
[7] Seyyed Muhammad Rastgoo Far dan Mahdi Dasht Bozorgi, “The Origin of Mysticism and Sufism in Hadith”, Religious Inquiries, Vol. 2, No. 3, Winter and Spring 2013, 103-117.
[8] S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, diterjemahkan oleh Abdurrahman Wajid dan Hashim Wahid dari Ideal’s and Reality of Islam, (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Lappenas), 1983), cet. Ke-2, h. 85
[9] Lihat contoh penolakan dalam Syekh Abu al-Nur al-Maqdisi, al-Sufiyyah fi Mizan al-Kitab wa al-Sunnah, diterbitkan oleh al-Jabhah al-I’lamiyyah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, 1428 H.
[10] Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, (Riyadh: Idarah Thaqafah wa al-Nashr Jami’ah al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah, tt), h. 29, 32, 42, 54, 56, 60, 64
[11] Misalnya, dalam masalah tabarruk dengan benda keramat. Muhammad bin Abdul Wahhab menggunakan QS. Al-Najm: 19-20 dan hadis sahih riwayat al-Tirmidzi. Keduanya dirujuk untuk menilai praktik tabarruk. Dalam kitab al-Tauhid, Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip QS. Al-Najm: 19-20. Ayat ini menjelaskan mengenai tiga berhala yang dihormati oleh masyarakat pra-Islam. Yaitu berhala Lata, Uzza dan Manat. Setelah mengutip ayat, dia lalu mengutip hadis sahih riwayat al-Tirmidzi. Isinya mengenai permohonan sebagian sahabat agar diizinkan meletakkan pedang-pedang mereka di sebuah pohon bernama Dzatu Anwath. Pohon ini disucikan oleh masyarakat pra-Islam. Nabi saw. menjelaskan bahwa itu adalah perbuatan kaum pra-Islam. Kemudian beliau menasihati agar mereka jangan meniru perbuatan orang-orang tersebut. Bagi Muhammad bin Abdul Wahhab, hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap QS. Al-Najm: 19-20. Dimana pada mulanya, ketiganya merupakan patung biasa, lalu dilakukan penghormatan, dan kemudian dijadikan perantara dalam menyembah Allah di sekitar Ka’bah. Dan akhirnya menjadi sesembahan itu sendiri. Muhammad bin Abdul Wahhab mengembangkan lebih jauh bahwa hal tersebut bermula dari praktik tabarruk (meyakini benda memiliki berkah, lalu ada upaya mengambil keberkahannya), yang berujung pada penghormatan dan pengkultusan. Kesimpulannya ini seperti dia tuangkan dalam judul ulasannya “tabarruk bi shajar au hajar au nahwihima” yang berarti hukum mengambil berkah dari pohon, batu atau sejenisnya.
Dia mengeritik praktik para sufi tidak secara terang-terangan, namun judul bab yang dia pilih menunjukkan hal itu.  Muhammad bin Abdul Wahhab menempatkan hadis sebagai penjelas ayat Alquran, dalam tradisi tafsir Alquran disebut tafsir bil ma’thur, dan hal ini menempatkan hadis dalam posisi yang lebih penting dibanding Alquran karena hadis dinilai lebih jelas dibanding Alquran.
Yang patut digaris bawahi di sini adalah, Muhammad bin Abdul Wahhab mengukur praktik para sufi tentang bertabarruk pada benda-benda suci dengan hadis-hadis Nabi saw. Kesimpulan akhirnya adalah, praktik tabarruk bertentangan dengan ajaran Nabi saw. Padahal, para sufi ketika mengembangkan praktik tabarruk juga mendasarkannya pada hadis-hadis Nabi saw., praktik para sahabat dan para ulama generasi pertama. Praktik yang sama terjadi pada kasus penggunaan doa dan azimat, ziarah, penghormatan kepada makam orang saleh, memohon pertolongan kepada selain Allah, dan lainnya. Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, h. 32
[12] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’ah al-Mushaf al-Sharif, 2004), jilid 7, h. 586-597
[13] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 13, h. 267
[14] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 4, h. 66, 164
[15] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 10, h. 367, jilid 15, h. 71-73
[16] Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, jilid 2, h. 233

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api