Hermeneutika Perspektif Maqasid Syariah [1]
Chairul Huda Muhammad
1.
Pendahuluan
“Pemeluk
agama hanya menjalankan teks-teks suci, sedang para agamawan mengkritisi
ajaran-ajaran suci.” Kutipan ini berasal dari Sholeh UG, penyunting buku Sayap-Sayap
Patah karya Kahlil Gibran, saat memberikan pengantar untuk buku tersebut.
Fenomena ini sudah cukup umum dalam komunitas agama-agama. Kahlil Gibran yang
hidup dalam tradisi Kristen Lebanon memahami betul akan fenomena itu, kemudian
dia tuangkan temuannya tersebut dalam sosok Affandi Karamy dan Pendeta Galib. Affandi
Karamy merupakan seorang kaya yang jujur lagi taat beragama. Sedangkan pendeta
Galib adalah sosok agamawan terkemuka yang cerdas dan mempunyai jaringan luas. Sayangnya,
Gibran menggambarkan sosok terakhir ini sebagai orang yang mudah mencarikan
justifikasi agama, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga maupun
kolega-koleganya. Baiklah, sementara kita kesampingkan narasi sang pujangga di
atas, dan kita beralih pada fenomena “mengkritisi ajaran suci”.
Dalam
konteks masyarakat muslim kontemporer, fenomena mengkritisi “ajaran suci” dapat
diteropong melalui kontroversi penggunaan hermeneutika/semiotika dalam memahami
ajaran suci. Melalui perdebatan yang terjadi di dalamnya, kita dapat menemukan
fenomena ketakutan seseorang akan hancurnya kesucian atau sakralitas agamanya,
selain unjuk gigi atas kepercayaan diri seorang pemeluk agama pada
keyakinannya, pengetahuan dan kepedulian sosialnya. Dua tipikal kaum beragama
semacam ini, sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda akan akur. Masing-masing
berjalan menurut keyakinannya sendiri. Mereka yang menerima telah
menindak-lanjuti dalam bentuk produksi karya-karya tentang heremeneutika,
contoh-contoh penggunaannya, dan hasil-hasil pemahaman menggunakan pendekatan
ini. Bahkan, tahap terapan ini telah menjadi suatu gerakan intelektual
tersendiri melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat
lengkap dengan kurikulumnya. Akhirnya, mendiskusikan kontroversialitas
hermeneutika/semiotika dalam memahami ajaran agama sebenarnya telah selesai
dengan sendirinya. Dalam bahasa pesantren, mereka telah sepakat untuk tidak
sepakat. Sepakat untuk berbeda. Lalu, hendak dibawa kemana tulisan ini?
Di
sini, penulis bermaksud menunjukkan argumentasi lain di tengah
kontroversialitas hermeneutika/semiotika melalui telaah maqasidiah. Bukan untuk
menerima atau menolaknya, tapi justru untuk mengukur sejauh mana ia dapat
diterima dan ditolak? Pendekatan maqasidi terhadap isu ini, menurut yang
penulis baca, belum pernah dilakukan oleh para peneliti. Sedangkan untuk urutan
pemahasan, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bab.
Pada
sub-bab pertama, akan dibahas tentang pengertian pendekatan maqasid yang penulis
maksud. Kemudian, pengertian hermeneutika berikut sejarah singkatnya dalam
jagat intelektual Barat dan Timur. Stressing tentu diberikan kepada
Timur, karena dialah subjek yang diperbincangkan di sini. Orang-orang Timur
yang menerima dan menolaknya. Bagaimana mereka memperdebatkan isu tersebut
dalam tulisan-tulisan mereka. Penulis tidak akan menelaah seluruh tulisan
orang-orang Timur terkait hermeneutik, karena ada banyak keterbatasan yang
menghalangi untuk melakukan itu. Selanjutnya, pertimbangan-pertimbangan yang
diperoleh melalui perdebatan tersebut akan coba disederhanakan dan dilihat
secara maqasidi. Pada akhirnya, kita akan melihat sebuah simpulan yang
diandaikan dapat menjembatani kontroversialitas isu yang sebenarnya sudah
dingin tersebut.
2.
Pendekatan
Maqasidiah: Sebuah Titik Tolak
Dalam
bahasa Arab, maqasid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad atau
maqsud Maqsud merupakan derivasi dari qasada yang berarti jalan
yang lurus, adil, tidak berlebihan dan tujuan.[2]
Dalam penelitian tentang maqasid, istilah ini banyak digunakan oleh para
ulama untuk menunjuk hikmah ajaran agama. Karya-karya al-Hakim at-Tirmidzi,
tokoh filsuf dan sufi Malamatiah terkemuka, seperti maqasid ash-shalah,
maqasid al-hajj dan lainnya merupakan penunjuk awal penggunaan istilah
tersebut dalam dunia pengetahuan. Kajian maqasid kemudian banyak
dikembangkan oleh ulama usul fiqh, diawali oleh asy-Syafi’I, terutama dalam
pengkajian tentang cara mencari alasan suatu hukum syariat/agama (‘illat
al-hukm). Dari sini, muncul istilah maqasid asy-syari’ah
(tujuan-tujuan agama).
Menurut
Ibnu Asyur, Maqasid asy-Syari’ah berarti makna/hikmah yang menjadi
perhatian utama pembuat syariat dalam aktifitas legislasi-Nya, baik secara umum
maupun untuk konteks tertentu.[3]
Al-Juwayni
menegaskan bahwa pada prinsipnya, hukum-hukum agama didasarkan pada tiga
kategori hirarkhis kebutuhan hidup manusia; dharuriat (primer), hajiat
(sekunder) dan tahsiniat (tersier). Muridnya, al-Ghazali memberikan
perincian terhadap tiga kategori di atas. Bahwa agama diciptakan untuk
mewujudkan perlindungan terhadap lima prinsip dasar kehidupan; keyakinan/agama,
harta, keturunan, akal dan harga diri. Izzuddin bin Abdis Salam menyatakan
bahwa prinsip paling esensial dari agama adalah menjauhkan manusia dari
kehancuran (dar’u al-mafasid). Eksplorasi lebih mendalam terhadap konsep
maqasid syari’ah dilakukan oleh asy-Syatibi beberapa abad berikutnya, melalui
karya monumentalnya, al-Muwafaqat. Selama berabad-abad kajian ini
terbengkalai, dan hanya dimuat dalam selipan kitab ushul fiqh. Pada abad
modern, kehadiran Ibnu Asyur membangkitkan kajian maqasid dan mengisi
kekosongan kerangka filosofis ushul fiqh.[4]
Sekarang,
kajian maqasid telah merambah objek-objek selain teks-teks agama seperti
strategi kebijakan publik/perusahaan, pengembangan ekonomi, pendidikan,
analisis sosial-politik dan kebudayaan. Di sini, maqasid mengambil peran
penting dalam kehidupan intelektual
muslim kontemporer. Maqasid bukan lagi dimonopoli kajian-kajian keagamaan,
sekalipun berangkat dari titik ini. Bila dulu dikenal maqasid al-falasifah
karya al-Ghazali dalam bidang filsafat skolastik dan maqasid an-nahwiah jargon
utama kitab Khulasah Alfiah karya Ibnu Malik al-Andalusi yang
menunjukkan kekayaan kajian maqasid, maka sudah saatnya dikembangkan
kajian-kajian maqasid yang berorientasikan pada pemecahan problem-problem
kekinian.[5]
Dalam melakukan analisis maqasidi, dapat digunakan prinsip prioritas kebutuhan
(aulawiat maratib adh-dharuriat) hasil pengembangan gagasan al-Juwaini
yang dikawinkan dengan lima prinsip al-Ghazali (al-kulliyat al-khams). Di
sinilah terjadi sintesa yang menarik tentang sebuah paradigma atau kerangka
berfikir maqasidi (al-fikr al-maqasidi). Ar-Raisuni menegaskan berfikir
maqasidi meniscayakan penggunaan pertimbangan-pertimbangan berikut: seluruh
perintah agama mempunyai tujuan kebajikan (kullu ma fi asy-syari’ah mu’allal
wa lahu maqsuduhu wa maslahatuh), kebajikan maqasidi harus dibangun
berdasar teks agama (la taqsida illa bi ad-dalil), memahami melalui
kerangka bahasa Arab (lisan al-‘arab huwa al-mutarajjim ‘an maqasid
asy-syari’), penggunaan metode deduksi illat usul fiqh (masalik
al-‘illah) kebajikan disusun secara hirarkhis (tartib al-masalih wa
al-mafasid) dan pemilahan yang tegas antara perantara dan tujuan (at-tamyiz
baina al-maqasid wa al-wasa’il).[6]
Melalui
kerang-kerangka ini, nanti kita akan mencoba melihat problem hermeneutik/semiotik.
Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi secara hitam putih (boleh-tidak
digunakan), memberikan keputusan yang detail (bisa-tidak dikembangkan dalam
studi al-Quran), kecuali hanya memberikan kerangka umum pengembangan
hermeneutika bila hendak dikembangkan dan penilaian positif-negatifnya dalam
perspektif maqasid.
3.
Hermeneutik...
Apakah Subjek Tersebut?
Di
antara buku terbaik yang mengulas hermeneutika secara umum ialah karya Richard
E. Palmer yang diindonesiakan dengan judul Hermeneutika: Teori Interpretasi
Baru dari judul aslinya Hermeneutics Interpretation Theory in
Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Dalam buku ini, Palmer
menjelaskan pergeseran-pergeseran yang dialami diskursus hermeneutika.
Palmer mengatakan bahwa hermeneuein-hermeneia
berasal dari bahasa Yunani Hermeios, nama seorang pendeta bijak kota
Delphic. Kata kerja dan nama tokoh ini merujuk pada nama Dewa Yunani, Hermes. Seorang
dewa yang bertugas menyampaikan pesan dewa tertinggi kepada umat manusia. Sekarang,
kata ini dimaknai dengan beberapa pengertian: (1) mengungkapkan, (2)
menjelaskan dan (3) menerjemahkan.[7]
Melalui pengertian-pengertian ini para hermeneutikus menerjemahkan ke dalam
sistem pemikiran mereka. Palmer melacak, awalnya hermeneutika digunakan sebagai
teori penafsiran kitab suci Bible (biblical exegessis). Hal ini dapat
dilihat dari penggunaan judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra
Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum yang terbit pada tahun 1654.[8]
Pada
abad ke-18, hermeneutika dikenal sebagai metodologi filologis. Akibat pengaruh
rasionalisme serta perkembangan filologi klasik, hermeneutik mendapatkan corak
baru, yaitu kecenderungan pada kritik historis dalam teologi. Pengaruh itu
mengkristal menjadikan seakan hermeneutika dan filologi tidak dapat dipisahkan,
dengan tidak melupakan kedekatannya dengan tradisi Bibel. Hingga abad ke-19,
muncul tokoh-tokoh besar yang mencoba melebarkan saya hermeneutika sekadar dari
penafsiran kitab suci. Hermeneutika diandaikan mengambil peran sebagai
kaidah-kaidah umum dari kerja eksegesis filologis, dan menjadikan Bibel hanya
sebagai salah satu objek kajiannya. Proyek ini ditangani oleh Schleirmacher,
August Wolf, Friederich Ast.[9]
Di tangan Schleirmacher, hermeneutik mendapatkan tempat dalam gramatika dan
psikologi. Tokoh-tokoh ini bekerja dalam kerangka bahasa, sehingga lahirlah apa
yang disebut hermeneutika linguistik. Akhir abad ke-19, pada tokoh Wilhelm
Dilthey, hermeneutika bergeser menjadi fondasi bagi metodologi ilmu-ilmu
humaniora (geisteswissenschaften). Selanjutnya, Martin Heidegger mendaku
hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan pemahaman eksistensial.
Dia menuangkan gagasannya dalam buku berjudul Being and Time, terbit
tahun 1927. Sederhananya, dia ingin menunjukkan tentang bagaimana
manusia menjadi tahu, serta kritik terhadap cara “tahu” manusia zamannya yang
cenderung mekanistis dan dipenuhi dunia asumsi. Hal ini menghalangi seseorang
dari memahami secara langsung hakikat objek yang diteliti/pahami. Metode ilmiah
baginya telah gagal menghadirkan suatu objek secara apa adanya. Untuk itulah,
dengan hermeneutika fenomenologis ini, diharapkan manusia dapat memahami suatu
objek sebagaimana adanya. Biarkan objek itu hadir dengan sendirinya, tanpa kita
paksa dengan nafsu metodis kita. Sekali lagi, karena asumsi kita selalu
menjebak fenomena. Selanjutnya, Paul Ricoeur menilai hermeneutika sebagai
sistem interpretasi untuk menemukan makna sebenarnya dari apa yang disebut
ikonoklasme. Ikonoklasme merupakan konsep yang dikembangkan Sigmun Freud,
pendiri psikoanalis, dan merujuk pada ilusi kekanakan, perilaku yang
tampak, atau sekadar narasi mimpi yang dapat ditangkap secara sederhana oleh
manusia dan harus diungkap/dihapus untuk menemukan sumbernya yang paling asasi.
Seluruhnya tercipta dari aspek bawah sadar manusia. Hermeneutika, bagi Ricoeur
lebih layak diarahkan pada proses pengungkapan tersebut. Hal ini tidak lain
merupakan proses interpretasi atau penafsiran. Di sini, dia mendefinisikan
hermeneutika sebagai teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis,
atau sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda
keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.[10]
Dari
sini, dapat dikatakan bahwa hermeneutika telah banyak mengalami pergeseran.
Dimulai dari apa yang disebut hermeneutika teologis, filologis, metode
universal, hermeneutika metodis-humanis, hermeneutika fenomenologis dan
terakhir hermeneutika sebagai sistem penafsiran umum. Ragam pengertian semacam
ini diterima oleh banyak pihak, termasuk mereka yang kontra terhadap penggunaan
hermeneutik dalam studi Islam.[11]
Demikian pula dengan pihak yang pro semisal Sahiron Syamsuddin yang mengenalkan
tiga tahap perkembangan hermeneutik sejak apa yang disebutnya hermeneutika teks
mitos, hermeneutika teks kitab suci, dan hermeneutika umum.[12]
Melihat perjalanan panjang hermeneutika di atas, tidak heran bila dalam
mendefinisikan terma tersebut, para pemikir memiliki ungkapan yang
berbeda-beda. Ben Vedder dan Matthias Jung, seperti dikutip Sahiron, membedakan
empat definisi hermeneutik yang meliputi; hermeneus/interpretation (penafsiran),
hermeneutik/hermeneutics (hermeneutika), philosopische
hermeneutik/philosophical hermeneutics (hermeneutika filosofis),
hermeneutsche philosophie/hermeneutical philosophy (filsafat hermeneutis).
Hermeneus (penafsiran)
diartikan sebagai penjelasan atas interpretasi sebuah teks, karya seni atau
perilaku seseorang. Dapat dikatakan di sini bahwa penafsiran di sini masih
bersifat terbuka tanpa melibatkan syarat-syarat yang rumit sebagai metodenya.
Setiap proses pemahaman disebut dengan hermeneus.
Hermeneutik
(hermeneutika) diberikan kepada suatu kejadian ketika seseorang berbicara tentang
aturan, metode dan strategi penafsiran. Hermeneutik dalam hal ini tentu saja
sangat teknis. Artinya, ketika seseorang yang berbicara tentang metode penafsiran
itulah yang disebut hermeneutika.
Philosophie
Hermeneutik merupakan tingkat lebih lanjut dari studi tentang penafsiran. Di
sini, yang dibicarakan bukan lagi metode-metode penafsiran sebagai inti kajian,
melainkan hal-hal yang terkait dengan kondisi-kondisi kemungkinan (conditions
of the possibility) yang terjadi dalam kerja penafsiran. Tentu saja pembahasan
lebih spekulatif, mendasar dan abstrak. Tokoh-tokoh hermeneutika seperti
Dilthey dan Gadamer, mereka tidak berbicara tentang teknis penafsiran, tetapi
lebih kepada aspek luaran, syarat-syarat yang memungkinkan kita menafsirkan
teks atau perilaku manusia. Dilthey lebih banyak bicara soal kondisi-kondisi
dan fondasi penafsiran daripada metode-metode panafsiran dan aplikasinya.
Sedangkan Gadamer lebih sering menghindari pembicaraan tentang metode-metode
penafsiran, dan beralih pada diskusi tentang kerangka dan fondasi hermeneutis.
Hermeneutische
Philosophie atau filsafat hermeneutis ialah bagian dari pemikiran-pemikiran
fislafat yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara
menafsirkan apa yang diterima manusia dari sejarah dan tradisi. Lebih jelasnya,
ia adalah proses pemahaman terkait dengan permasalahan epistemologi, ontologi,
etika dan aestetika yang merupakan bagian dari pokok-pokok kehidupan manusia
secara umum.
Dari
keempat tingkat pengertian hermeneutika di atas, sekalipun berbeda-beda, dapat
dipahami bahwa hermeneutika adalah ilmu yang membahas tentang metode-metode
penafsiran yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu
ditafsirkan seperti simbol, tanda, perilaku dan teks. Atau juga dapat dikatakan
ilmu yang membahas hakikat metode, syarat dan pra-syarat penafsiran.[13]
Hal ini tentu saja terlepas dari aliran-aliran yang berkembang di dalamnya,
yang mungkin ada sebagian asumsinya yang tidak dapat diterima oleh sementara
pihak.[14]
Dan yang perlu digarisbawahi, kontroversi hanya terjadi pada (sebagian asumsi
yang dikembangkan oleh) hermeneutika dalam dua pengertian terakhir. Yaitu
hermeneutika filosofis dan filsafat hermeneutika. Hermeneutika dalam pengertian
penafsiran secara umum tidak ditolak sama sekali. Selanjutnya, akan dibahas
tentang argumentasi penolakan dan penerimaan terhadap hermeneutika oleh para
ilmuwan muslim.
4.
Argumentasi
Penolakan-Penerimaan; Perdebatan di Indonesia
4.1. Argumentasi Penolakan
Dalam
paragraf ini, akan dipaparkan argumentasi penolakan oleh tokoh muslim
Indonesia. Hal ini dilakukan dengan cara merujuk pada karya-karya yang berisi
penolakan yang banyak beredar seperti karya Adian Husaini dan Adnin Armas.
4.1.1.
Menyejajarkan al-Quran dengan Buku Biasa
Keberatan
yang diajukan kepada pendekatan ini, ditujukan pada pemosisian al-Quran sebagai
karya sastra umumnya. Hal ini dianggap meruntuhkan sakralitas kitab suci dan
mengingkari keilahiahannya. Armas menulis,
“Jika hermeneutika diterapkan ke dalam studi Qur’an, maka “paradigma
baru” akan muncul bukan saja terhadap tafsir al-Qur’an, tetapi juga kepada
status al-Qur’an itu sendiri. Pendapat Schleiermacher yang mengasumsikan semua
teks tidak memiliki keunikan akan bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin
yang menganggap al-Qur’an sebagai wahyu (tanzil/diturunkan/meta-historis) yang
otentik dan final.”[15]
4.1.1.
Hermeneutika: Teori
yang Tidak Berlandaskan Keimanan
Menurut
Armas, menafsirkan al-Quran memerlukan syarat keimanan sebagai dasar. Tanpa
keimanan yang kuat, seorang penafsir akan mudah terperosok ke dalam jurang
kebidahan, kesesatan, dan gampang tergoda keinginan duniawi. Dan hermeneutika
merupakan teori penafsiran yang selain dinilai tidak berlandaskan keimanan
(karena meyakini al-Quran bukan sebagai kalamullah). Menurutnya, keimanan
dan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an sangat penting bagi seorang mufasir
al-Qur’an. Hal ini disebabkan status al-Qur’an tidaklah sama dengan teks-teks
yang lain. Jadi, penafsiran al-Qur’an tetap memerlukan metode-metode yang
khusus. Hal ini juga bertentangan dengan teori hermeneutika.[16]
4.1.2.
Hermeneutika
Membuka Relativitas Penafsiran
Sebagian
aliran hermeneutika berimplikasi pada relativitas penafsiran. Konsep-konsep
yang sudah mapan dan diyakini umat Islam sebagai final dapat berubah secara
radikal. Hermeneutika Gadamer mengimplikasikan bahwa penafsiran akan selalu
terbuka karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih
persamaan paham... Selain itu, dalam pandangan Gadamer, ilmu tidak akan pernah
sempurna. Ilmu pengetahuan akan selalu terbuka untuk direvisi. Hal ini juga
bertentangan dengan keyakinan mayoritas para ulama.[17]
4.1.3.
Hermeneutika
Tidak Sesuai dengan Pandangan Dunia Islam (woldview)
Hal
ini berangkat dari asumsi hermeneutik mengantarkan pada relativisme penafsiran.
Padahal, Islam dipahami sebagai agama yang sudah lengkap dan otentik. Wahyu
dalam Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya,
amalannya, ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang
dijelaskan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu, filsafat hermeneutika yang
merelatifkan tafsir al-Qur’an, tidaklah sesuai dengan ajaran Islam, makanya
perlu ditolak.[18]
4.1.4.
Hermeneutik
Menumbuhkan Keraguan
Alasan
ini diutarakan oleh Yayan bahwa Jika kita menerima Hermeneutika dalam
penafsiran al-Quran termasuk pemikiran Gadamer, maka akan muncul sikap syak
(ragu) pada setiap kebenaran al Quran. Dia berpendapat, bahwa tidak ada
kebenaran yang objektif, sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu.
Dalam pandangannya rasio pemahaman apapun atas sebuah riset pasti mengandung sebuah
prejudice. Baginya kebenaran hanyalah merupakan khayalan dan rekayasa, bukan
merupakan penemuan.[19]
Demikian
tadi beberapa argumen untuk menolak menggunakan hermeneutik dalam penafsiran.
4.2. Argumen Penerimaan
Tokoh
yang diangkat dalam hal ini ialah Sahiron Syamsuddin. Bahwa terdapat beberapa
argumen untuk menerima hermeneutika sebagai pendekatan dalam penafsiran
al-Quran.
4.2.1.
Islam Cukup
Berpengalaman dalam Integrasi Ilmu
Islam
sebagai seperangkat nilai pernah hadir sebagai kekuatan pendorong lahirnya
suatu peradaban yang agung. Di sana Islam tidak mengabaikan peran penting
dialog dengan agama dan kebudayaan lain. Islam tidak tenggelam sehingga
kehilangan identitasnya. Justru, Islam diperkaya dengan keragaman ide dan
perspektif. Pengalaman integrasi semacam itu dapat dijadikan modal untuk
melakukan dialog dengan pihak lain sehingga terjadi saling tukar ide sebagai
bentuk pengkayaan wawasan masing-masing.
4.2.2.
Membuat
Definisi Tafsir Lebih Sophisticated
Harus
diakui bahwa tradisi Ulumul Quran telah lama beku dan tidak menemukan spiritnya
yang progresif dalam merespon tantangan zaman. Ketika perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat dibendung, sedangkan ilmu-ilmu keislaman secara umum,
dan ilmu tafsir secara khusus ditantang untuk menunjukkan taringnya, maka ilmu
tafsir perlu dibenahi. Menelaah kekurangan yang ada agar, sebagai ilmu bantu
memahami kitab suci, ia dapat menjawab tantangan zaman. Studi tentang
penafsiran secara umum telah mengalami perkembangan yang cuku jauh. Hal ini
seperti dapat ditemui dalam kajian hermeneutika. Bila ilmu tafsir didefinisikan
dengan fahmu kitab allah al-munazzal ‘ala nabiyyihi muhammad wa bayan
ma’anihi wa istikhraji ahkamihi wa hikamihi (memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah-nya), sebenarnya belum dijelaskan
tentang apakah pemahaman, bagaimana pemahaman terjadi, sejauh mana suatu
pemahaman dimungkinkan. Tentang bayan ma’nahihi (menjelaskan
makna-maknanya), bagaimana menjelaskan dapat dilakukan, seperti apa syarat dan
prasyaratnya dan seterusnya. Begitu pula terkait dengan mengeluarkan hukum dan
hikmah, definisi di atas tidak menjelaskan secara lebih rinci. Fahm, bayan
dan istikhraj tidak/belum dibedakan secara lebih jelas. Di sinilah
kajian hermeneutika dapat berperan.[20]
4.2.3.
Memperkuat
Etika dalam Penafsiran
Hermeneutika
Gadamer yang mengharuskan terjadinya dialog antara dua horizon, serta
kehati-hatian memberikan pemaknaan dan pengaplikasian atas suatu teks,
mendorong terwujudnya sikap saling menghargai di antara para penafsir. Bahwa
apa yang dicapai seorang mufassir pada hakikatnya bersifat zhanni, dan
tidak pernah mencapai makna pasti. Jika demikian adanya, maka penghargaan
kepada hasil penafsiran lain merupakan suatu sikap yang niscaya. Hermeneutika
menyuguhkan apa yang oleh sementara orang disebut relativitas penafsiran.[21]
4.2.4.
Adanya
Aspek-Aspek yang Sesuai
Harus
diakui ada beberapa aspek hermeneutika yang dikembangkan tidak ditemukan dalam
studi tafsir. Namun, ada pula aspek yang sangat relevan untuk dikembangkan dari
tradisi hermeneutika ke dalam tradisi tafsir al-Quran. Sahiron mencatat tiga
keseuaian hermeneutika Gadamer dengan aspek-aspek ulumul Quran; [22]
(a)
teori tentang
kesadaran sejarah, pra-pemahaman dan kehati-hatian dalam menafsirkan teks
al-Quran. Nabi saw. telah menegaskan bahwa seseorang harus berhati-hati dalam
menafsirkan al-Quran, agar tidak terjebak dengan kepentingan pribadinya.
Karenanya, setiap pra-pemahaman yang merupakan ‘bawaan’ mufasir yang lahir dari
peristiwa kesejarahan yang dialaminya sedini mungkin diantisipasi agar tidak
terbawa dalam proses penafsiran. Untuk itu, mufasir perlu memiliki kesadaran
sejarah yang baik agar dapat membedakan kepentingan yang meliputi mufasir dan
kepentingan al-Quran saat diturunkan.
(b)
teori aplikasi
dan interpretasi ma’na-cum-maghza,
teori
aplikasi merujuk pada kemahiran seorang penafsir dalam mengaplikasikan dengan
konteks kehidupannya setelah dia menemukan makna sebenarnya dari teks
ditafsirkan. Agar tidak terjadi kesalahan, ketidak-sinambungan makna, seseorang
harus bisa membedakan makna permukaan dan makna yang lebih dalam, makna zahir
dan makna batin, ma’na dan maghza, meaning dan significance,
sinn dan sinnesgemap yang seluruhnya menunjuk pada
lapisan-lapisan makna yang dikandung teks dan diserahkan kepada kebijaksanaan
penafsir untuk dipilih mana yang relevan untuk diaplikasikan. Di sini, seorang
mufasir dituntut menggunakan kearifannya.
(c)
teori fusion
of horizons dan dirasat ma haula nash.
Teori
fusi horison menegaskan bahwa dalam proses penafsiran terdapat dua horison
utama yang harus diperhatikan dan diasimilasikan; horison teks dan horison
mufasir. Horison teks atau weltanschaung teks (pandangan dunia yang
terkandung dalam teks) hanya dapat diketahui, meminjam Amin al-Khuli, melalui
studi terhadap dua aspek sekaligus; ma fi an-nashsh dan ma haula
an-nashsh.
5.
Menimbang
Perdebatan Melalui Maqasid Syari’ah
Argumentasi
dan perdebatan diterima-tidaknya hermeneutika dalam studi Islam dapat
disederhanakan pada dua pokok. Pertama, kelompok yang menolak mendasarkan
argumentasinya pada perlindungan terhadap keyakinan seorang muslim. Hal ini
dilakukan dengan mengeksplorasi titik-titik perbedaan yang dinilai signifikan
antara ilmu tafsir dan hermeneutika. Keberatan paling menonjol terletak pada
keyakinan tentang posisi al-Quran yang dinilai sebagai meta-historis, suci,
sakral dan ilahi. Namun, paling tidak dapat dimengerti apa yang hendak dibela
oleh kelompok ini, yaitu keyakinan/akidah. Tepatnya, keyakinan atas kesucian
al-Quran. Bagi kelompok ini, menggunakan hermeneutika berarti dan berakibat merusak
akidah.
Sedangkan kelompok kedua yang
menerima/mengembangkan hermeneutika mendasarkan diri pada kebutuhan memahami
ajaran agama dengan metode yang lebih baik, kontekstual, aplikabel dan relevan dengan
semangat zaman. Tujuan ini dilakukan dengan cara mengadopsi metode keilmuan
yang berasal dari tradisi non agama, hermeneutika, yang tidak lain dipahami
sebagai metode penafsiran umum. Terlepas dari keragaman metode, beberapa hal
yang menjadi titik beda, dan dampak positif-negatifnya. Bagi kelompok ini,
nilai-nilai Islam harus berdialog dengan nilai-nilai lain untuk mewujudkan
hubungan kehidupan/kemanusiaan yang lebih baik sebagaimana yang menjadi
cita-cita wahyu dalam Islam. Semua itu hanya dapat dilakukan melalui cara
dialog. Melalui hermeneutika, pandangan keislaman dapat diperkaya dengan
pandangan yang sejalan dengannya. Tampak jelas bahwa kelompok ini ingin memperkaya
aspek keilmuan Islam. Bukan menghancurkan Islam.
5.1.
Pertentangan Hifzh
ad-Din dan Hifzh al-‘aql:
Dari
sini dapat dilihat bahwa pada dasarnya telah terjadi polemik antara mereka yang
mendukung didahulukannya perlindungan atas keyakinan dan perlindungan
terhadap keilmuan. Dalam bahasa maqasidiyin, terjadi pertentangan antara hifzh
ad-din dan hifzh al-‘aqli.[23]
Demikian, peta persoalan ini menurut kaca mata maqasid syariah. Pertanyaannya,
bagaimana menyelesaikan problem ini? Bukankah keduanya merupakan kemaslahatan
yang sama-sama diperhatikan oleh Syari’ (pembuat syariat, Tuhan)?
Penilaian
maqasidi, memerlukan langkah-langkah yang telah disebutkan dalam sub bab kedua
(Pendekatan Maqasidiah: Sebuah Titik Tolak). Pertama, harus ditanamkan
keyakinan seluruh doktrin agama memiliki landasan rasional, tujuan yang jelas
serta bermuatan kebajikan-kebajikan (kullu ma fi asy-syari’ah mu’allal wa
lahu maqsuduhu wa maslahatuh). Artinya, landasan rasional itu harus dicari,
dijelaskan dan digunakan untuk menilai persoalan lain yang terkait. Dalam tema
yang sedang kita diskusikan (baca: problem keilmuan yang relevan untuk memahami
agama/kitab suci), titik episentrum persoalannya sudah sangat jelas. Yaitu
benturan antara konsep perlindungan atas keyakinan dan keilmuan-akal. Perlindungan
terhadap keduanya merupakan alasan dan tujuan kehadiran agama dimana di
dalamnya terdapat kebajikan bagi manusia (maqasid al-mukallafin).[24]
Yang
dimaksud agama ialah seperangkat aturan yang (diyakini) bersumber dari Tuhan
yang disampaikan melalui seorang utusan guna membawa umat manusia menuju
kebenaran dalam berkeyakinan, kebajikan perilaku dan interaksi dengan sesama,
yang dengan tunduk kepada aturan tersebut manusia akan mendapatkan kebaikan
dunia dan akhirat. Dari sini dapat dibatasi bahwa agama adalah apa yang diwahyukan.
Dalam konteks Islam, pastinya wahyu terkumpul dalam mushaf al-Quran (juga
sebagian sunnah). Sedangkan penafsiran terhadapnya bisa jadi merupakan sesuatu
yang lain, bukan ad-din itu sendiri. Dengan demikian, selama seseorang
tidak meyakini kepalsuan al-Quran, dia tetap dinilai sebagai muslim. Terlebih
seseorang yang berusaha memahami ajaran-ajaran kitab sucinya. Sebaliknya, para
pengingkar al-Quran (dalam beberapa tingkatannya?) bisa jadi dianggap
meruntuhkan agama. Tahap berikutnya ialah pelaksanaan ajaran-ajaran agama
sebagai bentuk pengejawantahan wahyu. Sekalipun bukan wahyu itu sendiri,
pelaksanaan merupakan bagian terjauh dari suatu wahyu. Dapat dilihat bahwa
agama dimulai dari keyakinan, pemikiran, dan pengamalan. Dengan bagian paling
pokoknya ada pada keyakinan, terutama keyakinan terhadap yang Mahakuasa.[25]
Melalui kerangka tartib maqasid, dapat dikatakan keyakinan merupakan
maqasid level dharuriat, ritual keagamaan sebagai hajiat, dan
pembangunan infrastruktur, regulasi perundangan, penyediaan sarana pendidikan
keagamaan menjadi kebutuhan tersier-tahsiniat. Penolakan atas penggunaan
hermeneutika dalam studi Islam, dengan demikian masuk dalam kategori hifzh
ad-din-tahsini. Dengan pertimbangan ia tidak terkait dengan keyakinan
secara langsung.
Sedangkan
akal berarti suatu daya yang tersimpan dalam diri manusia yang dapat digunakan
menemukan pengetahuan serta menciptakan teori-teori pengetahuan.[26]
Di sini, akal dibedakan dari indera lain yang dimiliki manusia. Karena, indera
tidak dapat mengolah dan memproduksi pengetahuan seperti akal. Akal juga
berkaitan dengan wahyu dimana keduanya memiliki jangkauan objek masih
diberdebatkan. Pada umumnya, para ulama lebih setuju pada pendapat keterbatasan
akal, sekalipun ia memiliki peran penting yang tidak dapat diabaikan. Melalui
kerangka tartib maqasid, menjaga keberadaan akal dari yang segala hal
yang dapat merusak materi akal, merupakan kebutuhan dharuriat,
mengadakan pendidikan merupakan kebutuhan hajiat, dan pembangunan
infrastruktur; bangunan, kurikulum, sistem pendidikan, menjadi bagian dari
pemenuhan kebutuhan tahsiniat. Di sini, penerimaan/pengembangan
hermeneutika dalam tema yang kita bahas masuk dalam kategori tahsini.
6.
Penutup
Melalui
kerangka analisis di atas, dapat ditarik garis kesimpulan, tema yang sedang
kita angkat berada dalam level tahsini. Dengan demikian, sebenarnya
persoalan ini tidak terlalu serius karena perdebatan yang dilakukan para
aktornya hanya dalam kerangka kebutuhan yang tersier. Di sini, perlu pula
dicatat, hermeneutika sebagai metode memahami kitab Allah bukanlah suatu
keharusan dalam arti masih banyak alternatif yang bisa dipakai. Namun,
demikian, urgensi yang relevan dengan al-Quran dan masih memungkinkan
dimodifikasi, sebagaimana layaknya kerja penelitian, selalu meniscayakan
penyesuaian dan perombakan teori.
Dapat
pula ditarik garis besar bahwa pengembangan hermeneutika hendaknya memperhatikan
kepentingan keyakinan dan keilmuan. Kepentingan keyakinan hendaknya tidak
merintangi pengembangan keilmuan. Demikian pula sebaliknya, pengembangan
keilmuan tidak seyogyanya merusak keyakinan.
Sebagai pendekatan dalam kerja penelitian
keagamaan, yang tentu saja melibatkan keyakinan dan partisipasi penganutnya,
hermeneutika al-Quran hendaknya dikembangkan melalui cara-cara yang simpatik,
menghindari bahasa-bahasa “genit”, terlepas dari ideologi pihak yang
menggunakannya. Sekali lagi, hermeneutika hanyalah pendekatan. Innama hiya
muqarabah. Wallahu a’lam.
Daftar
Pusakata
Alim,
Yusuf Hamid al-, al-Maqasid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah,
(Riyadh: International Islamic Publishing House, 1994)
Asyur,
Muhammad at-Tahir bin, Maqasid asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Tunis: Dar
Suhnun, 2006).
Azhar,
Hisyam bin Sa’id, Maqasid asy-Syari’ah ‘Inda al-Imam al-Haramain wa Atsaruha
fi at-Tasarrufat al-Maliyah, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1429), h. 39
Atiah,
Jamaluddin, Nahwa Taf’il Maqasid asy-Syari’ah (Damaskus: Dar al-Fikr
al-Islami, 2001).
Armas,
Adnin, Filsafat Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an artikel
diakses dari www.insistnet.com,
pada tanggal 27 Desember 2012.
Khadimi,
Nuruddin Mukhtar al-, al-Maqasid asy-Syar’iyyah Ta’rifuha Amtsilatuha
Hujjiyyatuha, (Riyadh: Kunuz Isybilia, 2003).
_________________________,
al-Maqasid asy-Syar’iyyah Turuq Itsbatiha Hujjiyyatuha Wasa’iluha (Riayadh:
Kunuz Isybilia, 2008), cet. Ke-1.
Manzhur
al-Misri, Muhammad bin Makram bin, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Darul Hadis,
1423 H./2003 M.).
Nurbayan, Yayan, Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran
al-Quran, makalah tidak diterbitkan. h. 12
Palmer, Richard E., Hermeneutika: Teori
Interpretasi Baru diterjemahkan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dari, Hermeneutics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer,
(Jogjakarta: Pusataka Pelajar, 2005), cet. Ke-2.
Raisuni,
Ahmad ar-, al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu (Sebris: Dar
al-Baidha, 1999).
Syamsuddin,
Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, (Jogjakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009).
[1]
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas individu pada Ujian Akhir Semester mata
kuliah Hermeneutika-Semiotika yang diasuh oleh Dr. Yusuf Rahman, MA.
[2] Muhammad bin Makram bin Manzhur al-Misri,
Lisan al-‘Arab, (Kairo: Darul Hadis, 1423 H./2003 M.), juz 7, h. 377
[3] Redaksi aslinya: al-ma’ani wa al-hikam
al-malhuzhah lis syari’ fi jami’ ahwal at-tasyri’ au mu’zhamuha bi haitsu la
takhtasshu mulahazhatuha bi al-kaun fi nau’ khash min ahkam asy-syari’ah,
lihat dalam Muhammad at-Tahir bin Asyur, Maqasid asy-Syari’ah al-Islamiyyah,
(Tunis: Dar Suhnun, 2006), h. 49. Bandingkan dengan beberapa definisi yang
dipaparkan oleh Nuruddin Mukhtar al-Khadimi dalam al-Maqasid asy-Syar’iyyah
Ta’rifuha Amtsilatuha Hujjiyyatuha, (Riyadh: Kunuz Isybilia, 2003), h. 28
[4] Lihat sejarah maqasid dalam Nur ad-Din
Mukhtar al-Khadimi, al-Maqasid asy-Syar’iyyah Turuq Itsbatiha Hujjiyyatuha
Wasa’iluha (Riayadh: Kunuz Isybilia, 2008), cet. Ke-1, h. 43-93, Hisyam bin
Sa’id Azhar, Maqasid asy-Syari’ah ‘Inda al-Imam al-Haramain wa Atsaruha fi
at-Tasarrufat al-Maliyah, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1429), h. 39
[5] Jamaluddin Atiah, Nahwa Taf’il Maqasid
asy-Syari’ah (Damaskus: Dar al-Fikr al-Islami, 2001).
[6] Baca lebih lengkap dalam Ahmad
ar-Raisuni, al-Fikr al-Maqasidi Qawa’iduhu wa Fawa’iduhu (Sebris: Dar
al-Baidha, 1999).
[7] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru
diterjemahkan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dari, Hermeneutics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer,
(Jogjakarta: Pusataka Pelajar, 2005), cet. Ke-2, h. 15
[8] Palmer,
Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 39
[9] Palmer,
Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 44
[10] Palmer,
Hermeneutika: Teori Interpretasi Baru..., h. 47
[11] Lihat di antaranya dalam Adnin Armas, Filsafat
Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an artikel diakses dari www.insistnet.com,
pada tanggal 27 Desember 2012.
[12] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Quran, (Jogjakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h.
11-18
[13] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Quran..., h. 7-10
[14] Diterima-tidaknya sebuah asumsi/tesis
dalam suatu kajian ilmiah merupakan persoalan yang wajar/lumrah. Argumentasi
yang diajukan pun beragam. Mulai dari yang bersifat teologis, ideologis maupun
epistemologis murni.
[15] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan
Dampaknya..., h. 23
[16] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan
Dampaknya..., h. 25
[17] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan
Dampaknya..., h. 28
[18] Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika dan
Dampaknya..., h. 29
[19] Yayan Nurbayan, Penggunaan
Hermeneutika dalam
Penafsiran al-Quran, makalah tidak diterbitkan. h. 12
[20]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 78
[21]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 81
[22]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika
dan Pengembangan Ulumul Quran..., h. 82-84
[23]
Penulis menggunakan kulliat al-khams untuk memetakan perdebatan ini
karena ia telah menjadi kategorisasi yang telah dipakai oleh ulama sejak
al-Ghazali hingga era kontemporer ini. Namun demikian sebenarnya masih terjadi
perdebatan tentang batasan masing-masing, sejauh mana pengertian hifzh ad-din
dan hifzh al-‘aql. Mereka yang berbicara dalam persoalan ini dapat
dipetakan dalam dua kelompok besar; kelompok ‘konservatif’ dan kelompok
‘progressif’. Kelompok pertama cenderung memaknai perlindungan sebagai
bentuk konservasi terhadap praktik-praktik yang sudah mapan. Sebagai
contoh, mereka memaknai hifzh ad-din di antaranya dengan pemberlakuan
hukuman mati atas orang keluar dari agama (murtad), Hifzh al-‘aql dengan
larangan minum-minuman keras, mengadopsi pandangan-pandangan liberal yang
menyerang pandangan konvensional dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok kedua
mengartikan keduanya sebagai pemenuhan hak masing-masing prinsip
syariat. Hifzh ad-Din berarti pemenuhan kebutuhan keagamaan umat manusia
baik melalui regulasi undang-undangan,
pembangunan infrastruktur, layanan keagamaan dan lainnya. Hifzh al-‘aql berarti penyediaan
sarana pendidikan, kebebasan mengembangkan ilmu pengetahuan, regulasi
undang-undang pendidikan yang adil dan seterusnya. Pengembangan hermeneutika
dalam studi Islam, tidak lain bagian dari hifzh al-‘aql ini.
[24]
Dengan demikian, kepentingan kedua kelompok dapat diakomodir di sini. Perlu
ditegaskan pula bahwa masih terjadi perdebatan tentang batas kedua maslahah
tersebut. Namun untuk membatasi itu, tulisan ini memang tidak dimaksudkan
menelisik lebih dalam.
[25]
Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqasid al-‘Ammah li asy-Syari’ah al-Islamiyyah,
(Riyadh: International Islamic Publishing House, 1994), h. 207
[26]
Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqasid al-‘Ammah..., h. 328
Komentar
Posting Komentar