Mencairkan Hadis Nabi Mencari Ideal-Moral (Esai Tentang Pemikiran Hadis Fazlur Rahman)
M. Khoirul Huda
Saya akan sedikit curhat mengenai bacaan saya pada bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History. Buku ini telah diindonesiakan dengan judul Membuka Pintu Ijtihad, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung. Buku ini mencoba menelaah metode berfikir Islam (islamic methodology) dari perspektif sejarah (history). Tujuannya, seperti dapat dilihat dalam judul edisi Indonesianya, membuka pintu ijtihad yang diyakini sementara umat Islam telah ditutup rapat
Prolog
Pemikiran Rahman meliputi bidang yang cukup luas.
Mulai dari Alquran berikut metode penafsirannya, hadis dan perkembangannya, teologi,
pendidikan hingga moral Islam. Banyak ide-idenya yang tidak bisa diterima kaum
tradisionalis di negaranya. Hal ini bahkan berhasil memaksanya keluar dari
Pakistan, negaranya, untuk selanjutnya mengabdikan diri di beberapa lembaga
pendidikan tinggi bergengsi Amerika. Di tempat barunya inilah dia melanjutkan
pemikiran-pemikirannya.
Saya akan sedikit curhat mengenai bacaan saya pada
bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History. Buku ini telah
diindonesiakan dengan judul Membuka Pintu Ijtihad, diterbitkan oleh
Penerbit Pustaka, Bandung. Buku ini mencoba menelaah metode berfikir Islam (islamic
methodology) dari perspektif sejarah (history). Tujuannya, seperti
dapat dilihat dalam judul edisi Indonesianya, membuka pintu ijtihad yang
diyakini sementara umat Islam telah ditutup rapat.
Dia menjelaskan bahwa generasi pertama hingga genrasi
yang hidup pada era pembentukan aliran-aliran hukum Islam adalah orang-orang
yang menggunakan akal fikirannya secara maksimal dan bertanggung jawab melalui
mekanisme ijtihad untuk memahami sumber pertama ajaran Islam; Alquran.
Bahkan, pada suatu bagian buku itu dikatakan, penggunaan Alquran seringkali
lebih belakangan, setelah sebelumnya mereka berpendapat terlebih dahulu.
Mekanisme ijtihad ini kemudian melahirkan beberapa
produk hukum, yang pada tahap selanjutnya menjadi semakin baku dan kaku.
Produk-produk hukum itu meliputi sunnah nabi, sunnah sahabat, fatwa tabi’in,
institusi ijma’, dan terakhir adalah hadis. Di sini dibedakan antara sunnah
nabi dan hadis. Sunnah dalam pengertian etimologinya menekankan pada aspek
perilaku (behavior), baik perilaku individu maupun kolektif, yang memiliki
semacam nilai otoritas (normatif), sehingga menjadikannya layak diikuti. Dalam
masyarakat Islam generasi awal, ditemukan banyak sunnah-sunnah yang menjadi
pedoman mereka dalam mengatur kehidupan sosial-hukum mereka. Mulai dari sunnah
jahiliyah, sunnah nabi, sunnah sahabat, sunnah para khalifah, sunnah para
jenderal militer dan lain sebagainya. Dalam memutuskan persoalan, menilai legalitas
suatu tindakan, mereka seringkali merujuk kepada sunnah-sunnah itu.
Rahman dan Projecting Back
Perujukan kepada sunnah-sunnah semacam inilah yang
pada akhirnya memunculkan perdebatan hukum, karena perbedaan dalam menerima
keabasahan suatu sunnah di atas sunnah lainnya. Joshep Schacht melanjutkan
bahwa karenanya hukum Islam pada dasarnya tidak orisinal. Ia tidak mempunyai
asal-usul yang otentik dari Nabi Muhammad. Karena pada faktanya, ia hanyalah
sekumpulan keputusan yang diambil dari sumber-sumber lokal dan rasional yang
dipadukan dengan kepentingan administrasi. Menyikapi penggunaan Sunnah Nabi,
Schacht justru menyatakan ketidak-otentikan Sunnah Nabi itu sendiri.
Berikutnya, hadis yang dinilai sebagai salah satu penyambung antara tradisi
hukum abad kedua dan ketiga hijriah dengan tradisi hukum Nabi, juga tidak otentik. Lebih jauh, dia
menganggap bahwa sekalipun para ulama menggunakan sanad, sanad itu tidak dapat
dipercaya. Sanad merupakan buatan ulama abad kedua dan ketiga hijriah yang
muncul melalui tradisi perujukan kepada sumber-sumber atau sunnah-sunnah yang
lebih tua. Semakin kebelakang sebuah sunnah, maka ia semakin kuat dalam
perdebatan-perdebatan hukum. Proses penyandaran kepada otoritas yang lebih tua
ini berujung kepada Nabi. Inilah apa yang populer dengan sebutan teori projecting
back.
Rahman menerima penjelasan Schacht, sekalipun dia
menolak bila dikatakan para ulama telah melakukan pemalsuan hadis. Dia lebih
setuju menyebutnya formulasi atau perumusan. Perumusan atas apa? Inilah bedanya
Rahman dengan Schacht, yang seringkali dicibir sebagai intelektual yang
terpengaruh orientalis. Hal ini berangkat dari keyakinannya bahwa sunnah-sunnah
yang memiliki otoritas pada era kemunculan mazhab-mazhab yang mapan tidak lain
merupakan penafsiran para ulama terhadap sunnah Nabi. Sunnah Nabi sendiri,
menurutnya, pada awalnya tidak sekaku seperti ketika telah mengalami proses
verbalisasi pada dua abad berikutnya dalam bentuk hadis. Sunnah Nabi ditafsirkan dalam konteks pemikiran hukum, teologi dan doktrin politik. Penafsiran ini pada
akhirnya melahirkan perbedaan-perbedaan yang tajam antar mazhab-mazhab. Setiap
kota besar memiliki tradisinya sendiri.
Sunnah Nabi Mengkristal Menjadi Hadis
Penafsiran yang dinamis itu mengerucut pada munculnya
ide lalu institusi ijma yang bersifat geografis (diambil contoh ijma ahli
madinah). Di sisi lain, terjadi kristalisasi sunnah-sunnah dalam bentuk
aphorisma-aphorisma, sebagian menjadi semacam diktum hukum. Kristalisasi ini
atau verbalisasi ini menghasilkan apa yang kemudian disebut hadis. Hadis adalah
verbalisasi atas sunnah-sunnah yang merupakan penafsiran atas sunnah nabi. Pada
stase penafsiran dalam sunnah-sunnah, sunnah nabi memiliki bentuk yang sangat
cair. Bentuk ini berakhir ketika sunnah-sunnah itu terverbalisasi dalam bentuk
hadis.
Alur pemikiran Rahman ini dapat digambarkan seperti
berikut;
Sunnah-sunnah merupakan tafsiran atas sunnah Nabi yang
berbentuk sangat cair. Sedangkan hadis merupakan bentuk mutakhir hasil
verbalisasi. Fungsinya bukan saja untuk menuliskan sejarah, tetapi justru untuk
menyelesaikan perbedaan pendapat yang cenderung memecah belah kaum Muslimin.
Jadi, hadis merupakan solusi politis reduksionis yang disusun para ulama untuk
menyelamatkan kesatuan Ummat.
Bila kita gambarkan, hadis memiliki posisi yang
sejajar dengan penafsiran terhadap sunnah Nabi lainnya seperti sunnah sahabat,
ijma, keputusan para khalifah, keputusan para amir (panglima perang), dan fatwa
ulama generasi yang lebih tua yang menjadi panutan.
Kedua entitas (sunnah nabi dan penafsirannya) itu
seluruhnya dijembatani oleh proses yang disebut ijtihad. Jadi, sekalipun hadis
muncul belakangan, namun pada dasarnya ia telah ada dalam bentuk tradisi yang
hidup dalam keputusan hukum, politik, fatwa generasi sebelumnya.
Mencairkan Kembali Hadis
Seperti disinggung sebelumnya, Rahman berpandangan
hadis merupakan sebentuk kritalisasi sunnah-sunnah yang merupakan tafsiran atas
sunnah nabi. Karenanya, seringkali hadis bersifat sangat teknis. Proses kritalisasi
ini tidak dapat disebut pemalsuan oleh para ulama abad kedua dan ketiga hijriah
seperti yang dituduhkan para orientalis. Karena, sebenarnya ia telah ada dan
hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim sebagai tradisi yang hidup (living
sunnah). Sama seperti saya yang melihat kawan saya yang berwajah rupawan
kemudian saya sebut dia ganteng. Sekalipun kata ganteng tidak digunakan
sebelumnya tapi saya tidak dapat disebut bohong atau memalsukan. Di sini saya
berposisi mengungkapkan, merumuskan, dan memformulasikan sebuah konsep yang
memang saya temukan.
Formulasi gagasan dalam bentuk hadis ini bukan tanpa
konsekuensi. Dua dampak utamanya cukup berbahaya bagi kelangsungan pemikiran
Islam. Pertama, berkat usaha keras dan sistematis al-Syafi’I hadis verbal
mengesampingkan sunnah-sunnah yang hidup. Padahal, bila sunnah-sunnah itu masih
bertahan ia akan berhasil menciptakan ijmak-ijmak melalui proses yang
demokratis.
Kedua, ijtihad dibatasi pada pemaknaan teks-teks
verbalistik. Konsekuensi ini memberangus model-model ijtihad
kreatif-bertanggung jawab yang didasarkan pada penggunaan akal rasional secara
bebas.
Jadi, menurut Rahman, hadis menjadi simbol kemandekan
pemikiran Islam. Untuk itu, hadis perlu dicairkan kembali. Bukan dengan cara
mengambil mentah-mentah pengertian harfiahnya. Pencairan di sini berarti
menemukan kembali pengertian esensil yang dinilai menjadi nilai universal
sunnah Nabi. Kemudian nilai itu akan dikontekstualkan dengan kondisi mutakhir
kita yang hidup saat ini untuk menjawab problem sosial-politik kita. Inilah
bentuk membuka pintu ijtihad yang dimaksud Rahman. Yaitu memahami hadis-hadis
bukan dalam pengertian harfiahnya dan secara parsial, tapi juga mengikut
sertakan seluruh teks dan kondisi sosial-politik
secara paripurna sehingga ditemukan sunnah nabi yang hidup yang memiliki
nilai-nilai universal. Dapat disederhanakan bahwa pencairan hadis adalah sebuah
upaya hermeneutis untuk menemukan nilai-nilai universal yang dapat
dikontekstualisasikan untuk menjawab problem kekinian kita.
Metode Penafsiran Sosiologis-Historis, Upaya
Mencairkan Teks Beku
Rahman mengajukan usulan agar kita menjauhi pemahaman
tekstual yang selalu menerima pengertian-pengertian harfiyah suatu teks
keagamaan. Dia tidak menolak hadis, karena bagaimana pun juga, ia tetap
memiliki kegunaan untuk menuntun kita kepada sunnah nabi di satu sisi, dan
prinsip dan ideal dari sunnah nabi tersebut.
Untuk itu, Rahman mengajukan penelaahan yang dipadukan
dengan semangat kritisisme historis dan historis sosiologis, serta menafsirkan
secara bebas dengan mementingkan ideal dan prinsip-prinsip dan memberikan
tekstur yang baru kepada ideal dan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan
sejarah kontemporer. Cara kerja penafsiran hadis Rahman bisa digambarkan
sebagaimana berikut.
Pertama, hadis tetap diperlukan untuk menangkap
petunjuk Tuhan tapi tidak dengan mengikuti pengertian-pengertian tekstualnya. Kedua,
hadis hanya sabagai difungsikan untuk menemukan sunnah nabi. Ketiga, untuk
selanjutnya dilihat apakah nilai prinsipil universal yang terkandung di
dalamnya yang bisa digunakan untuk menjawab problem kontemporer. Nilai ideal
prinsipil universal itu diperoleh melalui pembacaan historis kritis dan
sosiologis dengan kebebasan penuh.
Rahman mencontohkan beberapa praktik Umar, yang seringkali
dinilai berseberangan dengan pengertian-pengertian tekstual hadis nabi maupun
ayat Alquran. Misalnya dalam kasus pembagian tanah musuh yang telah dikalahkan
pasukan Muslimin. Umar memerintahkan agar tanah-tanah itu tidak dibagikan.
Kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan nabi. Ketika
kebijakannya itu mendapatkan protes dari para sahabat lainnya, Umar berdalih
bahwa bila tanah-tanah itu diberikan kepada para pejuang, niscaya mereka akan
berhenti berjuang. Dan beberapa waktu kemudian terlihat bahwa kebijakan Umar
itu lebih didasarkan kepada pertimbangan keadilan sosial-ekonomi.
Umar meninggalkan pengertian tekstual hadis nabi, dan
beralih kepada kebijakan yang didasarkan kepada nilai keadilan. Nilai keadilan
inilah yang sebenarnya menjadi nilai prinsipil universal ideal dari sunnah
nabi. Bukan pengertian tekstualnya hadis nabi. Untuk konteks kita sekarang,
nilai ideal dan prinsipil ini dapat digunakan misalnya dalam masalah waris,
peran perempuan, dan lainnya.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diambil
kesimpulan sementara bahwa Rahman berusaha memahami makna prinsipil hadis-hadis
nabi, kembali menjadikannya hidup di tengah-tengah masyarakat kontemporer,
sekalipun bukan dalam pengertian tekstualnya. Penafsiran yang diberikan oleh
orang sekarang terhadap hadis-hadis nabi, merupakan bagian dari menghidupkan
sunnah. Dengan demikian, hadis dapat hidup dalam masyarakat kontemporer dengan
suasana yang lebih cair dan tidak kaku. Inilah yang pada beberapa waktu belakangan
memancing timbulnya diskursus living hadis. Penerimaan Rahman terhadap teori projecting
back Joshep Schacht bukan untuk mendukung tuduhan pemalsuan hadis terhadap
para ulama. Tapi untuk mengukuhkan sunnah itu sendiri. Sekalipun Rahman
mengatakan bahwa hadis merupakan fenomena bealangan dan redaksinya merupakan
kristalisasi/perumusan terhadap tradisi yang berkembangan sebelumnya, namun
karena keyakinannya bahwa tradisi itu diteladani dari nabi, otomatis hadis pun
memiliki hubungan historis dengan nabi itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar