Kritik Terhadap Konsep Tauhid Hakimiyyah
M. Khoirul Huda
Belakangan berkembang kelompok yang memperkenalkan konsep
syirik dalam pemerintahan. Istilah mereka, syirkul qushur. Disebut
syirik karena dianggap bertentangan dengan konsep tauhid. Dalam pandangan
mereka, tauhid juga harus diimplementasikan dalam urusan pemerintahan. Tauhid menurut
mereka berarti hanya mengakui Allah sebagai pencipta (rububiyah), memurnikan
ibadah hanya kepada Allah (uluhiyah), dan hanya Allah yang berhak
membuat aturan (hakimiyah).
Ketika hak membuat peraturan hanya milik Allah, tidak boleh
ada makhluk yang membuat peraturan di luar peraturan-Nya. Membuat peraturan di
luar peraturan Allah berarti menempatkan manusia pada posisi Allah. Hal ini
sama dengan mengakui Tuhan selain Allah. Dan ini adalah bentuk memusyrikan.
Larangan menyekutukan Allah dalam pembuatan peraturan, dalam pandangan mereka,
ditegaskan dalam Al-Quran berikut:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
(26(
Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorang
pun (Qs. Al-Kahf: 26)
Ayat ini mengatakan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya
pada seorang pun. Dua kata kunci dalam potongan ini adalah syirik
(menyekutukan) dan hukum. Menyekutukan Allah dalam ‘hukum’ diartikan dengan
membuat peraturan selain peraturan Allah. Menurut mereka hal itu adalah bentuk
kemusyrikan. Pelakunya berarti telah melakukan perbuatan musyrik. Pantas
disebut musyrik dan kafir.
Berdasarkan pemahaman ini, mereka menyatakan orang-orang yang
membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti
parlemen (DPR/MPR) telah musyrik. Para pembuat kebijakan yang tidak merujuk
kepada Al-Quran sebagai representasi hukum Allah adalah musyrik. Orang yang
membuat dan mengikuti hukum positif adalah musyrik. Para pelaksana hukum
positif seperti hakim, pengacara, jaksa dan polisi adalah musyrik. Menurut
mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat
peraturan yang hanya dimiliki Allah. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan
hukum atau peraturan.
Benarkah penafsiran tersebut? Darimana sumber penafsiran
tersebut? Siapa orang yang pertama kali menafsirkan semacam itu? Apakah
Rasulullah saw., para sahabat, tabiin, dan para imam besar menafsirkan “hukum”
dalam Qs. Al-Kahfi: 26 dengan (membuat) peraturan perundang-undangan? Bagaimana
pendapat para ahli tafsir terkemuka menafsirkan Qs. Al-Kahfi: 26?
Sebelum membincang penafsiran para ahli tafsir terkemuka, ada
baiknya jika kita baca ayat tersebut secara utuh. Qs. Al-Kahfi: 26 merupakan
penutup kisah para pemuda pemberani yang hidup di gua (ashabul kahfi).
Dalam ayat sebelumnya dikisahkan bahwa umat Nasrani berdebat tentang jumlah,
masa tidur di gua dan detil cerita lainnya. Al-Quran menjelaskan sikap yang
benar terhadap peristiwa masa lalu tersebut. Katakan (Muhammad): Allah lebih
tahu masa tidur mereka. Milik-Nya perkara gaib langit dan bumi. Lihat dan
dengarkan. Mereka (ashabul kahfi) tidak memiliki pelindung selain Allah. Dan
Allah tidak menyekutukan dalam hukumnya pada seorang pun (Qs. Al-Kahfi: 26).
Ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak perlu memperdebatkan detil-detilnya.
Hanya Allah yang tahu berapa lama mereka menghuni gua. Semua adalah ketentuan
Allah. Allah mampu membuat mereka tertidur sangat lama tanpa mengalami
kerusakan jasad. Allah mampu membangkitkan mereka kembali setelah sekian lama.
Allah menentukan semua itu. Dia tidak perlu meminta pendapat pada orang lain
dalam membuat ketentuan. Dia juga tidak perlu bantuan orang lain dalam
mewujudkan kehendak dan keputusan-Nya. “Hukum” dalam Qs. Al-Kahfi: 26 berarti
ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka
tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tidak membagi
kekuasaan-Nya pada orang lain mengatur semua kisah ashabul kahfi yang ajaib.
Dengan pengertian semacam inilah para ahli tafsir memahami Qs. Al-Kahfi:
26.
Al-Thabari (w. 310 H.) mengatakan, “Allah tidak mencari
sekutu di luar diri-Nya untuk memutuskan dan menentukan ciptaan. Dia menyendiri
memutuskan dan menentukan nasib ciptaan-Nya. Mengatur dan mengubah mereka
sesuai kehendak dan kesenangan-Nya.” (Tafsir Al-Thabari, jilid 17, hlm.
650).
Al-Baghawi (w. 516 H.) mengatakan maksud “Hukum” dalam Qs.
Al-Kahfi: 26 adalah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detil cerita
ashabul kahfi yang ajaib. “Hukum di sini adalah ilmul ghaib, maksudnya Allah
tidak bersekutu dengan seorang pun dalam mengetahui perkara gaib.” (Tafsir
Al-Baghawi, jilid 3, hlm. 188).
Ibnu Katsir (w. 774 H.) berkata, “Maha Tinggi Allah. Dia
memiliki ciptaan dan segala perkara. Tiada yang bisa menolak keputusan-Nya. Dia
tidak perlu menteri, pembantu, sekutu, dan konsultan. Allah Maha Tinggi dan
Maha Suci (Tafsir Ibn Katsir,
jilid 5, hlm. 151).
Al-Khazin (w. 741 H.) mengatakan, “Maknanya adalah Allah
tidak bersekutu dengan seorang pun dalam mengetahui perkara gaib. Ada yang
mengatakan maknanya adalah dalam qada-Nya.” (Tafsir Al-Khazin, jilid 3,
hlm. 162).
Syekh Nawawi Al-Bantani (w. 1316 H.) mengatakan, “Ketika
Allah memutuskan bahwa masa tidur mereka selama yang disebut dalam ayat, tidak
boleh seorang pun mengatakan yang bertentangan dengannya. Menurut qiraat Ibnu
Amir “Jangan kamu sekutukan” maksudnya adalah jangan bertanya pada seorang pun
tentang apa yang sudah diberitahukan Allah tentang jumlah ashabul kahfi serta
lamanya mereka tertidur dalam gua. Batasi pada keputusan Allah ta’ala, jangan
menyekutukannya dalam mencari pengetahuan tentang peristiwa ini.” (Tafsir
Marah Labid, jilid 1, hlm. 647)
Para ahli tafsir di atas tidak ada yang memahami “hukum”
dalam Qs. Al-Kahfi: 26 sebagai peraturan. Pada umumnya, mereka memahami hukum
sebagai ketentuan atau takdir Allah terhadap ashabul kahfi, berapa jumlah
mereka, bagaimana mereka bisa tertidur lama tanpa kerusakan pada jasad mereka.
Lalu kembali terbangun setelah waktu yang lama. Sebagaimana tidak ada yang
memahami bahwa orang yang membuat peraturan perundang-undangan di luar
peraturan Allah adalah musyrik.
Pendapat pertama yang menafsirkan “hukum” sebagai peraturan
undang-undang adalah seorang ulama bernama Syekh Muhammad Amin Al-Sinqithi (w.
1393 H.). Dia juga orang pertama yang berpendapat bahwa orang yang membuat dan
mematuhi peraturan perundangan adalah musyrik. Setelah menafsirkan Qs.
Al-Kahfi: 26, dia mengatakan, “Dengan teks-teks langit yang telah kami sebutkan
tampak jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum positif yang disyariatkan
setan melalui lisan para pengikutnya adalah bertentangan dengan syariat Allah
yang disampaikan para rasul-Nya. Bahwa tidak ragu kekafiran dan kemusyrikan
mereka kecuali orang yang Allah butakan batinnya.” (Tafsir Adhwa’ Al-Bayan,
jilid 3, hlm. 259)
Penafsiran bahwa hanya Allah yang berhak membuat peraturan
tidak sepenuhnya tepat. Pertama, Allah memerintahkan manusia untuk
bermusyawarah (Qs. Alu Imran: 159 dan Qs. Al-Syura: 38). Perintah bermusyawarah
menunjukkan bahwa manusia mendapat mandat dari Allah mengambil keputusan
berdasarkan kesepakatan di antara mereka. Melarang manusia membuat peraturan
untuk mengatur kehidupan sosialnya berarti menentang perintah bermusyawarah
ketika menyelesaikan persoalan. Kedua, Allah mengizinkan umat Islam melakukan
istinbat hukum (mencari keputusan hukum), ketika tidak ada penjelasan dalam
teks syariat (Qs. AL-Nisa’: 83). Istinbat hukum berarti wewenang manusia
merumuskan peraturan untuk kehidupan sosial mereka. Ketiga, keharusan menepati
perjanjian di antara manusia (Qs. Al-Baqarah: 177, Qs. Al-Maidah: 1, Qs.
Al-Shaf: 2, Al-Insan: 7). Secara tidak langsung keharusan ini merupakan
perintah untuk mengikuti peraturan yang disepakati sesama manusia. Menolak
kewenangan ini, sama dengan menafikan kewenangan yang diberikan Allah kepada
manusia membuat kesepakatan dan perjanjian. Keempat, Rasulullah saw. dan para
sahabat membuat peraturan yang didasarkan kepada perjanjian dan kesepakatan
seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, Tahkim dalam Perang
Shiffin dan lainnya. Menyatakan hanya Allah yang berhak membuat peraturan dan
menuduh musyrik pihak yang membuat peraturan berdasarkan kesepakatan
berkonsekuensi menuduh musyrik Rasulullah saw. dan para sahabatnya.
Di sini, kita sampai pada kesimpulan bahwa ajaran yang
menyatakan hanya Allah yang berhak membuat peraturan dan tuduhan syirik orang
yang membuat peraturan di luar peraturan Allah adalah ajaran baru. Belum
dikenal pada masa Rasulullah saw., para sahabat dan para ahli tafsir Al-Quran
di masa lalu. Selain itu, pengafiran terhadap orang yang membuat peraturan
karena alasan menjaga tauhid hakimiyah, bertentangan dengan Al-Quran, Al-Sunnah
serta praktik para sahabat Nabi saw. Segala yang bertentangan dengan Al-Quran
dan Al-Sunnah adalah batil bukan?
Komentar
Posting Komentar