Maqāsid dalam Pemahaman Hadis; Bedah Pemikiran Hadis Ibnu ‘Āsyur dalam Maqāsid Syarī’ah al-Islāmiyyah
*Chairul
Huda Muhammad
Abstrak
Ibn
Āsyūr merupakan guru
kedua [al-mu ‘allim al-tsāni] dalam maqāshid al-syarī‘ah, setelah
al-Syāthibi. Dalam perkembangan kontemporer, pemikiran maqāshid al-syarī‘ah
telah meluas mulai dari lapangan fiqh, ushūl al-fiqh, tafsir dan bahkan
strategi kebijakan perusahaan/negara. Tulisan ini berusaha membedah konsep
maqāshid al-syarī‘ah Ibn Āsyūr dalam bukunya Maqāshid al-Syarī‘ah
al-Islāmiyyah, terutama relasinya dengan model pemahaman hadis. Ketika
maqāshid al-syarī‘ah menjadi asumsi awal, pra-pemahaman, dan perspektif
tentunya hasil penilaian akan berbeda jika kita menggunakan perspektif lain. Hal
ini dapat dilihat secara jelas dalam pemikiran Ibn Āsyūr seperti yang akan
dikaji dalam tulisan ini.
A.
Pendahuluan
Secara umum,
umat Islam yang hidup di negara-negara mayoritas muslim maupun mereka yang
hidup di negeri Barat yang tentu saja mereka merupakan minoritas, seluruhnya membutuhkan
konstruksi ke[ber]agamaan yang berbeda. Jika dulu masyarakat muslim hanya
mengenal satu sistem politik, sekarang kaum muslimin di hadapkan pada sistem
politik yang menghendaki kesamaan seluruh warga negara di depan hukum. Tidak
ada lagi pembedaan antara warga negara berdasar identitas keagamaan. Belum lagi
jika dihadapkan pada sistem sosial yang dianut mayoritas dan kemajuan teknologi
di sisi lain. Untuk kepentingan ini dibutuhkan pendekatan yang selain tidak
mengabaikan tradisi yang telah berkembang di lingkungan umat Islam, pendekatan
baru tersebut selayaknya dapat mengakomodir kepentingan kontemporer umat Islam.
Di antara yang
tawaran yang ditampilkan ialah pendekatan maqasidi. Suatu pendekatan yang cukup
popular saat ini. Pendekatan ini ingin menjadikan maqasid sebagai titik pijak,
mekanisme penalaran dan standar nilai bagi produk penalaran. Pendekatan ini
berkembang dalam beragam disiplin keislaman seperti tafsir, hadis, fiqh maupun
filsafat hukum Islam.
Pro dan kontra
muncul mengiringi kehadiran pendekatan ini. Dalam lapangan fiqh, pendekatan
maqasid yang memunculkan kecenderungan baru dengan apa yang disebut fiqh
minoritas. Diskurus ini ditolak oleh Sa’id Ramadhān
al-Būthi,
namun diterima oleh Thaha Jābir al-Ulwāni,
Yusuf al-Qaradhāwi dan lainnya. Dalam
penafsiran, maqasid menyeruak dalam tafsir maqasidi seperti dapat dilihat dalam
karya monumental Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Āsyur
yang bertitelkan al-Tahrīr
wa al-Tanwīr.
Berbeda dengan hadis yang sepertinya belum banyak yang menggarapnya secara
khusus. Kecuali artikel tulisan Dr. Umar b. Shalih b. Umar yang berjudul Mulakkhash
al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts
al-Nabawi ‘Inda Ibni ‘Āsyur.
Terdapat tiga poin
yang dapat diambil dari artikel yang membahas relasi Maqasid Syariah dengan
hadis Nabi menurut Ibnu ‘Āsyur tersebut.
Pertama, tentang perhatian dan usaha Ibnu Asyur dalam menentukan relasi antara
maqasid syariah dan hadis. Kedua, penentuan kriteria yang valid [muktabarah]
untuk memahami hadis Nabi. Ketiga, mempromosikan efektifitas pola pemahaman
maqasidi terhadap hadis Nabi untuk menghindari pemahaman yang tidak benar [ibrāz
atsar al-maqāshid al-syar’iyyah
fi fahmi ibni ‘āsyur li al-ahādits
al-nabawiyyah].[2]
Makalah ini
akan mengeksplorasi sedikit lebih jauh tentang relasi antara maqasid dengan
hadis Nabi dalam pemikiran Ibnu Asyur. Tokoh yang dipandang sebagian peletak
dasar paradigma maqasid sebagai pendekatan. Sebagai sumber utama, penulis
menggunakan kitab anggitan Ibnu ‘Āsyur
yang khusus membahas maqasid syariah secara teoritik.
Pembahasan
dimulai dengan melihat biografi Ibnu Asyur, perjalanan intelektual, karir dan
karya-karyanya. Ada baiknya jika semua kita bahas secara singkat. Karena,
pembahasan tentang karya pokoknya dalam bidang Maqāsid
Syariah Al-Islāmiyyah
sudah menanti kita. Selanjutnya, seperti diangkat dalam tema, pembahasan akan
dibatasi pada relasi teori maqasid Ibnu ‘Āsyūr
dengan hadis. Kajian ini akan memperlihatkan kepada kita bagaimana Ibnu ‘Āsyūr
berinteraksi dan memahami hadis-hadis Nabi.
B.
Biografi
Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr
Dalam
jagat keilmuan Islam Tunisia, keluarga ‘Āsyūr
mempunyai sejarah panjang. Paska runtuhnya Andalus Islam, keluarga ‘Āsyur
yang bermigrasi itu telah mempunyai nama yang terhormat di negeri perantauannya.
Dimulai oleh Muhammad
ibn ‘Āsyur
[w. 1110 H.] yang lari dari Andalus karena tekanan politik dan berhijrah ke
Tunisia. Keluarga ini mendapatkan posisi yang lebih terhormat terutama pada
seratus tahun berikutnya, ketika Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyur
[1230 H.], kakek dari tokoh yang sedang kita bicarakan biografinya, memegang
posisi penting dalam bidang keagamaan dan politik; peradilan Islam, fatwa, guru
besar, pengawas keuangan bayt al-māl,
dan anggota dewan.[3]
Kealiman Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyur
al-Jadd ini, dilanjutkan oleh anak cucunya. Di mana salah satunya adalah Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, penulis al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah sekaligus guru besar Universitas
al-Zaytūnah yang sedang kita bicarakan.[4]
Sedangkan
tokoh yang kita kaji bernama lengkap Muhammad al-Thāhir ibn Muhammad ibn Muhammad
al-Thāhir ibn ‘Āsyūr. Ia lahir pada 1296 H./1879 M. di
kota Mursi, sebuah kota yang indah di pinggiran pantai Laut Tengah, kurang
lebih 20 kilometer dari kota Tunis. Ia tumbuh di tengah keluarga yang dekat
dengan ilmu agama dan negara.[5]
Kemungkinan, kehidupan dan keluarga seperti ini yang pada akhirnya membuat Muhammad
al-Thāhir ibn ‘Āsyūr terkenal sebagai seorang agamawan
yang nasionalis, sekalipun fatwanya kontroversial.[6]
Perjalanan intelektualnya dimulai
dengan belajar dan menghafal al-Quran di Masjid Sayyid Abi Hadid, Tunis kepada guru
al-Quran terkemuka al-Muqri’ Muhammad al-Khayyari. Kemudian menghafal
kitab-kitab matan standar seputar kaidah-kaidah bahasa Arab lainnya sebagai
prasyarat masuk ke perguruan tinggi al-Zaytūnah. Ia diasuh secara langsung oleh
al-Syaikh Ahmad ibn Badr al-Kāfi. Dan pada umur empat belas tahun, Muhammad
al-Thāhir berhasil lolos masuk ke al-Zaytūnah. Di perguruan ini ia mendapatkan
mata kuliah nahw, balāghah, lughah, mantiq, ilmu kalam, fiqh, farā’idh, ushūl al-fiqh, hadīts dan tārīkh. Di antara guru-guru yang
berpengaruh terhadap kemunculan sosok Muhammad al-Thāhir adalah:
1.
Muhammad al-‘Aziz ibn Muhammad al-Habib ibn Muhammad
al-Thayyibibn al-Wazir Muhammad ibn Muhammad Bu’atur, kakek dari jalur ibunya
(ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik kenegaraan).
2.
Umar ibn al-Syaikh (mengajar al-Muthawwal ‘ala Matn al-Talkhīsh, Syarah al-Asymūni ‘ala al-Khulāshah, Mughni al-Labīb, al-Mahalli ‘ala Jam’ al-Jawāmi’, Tafsīr al-Baidhāwi).
3.
Syaikh Salim Buhajib (Mengajar Syarh al-Qasthālani ‘ala al-Bukhāri, al-Zarqāni ‘ala al-Muwattha’ dan lainnya)
4.
Muhammad al-Najjar (Penyusun kitab Majmū’ al-Fatāwa, Bughyat al-Musytāq fi Masā’il al-Istihqāq, dan Fiqh Abi Hurayrah).
5.
Shalih al-Syarif (lawan polemik Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha, Ibnu Asyur belajar Tafsīr al-Kassyāf dan akidah darinya)
6.
Muhammad al-Nakhli (pakar ilmu naqli dan aqli).
Selain dibentuk oleh tradisi keilmuan
perguruan al-Zaytūnah, pemikiran Muhammad al-Thāhir juga dipengaruhi oleh dua reformis
dari Mesir, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pembaruan-pembaruan yang digagas
oleh Muhammad al-Thāhir paling tidak searus dengan gagasan
kedua tokoh reformis ini. Ide pembaruan (al-ishlāh) dapat dilihat dalam peran-peran akademis, produksi fatwa
keagamaan, peradilan Islam yang dimainkannya. Terutama pembaruan ushūl fiqh di mana ia mendaku maqasid
sebagai basis perspektifnya. Secara khusus, bukunya yang berjudul maqāshid al-syarī’ah al-islāmiyyah merupakan karya utamanya dalam bidang
dasar-dasar maqasidi.
Pembaruan
yang ditawarkannya dapat dilihat dalam banyak karya-karya dan kontroversialitas yang muncul selama ia
menjalani kariernya. Di antara karya-karyanya:
1.
Al-Tahrīr
wa al-Tanwīr atau lebih lengkapnya Tahrīr
al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr
al-‘Aqli al-Jadīd min Tafsīr
al-Kitāb al-Majīd
[pembebasan
dan pencerahan, pembebasan pengertian yang benar dan pencerahan nalar baru
melalui tafsir al-Quran yang agung]
2.
Maqāshid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah
[prinsip-prinsip
syariat Islam]
3.
Ushūl
al-Nizhām al-Ijtimā’I
fī
al-Islām [prinsip
struktur sosial dalam Islam]
4.
Alaisa al-Subh
bi Qarīb [Bukankah
Subuh Sudah Dekat?]
5.
Al-Waqf wa
Atsaruhu fi al-Islām [Wakaf
dan Fungsinya dalam Islam]
6.
Kasyf
al-Mughattha min al-Ma’āni
wa alfāzh al-wāqi’ah
fi al-Muwattha’ [Mengungkat yang Tertutup dari
Makna-makna dan lafaz yang teradapat dalam kitab al-Muwattha’]
7.
Qisshat
al-Mawlid [Kisah Maulid]
8.
Hawāsyi
‘ala al-Tanqīh
Li Syihāb al-Dīn
al-Qarrāfi fi Ushūl
al-Fiqh [Syarah kitab Tanqih karya Syihabuddin al-Qarrafi]
Dalam
karirnya, Ibnu ‘Āsyūr cukup cemerlang. Kedudukannya sebagai
rektor perguruan tinggi al-Zaytūnah pada tahun 1945 M., digunakan sebaik-baiknya untuk
mewujudkan visi pembaruannya. Di antaranya didirikannya pusat penelitian,
penataran dosen-dosen al-Zaytūnah agar menggunakan metode yang sesuai dengan teori-teori
pendidikan. Dan untuk pertama kali diadakan ujian untuk mendapatkan ijazah
setingkat Aliyah Kejuruan di empat pusat kota Shafaqisy, Qairawan, Qafshah dan
Susah. Selain itu, didirikan dua cabang perguruan al-Zaytūnah, Perguruan al-Murādi dan perguruan al-Husayni. Ibnu
‘Āsyūr juga memprakarsai berdirinya
pesantren Mahasiswa. Sampai akhir jabatannya, telah berhasil didirkan 27
pondokan.[8]
Sebagai seorang mufti, bahkan Syaikh
al-Islām al-Māliki, Ibnu ‘Āsyūr pernah mengeluarkan fatwa yang
kontroversial dengan ulama-ulama semazhabnya. Pada tahun 1910 M., disahkan
undang-undang yang mengatur kebolehan pindah kewarganegaraan orang Tunisia
menjadi Prancis, Negara yang sedang menjajahnya. Hal ini dilakukan untuk
melebur identitas pribumi Tunisia-Muslim ke dalam kebudayaan nasional Negara
kolonial. Undang-undang semacam ini juga dilakukan oleh Itali kepada penduduk
Libya, dan Prancis kepada penduduk al-Jazair. Sebagai politik kolonial, para
ulama malikiyyah tidak menyetujuinya. Mereka memfatwakan haram pindah
kewarganegaraan.[9] Namun, berbeda
dengan maenstream yang kuat saat itu, Ibnu ‘Āsyūr justru membolehkannya. Atas fatwanya
ini, ia dituduh anti-nasionalisme.
C.
Ilmu
Maqāshid al-Syarī’ah: Melampaui Ushūl Fiqh
Di antara
gagasan yang ditawarkan oleh Ibnu
‘Āsyūr adalah dijadikannya maqāshid al-syarī’ah sebagai instrumen penting dalam
pengambilan hukum Islam. Lebih dari itu, menurutnya maqāshid al-syarī’ah harus menjadi ilmu yang independen
[mustaqill] dari ilmu ushūl al-fiqh. Hal ini ditegaskan dalam
bukunya yang berjudul Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Ia mengatakan,
“Jika kita hendak mengkodifikasi suatu prinsip-prinsip
absolut untuk memahami agama, menjadi keharusan bagi kita untuk memahami
problem-problem ushūl al-fiqh, kemudian kita rekonstruksi
dalam konteks tadwīn, lalu kita uji menggunakan ukuran penalaran kritis, kita
buang bagian-bagian aneh yang menjadi anomali.. kita sebut ilmu baru tersebut
dengan nama ilmu maqāshid al-syarī’ah.. dan kita akan tinggalkan ilmu ushūl al-fiqh sesuai fungsinya sebagai metode
menyusun argumentasi fiqh..”[10]
Buku
ini memang secara khusus membicarakan maqāshid al-syarī’ah. Mulai dari dasar-dasar filosofis-metafisisnya, landasan
tradisionalnya, perilaku maqashidi ulama salaf, metode penentuan kriteria maqashid,
pengujian maqashid, pemetaan ragam maqashid, dan implementasi maqashid dalam
ranah muamalah. Sekalipun tidak khusus membicarakan hadis, buku ini juga
melibatkan hadis dalam beberapa aspek. Baik hadis sebagai sumber maqashid, hadis
sebagai objek pembacaan maqashid, dan implementasi petunjuk hadis berdasar
maqashid. Karena alasan inilah buku ini, penulis pilih sebagai sumber primer
dalam penelitian metode pemahaman hadis kontemprer dari karya-karya lain Ibnu ‘Āsyūr.
D.
Pengertian
Maqashid.. Pandangan Ibnu
‘Āsyūr..
Sebagai
ilmu yang independen, maqāshid al-syarī’ah penting dipelajari oleh para ahli fiqh. Baik yang sudah
mencapai derajat mujtahid tertinggi maupun yang belum. Ibnu ‘Āsyūr membuat sub bab khusus tentang
urgensi ilmu maqāshid ini. Lalu apakah yang disebut maqāshid al-syarī’ah. Secara kebahasaan [etimologis], maqāshid al-syarī’ah disusun dari dua kata; maqāshid dan al-syarī’ah.
Maqāshid merupakan
bentuk jamak [plural] dari kata maqshad yang berarti tujuan atau sesuatu
yang dituju. Sedangkan al-syarī’ah
diambil dari kata syin-ra’-‘ain, yang menurut Ibnu Fāris berarti sesuatu yang terdapat dalam
satu belahan panjang [syai’un yuftah fi imtidādin yakūnu fīhi]. Syarī’ah dalam
masyarakat Arab badui yang berarti sumber air yang menjadi jujug-an para
musafir di padang pasir, mengandung pengertian di atas.[11] Di mana sumber air
dimaksud berbentuk sejenis sungai yang mulai mengering, memanjang dan menyimpan
air di celah-celahnya. Ia sejenis oase. Syarī’ah dalam
terminologi agama diartikan dengan hukum-hukum yang diundangkan oleh Tuhan
untuk hamba-Nya, agar mereka menjadikannya sebagai petunjuk. Atau dengan
ungkapan lain, hukum-hukum yang termuat dalam al-Quran dan sunnah
al-Nabawiyyah.[12] Hukum-doktrin
agama memang sering menjadi labuhan manusia, baik untuk sekadar menenangkan
hati, mendapatkan pencerahan batin, menata kehidupan sosial maupun demi suatu
kepentingan politik yang dianggap lebih baik. Sehingga makna jujug-an dapat
dijumpai dalam terma syarī’ah.
Sedangkan pengertian yang diinginkan
oleh kata maqāshid
al-syarī’ah kurang lebih tujuan-tujuan hukum-hukum syariat, atau
tujuan doktrin-doktrin yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Tujuan syariat
atau tujuan Quran dan Sunnah tidak lain merupakan tujuan Tuhan [maqāshid al-syārī’] yang menurunkan keduanya. Artinya, mengetahui tujuan
syariat, Quran atau sunnah, sama dengan mengetahui tujuan Tuhan. Lebih tegas,
al-Raysūni menyatakan bahwa tujuan di sini
bersifat abstrak, karena ia berbentuk makna, hadaf dan gharadh yang
tergolong konsep-konsep abstrak.[13]
Sedangkan Ibnu ‘Āsyūr mendefinisikan maqāshid al-syarī’ah:
“Makna
dan hikmah yang diperhatikan [dijadikan acuan] oleh pembuat hukum [syāri’] dalam setiap aktifitas
legislasinya, atau pada umumnya saja sekira perhatiannya tidak tertentu
dibatasi pada salah satu aspek hukum.”[14]
Dari definisi ini dapat disimpulkan
bahwa maqāshid
al-syarī’ah merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan penetapan hukum,
dan nilai itu bersifat universal dalam arti tidak terkhusus pada satu dua kasus
hukum. Nilai tersebut seperti hifzh al-māl [menjaga harta kekayaan]. Penjagaan kekayaan merupakan nilai
yang menjadi acuan penetapan hukum haram pada tindakan yang bersifat merampas
hak milik orang lain secara salah. Seperti dengan cara manipulasi [gharar]
dan eksploitatif-menindas [riba], atau cara-cara yang dapat menghantarkan
manusia kepada kondisi destruktif [mafsadah]. Nilai tersebut bersifat
universal dengan pengertian berlaku dan menjadi nilai dasar yang melandasi
setiap transaksi ekonomi. Menjaga harta adalah makna dan hikmah yang dijadikan
acuan oleh pembuat hukum dan bersifat universal. Para ulama telah mencoba
meneliti nilai-nilai seperti apa yang merupakan maqāshid al-syarī’ah. Pemetaan pertama dilakukan oleh al-Juwayni [419-478 H], bahwa
terdapat tiga tipologi maqāshid; dharūriyāt [primer], hājiyat [sekunder] dan tahsīniyat [tersier].[15] Sedangkan al-Ghazāli [450-505 H.] mencetuskan lima nilai
dasar maqāshid;
hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh
al-māl
dan hifzh al-nasl atau
yang lebih populer disebut kulliyāt al-khams. Kemudian, pada abad ke-8, al-Syāthibi [w. 771 H] membedakan antara maqāshid yang berdimensi individual [‘aini]
dan komunal [kifā’i].[16]
Dan pada awal abad ke-20, Ibnu Āsyūr menambahkan beberapa nilai yang dinilai universal dalam
syariat. Di antaranya kesetaraan [al-musāwah], naturalis [al-fithrah]
yang terejawantahkan dalam prinsip toleran [al-samāhah], moderat [wasath], dan mengedepankan kemudahan [al-taysīr].
Menurut Ibnu Āsyūr pula, tujuan umum syariat adalah
menjaga harmoni umat serta kelanggengan kebaikan di dalamnya dengan menitik
beratkan kepada kebaikan individu manusia [hifzhu nizhām al-ummah wa istidāmat shalāhihi bi shalāhi al-muhaymin ‘alayhi wa huwa nau‘
al-insān].
Kebaikan pada diri manusia meniscayakan kebaikan akalnya, perbuatannya, serta
kebaikan alam sekitarnya.[17]
E.
Mekanisme
Penetapan Maqāshid Al-Syarī’ah.. Menuju Standarisasi Maqāshid..
Uraian pada
paragraf di atas menunjukkan bahwa nilai yang dianggap sebagai maqāshid
mengalami pergeseran-pergeseran. Di mana antara satu ulama dengan ulama lainnya
mempunyai kategorisasi yang berbeda-beda. Namun, yang paling banyak diikuti
adalah model yang ditawarkan al-Ghazāli dengan kulliyāt al-khams-nya. Tidak ada penjelasan langsung
dari al-Ghazāli
mengapa hanya ada lima prinsip dasar saja dalam syariah. Baru di tangan Sayf
al-Dīn al-Āmidi [551-631 H.], seperti dikutip
Jamaluddin Athiah, dijelaskan bahwa kenyataanlah yang menunjukkan hal tersebut.
Bahwa prinsip dasar tidak lebih dari lima hal yang telah disebut di atas.[18]
Apakah hal ini
menunjukkan bahwa maqāshid bersifat relatif?
Dengan mengutip perkembangan kontemporer tentang nilai-nilai yang dianggap
sebagai maqāshid, seperti keadilan, persamaan,
kebebasan dan hak-hak sosial-ekonomi-politik, Jamaluddin
Athiah menyatakannya secara tidak tegas.
Dalam konteks pemikiran Ibnu Āsyūr, maqāshid al-syarī’ah mempunyai mekanisme penetapannya sendiri. Sehingga
pemikiran yang dimunculkan tidak sekadar wacana bebas yang tidak berdasar pada
metodologi berfikir yang kuat. Ibnu Āsyūr membuat mekanisme penetapan yang
tidak mengabaikan tradisi keilmuan salaf di satu sisi, dan kondisi kontemporer
di sisi lain. Untuk menentukan suatu nilai layak diplot sebagai maqāshid Ibnu Āsyūr menawarkan beberapa mekanisme [thuruq]:
Pertama, melalui mekanisme induktif pada “cara kerja
syariat”. Ibnu Āsyūr memetakan objek induksi pada dua
kategori: [1] hukum-hukum syariat yang diketahui alasan hukumnya melalui
mekanisme masalik al-‘illah dan [2] dalil-dalil hukum yang
mempunyai kesamaan alasan. Contoh dalam riwayat Malik di bawah ini,
عن عبد الله بن يزيد
أن زيدا أبا عياش أخبره أنه سأل سعد بن أبي وقاص عن البيضاء بالسلت فقال له سعد أيتهما
أفضل قال البيضاء فنهاه عن ذلك وقال سعد :سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يسأل
عن اشتراء التمر بالرطب فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أينقص الرطب إذا يبس فقالوا
نعم فنهى عن ذلك
“Dari Abdullah binYazid bahwa Zaid,
bapak dari Ayyasy memberitahunya bahwa dia bertanya kepada Sa‘d bin Abi Waqqāsh tentang al-Baydha’ yang ditukar
dengan al-sulti. Sa‘d bertanya, “Mana yang lebih utama di antara keduanya? Abu
Ayyasy berkata, “al-Baydha’. Kemudian Sa‘d melarang jual-beli tersebut. Dan
Sa‘d berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bertanya tentang pembelian
Tamr dengan Ruthab. Lalu Rasulullah bertanya, ‘Apakah Ruthab akan berkurang
[dibanding Tamr] ketika kering?’ Mereka [para sahabat] menjawab, ‘Ya’. Kemudian
Rasulullah melarang jual beli semacam itu.[19]
Dalam hadis di atas terdapat larangan jual beli tamr dan
ruthab. Nabi tidak menyebutkan alasan pelarangan secara eksplisit. Namun,
ketika kita ikuti alur perbicangannya, tampaklah bahwa alasan larangan Nabi
adalah ketidaktahuan ukuran salah satu komoditas yang diperjualbelikan. Alasan
ini ditemukan melalui penelitian terhadap indikator yang terdapat dalam narasi
tanya-jawab. Dalam ushūl al-fiqh cara semacam ini dikenal dengan nama maslak al-īmā’ [penelusuran alasan hukum melalui isyarat, tanda, indikator
yang dikandung suatu teks]. Melalui mekanisme yang sama, kita dapat menemukan
alasan diharamkannya penipuan dalam transaksi jual beli seperti dalam hadis,
3939 - حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ ذَكَرَ رَجُلٌ لِرَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ يُخْدَعُ فِى الْبُيُوعِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مَنْ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ ». فَكَانَ إِذَا بَايَعَ
يَقُولُ لاَ خِيَابَةَ.
Dari Abdullah ibn Mubārak bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar
berkata, “Seorang laki-laki melapor kepada Nabi saw. bahwa dirinya sering
ditipu dalam jual-beli. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa saja yang
bertransaksi denganmu katakan padanya, ‘Tidak ada rayuan-penipuan’.’ Maka
setiap laki-laki tersebut bertransaksi, ia selalu mengatakan, ‘Tidak ada rayuan-penipuan!’”[20]
Sama seperti sebelumnya, hadis yang dikutip di atas
menunjukkan larangan melakukan penipuan dalam transaksi jual beli. Sekalipun
tidak eksplisit. Melalui teori maslak al-īmā’ dicetuskan
bahwa penipuan dilarang dalam semua bentuknya. Dengan melakukan penelitian
terhadap kasus-kasus hukum di mana terdapat pelarangan di dalamnya karena
alasan penipuan, disimpulkan suatu nilai universal yang menjadi tujuan [maqshad],
yakni penghapusan praktik penipuan dalam segala macam transaksi. Sebagai
kelanjutannya, setiap transaksi yang mengandung indikasi, atau penipuan baik
dalam harga, komoditas, atau masa transaksi dihukumi sebagai transaksi yang
ilegal-tidak sah.[21]
Kedua, melalui petunjuk tekstual al-Quran. Untuk ini, Ibnu Āsyūr mensyaratkan tidak adanya kemungkinan
lain dari pengertian tekstual suatu ayat al-Quran. Jikalaupun ada, namun tidak
signifikan, maka kemungkinan tersebut tidak dianggap. Seperti ketika kata kutiba
dalam ayat kutiba ‘alaykum al-shiyām kamā kutiba.. dimaknai sebagai ditulis [di
atas kertas umpanya], namun kemungkinan ini tidak dapat diterima. Contoh nilai
universal yang ditetapkan berdasar pengertian tekstual ayat al-Quran adalah
kemudahan [yurīd allāh bikum al-yusra wa lā yurīd bikum al-‘usra], kebencian terhadap kerusakan [wa allāhu lā
yuhibbu al-fasād], memakan harta orang lain secara ilegal [wa lā ta’kulū amwālakum baynakum bi al-bāthil], menjauhi permusuhan [innamā yurīd al-syaythānu an yūqi’a
baynakum al-‘adāwata wa al-baghdhā’ fī
al-khamri wa al-maysir], mengedepankan kelapangan [wa mā ja’ala ‘alaykum fī al-dīn min haraj].[22]
Ketiga, melalui petunjuk sunnah mutawatirah. Sunnah
mutawatirah yang dapat dijadikan sumber maqāshid ada dua; mutawatir ma‘nawi
dan mutawatir ‘amali. Mutawatir ma‘nawi harus didasarkan pada kesaksian
para sahabat kebanyakan, disertai pengamalan yang diyakini berasal dari Nabi
saw.[23] Menurut Ibnu Āsyūr, ajaran prinsip agama [al-ma‘lūm min al-dīn bi al-dharūrah] atau yang mendekatinya merupakan bagian dari sunnah yang
seperti ini. Ibnu Āsyūr mencontohkan kejadian yang pernah
dialami al-Imām
Mālik saat mendengar Syuraih mengeluarkan
fatwa ketidakabsahan al-husbsu atau sedekah jariah. al-Imām Mālik mengatakan, “Semoga Allah
merahmati Syurayh. Ia berfatwa di negerinya [Kufah] dan belum pernah
berkunjung ke Madinah. Sehingga dia dapat melihat atsar-atsar para pembesar
agama; istri-istri Nabi, sahabat dan tabiin pada masa setelahnya. Selain
praktik al-hubs [shadaqah jariah] yang mereka lakukan. Ini, sedekah
Rasulullah berjumlah tujuh kebun kurma. Hendaknya, seseorang tidak berbicara
jika tidak tahu.” Menurut Ibnu Āsyūr, praktik mutawatir ma‘nawi semacam
ini [yang menjadi bagian dari ajaran agama yang tidak dapat ditawar-tawar] banyak
terdapat dalam bidang ibadah.[24]
Sedangkan mutawatir amali yang dihasilkan dari seorang
sahabat secara personal yang menyaksikan amalan Nabi secara berulang-ulang,
sekira dari keseluruhan amal tersebut dapat diambil nilai universal yang dapat
diplot sebagai maqāshid.[25]
Sebagai contoh hadis riwayat al-Bukhāri di bawah ini;
6127-
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ
، عَنِ الأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : كُنَّا عَلَى شَاطِئِ نَهْرٍ بِالأَهْوَازِ
قَدْ نَضَبَ عَنْهُ الْمَاءُ فَجَاءَ أَبُو بَرْزَةَ الأَسْلَمِيُّ عَلَى فَرَسٍ فَصَلَّى
وَخَلَّى فَرَسَهُ فَانْطَلَقَتِ الْفَرَسُ فَتَرَكَ صَلاَتَهُ وَتَبِعَهَا حَتَّى
أَدْرَكَهَا فَأَخَذَهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَضَى صَلاَتَهُ وَفِينَا رَجُلٌ لَهُ رَأْىٌ
فَأَقْبَلَ يَقُولُ انْظُرُوا إِلَى هَذَا الشَّيْخِ تَرَكَ صَلاَتَهُ مِنْ أَجْلِ
فَرَسٍ فَأَقْبَلَ فَقَالَ مَا عَنَّفَنِي أَحَدٌ مُنْذُ فَارَقْتُ رَسُولَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم وَقَالَ إِنَّ مَنْزِلِي مُتَرَاخٍ فَلَوْ صَلَّيْتُ وَتَرَكْتُ لَمْ
آتِ أَهْلِي إِلَى اللَّيْلِ وَذَكَرَ أَنَّهُ صَحِبَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَرَأَى مِنْ تَيْسِيرِهِ.
Abu
Nu\‘aim dari Hammad ibn Zayd dari al-Azraq ibn Qays yang berkata, “Kami
berada di tepi suatu sungai di daerah al-Ahwaz dan air telah habis. Kemudian
Abu Barzah al-Aslami datang mengendarai kuda. Lalu dia salat dan melepaskan
begitu saja kudanya. Kemudian kudanya lari, lalu dia meninggalkan salatnya dan
mengejar kudanya hingga berhasil menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian dia
menunaikan salatnya. Di antara kita ada seorang yang ahli berpendapat, lalu ia mendatangi
Abu Barzah dan berkata, ‘Lihatlah orang tua ini. Ia meninggalkan salatnya
karena seekor kuda.’ Abu Barzah berpaling kepadanya dan berkata, ‘Tidak seorang
pun mengkritikku sejak aku berpisah dari Rasulullah saw.’ Ia melanjutkan,
‘Rumahku jauh, jika aku tetap salat dan membiarkan kudaku, aku tidak akan
sampai ke keluargaku hingga waktu malam.’ Ia menandaskan, bahwa dirinya
bersahabat dengan Nabi saw. dan menyaksikan kemudahan yang diberikannya.”[26]
Melalui kesaksian yang berulang oleh
seorang sahabat, dapat ditemukan suatu nilai yang dianggap sebagai maqāshid. Dalam konteks hadis di atas,
nilai itu adalah mengedepankan kemudahan.
Tiga metode di atas bukanlah
[pem]batasan yang pasti. Karena, harus diakui bahwa masih banyak cara untuk
menggali maqāshid.
Salah satunya, seperti disuguhkan Ibnu Āsyūr dalam salah satu bab dalam bukunya
tentang cara-cara ulama salaf menentukan tujuan syariat yang tidak dapat
penulis kutip dalam pembahasan ini. Selain metode tajribah
[eksperimental] maupun logika empiris [waqi \‘i], seperti yang dipakai
oleh al-Syāthibi
dan al-Āmidi.
F.
Disparitas Posisi Nabi: Membaca Author..
Menemu-Kencani Maqāshid Hadis Nabi..
Salah satu cara yang dipakai oleh Ibnu Āsyūr untuk mendeteksi maqāshid, ialah dengan cara melihat posisi
Nabi ketika menyabdakan sesuatu. Disparisasi [pembedaan dan pemilahan] posisi
Nabi penting diungkap terlebih dahulu sebelum menafsirkan sabda beliau. Hal ini
di latar belakangi oleh beragamnya identitas yang me[di]lekat[kan] pada diri
Nabi. Di samping sebagai manusia biasa dengan identitas publik dan domestiknya,
Muhammad saw. juga seorang Nabi. Pada level publik, Muhammad saw. memegang
kekuasaan tertinggi Madinah, seorang hakim yang memutus sengketa warga
masyarakatnya, mufti dalam bidang keagamaan, dan sebagai penyampai risalah
Tuhan. Identitas yang rumit ini perlu dipilah dahulu sebelum seseorang
menafsirkan sabdanya.
Ide disparisasi posisi pertama kali dikenalkan oleh pakar
ushūl al-fiqh mazhab Māliki, Syihāb
al-Dīn al-Qarrāfi dalam kitabnya Anwār al-Burūq. Dalam tesisnya
tersebut, al-Qarrāfi membedakan posisi Nabi kepada tiga kategori; Nabi sebagai
hakim [qādhi], Nabi sebagai mufti bidang keagamaan/tabligh [mufti wa muballigh al-risālah], dan Nabi sebagai
kepada pemerintahan [al-imām]. Tiga posisi di atas berimplikasi pada
dampak/muatan hukum sabda Nabi. Setiap sabda atau tindakan yang muncul dalam
konteks pengajaran agama [tabligh atau ifta’], maka berlaku secara universal
hingga hari kiamat. Implikasi hukumnya dapat berupa keharusan atau kebolehan
menjalankan jika dalam bentuk perintah [instruktif], keharusan menjauhi bila
dalam bentuk larangan. Dan setiap sabda yang muncul dalam konteks kenegaraan [al-imāmah],
maka tidak seorang pun boleh melakukannya tanpa kewenangan dari pemimpin
politik. Sedangkan sabda yang muncul dalam konteks peradilan, tidak seorang pun
boleh menengeksekusi-laksanakan tanpa ada keputusan dari hakim terlebih dahulu.[27]
Ibnu Āsyūr memetakan bahwa di antara sekian banyak sabda Nabi yang
berhasil dikodifikasikan, dapat dipilah kepada tiga tipologi; [1] yang jelas
kategorinya, [2] dan yang masih belum jelas kategorinya. Kategori yang jelas
dalam konteks kenegaraan seperti pengiriman pasukan, pengelolaan keuangan
Negara, baik dalam segi “penggalian” maupun pendistribusian, pengangkatan
wakil/konsul, dan pembagian harta rampasan. Dalam konteks peradilan dapat
dilihat dalam kasus ketika Nabi menghadapi persengketaan antara dua orang warga
masyarakatnya tentang suatu klaim kekayaan, penjatuhan sanksi fisik berdasar
saksi atau sumpah, dan keputusan terkait suatu kejahatan yang terjadi. Sedangkan
dalam konteks fatwa keagamaan atau tabligh risalah dapat dilihat dalam kasus
pengajaran ritual peribadatan, baik melalui sabda, tindakan, atau jawab atas
sebuah pertanyaan keagamaan. Sabda yang keluar dalam konteks ini masuk pada
kategori fatwa keagamaan atau risalah yang wajib dipatuhi oleh setiap umatnya.[28]
Sedangkan posisi
Nabi yang tidak begitu jelas dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.
1424 - حدثني
يحيى عن مالك عن هشام بن عروة عن أبيه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :من
أحيا أرضا ميتة فهي له
Dari Yahya ibn al-Layts dari Mālik dari Hisyām ibn ‘Urwah dari ayahnya bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menghidupkan bumi mati, maka ia menjadi
miliknya.”[29]
Para ulama berbeda pendapat tentang posisi Nabi dalam hadis
di atas. Dalam konteks fatwa atau kebijakan publik
seorang pemimpin? Al-Syāfi’I dan Ahmad memahami dalam konteks fatwa,
sehingga pesan hukumnya diberlakukan secara universal sekalipun tanpa ada izin
dari penguasa. Setiap orang boleh mengelola tanah tak bertuan, dan ia berhak
memilikinya [tanpa akta kepemilikan sekalipun]. Berbeda dengan Abū Hanīfah
yang melihatnya dalam konteks kebijakan publik, sehingga pesan hukumnya tidak
boleh sembarangan diberlakukan tanpa restu dari pemerintah. Warga masyarakat
tidak diizinkan mengelola dan memiliki tanah tak bertuan yang dikelolanya tanpa
wewenag dari Negara.
Contoh lain
dapat dilihat dalam riwayat berikut:
4574 - حَدَّثَنِى
عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ
عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِى سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ
يُعْطِينِى مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِى وَيَكْفِى بَنِىَّ إِلاَّ مَا
أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ.
فَهَلْ عَلَىَّ فِى ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ
وَيَكْفِى بَنِيكِ
Dari
Ali ibn Hujr dari Ali ibn Mushir dari Hisyām ibn ‘Urwah dari ayahnya dari Āisyah yang berkata, “Hindun binti
‘Utbah, istri Abū Sufyān menemui Rasulullah saw. lalu berkata,
‘Abu Sufyan adalah laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang
dapat mencukupiku dan anak-anakku kecuali jika aku mengambil tanpa
sepengetahuannya. Apakah saya mendapat dosa karena itu?’ lalu Rasulullah
bersabda, ‘Ambilah hartanya secara baik-baik sekira dapat mencukupimu dan
anak-anakmu.’”[30]
Para ulama berbeda pendapat tentang
hadis di atas. Sebagian berpendapat sabda di atas muncul dalam konteks fatwa.
Sehingga setiap orang dibenarkan mengambil haknya tanpa sepengetahuan pihak
yang bersengketa dengannya. Sebagian lagi melihatnya dalam konteks keputusan
hukum. Sehingga tidak dibenarkan pengambilan hak tanpa ada mandat dari hakim.
Tiga kategori
ini dikembangkan Ibnu Āsyūr menjadi dua belas. Meliputi: tasyrī,
fatwā, qadhā’, al-imārah, al-hudā, al-Shulh,
isyārah ‘ala al-mustasyīr, al-nashīhah, takmīl al-nufūs,
ta‘līm al-haqā’iq al-‘āliyyah, al-ta’dīb, dan tajarrud
‘an al-irsyād.[31]
G.
Akhiran...
Pada bagian akhir ini, kita dapat mengambil beberapa catatan
tentang relasi antara maqāshid al-syarī‘ah dengan Hadis.
Pertama, Hadis diposisikan sebagai sumber maqāshid. Kedua, terdapat mekanisme
khusus untuk membangun konsep maqāshid berdasar Hadis, termasuk dalam jenis
Hadis yang digunakan. ketiga, pembacaan model maqāshid dapat memberikan
perspektif baru tanpa keluar dari teks.
Sebagai penutup,
penulis berharap dapat melanjutkan penelitian terkait maqāshid al-syarī‘ah
sebagai instrumen pembacaan Hadis perspektif Ibn Āsyūr. Karena, penelitian
ringkas ini hanya dapat mengungkap sedikit dari tumpukan metode Ibn Āsyūr dalam
membaca Hadis.
REFERENSI
Umar,
Dr. Umar bin Shalih bin, Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi, www.alsunnah.com,
diakses pada tanggal 3April 2012.
Ghali,
Dr. Balqasim al-, Syaikh al-Jāmi al-A’zham Muhammad
al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996)
Maisāwi, Muhammad
al-Thāhir al-, dalam
pengantarnya terhadap karya Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar
al-Nafa‘is, 2001).
‘Āsyūr, Muhammad
al-Thāhir ibn, Maqāshid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Tunis: Dar al-Salam, 2009).
Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad
bin, Mu’jam Maqāyis al-Lughah,
(Beirut: Dar al-Fikr).
Raysūni, Ahmad
al-, Maqāshid al-Syarī’ah
Ta’rīfāt
wa Muqaddimāt: Muhādharat
fī Maqāshid
al-Syarī’ah li al-Ustādz
al-Raysūni, artikel didownload dari situs www.addustour.com,
pada tanggal 20 Mei 2012.
Athiah,
Dr. Jamaluddin, Nahwa Taf‘īl Maqāshid
al-Syarī‘ah, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2001).
[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi
pada mata kuliah Metode Pemahaman Hadis yang diampu oleh [Dr.] Rifqi Muhammad
Fathi, MA. Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah berguru di Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri, dan saat ini sedang ikut ngaji hadis pada International
Institute for Hadith Sciences Darus-Sunnah Indonesia-Malaysia Ciputat.
[2] Umar b. Shalih b. Umar, Mulakkhash
al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts
al-Nabawi, www.alsunnah.com,
diakses pada tanggal 3April 2012.
[3] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh
al-Jāmi al-A’zham Muhammad
al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996), Hlm. 32
[6] Muhammad al-Thāhir al-Maisāwi dalam pengantarnya terhadap
karya Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar al-Nafa‘is, 2001),
hlm. 19-25
[9] Fatwa itu
muncul berdasarkan pertanyaan: ketika seseorang “memeluk” kewarga-bangsaan yang
berbeda aturan hukumnya dari hukum-hukum syariat Islam, kemudian dia berhadapan
dengan hakim syar’I, dia mengucap dua kalimat syahadat dan menyatakan dirinya
Islam dan tidak mengakui agama selain Islam, apakah dia berhak mendapatkan hak-hak
dan kewajiban yang diperoleh umumnya kaum muslimin selama hidupnya? Apakah dia
berhak disalati jenazahnya dan dikubur di pekuburan Islam?
[10] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid
al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah,
(Tunis: Dar al-Salam, 2009), hlm. 7
[11] Abu
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqāyis
al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid III, hlm. 262
[12] Ahmad al-Raysūni, Maqāshid
al-Syarī’ah
Ta’rīfāt
wa Muqaddimāt:
Muhādharat
fī
Maqāshid
al-Syarī’ah
li al-Ustādz
al-Raysūni,
artikel didownload dari situs
www.addustour.com,
pada tanggal 20 Mei 2012.
[13] Bandingkan
dengan Ahmad
al-Raysūni,
Maqāshid
al-Syarī’ah
Ta’rīfāt
wa Muqaddimāt..
www.addustour.com.
[16] Lihat analisis Dr. Jamaluddin
Athiah dalam Nahwa Taf‘īl Maqāshid
al-Syarī‘ah,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), hlm. 94
[18] Jamaluddin Athiah dalam Nahwa
Taf‘īl..., hlm. 91, bandingkan dengan Sayf al-Dīn al-Āmidi, al-Ihkam fī Ushūl
al-Ahkām, jilid hlm.
[24] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid...,
hlm. 22. Penulis belum dapat memahami apakah dalam contoh
yang dikutip Ibnu Āsyūr bertujuan
menggali maqāshid,
atau sekadar mencontohkan teori sunnah mutawatirah. Sepertinya, Ibnu Āsyūr
memaksudkan yang terakhir ini.
Komentar
Posting Komentar