Mencairkan Hadis Nabi Mencari Ideal-Moral (Esai Tentang Pemikiran Hadis Fazlur Rahman)

M. Khoirul Huda


Saya akan sedikit curhat mengenai bacaan saya pada bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History. Buku ini telah diindonesiakan dengan judul Membuka Pintu Ijtihad, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung. Buku ini mencoba menelaah metode berfikir Islam (islamic methodology) dari perspektif sejarah (history). Tujuannya, seperti dapat dilihat dalam judul edisi Indonesianya, membuka pintu ijtihad yang diyakini sementara umat Islam telah ditutup rapat


Prolog 
Fazlur Rahman menempati posisi strategis dalam kajian Islam, baik di Barat maupun di Timur. Murid-murid dan orang-orang yang terinspirasi ide-idenya tersebar di kedua wilayah dunia tersebut. Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti Nurcholis Madjid, Syafi’i Ma’arif dan Mulyadhi Kartanegara dapat disebut sebagai salah satu dari sekian banyak anak didik Rahman. Di Barat, pemikiran Rahman menginspirasi Jonathan Brown dalam menyusun disertasinya Canonization of Bukhari-Muslim dan Daniel W. Brown dalam Rethingking Tradition of Modern Islamic Thought

Pemikiran Rahman meliputi bidang yang cukup luas. Mulai dari Alquran berikut metode penafsirannya, hadis dan perkembangannya, teologi, pendidikan hingga moral Islam. Banyak ide-idenya yang tidak bisa diterima kaum tradisionalis di negaranya. Hal ini bahkan berhasil memaksanya keluar dari Pakistan, negaranya, untuk selanjutnya mengabdikan diri di beberapa lembaga pendidikan tinggi bergengsi Amerika. Di tempat barunya inilah dia melanjutkan pemikiran-pemikirannya.

Saya akan sedikit curhat mengenai bacaan saya pada bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History. Buku ini telah diindonesiakan dengan judul Membuka Pintu Ijtihad, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka, Bandung. Buku ini mencoba menelaah metode berfikir Islam (islamic methodology) dari perspektif sejarah (history). Tujuannya, seperti dapat dilihat dalam judul edisi Indonesianya, membuka pintu ijtihad yang diyakini sementara umat Islam telah ditutup rapat. 
Dia menjelaskan bahwa generasi pertama hingga genrasi yang hidup pada era pembentukan aliran-aliran hukum Islam adalah orang-orang yang menggunakan akal fikirannya secara maksimal dan bertanggung jawab melalui mekanisme ijtihad untuk memahami sumber pertama ajaran Islam; Alquran. Bahkan, pada suatu bagian buku itu dikatakan, penggunaan Alquran seringkali lebih belakangan, setelah sebelumnya mereka berpendapat terlebih dahulu. 
Mekanisme ijtihad ini kemudian melahirkan beberapa produk hukum, yang pada tahap selanjutnya menjadi semakin baku dan kaku. Produk-produk hukum itu meliputi sunnah nabi, sunnah sahabat, fatwa tabi’in, institusi ijma’, dan terakhir adalah hadis. Di sini dibedakan antara sunnah nabi dan hadis. Sunnah dalam pengertian etimologinya menekankan pada aspek perilaku (behavior), baik perilaku individu maupun kolektif, yang memiliki semacam nilai otoritas (normatif), sehingga menjadikannya layak diikuti. Dalam masyarakat Islam generasi awal, ditemukan banyak sunnah-sunnah yang menjadi pedoman mereka dalam mengatur kehidupan sosial-hukum mereka. Mulai dari sunnah jahiliyah, sunnah nabi, sunnah sahabat, sunnah para khalifah, sunnah para jenderal militer dan lain sebagainya. Dalam memutuskan persoalan, menilai legalitas suatu tindakan, mereka seringkali merujuk kepada sunnah-sunnah itu.

Rahman dan Projecting Back
Perujukan kepada sunnah-sunnah semacam inilah yang pada akhirnya memunculkan perdebatan hukum, karena perbedaan dalam menerima keabasahan suatu sunnah di atas sunnah lainnya. Joshep Schacht melanjutkan bahwa karenanya hukum Islam pada dasarnya tidak orisinal. Ia tidak mempunyai asal-usul yang otentik dari Nabi Muhammad. Karena pada faktanya, ia hanyalah sekumpulan keputusan yang diambil dari sumber-sumber lokal dan rasional yang dipadukan dengan kepentingan administrasi. Menyikapi penggunaan Sunnah Nabi, Schacht justru menyatakan ketidak-otentikan Sunnah Nabi itu sendiri. Berikutnya, hadis yang dinilai sebagai salah satu penyambung antara tradisi hukum abad kedua dan ketiga hijriah dengan tradisi hukum  Nabi, juga tidak otentik. Lebih jauh, dia menganggap bahwa sekalipun para ulama menggunakan sanad, sanad itu tidak dapat dipercaya. Sanad merupakan buatan ulama abad kedua dan ketiga hijriah yang muncul melalui tradisi perujukan kepada sumber-sumber atau sunnah-sunnah yang lebih tua. Semakin kebelakang sebuah sunnah, maka ia semakin kuat dalam perdebatan-perdebatan hukum. Proses penyandaran kepada otoritas yang lebih tua ini berujung kepada Nabi. Inilah apa yang populer dengan sebutan teori projecting back.

Rahman menerima penjelasan Schacht, sekalipun dia menolak bila dikatakan para ulama telah melakukan pemalsuan hadis. Dia lebih setuju menyebutnya formulasi atau perumusan. Perumusan atas apa? Inilah bedanya Rahman dengan Schacht, yang seringkali dicibir sebagai intelektual yang terpengaruh orientalis. Hal ini berangkat dari keyakinannya bahwa sunnah-sunnah yang memiliki otoritas pada era kemunculan mazhab-mazhab yang mapan tidak lain merupakan penafsiran para ulama terhadap sunnah Nabi. Sunnah Nabi sendiri, menurutnya, pada awalnya tidak sekaku seperti ketika telah mengalami proses verbalisasi pada dua abad berikutnya dalam bentuk hadis. Sunnah Nabi  ditafsirkan dalam konteks pemikiran hukum, teologi  dan doktrin politik. Penafsiran ini pada akhirnya melahirkan perbedaan-perbedaan yang tajam antar mazhab-mazhab. Setiap kota besar memiliki tradisinya sendiri.

Sunnah Nabi Mengkristal Menjadi Hadis
Penafsiran yang dinamis itu mengerucut pada munculnya ide lalu institusi ijma yang bersifat geografis (diambil contoh ijma ahli madinah). Di sisi lain, terjadi kristalisasi sunnah-sunnah dalam bentuk aphorisma-aphorisma, sebagian menjadi semacam diktum hukum. Kristalisasi ini atau verbalisasi ini menghasilkan apa yang kemudian disebut hadis. Hadis adalah verbalisasi atas sunnah-sunnah yang merupakan penafsiran atas sunnah nabi. Pada stase penafsiran dalam sunnah-sunnah, sunnah nabi memiliki bentuk yang sangat cair. Bentuk ini berakhir ketika sunnah-sunnah itu terverbalisasi dalam bentuk hadis.

Alur pemikiran Rahman ini dapat digambarkan seperti berikut;


Sunnah-sunnah merupakan tafsiran atas sunnah Nabi yang berbentuk sangat cair. Sedangkan hadis merupakan bentuk mutakhir hasil verbalisasi. Fungsinya bukan saja untuk menuliskan sejarah, tetapi justru untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang cenderung memecah belah kaum Muslimin. Jadi, hadis merupakan solusi politis reduksionis yang disusun para ulama untuk menyelamatkan kesatuan Ummat.

Bila kita gambarkan, hadis memiliki posisi yang sejajar dengan penafsiran terhadap sunnah Nabi lainnya seperti sunnah sahabat, ijma, keputusan para khalifah, keputusan para amir (panglima perang), dan fatwa ulama generasi yang lebih tua yang menjadi panutan.

Kedua entitas (sunnah nabi dan penafsirannya) itu seluruhnya dijembatani oleh proses yang disebut ijtihad. Jadi, sekalipun hadis muncul belakangan, namun pada dasarnya ia telah ada dalam bentuk tradisi yang hidup dalam keputusan hukum, politik, fatwa generasi sebelumnya.

Mencairkan Kembali Hadis
Seperti disinggung sebelumnya, Rahman berpandangan hadis merupakan sebentuk kritalisasi sunnah-sunnah yang merupakan tafsiran atas sunnah nabi. Karenanya, seringkali hadis bersifat sangat teknis. Proses kritalisasi ini tidak dapat disebut pemalsuan oleh para ulama abad kedua dan ketiga hijriah seperti yang dituduhkan para orientalis. Karena, sebenarnya ia telah ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim sebagai tradisi yang hidup (living sunnah). Sama seperti saya yang melihat kawan saya yang berwajah rupawan kemudian saya sebut dia ganteng. Sekalipun kata ganteng tidak digunakan sebelumnya tapi saya tidak dapat disebut bohong atau memalsukan. Di sini saya berposisi mengungkapkan, merumuskan, dan memformulasikan sebuah konsep yang memang saya temukan.

Formulasi gagasan dalam bentuk hadis ini bukan tanpa konsekuensi. Dua dampak utamanya cukup berbahaya bagi kelangsungan pemikiran Islam. Pertama, berkat usaha keras dan sistematis al-Syafi’I hadis verbal mengesampingkan sunnah-sunnah yang hidup. Padahal, bila sunnah-sunnah itu masih bertahan ia akan berhasil menciptakan ijmak-ijmak melalui proses yang demokratis.

Kedua, ijtihad dibatasi pada pemaknaan teks-teks verbalistik. Konsekuensi ini memberangus model-model ijtihad kreatif-bertanggung jawab yang didasarkan pada penggunaan akal rasional secara bebas.

Jadi, menurut Rahman, hadis menjadi simbol kemandekan pemikiran Islam. Untuk itu, hadis perlu dicairkan kembali. Bukan dengan cara mengambil mentah-mentah pengertian harfiahnya. Pencairan di sini berarti menemukan kembali pengertian esensil yang dinilai menjadi nilai universal sunnah Nabi. Kemudian nilai itu akan dikontekstualkan dengan kondisi mutakhir kita yang hidup saat ini untuk menjawab problem sosial-politik kita. Inilah bentuk membuka pintu ijtihad yang dimaksud Rahman. Yaitu memahami hadis-hadis bukan dalam pengertian harfiahnya dan secara parsial, tapi juga mengikut sertakan seluruh  teks dan kondisi sosial-politik secara paripurna sehingga ditemukan sunnah nabi yang hidup yang memiliki nilai-nilai universal. Dapat disederhanakan bahwa pencairan hadis adalah sebuah upaya hermeneutis untuk menemukan nilai-nilai universal yang dapat dikontekstualisasikan untuk menjawab problem kekinian kita.

Metode Penafsiran Sosiologis-Historis, Upaya Mencairkan Teks Beku
Rahman mengajukan usulan agar kita menjauhi pemahaman tekstual yang selalu menerima pengertian-pengertian harfiyah suatu teks keagamaan. Dia tidak menolak hadis, karena bagaimana pun juga, ia tetap memiliki kegunaan untuk menuntun kita kepada sunnah nabi di satu sisi, dan prinsip dan ideal dari sunnah nabi tersebut.

Untuk itu, Rahman mengajukan penelaahan yang dipadukan dengan semangat kritisisme historis dan historis sosiologis, serta menafsirkan secara bebas dengan mementingkan ideal dan prinsip-prinsip dan memberikan tekstur yang baru kepada ideal dan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan sejarah kontemporer. Cara kerja penafsiran hadis Rahman bisa digambarkan sebagaimana berikut.
Pertama, hadis tetap diperlukan untuk menangkap petunjuk Tuhan tapi tidak dengan mengikuti pengertian-pengertian tekstualnya. Kedua, hadis hanya sabagai difungsikan untuk menemukan sunnah nabi. Ketiga, untuk selanjutnya dilihat apakah nilai prinsipil universal yang terkandung di dalamnya yang bisa digunakan untuk menjawab problem kontemporer. Nilai ideal prinsipil universal itu diperoleh melalui pembacaan historis kritis dan sosiologis dengan kebebasan penuh.

Rahman mencontohkan beberapa praktik Umar, yang seringkali dinilai berseberangan dengan pengertian-pengertian tekstual hadis nabi maupun ayat Alquran. Misalnya dalam kasus pembagian tanah musuh yang telah dikalahkan pasukan Muslimin. Umar memerintahkan agar tanah-tanah itu tidak dibagikan. Kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan nabi. Ketika kebijakannya itu mendapatkan protes dari para sahabat lainnya, Umar berdalih bahwa bila tanah-tanah itu diberikan kepada para pejuang, niscaya mereka akan berhenti berjuang. Dan beberapa waktu kemudian terlihat bahwa kebijakan Umar itu lebih didasarkan kepada pertimbangan keadilan sosial-ekonomi.

Umar meninggalkan pengertian tekstual hadis nabi, dan beralih kepada kebijakan yang didasarkan kepada nilai keadilan. Nilai keadilan inilah yang sebenarnya menjadi nilai prinsipil universal ideal dari sunnah nabi. Bukan pengertian tekstualnya hadis nabi. Untuk konteks kita sekarang, nilai ideal dan prinsipil ini dapat digunakan misalnya dalam masalah waris, peran perempuan, dan lainnya. 

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diambil kesimpulan sementara bahwa Rahman berusaha memahami makna prinsipil hadis-hadis nabi, kembali menjadikannya hidup di tengah-tengah masyarakat kontemporer, sekalipun bukan dalam pengertian tekstualnya. Penafsiran yang diberikan oleh orang sekarang terhadap hadis-hadis nabi, merupakan bagian dari menghidupkan sunnah. Dengan demikian, hadis dapat hidup dalam masyarakat kontemporer dengan suasana yang lebih cair dan tidak kaku. Inilah yang pada beberapa waktu belakangan memancing timbulnya diskursus living hadis. Penerimaan Rahman terhadap teori projecting back Joshep Schacht bukan untuk mendukung tuduhan pemalsuan hadis terhadap para ulama. Tapi untuk mengukuhkan sunnah itu sendiri. Sekalipun Rahman mengatakan bahwa hadis merupakan fenomena bealangan dan redaksinya merupakan kristalisasi/perumusan terhadap tradisi yang berkembangan sebelumnya, namun karena keyakinannya bahwa tradisi itu diteladani dari nabi, otomatis hadis pun memiliki hubungan historis dengan nabi itu sendiri.
  
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api