Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Kekafiran Para Pembangkang Zakat
M. Khoirul Huda
Dalam sejarah Islam,
pemikiran ekstrem dimulai dengan tumbuhnya paham yang meyakini kekafiran orang
yang dianggap tidak melaksanakan syariat. Tidak melaksanakan syariat berarti
seseorang telah keluar dari agama Islam. Paham ini, pertama kali dikembangkan kelompok
Khawarij.
Benar bahwa kelompok
Khawarij telah musnah ditelan zaman, kecuali beberapa faksinya yang masih
bertahan di sebagian negara Arab. Tetapi yang disebut belakangan telah
mengalami moderasi sedemikian rupa sehingga dapat hidup berdampingan dengan
kelompok Muslim lain. Namun, dalam sejarah Islam, pemikiran ekstrem tidak
pernah benar-benar hilang. Pemikiran yang berorientasi mengkafirkan karena
persoalan penerapan syariat selalu punya tempat di bagian kecil umat Islam.
Mayoritas kaum Khawarij tidak
dapat bertahan menjelang abad kelima hijriah, tetapi beberapa tokoh yang
berafiliasi dengan Ahlus Sunnah justru terjebak dalam pemikiran takfiri model
Khawarij. Di antara tokoh yang dikenal "menghidupkan" ajaran takfiri ini adalah
Ibnu Taimiah (w. 728 H.). Hal ini misalnya dapat dilihat dalam fatwanya tentang
penguasa Mongol yang memberlakukan kitab undang-undang Ilyasiq. Mereka adalah
Muslim, namun dinilai tidak menerapkan hukum Tuhan. Sekalipun mereka shalat,
puasa dan mengenakan nama Muslim, tetapi mereka dinilai telah keluar dari Islam
(baca: murtad).
Salah satu argumen yang
digunakan Ibnu Taimiyah adalah cerita tentang perang melawan para pembangkang
zakat (mani’ al-zakat). Menurut Ibnu Taimiyah, para pembangkan zakat
tersebut telah keluar dari Islam (kanu murtaddin). Ibnu
Taimiyyah berkata tentang sebab kekafiran orang yang enggan menunaikan zakat
tersebut,
وقد اتفق الصحابة والأئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا يصلون الخمس
ويصومون شهر رمضان، وهؤلاء لم يكن لهم شبهة سائغة، فلهذا كانوا مرتدين،
وهم يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب كما أمر الله، وقد حكي عنهم أنهم قالوا:
إن الله أمر نبيه بأخذ الزكاة بقوله (خذ من أموالهم صدقة) وقد سقطت بموته.
“Para shahabat dan imam-imam setelah mereka telah sepakat
untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, meskipun mereka
mengerjakan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadlan. Mereka tidak
memiliki syubhat yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu, mereka adalah
orang-orang yang murtad, dan mereka diperangi karena keengganan mereka
(membayar zakat), meskipun mereka mengakui akan kewajibannya sebagaimana yang
diperintahkan Allah. Dan telah dihikayatkan dari mereka, bahwasannya mereka
berkata : ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat
berdasarkan firman-Nya : ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka’
(QS. At-Taubah : 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian
beliau” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/519].
Kisah tentang para pembangkang zakat disebutkan dalam
beberapa kitab hadis. Di antaranya adalah Sahih Muslim.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاسْتُخْلِفَ
أَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ، وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنَ الْعَرَبِ، قَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ لِأَبِي بَكْرٍ: كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَمَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ، فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ، وَنَفْسَهُ، إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ
عَلَى اللهِ "، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَاللهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ
بَيْنَ الصَّلَاةِ، وَالزَّكَاةِ، فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ، وَاللهِ
لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ: فَوَاللهِ، مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ
شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ
Dari Abu Hurairah yang berkata, “Ketika Rasulullah SAW
wafat, dan Abu Bakar diangkat jadi penggantinya, dan kembali kafir
orang-orang Arab yang memilih kafir, Umar bin Khatthab berkata kepada Abu
Bakr, ‘Bagaimana engkau memerangi orang-orang, padahal Rasulullah SAW telah
berkata, ‘Saya diperintahkan memerangi manusia hingga mereka mengatakan la
ilaha illallah. Barang siapa telah mengatakan la ilaha illallah, dia telah
menjaga harta dan nyawanya dariku kecuali bila ada haknya. Hisabnya diserahkan
kepada Allah.’ Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, aku akan benar-benar memerangi
orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Zakat adalah haknya harta. Demi
Allah, jika mereka menahan satu anak unta saja yang biasanya mereka serahkan
kepada Rasulullah SAW. niscaya aku akan memerangi mereka karena menahannya.’
Umar berkata, ‘Demi Allah, tidaklah Abu Bakar kecuali aku telah melihat Allah
azza wa jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang. Lalu aku
menyadari bahwa dia berada di atas kebenaran.’” (HR. Muslim).
Secara tekstual, ada kesan bahwa Abu Bakar dan Umar bin
Khatthab sepakat akan kekafiran para pembangkang zakat. Hal ini setelah
keduanya berdebat tentang para pembangkang zakat tersebut. Lalu Umar menyetujui
gagasan Abu Bakar. Timbul lah penafsiran bahwa keduanya, sebagai pemimpin para
sahabat lainnya, sepakat bahwa para pembangkang itu kafir dan murtad.
Apakah benar penafsiran semacam ini? Apakah benar telah
terjadi kesepakatan antara para sahabat akan kekafiran para pembangkang zakat
karena pembangkangan mereka? Dan sekalipun mereka masih shalat tetap dihukumi
murtad?
Agaknya, paham tersebut perlu dikoreksi. Sebabnya, para
ulama memahami hadis di atas dalam konteks yang lebih kompleks. Hadis di atas
bukan saja berbicara tentang para pembangkang zakat. Tetapi juga berbicara
tentang orang-orang yang mengikuti nabi-nabi palsu. Pernyataan Abu Hurairah,
“Kafara man kafara min al-‘arab” atau kafirlah orang Arab yang memilih kafir,
ditujukan kepada para pengikut nabi-nabi palsu. Bukan ditujukan kepada para pembangkang
zakat. Perdebatan tentang pembangkang zakat yang terjadi antara Abu Bakar dan
Umar adalah berkaitan dengan penjatuhan sanksi, bukan status kemurtadan mereka.
Abu Bakar dan Umar sepakat mereka masih Muslim, tetapi menurut Abu Bakar mereka
harus diperangi karena menolak tunduk kepada pemerintahan baru dengan cara
menolak membayar zakat.
Al-Khattabi (w. 388 H.), seorang ahli hadis terkemuka
penulis kitab Ma‘alim Al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud, memberikan
penjelasan tentang hadis ini. Al-Khattabi mengatakan,
“Di antara yang harus dijelaskan terlebih dulu dalam
bab ini adalah bahwa orang-orang yang murtad terdiri dari dua golongan.
Golongan pertama murtad dari agama, membuangnya dan kembali kepada kekafiran.
Mereka lah yang dimaksud Abu Hurairah dengan kata-katanya “kafir lah orang yang
telah kembali kafir dari orang-orang Arab”. Kelompok ini terbagi ke dalam dua
golongan. Pertama, pengikut Musaylimah Al-Kadzdzab, yaitu orang-orang suku Hanifah
dan lainnya yang membenarkan pengakuannya sebagai nabi baru. Kedua, pengikut
Al-Aswad Al-Ansi dan orang-orang yang memenuhi seruannya dari penduduk Yaman
dan lainnya. Semua golongan ini mengingkari kenabian Nabi kita Muhammad saw.
serta menetapkan kenabian kepada selain beliau. Abu Bakr memerangi mereka
sampai Allah menewaskan Musaylimah di Yamamah, Al-‘Ansi di San’a, dan habislah
golongan mereka dan rusaklah kebanyakan mereka. Golongan lain yang murtad dari
agama, mengingkari syariat, meninggalkan salat, zakat dan lainnya dari
kewajiban-kewajiban agama. Mereka kembali seperti kondisi mereka sebelumnya
pada masa Jahiliyah. Mereka tidak bersujud kepada Allah di muka bumi kecuali di
tiga masjid; Mekah, Madinah dan Masjid ‘Abd Al-Qays di Bahrain, di sebuah desa
yang disebut Juwatha.. Golongan ketiga adalah orang-orang yang memisahkan
antara salat dan zakat. Mereka mengakui kewajiban salat seraya mengingkari
kewajiban zakat dan kewajiban menyerahkan zakat kepada pemerintah. Sebenarnya,
kelompok ini hanyalah para pembangkang (makar, bughat). Namun, mereka tidak disebut
dengan sebutan tersebut khususnya karena mereka masuk dalam gerombolan
orang-orang yang murtad, lalu mereka dinisbatkan kepada kaum murtad, karena
dosa murtad adalah yang paling besar di antara dua dosa tersebut. Perang
terhadap para pembangkan (bughat) baru dimulai pada masa pemerintahan ‘Ali bin
Abi Talib karena pada masa itu mereka tidak tercampur dengan gerakan
orang-orang yang kembali musyrik. Dalam
peristiwa ini, terdapat dalil akan kebenaran pendapat ‘Ali yang memerangi kaum
pemberontak dan bahwa perang terhadap pemerontak adalah ijma sahabat
seluruhnya. Di antara orang-orang yang membangkang membayar zakat, terdapat
orang-orang yang sebenarnya tidak menahannya, tetapi karena dihalang-halangi
oleh pemimpinnya sehingga mereka tidak dapat mewujudkan aspirasinya. Para
pemimpin itu kemudian menahan zakat dalam genggaman mereka. Hal ini seperti
terjadi pada kabilah Bani Yarbu‘. Mereka sudah mengumpulkan zakatnya dan hendak
mengirimkannya kepada Abu Bakr, lalu Malik bin Nuwayrah mencegahnya dan dia
membagi-bagikannya di sukunya sendiri.” (Ma‘alim Al-Sunan Syarah Sunan Abi
Dawud, 3/330).
Bisa disimpulkan dari pernyataan Al-Khatthabi di atas
bahwa para pembangkang zakat bukan termasuk orang-orang yang murtad. Mereka
adalah para pemberontak terhadap kekuasan pemerintahan baru di bawah
kepemimpinan Abu Bakar Al-Shiddiq. Mereka hanya berdosa tetapi tidak sampai
pada tingkat kafir. Pernyataan ahli hadis terkemuka ini sekaligus menolak
pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan kekafiran dan kemurtadan para
pembangkang zakat.
Tidak melaksanakan syariat Islam tidak selalu berujung
kepada kekafiran atau kemurtadan. Benar bahwa meninggalkan syariat adalah
bentuk kemaksiatan dan dosa jika dilakukan secara sengaja tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh syariat. Namun, kemaksiatan
dan dosa dalam hal ini tidak sampai menyebabkan kemurtadan. Dengan demikian,
mengkafirkan atau memurtadkan seseorang karena meninggalkan ajaran syariat
adalah bentuk sikap ekstrem; berlebihan dalam masalah agama. Tidak ada padanan
yang paling sesuai dengan sikap ini di masa lalu kecuali sikap kaum Khawarij. Kaum
yang diperangi oleh para sahabat pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib.
Komentar
Posting Komentar