Kanonisasi Sahihain Perspektif Jonathan Brown; Pembentukan dan Fungsinya bagi Tradisi Hadis Sunni[1]




M. Khoirul Huda
_
ABSTRAK
Umumnya, kanonisasi diaplikasikan untuk melacak proses menjadi kitab suci suatu agama. Berbeda dengan Jonathan Brown yang menggunakannya untuk membaca kesejarahan Sahihain. Historisitas Sahihain yang dibongkar melalui proses kanonisasi memperlihatkan keunikan pandangan Brown di satu sisi, juga mengungkap beberapa sejarahtentang fungsi sosial Sahihain, pembentukan wajah keislaman muslim modern, dan tentu saja memperlihatkan proses-proses kesejarahan sunnisme atau yang dikenal dengan ahlus-sunnah wal jamaah yang ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang.Sunnisme bukanlah mazhab yang telah jadi, tapi suatu proses keberislaman yang masih menjadi dengan hadirnya intrumen baru dari suatu peradaban dengan tanpa menghilangkan jati dirinya; sanad orientid.

Kata Kunci: Kanonisasi, Sahihain, Jonathan Brown.

A.    Pendahuluan
Sebagian orang meyakini bahwa kelompok muslim radikal dihadirkan oleh ideologi wahabi. Dalam banyak negara, kelompok ini tidak hanya berseberangan dengan ideologi negara, tapi juga muslim lokal yang menganut keyakinan dan model keberagamaan yang berbeda.
Gagasan pemurnian yang merambah wilayah politik memperkeruh suasana hingga berdarah-darah. Gagasan pemurnian ini dimaksudkan untuk mewujudkan suatu dunia ideal yang disebutnya dunia tanpa bidah. Kehidupan yang sesuai dengan peri-kehidupan Nabi saw. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara meneladani betul apa yang ada pada zaman Nabi saw. Untuk mengetahui bagaimana “dunia Nabi”, mereka merujuk pada riwayat-riwayat yang banyak dimuat dalam kitab-kitab Hadis dan sirah. Kesahihan menjadi paradigma utama dalam menilai riwayat. Di antara sekian banyak koleksi Hadis, Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim atau yang lebih dikenal dengan Sahihain merupakan koleksi Hadis yang paling banyak diterima. Posisi keduanya sungguh istimewa. Ide kesahihan ternyata lebih banyak diinspirasi oleh kedua kitab tersebut. Di sini, gerakan pemurnian mendasarkan diri pada Sahihain. Artinya, konflik modern di dunia muslim didalangi oleh Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim[?] Sungguh mengherankan. Dua kelompok muslim, yang memiliki kitab rujukan yang sama bersitegang, bahkan meregang nyawa.
Terlepas dari itu semua, ada hal yang menarik di sini. Yakni terkait dengan pengaruh Sahihain. Sahihain rupanya memiliki pengaruh yang begitu luasdalam kehidupan kaum muslim. Baik di kalangan muslim salafi maupun asy’ari, muslim ‘modernis’ maupun rasional, atau untuk konteks abad keenam hijriah; bagi muslim muktazilah-hanafiah ataupun asy’ariah-syafiiah, Sahihain menempati posisi yang terhormat.Otoritas keagamaan ialah yang tergambar dalam kedua kitab yang kesahihannya dinilai berada setahap di bawah al-Quran. Bahkan, bisa dikatakan bahwa wajah keislaman kaum muslimin saat ini tidak lain merupakan pengejawantahan doktrin keislaman Sahihain.Begitu istimewakah Sahihain? Sejak kapan?
Pertanyaan inilah yang menggelitik Jonathan Brown untuk menggali akar-akar konflik dunia muslim modern. Penelusurannya melalui pendekatan kanoniasi ini berkesimpulan bahwa proses menjadi istimewa, kebal kritik dan diterima oleh seluruh kelompok umat Islam muncul melalui proses sejarah yang panjang. Butuh sekitar tiga abad bagi Sahihain untuk dapat diterima seluruh elemen muslim. Barulah ia ditahbiskan menjadi semacam kitab kanon, undang-undang yang diterima, menjadi standar bagi pola beragama dan dipatuhi sedemikian rupa. Pendekatan kanonisasi para dasarnya merupakan bagian dari biblikal criticisme(kajian kritis Bibel), yang dikembang-universalisasikan oleh para ilmuan untuk menganalisis evolusi kitab-kitab suci agama dunia. Di antara kesimpulan kajian ini ialah bahwa umat manusia selalu membutuhkan teks dalam kehidupannya. Terutama teks-teks yang dipandang suci. Kehidupan menjadi lebih ‘hidup’ dan massif ketika apa yang dilakukan mempunyai relasi tertentu dengan teks. Baik itu dalam organisasi sosial, menciptakan kesalehan individual, dalam memelihara pola-pola komunitas maupununtuk mendorong perubahan revolusioner. Teks juga berfungsi dalam seni, sastra dan pandangan intelektual. Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Wilfred Cantwell Smith, manusia selalu punya kecenderungan mengkitab-sucikan teks.[2]
Nah, di sinilah Brown mencoba memakai kanonisasi untuk membaca posisi Sahihain. Brown, mualaf Amerika itu, menjawab dengan bukunya yang berjudul The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon (Kanonisasi Bukhari-Muslim; Sejarah Pembentukan dan Fungsinya dalam tradisi Hadis Kanonik Sunni). Sebuah karya yang pada mulanya merupakan disertasi Brown pada Universitas Chicago.[3]
Tulisan ini akan sedikit berbicara tentang pandangan Brown tentang kanonisasi. Lebih tepatnya, pembahasan dikerucutkan pada apakah kanonisasi? Mengapa terjadi kanonisasi? Bagaimana kanonisasi terjadi pada Sahihain dalam pandangan Brown? Ulasan penulis mulai dengan menelaah latar belakang Jonathan Brown, motivasi penelitian dan pendekatannya,Proses Kanonisasi S{ah{i>h{ain; Dari Pluralitas Menuju Kesatuan Paradigma dan diakhiri dengan simpulan.


B.    Biografi Jonathan Brown
Jonathan A.C. Brown lahir pada tahun 1977 dari pasangan Jonathan C. Brown dan seorang antropolog, Ellen Clifton Patterson. Sebelum masuk Islam pada 1997, dia adalah penganut Kristen Anglikan. Brown menamatkan sarjana muda pada tahun 2000 di Universitas Georgtown, Washington D.C. dengan pridekat magna cum laude dalam sebuah penelitian tentang dunia Arab, khususnya tentang peran Universitas Amerika di Kairo sebagai perguruan tinggi bergengsi di Timur Tengah.Tingkat doktoral diselesaikannya pada tahun 2006 di Universitas Chicago dalam pemikiran Islam (islamic though).[4]
Sejak 2006 hingga 2010, Brown bekerja pada Departemen Bahasa dan Kebudayan Timur Dekat (department ofNear Eastern Languages and Civilization) Universtas Washington di Seatle, Amerika Serikat. Dan pada pertengahan 2010 dia menjabat sebagai asisten professor bidang Islamic Studies dan hubungan Islam-Kristen di Lembaga School of Foreig Servis Universitas Georgtown.
Dia banyak menulis tentang Hadis, hukum Islam, sufisme, teori leksikografi Arab, sastra Arab pra-Islam. Secara khusus dia juga mengkaji sejarah pemalsuan dan kritik sejarah yang berkembang dalam peradaban Islam, dan yang terakhir dia meneliti konflik modern yang melibatkan penganut sunni tradisional dan kelompok salafi dalam bidang pemikiran. Untuk kepentingan tersebut, dia melakukan penelitian di beberapa negara muslim seperti Mesir, Syiria, Turki, Maroko, Arab Saudi, Yaman, Indonesia, India dan Iran.
Karya-karyanya dalam bentuk buku:
1.         Muhammad: A Very Short Introduction (Oxford University Press, 2011)
2.         Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and modern World (Oneworld, Foundations of Islam series, 2009).
3.         The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon (Leiden: Brill, 2007).
Artikel:
1.         How We Know early Hadith Critics Did Matn Criticism and Why It's So Hard to Find,” Islamic Law and Society 15(2008): 143-84.
2.         New Data on the Delateralization of Dad and its Merger with Za’ in Classical Arabic: Contributions from Old South Arabian and the Earliest Islamic Texts on D / Z Minimal Pairs,” Journal of Semitic Studies 52, no.2 (2007): 335-368.
3.         The Last Days of al-Ghazzali and the Tripartite Division of Sufi World: Abu Hamid al-Ghazali's Letter to the Seljuq Vizier and Commentary.” The Muslim World 96, no. 1 (2006): 89-113.
4.         “Criticism of the Proto-Hadith Canon: al-Daraqutni's Adjustment of al-Bukhari and Muslim's Sahihs.” Oxford Journal of Islamic Studies 15/1 (2004): 1-37.
5.         Social Context of Pre-Islamic Poetry: Poetic Imagery and Social Reality in the Mu'allaqat.” Arab Studies Quarterly 25/3 (2003): 29-50.

Review Buku:

1.         “Review of The Encyclopedia of Canonical Hadith,”Journal of Islamic Studies 19, n. 3 (2008): 391-97.

Di sini, kita dapat melihat sosok muallaf, peneliti pemikiran Islam, pemerhati kawasan Timur Tengah, penulis historisitas pemalsuan dan kritik sejarah muslim yang masih cukup muda berbicara soal kanonisasi Hadis. Apakah maksud kanonisasi?Dan apa motifasinya menulis itu? Dan mengapa kanonisasi?

C.    Motivasi Penelitian dan Pendekatan
Saat memasuki usianya yang ke-30, Brown memilih masuk Islam setelah sekian lama memeluk kristen Anglikan. Setelah itu, karirnya terus meningkat hingga pada tahun 2000 dia berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana mudanya. Tentu pada usia yang relatif muda dan matang.
Enam tahun kemudian dia menyabet gelar doktor dari Universitas Chicago. Pasca itu, dia bekerja pada Lembaga Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat yang berada di bawah naungan Universitas Washington, tempatnya menyelesaikan sarjana muda. Hal ini tentu membuatnya semakin dekat dengan dunia Islam berikut tradisi keilmuannya. Lebih-lebih ketika dia berkenalan dengan pembimbing disertasinya yang disebutnya exellent teacer, Dr. Wadad Kadi. Dia banyak berkenalan dengan intelektual muslim Amerika yang dengan sabar dia sebutkan satu persatu dalam ucapan terimakasihnya seperti Tahera Qutbuddin, Heshmat Moayyad, Maysam al-Faruqi dan Haifa Khalafallah. Nama-nama muslim yang disebutnyamerupakan pihak-pihak yang menurutnya terlibat sebagai pengarah proyek penelitian kanonisasi ini.[5]Di sini, kemusliman dan kedekatannya dengan orang-orang muslim tidak dapat dikesampingkan dalam pembentukan pandangan-dunianya terhadap tradisi intelektual Islam. Terutama dalam studi Hadis. Dia sangat menghormatinya.
Penghormatannya kepada tradisi studi Hadis muslim menghantarkannya pada pertanyaan mengapa Sahihain (Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim) menjadi istimewa? Apakah sumbernya? Apakah keistimenwaan itu original, alami dan aplikatif dalam otoritas tradisi Hadis Sunni? Pertanyaan ini diajukannya dalam disertasi yang digarapnya. Dia tidak mempertanyakan tentang otentisitasHadis, satu problem yang bergelanyut dalam fikirankebanyakan sarjana Barat.Baginya, pertanyaan itu sudah berakhir pada abad 3 H./9 M. sebagaimana dinyatakan oleh para sarjana muslik klasik. Brown lebih tertarik untuk mengkaji tentang orisinalitas, perkembangan dan fungsi Sahihain sebagai kitab paling otentik setelah al-Quran dan suatu cermin yang dapat menggambarkan kebudayaan Islam secara keseluruhan. Dalam kata pengantarnya, dia banyak memberikan apresiasi dan simpati atas kejeniusan, kesungguhan dan dedikasi yang diberikan oleh kedua imam itu.
       “Finally, this book is not a criticism of al-Bukhari and Muslim or their collections. The genius, rigor and dedication of those two scholars stand beyond my reach and abilities..” (akhirnya, buku ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi al-Bukhari dan Muslim atau koleksi mereka. Kejeniusan, kesungguhan dan dedikasi mereka berdua di atas jangkauan dan kemampuan saya…).[6]
Bagaimana Brown menjawab pertanyaannya tentang keistimewaan Sahihain di mata kaum muslim merupakan wacana yang menarik. Untuk menjelaskan proses menjadi istimewa dia mengadopsi konsep kanonisasi. Perpaduan pendekatan sejarah, studi tekssuci agama (skriptual) dan kritik ideologi.
Secara kebahasaan kanon diambil dari kata qanaatau qaneh, sebuah kata dalam bahasa Ibrani yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Yunani yang berarti ukuran. Sedangkan kanonisasi atau canonizationsebagai istilah dalam studi agama-agamamenurut The Brill Dictionary of Religion:
“...The concept of canonization… describes the process in which a set of symbols, texts, actions, or artifacts is fixed as authoritative and normative.” (konsep kanonisasi…merupakan deskripsi tentang proses pembentukan simbol-simbol, teks, tindakan atau artefak sehingga menjadi sempurna-otoritatif-normatif).[7]

Petra Bahr menuliskanbahwa suatu aksi pengumpulan, pemesanan dan keinginan kuat untuk menulis suatu kitabyang memuat fakta-fakta keseharian tokoh yang diteladani dengan tujuan penanaman praktik-praktik, menciptakan sebentuk kesalehan dan konservasi pandangan moral. Seluruhnya bermuara padapenguatan tradisi suatu komunitas. Pengumpulan dan pencatatan ini merupakan kritalisasi suatu praktik yang telah berlangsung lama, dan umumnya berujung pada sakralisasi teks. Seluruh kitab suci agama di dunia pernah mengalami fenomena semacam ini. Umat Kriten mengkanonisasi Injil, Yahudi-Tanakh, Muslim-Quran, Budha-Tipitaka dan kaum Sikh dengan Age Granth.[8]
Kanonisasi merupakan respon terhadap krisis terhadap pola keberagamaan yang ideal.Umumnya, kitab kanon merepresentasikan politik identitas suatu komunitas. Hal ini muncul karena sebuah komunitas merasa telah kehilangan contoh yang tepat untuk mengekspresikan religiusitasnya. Kanonisasi selalu melibatkan kekuasaan (power) dan lembaga (institution). Dari sini dapat pahami bahwa fungsi fundamental kanonisasi ialahuntuk mengkonservasi suatu tradisi yang terancam hilang.[9]Kanonisasi merupakan proyek untuk menyelamatkan ‘tradisi’ sebagai identitas komunal. Ia berkelindan dengan kemunculan krisis keberagamaan.[10]
Jonathan Brown memandang Hadis mengalami proses yang sama dengan kitab suci agama-agama. Kanonisasi sebagai proses kristalisasi praktik keseharian Nabi dalam sebuah teks yang didorong oleh kepentingan sosio-politik-teologis serta kultural komunitas muslim sunni lengkap dengan agen kekuasaan dan lembaganya yang berakhir dengan ‘penghormatan’ -kalau tidak sakralisasi, merupakan proses sejarah yang dialami Sahihain.
Guna melengkapi narasi besarnya, Brown menggunakan telaah historis. Menurutnya, kanonisasi merupakan pendekatan yang cukup lama digunakan oleh para pemerhati perkembangan kitab suci sejak masa klasik hingga post-modern. Pada perkembangan terakhir, untuk mengoperasikan kanonisasi sebagai sebuah pendekatan diperlukan studi tentang teks, otoritas dan identitas untuk menemukan proses menjadi sekaligus fungsi sosialnya. Brown cukup berterima kasih pada J.Z. Smith, Halbental dan Kermode yang telah merintis jalan baginya untuk menerapkan studi itu dalam Hadis secara lebih utuh.[11]

D.    Proses Kanonisasi Sahihain ; Dari Pluralitas Menuju Kesatuan Paradigma
Sahihain merupakan teks yang dinilai istimewa yang tentu saja telah mengalami proses-proses sejarah tertentu. Sejak pertama kemunculannya, dia merupakan respon terhadap kemerosotan –perpecahan yang terjadi di lingkungan muslim. Lahirnya banyak aliran hukum, teologi, sufisme dan lainnya menghadapkan masyarakat pada kabur-hilangnya figur ideal yang dapat mempersatukan dan mengajarkan mereka moralitas yang patut diteladani. Kelompok fiqh terfragmentasi ke dalam aliran ra’yu (Hanafiah-Muktazilah) dan riwayah (Hanabilah-Zahiriah), atau campuran keduanya (Malikiah dan Syafi’iah). Kemunculan kelompok Hadis yang lebih belakangan dipercaya oleh sebagian kalangan bahwa kehadiran Hadis bersifat legislasif dan sekadar memenuhi kebutuhan argumentasi fiqh, terutama mazhab riwayah.[12] Brown merunut bahwa kelompok Hadis merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran fiqh Malikiah-Syafi’iah-Hanabilah.
Al-Bukhari sendiri merupakan murid langsung dari Ahmad bin Hanbal, begitu pula Muslim bin Hajjaj. Keberanian Ahmad bin Hanbal berhadapan dengan negara untuk membela keyakinannya membuatnya populer di mata masyarakat luas. Terlebih pada beberapa dekade berikutnya, setelah pemimpin yang tidak toleran tersebut tumbang dan digantikan oleh simpatisan Ahmad bin Hanbal, kelompok Hadis mendapatkan sambutan luas dari masyarakat. Sekalipun secara politik kaum Muktazilah sudah gagal dalam level negara, namun tidak demikian dengan kondisi mereka di masyarakat. Banyak ulama besar yang masih menganut keyakinan tersebut. Terutama para ahli fiqh hanafi yang tersebar luas di Kufah, Bashrah, Khurasan dan wilayah utara. Al-Bukhari dan Muslim merupakan generasi yang berhasil mencapai puncak prestasi kelompok Hadis.[13]Dengan demikian, keduanya merupakan wakil kelompok Hadis ketika mereka bekerja sebagai seorang intelektual dan merupakan inspirator besar bagi generasi setelahnya.
Namun, di sisi lain karya al-Bukhari dan Muslim justru seakan ingin melampaui kelompok-kelompok fiqh sebelumnya. Karya keduanya tidak dimaksudkan untuk mendukung salah satu mazhab fiqh. Bahkan terkesan al-Bukhari membangun pandangan fiqhnya sendiri, dan hanya beberapa kali mempunyai pandangan yang mirip dengan salah satu imam mazhab yang populer. Hal inilah yang mendorong para pengikut mazhab-mazhab terkenal di kemudian hari memperebutkan nama besar al-Bukhari.[14]
Saat al-Bukhari dan Muslim masih hidup, keduanya tidak terlalu populer pada komunitas lintas mazhab. Kepopuleran keduanya terjadi jauh setelah mereka meninggal. Terdapat tiga jalur perkembangan popularitas Sahihain; jaringan kelompok Hadis, pengikut syafiiah, dan diakhiri dengan penerimaan kalangan hanafi-muktazili. Fenomena ini terjadi dalam rentang waktu abad ketiga hingga keempat hijriah. Tahap selanjutnya ialah pengukuhan bahwa seluruh elemen umat Islam telah menerima Sahihain (talaqqi al-ummah bi al-qabul) melalui konsepsi usul fiqh tentang sunnah. Kelompok-kelompok ra’yu yang diwakili oleh fiqh hanafi dan kalam muktazili pada akhirnya menerima secara bulat hadis sahih-ahad sebagai argumentasi. Di antaranya al-Qadhi Abd al-Jabbar(w. 415 H.) dan Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H/1044 M.) generasi muktazilah abad kelima.[15] Inilah wajah baru yang ditawarkan Sahihain kepada praktik keberislaman para intelektual. Ia menjadi referensi bagi seluruh kelompok muslim yang artinya perspektif keislaman yang dibangun al-Bukhari-Muslim. Sahihain menjadi pemersatu bagi seluruh kelompok muslim.
Hal ini terjadi melalui proses-proses dialogis yang tidak lama. Jaringan kelompok Hadis yang terus mengembangkan teori-teori genial yang terdapat dalam Sahihain, di samping mengajarkan di daerah masing-masing membentuk jaringan yang sangat luas. Jaringan al-Bukhari dimulai dari Bukhara, Naisabur, Baghdad hingga Mekah. Selanjutnya, penganut Malikiah di Maghrib dan Andalus juga bergabung dalam jariangan ini. Al-Hakim al-Naisaburi adalah tokoh yang dianggap berhasil membongkar metodologi al-Bukhari dan Muslim, yang selanjutnya dia aplikasikan dalam al-Mustadrak melalui sistem syarth al-syaikhain dan ma’rifat ‘ulum al-hadits. Kritiknya terhadap kelompok bid’ah mematangkan serangan kepada kecenderungan para rasionalis. Di sini, teks Sahihain menginspirasi kemunculan teks-teks yang lain. Teks pertama memicu reproduksi teks selanjutnya.[16]
Pada abad kelima akhir hadir seorang intelektual organik memegang pucuk kekuasaan di bawah bendera Bani Saljuq, Nizam al-Mulk. Melalui kawan-kawannya seperti al-Juwaini dan al-Ghazali, dia lebih memapankan posisi kelompok Sunni, dan tentu saja Sahihain melalui lembaga-lembaga resminya seperti Universitas Nizamiah.[17]
Terlihat bagaimana proses yang begitu panjang untuk menjadi kanon, kitab rujukan pelbagai persoalan yang melibatkan keterciptaan teks, otoritarisasi terhadapnya dan pada akhirnya menjadi identitas kelompok (muslim secara keseluruhan). Inilah formasi kanonis Sahihain serta fungsinya dalam pengembangan keilmuan-kebudayaan Sunni.

E.     Simpulan
Para pembaca mungkin akan menilai tidak ada yang istimewa dari perspektif kanonik  yang dibawakan Brown. Dia seorang muallaf, intelektual dan simpatik sebagai seorang sarjana Barat yang mengkaji Islam. Namun penilain berbeda akan muncul bila pembaca adalah orang yang dididik dalam lingkungan bernalar normatif.
Perspektif historis tentu saja akan memperlihatkan bahwa perspektif kita ternyata tidak selalu selaras dengan kenyataan, seperti tentang sakralitas umpamanya. Pemikiran historis selalu melibatkan elemen kemanusiaan baik itu berbentuk kepentingan politik, sektarian, ekonomi maupun lainnya yang pada akhirnya akan bertentangan dengan ‘keagungan teks’ yang telah mengalami idealisasi sedemikian rupa dalam keyakinan kita. Idealitas teks dapat begitu saja tersungkur di hadapan nalar historis. Termasuk dalam perspektif kanonisasi-historis ala Brown ini. Premis-premis materialistik tidak akan bisa dihindari di sini.Termasuk asumsi-asumsi yang dipakai dalam membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.Ketika kita tidak siap melihat keburukan kita sendiri, apakah selayaknya kita menjauhi penggunaan perspektif ini dengan alasan keimanan?
Amin Abdullah secara lugas menawarkan bahwa nalar normatif dan nalar historis dapat dipadu-integrasikan.[18]Kita tetap dapat beriman sekalipun dengan cara yang berbeda saat kita melihatnya secara normatif. Berfikir historis membuat kita dapat bersikap secara berimbang dan berkesadaran.Seperti Brown, dia berfikir historis tapi dia tetap muslim yang apresiasif kepada keyakinan dan tradisinya. Dia mengapresiasi Sahihain sebagai kerja keras dan dedikasi yang tak terlampaui.
Di sisi lain, kanonisasi merupakan salah satu konsep yang awalnya memang dikembangkan dalam tradisi Bible dan Taurat sebelum selanjutnya mengalami generasisasi seperti hermeneutika. Hal ini tentu menambah jumlah kerangka studi judeo-kristiani dalam studi Islam. Fenomena inimemang tidak dapat dilepaskan dalam studiagama. Meminjam kerangka pandang suatu disiplin untuk meneropong wilayah disiplin lain. Brown yang hidup dalam tradisi keilmuan Barat tentu tidak merasa keberatan dengan pendekatan-pendekatan semacam itu.Dia justru beranjak kepada penilaian yang positif atas proyek kanonisasi. Di tengah sikap alergi sebagian kaum muslimin, lahirlah sikap dialogis antara berbagai pemeluk ajaran agama yang berbeda dan tentu saja hal ini merupakan relasi intereligius yang apik. Karena, sebagai sama-sama umat beragama, seperti kata Wilfred Cantwell Smith, kita selalu mencari teks dan cenderung mengkitab-sucikannya.



*Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta semester VII, (2012) sekaligus Mahasantri pada Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Jakarta.


REFERENSI
BUKU:

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Bahr, Petra, Bible, Government/Rule/Politics/State, Memory, Oral Tradition, Reception, Tradition,Writing dalam The Brill Dictionary of Religion (Leiden: Brill, 2006).
Brown,Jonathan, The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon, (Leiden: Brill, 2007).
Hasyim, Abdul Mujbir, al-Imam al-Bukhari Faqihan wa Muhadditsan, (Kairo: Meshr al-Arabiah, tt)
Smith, Wilfred Cantwell, What is Scripture? A Comparative Approach, diterjemahkan oleh Dede Iswadi dengan judul Kitab Suci Agama-Agama (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), cet. Ke-1.

WEBSITE:
Jonathan_A.C._Brown, http://en.wikipedia.org/wiki/Jonathan_A.C._Brown, diakses pada 05 Oktober 2012, jam 14.55.
Kanon_Alkitab, http://id.wikipedia.org/wiki/Kanon_Alkitab, pada 06/10 2012 jam 16.52 WIB.





[1] Makalah ini dipresentasikan pertama kali pada mata kuliah Kajian Barat Terhadap Quran Hadis yang diampu oleh Dr. Anwar Syarifuddin, MA., 16 September 2012.
[2] Wilfred Cantwell Smith, What is Scripture? A Comparative Approach, diterjemahkan oleh Dede Iswadi dengan judul Kitab Suci Agama-Agama (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), cet. Ke-1, h. xv
[3] Jonathan Brown, The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon, (Leiden: Brill, 2007), h. xxi
[4] Diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Jonathan_A.C._Brown, diakses pada 05 Oktober 2012, jam 14.55.
[5] Jonathan Brown, The Canonization..., h. xvii
[6] Jonathan Brown, The Canonization..., h. xxii
[7]Petra Bahr, Bible, Government/Rule/Politics/State, Memory, Oral Tradition, Reception, Tradition,Writing dalam The Brill Dictionary of Religion (Leiden: Brill, 2006), h. 250
[8] Petra Bahr, Bible, Government/Rule…, h. 253
[9] Petra Bahr, Bible, Government/Rule…, h. 253
[10] Dalam sejarah kitab suci, terminologi kanon populer dalam tradisi kristen. Kata 'kanon' yang merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibraniqāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa Yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti 'ukuran' bagi iman Kristen. Ketika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai 'ukuran' bagi Iman dan Hidup orang Kristen.
Kanonisasi Perjanjian Lama. Secara pasti tidak ada kriteria untuk kanonisitas Perjanjian Lama, meskipun terdapat konsensus di kalangan para ahli yang menyebutkan ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai dasar kanonisitas Perjanjian lama, yaitu: (1) Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat, (2) Kanonisitas, (3) dikaitkan dengan perjanjian (covenant), (4) Kananositas Perjanjian Lama diteguhkan melalui rujukan-rujukan Perjanjian Baru terhadapnya, (5) Kanonisitas Perjajian Lama diteguhkan oleh pemakaiannya dalam ibadah yang dilakukan oleh imat Israel. Kanonisasi Perjanjian Baru. Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200.Pada saat itu mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi. Misalnya pada tahun 190 di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon Muratori. Kanon Muratori merupakan kanon tertua yang disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari abad VIII. Nama Muratori merupakan nama seorang pustakawan Milano,L.A. Moratori yang menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740. Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah karangan yang dianggap "palsu". Pada tahun 254, Origenes dari Alexandria juga menyusun sebuah daftar kitab. Tahun 303 Eusebius dari Kaisarea juga membuat daftar kitab. Tahun 367, Batrik Aleksandria Atanasius menyusun Alkitab Perjanjian Baru dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu kemudian diterima oleh umat di bagian Timur. Sedangkan di bagian barat, umat menerima daftar yang disusun oleh Atanasius. Paus Inosentius I mengirim daftar itu ke Perancis pada tahun 419. Daftar ke 27 kitab itu kembali diperteguh dalam konsili Florence (1441), konsili Trente (1546) dan Konsili Vatikan I (1870).
Kanonisitas Perjanjian Baru. Seperti yang telah disebutkan, penentuan mengenai kitab-kitab mana yang layak dan bisa dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru memakan waktu yang sangat lama, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi dasar kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu: (1) Dekat dengan tradisi kerasulan, (2) Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas), (3) Bergantung pada ortodoksi. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kanon_Alkitab, pada 06/10 2012 jam 16.52 WIB.
[11] Jonathan Brown, The Canonization..., h. 46
[12] Tesis Joshep Schact menyatakan Hadis baru muncul pada abad kedua hijriah untuk kepentingan legislasi hukum. Sedikit terbeda dengan Rifqi Muhammad Fathi yang menurutnya sekalipun dia tidak menyatakan demikian, namun unsur-unsur fiqh yang begitu dominan dan populer dalam kitab-kitab Hadis sudah cukup membuktikan kepentingan fiqh di atas kepentingan Hadis itu sendiri. 
[13] Jonathan Brown, The Canonization..., h. 47-65
[14] Jonathan Brown, The Canonization..., h. 71, bandingkan dengan Absul Mujbir Hasyim, al-Imam al-Bukhari Faqihan wa Muhadditsan, (Kairo: Meshr al-Arabiah, tt), h. 167-173
[15] Jonathan Brown, The Canonization..., h. 184-187
[16]Jonathan Brown, The Canonization..., h.  155-181
[17] Jonathan Brown, The Canonization..., h.  3-4 dan 181
[18] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Komentar

  1. Aslm.
    mas, apa masalah lain yang bisa saya kembangkan utk penulisan berikutnya

    BalasHapus
  2. waskum.. mohon maaf baru tahu jika ada pesan masuk. terkait dgn pertanyaan, saya yakin kajian kanonisasi hadis masih cukup terbuka dikembangkan di Indonesia.

    kanonisasi hadis sendiri bagian dari studi multidisiplin yang menggabungkan studi keagamaan dan sosial. teks dan konteks. secara lebih luas, teks dan masyarakatnya. mas bisa kembangkan lebih jauh tentang studi-studi tentang topik teks dan masyarakat ini. para sarjana di Indonesia misalnya sdh mengembangkan hadis dan fenomenologi spt dicerminkan dalam diskursus living hadis. atau hadis dan sosioligi sebagaimana sedang saya dan teman-teman tekuni dalam tiga tahun belakangan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api