Tradisi Periwayatan Umat Islam; Studi atas Sanad Hadis, Sanad Kitab dan Sanad Doa
Oleh : Yunal Isra
Pendahuluan.
Sanad atau isnad[1] dalam
literatur Ilmu Hadis menempati posisi yang sangat urgen dan mendasar. Sehingga tidak heran
kalau ulama besar sekaliber Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) menyatakan bahwa
sanad termasuk bagian dari agama Islam sendiri, seandainya tidak ada sanad,
niscaya setiap orang akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki.[2] Hal
senada juga diungkapkan oleh Imam al-Tsauri (w. 159 H), beliau menegaskan bahwa
sanad adalah senjata orang-orang yang beriman.[3] Imam
Suyuthi (w. 911 H) dalam Tadrib-nya pernah menukil perkataan Muhammad
bin Aslam al-Thûsi (w. 242 H) yang menyatakan bahwa dengan dekatnya sanad
(kepada sumbernya) akan membawa dekatnya (seseorang) kepada Allah SWT.[4]
Setidaknya
beberapa pendapat yang penulis kutip di atas cukup menjadi bukti betapa urgennya sanad dalam sebuah hadis.
Arti penting sanad tersebut di taraf selanjutnya akan berdampak terhadap
otentisitas hadis itu sendiri. Apabila sanadnya bagus, dalam artian memenuhi
kriteria diterimanya sebuah sanad seperti bersambung dari awal sampai akhirnya,
masing-masing perawinya kredibel, serta matan hadisnya selamat dari i’llah[5]
dan syadz,[6]
maka hadis tersebut akan bernilai shahih dan begitu juga sebaliknya. Apabila
sanadnya jelek, maka secara otomatis kualitas hadis yang dihasilkan juga akan
dhoif atau bahkan palsu sama sekali. Sehingga tepatlah apa yang pernah
dilontarkan oleh Mahmud Thahhan “sekiranya tidak ada sanad, maka kita tidak
akan mengetahui mana hadis yang shahih dan mana yang dusta”.[7]
Kemudian
kalau ditinjau sejarah umat-umat terdahulu seperti kaum Yahudi, Nasrani, dan
lain sebagainya, niscaya tidak akan ditemukan tradisi sanad sebagaimana yang
berlaku dalam agama Islam ini. Hal itu, sebagaimana diungkap oleh sebagian
besar ulama hadis baik klasik maupun kontemporer, menunjukkan bahwa tradisi
sanad merupakan keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad SAW
saja. Ibnu Hazm (w. 448 W) menuturkan “korespondensi dari seorang kredibel
dari orang kredibel lainnya yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW adalah
keistimewaan yang hanya dikaruniakan Allah SWT kepada umat Islam, tidak
umat-umat yang lain.[8]
Hal
serupa juga pernah disinggung oleh Abu A’li al-Jayyâni (w. 498 H) sebagaimana
yang dikutip oleh Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh dalam
tahqiqannya terhadap kitab Muqaddimah karya Ibn Al-Shalâh (w. 642 H), ia
mengatakan “Allah SWT mengistimewakan umat ini dengan tiga perkara yang
tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tradisi sanad, nasab, dan
i’rab”[9].
Syekh Yasin al-Fadani (w. 1410 H) dalam muqaddimah kitabnya Ittihaf
al-Mustafîd bi Gharar al-Asânîd mengatakan “segala puji bagi Allah yang
telah menjadikan penelitian terhadap sanad sebagai perantara yang akan
meninggikan derajat para pecinta ilmu (hadis), yang mana hal itu merupakan
sebagian dari keistimewaan umat Nabi Muhammad SAW dari sekian banyak umat-umat
yang ada.[10]
Dan
masih banyak ulama-ulama besar lainnya yang telah membuktikan hal tersebut,
seperti Abu Hâtim al-Râzi (w. 277 H), sebagaimana dinukil oleh pentahqiq Muqaddimah
Ibn Shalah, Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh, Imam
Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi-nya, Imam al-I’raqi (w. 806
H) dalam Fath al-Mughis-nya, Imam al-Sakhawi (w. 664 H) dalam kitab yang
sama, serta ulama besar lain yang tidak bisa penulis sebutkan secara satu
persatu dalam tulisan yang sangat terbatas ini.
Bidang Pengaplikasian Sanad.
Setelah
mengetahui sanad dengan segala urgensi dan sejarah perkembangannya, bahasan ini
akan dilanjutkan kepada bidang-bidang pengaplikasian sanad. Setidaknya ada Tiga
bidang yang sering diiringi oleh sanad, yaitu hadis, kitab, dan doa atau yang
masyhur dengan sebutan sanad hidzib/tarekat. Masing-masing dari ketiga sanad
tersebut mempunyai kekhususan dan ciri-ciri umum yang berbeda antar satu sama
lain. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mencoba menguraikan masing-masingnya
sesuai urutan di atas.
a. Sanad Hadis.
Sanad
menurut para ahli hadis berarti ikhbar (jalan untuk mengetahui) matan
hadis. Sebagian ahli hadis yang lain menegaskan bahwa sanad adalah jalur atau
silsilah yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau dengan kata lain
urutan beberapa nama yang meriwayatkan hadis dari satu orang kepada yang lain
sehingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara itu isnad diartikan sebagai
penisbatan sebuah hadis kepada orang yang menyampaikannya. Akan tetapi
mayoritas ulama hadis sering menyamakan antara istilah sanad dengan isnad
untuk objek yang satu dengan makna yang sama.[11]
Untuk
mengetahui apa saja yang menjadi kekhususan sanad ini, penulis akan mengutip
sebuah contoh dari sanad hadis yang nantinya akan dianalisis dari berbagai sisi
guna membedakannya dengan sanad-sanad yang lain seperti sanad kitab ataupun
sanad doa/tarekat. Contoh tersebut adalah sebagai berikut :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة عن سماك بن حرب ح
وحدثنا هناد حدثنا وكيع عن إسرائيل عن سماك عن مصعب بن سعد عن ابن عمر عن النبي
صلى الله عليه و سلم قال لا تقبل صلاة بغير طهور و لا صدقة من غلول.[12]
Terjemahannya : Imam Tirmidzi
mengatakan “telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, ia berkata
“telah menceritakan kepada kami Abu A’wanah dari Simak bin Harb”, tahwil “telah
bercerita kepada kami Waki’, dari Israil, dari Simak, dari Mus’ab bin Sa’ad,
dari Ibn U’mar dari Nabi SAW, beliau berkata “tidak diterima shalat yang tidak
didahului dengan bersuci dan sedekah dari hasil tipuan. (HR. Tirmidzi).
Dari
contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis mempunyai beberapa ciri
dan tanda khusus, diantaranya :
a) Sanad hadis sangat memperhatikan
penggunaan lafadz penyampaian sanad atau yang lazim disebut dengan shighah
al-ada’ dan thuruq al-tahammul.[13]
Pemakaian lafadz-lafadz ini dianggap sebagai ciri utama dari sanad ini, karena
terkadang hanya dengan melihat lafadz-lafadz tersebut, seseorang bisa
mengetahui apakah sanad hadis tersebut bersambung sampai kepada Rasulullah atau
di dalamnya terdapat kemungkinan adanya keterputusan sanad (inqitha’
al-sanad) dengan sebab tadlis[14]
atau sebab-sebab yang lain. Oleh sebab itu para ahli hadis telah menetapkan ada
8 cara penyampaian hadis sekaligus lafadz penyampaiannya. Yaitu sebagai berikut
:
1. Sima’ (mendengar) yaitu seseorang guru membaca hadis baik dari hafalan
ataupun dari kitabnya, sedangkan para hadirin mendengarkannya, baik majlis itu
untuk imla’ ataupun tidak. Mayoritas ulama memandang bahwa metode ini merupakan
metode yang paling tinggi kualitasnya.[15]
2. Al-Qira’ah ala al-Syekh (membaca di
hadapan guru). Yaitu seseorang membaca hadis di
hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti,
sedangkan guru memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalan atau dari
kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti.
Metode ini berada di bawah peringkat metode yang pertama, namun sebagian ulama
yang lain memandang metode ini lebih tinggi dari sima’.[16]
3. Al-Ijazah (sertifikasi atau
rekomendasi). Metode ini berbeda dari dua metode
sebelumnya. Kalau dua metode tersebut menekankan bahwa seorang murid atau guru
langsung membacakan hadis-hadis yang bersangkutan, baik secara langsung ataupun
tidak. Namun metode ini masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang
guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada
seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula tanpa membacakan hadis
yang diijazahkan. Oleh sebab itu, sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian
yang lain tidak.[17]
4. Al-Munawalah. Yaitu seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa
hadis atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya
darinya. Sebagian ulama memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain
tidak memperbolehkannya. Munawalah ini pun ada yang disertai dengan ijazah
secara langsung atau disebut juga al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah dan
ada pula yang tidak atau disebut juga dengan al-munawalah al-mujarradah a’n
a;-ijazah.[18]
5. Al-mukatabah. Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau
meminta orang lain menulis darinya sebagian hadisnya untuk seorang murid yang
ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain, lalu guru itu
mengirimkan tulisan tersebut kepada sang murid bersama orang yang bisa
dipercaya. Mukatabah ini juga terbagi dua ada yang disertai dengan ijazah
dan ada yang tidak.[19]
6. I’lam al-Syekh. Yaitu seorang syekh memberitahukan kepada muridnya bahwa
hadis tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat
miliknya yang telah didengar dan diambilnya dari seseorang atau perkataan lain
yang senada tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk
meriwayatkan darinya. Sebagian ulama mengatakan bahwa metode semacam ini harus
disertai dengan ijazah agar periwayatan tersebut bisa bernilai shahih.[20]
7. Al-Washiyyah. Yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau
sebelum meninggal agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk
meriwayatkannya darinya. Ulama mutaakhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode
tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf yang mewasiatkan
kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Metode tahammul seperti ini sangat
jarang terjadi dan dianggap sebagai metode tahammul yang paling lemah.[21]
8. Al-Wijadah. Kata ini merupakan konjugasi dari kata wajada-yajidu,
bentuk yang tidak analogis. Ulama hadis mengartikannya sebagai ilmu yang
diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan
ijazah, ataupun proses munawalah. Metode ini juga sangat jarang digunakan oleh
ulama-ulama salaf dan bahkan sebagian besar mereka mencela para muhaddis yang
meriwatkan hadis dari shahifah-shahifah tersebut. Hal itu dilatarbelakangi
karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui
pendengaran ataupun menyodorkan kitab.[22]
Sementara
itu pembahasan mengenai lafadz ada’ (penyampaian hadis), maka
disesuaikan dengan metode tahammul (penerimaan hadis) di atas.[23]
Masing-masing metode mempunyai lafazd ada’ tertentu, sehingga dari
lafadz tersebut nantinya akan diketahui secara praktis kualitas bersambung atau
terputusnya sanad yang bersangkutan sebagaimana yang telah penulis singgung di
awal pembahasan. Berikut beberapa lafadz ada’ yang sering dipakai dalam
penyampaian hadis :
a. Lafadz ada’ yang melambangkan
metode sima’ antara lain lafadz sami’tu atau haddatsani menunjukkan
sima’ (mendengar langsung dari syekh), lafadz akhbarani menunjukkan
qira’ah (membaca di hadapan syekh), lafadz anbaani menunjukkan ijazah,
dan lafadz qala li atau zakara li menunjukkan sima’
(mendengarkan) lewat mudzakarah.[24]
b. Lafadz ada’ yang menunjukkan
qira’ah (membaca) dihadapan syekh antara lain lafadz qara’tu ala fulan atau
qaraa a’laihi wa ana asma’ fa aqarra bihi. Lafadz ini adalah lafadz yang
lebih hati-hati. Selain itu ada lafadz lain yang juga diperbolehkan yaitu haddatsana
qiraatan a’laihi dan pemutlakan lafadz akhbarana, tidak lafadz yang
lain.[25]
c. Lafadz ada’ yang menunjukkan
metode ijazah antara lain lafadz ajaza li fulan dan boleh juga dengan
ibarat sima’ dan qiraah yang dikait dengan ijazah seperti haddatsana
ijazatan atau akhbarana ijazatan, serta lafadz anbaana menurut
Abu al-A’bbas al-Walid bin Bakr al-Ma’mari, pengarang kitab al-Wijazah fi
Tajwiz al-Ijazah.[26]
d. Lafadz ada’ yang menunjukkan
munawalah antara lain nawalani atau nawalani wa ajaza li jika
disertai dengan ijazah dan boleh juga dengan ibarat sima’ atau qiraah yang
dikait dengan lafadz munawalah seperti haddatsana munawalatan dan akhbarana
munawalatan wa ijazatan.[27]
e. Lafadz ada’ yang menunjukkan
metode kitabah antara lain kataba ilayya fulan atau dengan ibarat
sima’ atau qiraah yang dikait dengan lafadz kitabah
seperti haddatsani au akhbarani kitabatan.[28]
f. Lafadz ada’ yang menunjukkan
metode i’lam dari syekh seperti a’lamani syaikhi bikadza.[29]
g. Lafadz ada’ yang menunjukkan
metode washiyyah seperti ausha ilayya fulan bikadza atau haddatsani
fulan washiyyatan.[30]
h. Lafadz ada’ yang menunjukkan
metode wijadah seperti wajadtu bi khatti fulan au qara’tu bi khatti
fulan kadza.[31]
b) Sanad hadis sangat memprioritaskan
ketersambungan sanad dari masing-masing perawi yang ada hingga sampai kepada
sumber utama yaitu Nabi SAW. Ini juga merupakan salah satu ciri penting dari
sanad ini. Namun dalam hal ini, para ulama hadis berselisih pendapat mengenai
kriteria kapan sebuah sanad itu dinilai bersambung dan kapan dia dianggap
terputus.
Di antara khilafiah (perbedaan)
yang terjadi berkenaan dengan masalah ini adalah perbedaan kriteria shahih
(yang salah satu unsurnya adalah ketersambungan sanad) antara Imam Bukhari (w.
256 H) dengan Imam Muslim (w. 261 H) ketika menyusun kitab Shahih-nya.
Adapun syarat shahih perspektif Imam Bukhari ada tiga, yaitu keharusan liqa’
(bertemu secara pasti) antar perawi yang ada, harus semasa, serta terbebas dari
tadlis. Sedangkan syarat shahih menurut Imam Muslim hanya dua
yaitu semasa dengan bebasnya sanad dari kemungkinan tadlis.[32]
Adapun
sanad yang tidak memenuhi kriteria shahih seperti yang telah disebutkan,
akan berimplikasi terhadap matan hadis yang bersangkutan. Karena penilaian
terhadap matan sangat bergantung terhadap kualitas sanadnya. Kongklusi dari hal
ini adalah tidak sahnya beristidlal dengan hadis-hadis yang sanadnya
terputus seperti Hadis Mu’allaq,[33] Hadis Mursal,[34] Hadis Mu’dhol,[35] Hadis Munqathi’,[36] Hadis Mudallas,[37] Mursal
Khafiy,[38]
dan Hadis Mu’an’an[39] atau Muannan.[40]
c) Sanad hadis juga mengharuskan
masing-masing dari perawi yang ada dalam rangkaian sanad bersifat adil[41]
dan kuat hafalannya. Sehingga tidak sah beristidlal dengan hadis yang
perawinya mempunyai kecacatan-kecacatan yang tidak bisa ditolerir dalam standar
jarah wa ta’dil-nya ilmu hadis seperti Hadis Maudhu’,[42] Hadis Matruk,[43] Hadis Mungkar,[44] Hadis Mu’allal,[45] Hadis
yang Mukhalafah li al-Tsiqah,[46] Hadis Mudraj,[47] Hadis Maqlub,[48] Hadis Muttharrib,[49] Hadis Mushahhaf,[50] dan
Hadis Syadz.[51]
d) Salah satu keistimewaan sanad hadis
adalah adanya variasi penulisan sanad dengan jalan meringkas sanad atau yang
lazim disebut dengan istilah tahwil[52].
Sehingga dengan adanya rumusan ini, seorang muhaddis yang mempunyai banyak
guru tidak perlu boros dan “lebay” dalam menyebutkan sanad, karena hal itu bisa
diringkas dengan cara membubuhkan istilah ح (dibaca
tahwil) di sela-sela sanad hadis yang bersangkutan.
b. Sanad Kitab.
Apabila istilah sanad dikaitkan dengan kata
kitab (buku) atau disebut juga dengan sanad kitab maka maknanya adalah silsilah
penulisan serta pengajaran sebuah kitab tertentu sehingga sampai kepada
pengarangnya. Salah satu contoh dari sanad kitab ini adalah sanad kitab Shahih
Muslim yang dimiliki oleh Imam Nawawi (w. 676 H), sebagaimana yang beliau
sebutkan dalam muqaddimah syarah Shahih Muslim. Berikut kutipannya :
أما اسنادي فيه فأخبرنا بجميع صحيح الامام مسلم بن الحجاج
رحمه الله الشيخ الأمين العدل الرضى أبو إسحاق ابراهيم بن أبي حفص عمر بن مضر
الواسطى رحمه الله بجامع دمشق حماها الله وصانها وسائر بلاد الاسلام وأهله قال
أخبرنا الامام ذو الكنى أبو القاسم أبو بكر أبوالفتح منصور بن عبد المنعم الفراوي
قال أخبرنا الامام فقيه الحرمين أبو جدى أبو عبد الله محمد بن الفضل الفراوي قال
أخبرنا أبو الحسين عبد الغافر الفارسي قال أنا أحمد محمد بن عيسى الجلودي قال أنا
أبو إسحاق ابراهيم بن محمد بن سفيان الفقيه انا الامام أبو الحسين مسلم بن الحجاج
رحمه الله.[53]
Dari
contoh sanad kitab tersebut, maka didapatlah beberapa kesimpulan, diantaranya :
a) Sanad kitab juga mengharuskan penyebutan
mua’llim atau silsilah para pengajar dari kitab tersebut mulai dari sang
pemilik sanad hingga sampai kepada pengarangnya. Hal itu bisa dilihat dari
contoh yang telah penulis kutipkan di atas, yaitu sanad kitab Shahih Muslim
milik Imam Nawawi. Pada sanad tersebut Imam Nawawi menyebutkan secara detail
runtutan atau silsilah para pengajar dari kitab tersebut mulai dari gurunya yang
bernama Syekh al-Amin al-Adl al-Ridho Abu Ishak Ibrahim bin Abi Hafs Umar bin
Mudhir al-Washiti hingga sampai kepada Imam Muslim sebagai penulisnya. Wallahu
A’lam
b) Sanad kitab juga menggunakan
lafadz-lafadz ada’ (penyampaian) sebagaimana yang berlaku dalam sanad
hadis. Hanya saja kriterianya tidak sedetail dan serumit sanad hadis yang
memang mengutamakan ketransparanan dan kepastian.
Dalam
contoh di atas dapat dilihat bahwa Imam Nawawi menggunakan lafadz akhbarana dalam
lafadz penyampaiannya. Dan guru-gurunya juga menggunakan lafadz yang serupa.
Kalau kita merujuk kepada istilah ilmu hadis yang berkenaan dengan lafadz ada’,
maka hal ini menunjukkan metode qira’ah ala al-syekh (membaca langsung
di hadapan guru), dalam kata lain Imam Nawawi langsung membaca kitab Shahih
Muslim di hadapan gurunya yang bernama Syekh al-Amin itu.
Selain
akhbarana, penulis menemukan lafadz ada’ yang lain pada contoh
sanad ini. Yaitu lafadz a’n, kenyataan ini penulis jumpai dalam sanad
kitab al-Qawaid al-Kubra karya Syekh I’zzu al-Dien bin Abd al-Salam (w.
660 H) milik Syekh Muhammad Yasin bin I’sa al-Fadani yang beliau tuliskan dalam
kumpulan sanad beliau yang bernama Ittihaf
al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd. Berikut kutipan lengkapnya :
قال الشيخ محمد ياسين بن عيسى الفاداني أرويه (كتاب القواعد
الكبرى) عن الشيخ محمد علي المالكي عن شيخه السيد بكري يسنده في الجامع الصغير إلى
الجلال السيوطي عن االشهاب أحمد بن إبراهيم القليوبي عن أبي علي المهدوي عن أبي
النون يونس بن إبراهيم الدبوسي عن المؤلف سلطان العلماء عز الدين بن عبد السلام.[54]
c) Lafadz-lafadz ada’ yang sering
digunakan dalam sanad kitab adalah lafadz akhbarana dan a’n. Dan
penulis belum menemukan shighat lain selain dua lafadz ini. Wallahu A’lam
d) Keterputusan sanad dalam sanad kitab
tidak berimplikasi terhadap lemahnya kandungan kitab yang dinisbatkan kepada
pengarangnya, dengan syarat adanya bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa
kitab itu memang karya dari penulis yang bersangkutan seperti adanya sanad
kitab dari jalur yang lain terhadap kitab tersebut. Wallahu A’lam
e) Implikasi dari keterputusan sanad kitab
ini akan menimbulkan sebuah persoalan yaitu bolehkah bagi orang yang tidak
mendapatkan sanad atau ijazah dari kitab tertentu, mengajarkan kitab tersebut
kepada orang lain atau tidak.? Jawaban dari pertanyaan ini mempunyai rincian
sebagai berikut.
Apabila
yang bersangkutan mempunyai keahlian dalam memahami kitab tersebut sesuai
dengan aturan dan kaedah-kaedah standar bahasa yang berlaku, maka boleh baginya
untuk mengajarkannya kepada murid atau siapapun yang dia kehendaki, tapi kalau
tidak, maka tidak boleh. Pendapat yang lain mengatakan bahwa tidak boleh secara
mutlak bagi orang yang tidak mendapatkan sanad atau ijazah dari kitab tertentu
untuk mengajarkan kandungannya kepada orang lain, walaupun ia ahli dalam
memahami kitab tersebut, karena keberadaan sanad atau ijazah dari guru yang
bersangkutan menjadi syarat utama dalam mengajarkan kitab tersebut.[55]
Selain
hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas, ada beberapa faedah dalam mencari
sanad kitab ini, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Jalaluddin
al-Qasimi dalam kitabnya Qawa’id Tahdis.[56]
Di antara manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
a) Memelihara kitab yang bersangkutan dari
keterlupaan dan kesia-siaan.
b) Menyebarluaskan serta membumisasikan
ilmu dan pengetahuan untuk seluruh kalangan, baik umum ataupun khusus, sehingga
pada akhirnya para siswa semakin terdorong untuk mencarinya.
c) Sebagai stimulan dan pendorong seseorang
untuk senantiasa membaca kitab tersebut, dan ini merupakan nikmat Allah SWT
yang sangat besar terhadap umat manusia.
d) Sebagai bukti keagungan para ulama masa
lalu dengan karya-karya mereka berupa kitab-kitab yang berisi ilmu pengetahuan
sekaligus lahan untuk menghargai serta mengapresiasi karya tersebut.
e) Melanggengkan segala sesuatu yang
bermanfaat dari kandungan kitab-kitab tersebut serta sarana untuk menjaga
keabadian rangkaian sanad yang merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad SAW.[57]
c. Sanad doa/hidzib/tarekat.
Setelah mengetahui dua pembahasan terdahulu,
sekarang bahasan ini akan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sanad
doa/hizib/tarekat serta apa saja keistimewaan yang dimiliki oleh sanad ini.
Sebagaimana sanad hadis dan sanad kitab, ternyata doa/hizib/tarekat juga
mempunyai sanad. Tentunya sanad ini mempunyai ciri khusus yang tidak dimiliki
oleh dua sanad terdahulu. Namun sebelum menjelaskan itu, penulis akan mengutip
beberapa contoh untuk sanad ini.
Syekh
Abdu al-Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H) dalam kitabnya yang bernama al-Anwar
al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id al-Shufiyyah mengatakan bahwa beliau mempunyai beberapa jalur sanad dalam
tarekatnya.[58]
Di antaranya adalah sebagai berikut:
· Sanad yang pertama :
الطريق الأول هو من علي بن أبي طالب لقن الحسن البصري،
والحسن البصري لقن حبيبا العجمي، وحبيب العجمي لقن دود الطائي، ودود الطائي لقن
معروفا الكرخي، ومعروف الكرخي لقن السري السقطي، والسري لقن أبا القاسم الجنيد،
والجنيد لقن القاضي رويم، وهكذا إلى الإمام عبد الوهاب الشعراني.
· Sanad yang kedua :
الطريق الثاني الذي أقرب سندا مما قبل يعني قال ”أنني تلقنت
على شيخ مشايخ الإسلام زكريا الأنصاري، وتلقن هو علي سيدي محمد الغمري تلميذ سيدي
أحمد الزاهد رفيق سيدي مدين، وهو من رسول الله“.
· Sanad yang ketiga :
الطريق الثالث يعنى قال ”أنني أخذت عن سيدي علي الخواص، وهو
أخذ عن الشيخ سيدي إبراهيم المتبولي، وهو أخذ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقظة ومشافهة بالكيفية المعروفة بين القوم في عالم الروحانيات“.
· Sanad yang keempat :
الطريق الرابع يعني قال ”أنني أخذت عن سيدي علي الخواص، وهو
أخذ عن رسول الله“.[59]
Dari
beberapa contoh sanad tarekat yang telah penulis kutip, setidaknya ada beberapa
poin penting yang dapat dijadikan sebagai ciri atau tanda khusus dari sanad
ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
a) Sanad tarekat tidak mengutamakan
ketersambungan sanad secara hakiki, namun ulama di bidang ini menerima dan
menganggap sah sanad yang didapatkan lewat jalur rohani atau disebut juga dengan
barzakhi (periwayatan seseorang yang hidup dengan orang atau syekh
tarekat yang telah wafat melalui mimpi atau jalur lain yang tidak di alam
nyata.
Dalam contoh sanad yang penulis kutipkan di atas,
setidaknya ada tiga sanad dari empat sanad yang dimiliki Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani yang
diriwayatkan dengan jalan rohani, yaitu sanad kedua, ketiga, dan keempat. Pada
sanad kedua, Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani memiliki sanad a’li[60] dengan dua orang perantara antara dia
dengan Rasulullah SAW, yaitu gurunya Syekh Zakaria al-Anshari (w. 925 H) dan
gurunya yang bernama Syekh Muhammad al-Ghummari, dan syekh al-Ghummari ini
mendapatkan tarekat langsung dari Nabi Muhammad SAW. Padahal secara logika,
tidak mungkin syekh al-Ghimmari yang mempunyai jarak yang sangat jauh dengan
Rasulullah bisa meriwayatkan tarekat secara langsung dari Nabi, kecuali lewat
jalur rohani (pertemuan di alam roh/barzakh). Dan
hal ini sangat-sangat lumrah dalam tradisi shufi yang mengutamakan kebersihan
rohani.
Pada sanad yang ketiga Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani
juga mempunyai sanad yang a’li, kali ini dia mengambil tarekat dari
Syekh A’li al-Khawwash, dan dia dari gurunya yang bernama Sayyid Ibrahim
al-Mathbuli, dan Sayyid Ibrahim mengambilnya langsung dari Rasulullah SAW lewat
jalur rohani. Karena tidak mungkin keduanya bertemu secara hakiki, lantaran
jauhnya jarak di antara keduanya.
Begitu juga dengan sanad keempat, Syekh Abdu al-Wahhab
al-Sya’rani memiliki sanad yang lebih pendek lagi, yaitu dirinya, kemudian
gurunya Syekh A’li al-Khawwash, dan Nabi SAW. Dalam
kata lain beliau hanya mempunyai satu orang perantara antara dirinya dengan
Rasulullah SAW, padahal dia hidup pada abad ke-10 hijriah, sementara Nabi hidup
pada abad pertama hijriah. Tidak logis kalau ditinjau lewat pendekatan ilmu
hadis adanya sanad seperti ini. Namun disinilah letak keistimewaan sanad
tarekat ini sekaligus poin yang membedakannya dengan sanad hadis dan sanad
kitab.
b) Selanjutnya sanad tarekat juga tidak
terlalu memperhatikan lafadz ada’ dan thuruq tahammul sebagaimana
yang terdapat dalam sanad hadis dan sanad kitab. Hal ini terbukti dengan
bolehnya pemakaian lafadz ada’ dengan kata laqqana, akhadza a’n, ila, dan
lain sebagainya dalam sanad tersebut. Sehingga tidak ditemukan kaedah khusus
yang menentukan kapan sebuah sanad tarekat itu dianggap terputus dan kapan
sanad tersebut dianggap bersambung. Wallahu A’lam
c) Boleh dalam penulisan sanad tarekat
penyebutan sanad yang dimulai dari asal sanad (perawi pertama setelah sumber
utama) atau kalau dalam sanad hadis dimulai dari tabaqat sahabat misalnya atau
tabi’in, padahal dalam adat yang berlaku dalam sanad hadis atau kitab,
penyebutan sanad itu selalu dari akhir sanad (shahib al-kitab) atau kalau dalam
sanad hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, dan seterusnya hingga sampai kepada
asal sanad. Ini merupakan kekhususan sanad tarekat yang juga tidak dimiliki
oleh sanad hadis ataupun sanad kitab. Wallahu A’lam
Contoh
dari poin ini adalah salah satu sanad tarekat Naqsyabandi yang dikutip oleh
Imam Abdu al-Majid bin Muhammad al-Khani dalam kitabnya al-Hadaiq, beliau
menuliskan :
”من مدينة العلم صلى الله عليه وسلم إلى بابه الأعظم سيدنا على بن
أبي طالب إلي سيد الشهداء أبي عبد الله الإمام حسين إلي سيدنا الإمام زين العابدين
علي الأصفر إلي سيدنا الإمام محمد الباقر إلي سيدنا الإمام جعفر الصادق إلي أخر
السند.“[61]
d) Kriteria tsiqah (kredibel) dalam
sanad tarekat berbeda dengan kriteria tsiqah perspekstif ulama ahli
hadis. Menurut mereka seorang perawi sudah dianggap kredibel manakala ia sudah
berakhlak dengan budi pekerti yang baik dan yang terpenting dia adalah seorang
yang a’rif (ahlu al-kassyaf) dengan Allah SAW. Hal ini sangat berbeda
dengan kriteria para ahli hadis yang menekankan ketsiqahan dari segi a’dil
dan kuatnya hafalan (dhobit).[62]
Untuk
mengetahui perbedaan antara tiga sanad di atas secara mudah, berikut penulis
cantumkan tabel perbedaan masing-masing sanad berdasarkan titik perbedaan dan
persamaannya :
Tabel
Perbedaan Antara Sanad Hadis, Sanad Kitab, dan Sanad Doa/Hidzib/Tarekat
No
|
Objek
Kajian
|
Sanad
Hadis
|
Sanad
Kitab
|
Sanad
Tarekat/Hidzib/Doa
|
1.
|
Urgensi
sanad.
|
Sangat
memprioritaskannya serta menetapkan kriteria yang sangat detail dalam
menyeleksi apakah sanad tersebut muttashil atau tidak. Karena hal ini
akan berimplikasi terhadap matan hadis tersebut, apakah dia shahih atau
tidak, apakah dia bisa dijadikan hujjah atau tidak.
|
Sanad hanya diposisikan sebagai penguat
penisbatan kitab kepada muallifnya. Selain itu sanad ini biasanya dijadikan
sebagai syarat kebolehan dalam mengajarkan kandungan kitab tertentu kepada
orang lain. Dan sanad ini terkadang oleh sebagian golongan dijadikan sebagai
bahan untuk tabarrukan semata.
|
Sanad
ini mempunyai aturan yang lebih longgar daripada sanad hadis dan kitab,
seakan-akan tidak terlalu mementingkannya. Hal ini dapat ditinjau dari
beberapa hal seperti tidak adanya standar khusus terhadap penilaian
ketersambungan sanad serta tidak jelasnya penentuan shighat fi riwayah
dari para perawinya.
|
2.
|
Kriteria
ketersambungan sanad.
|
Sanad
dianggap muttashil manakala setiap perawi liqa’ (bertemu) antar satu
sama lain. Akan tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan dalam standarisasi liqa’
ini, ada yang menyaratkan liqa’ hakiki (tidak secara rohani/barzakhi atau
hanya ada kemungkinan bertemu semata) sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam
Bukhari dan adanya kemungkinan liqa’ dengan bukti mu’asharah (sezaman)
menurut Imam Muslim.
|
Tidak
mempunyai kriteria khusus dalam menentukan ketersambungan sanad, akan tetapi
sanad dianggap muttashil manakala adanya ketersambungan silsilah para
periwayat dari kitab itu secara zhanni dengan tanpa menyaratkan adanya
kepastian bertemu. Seandainya sanad tersebut sudah bisa dipastikan terputus,
maka hal itu juga tidak akan mempengaruhi kandungan dari kitab tersebut
melainkan hanya tidak kuatnya penisbatan kitab yang bersangkutan kepada
penulisnya.
|
Sanad
ini lebih longgar lagi. Karena ketersambungan sanad tidak menyaratkan adanya
pertemuan antar perawi secara nyata/hakiki. Tapi juga melegitimasi adanya
pertemuan yang bersifat rohani (pertemuan di alam barzakh antar perawi
yang masih hidup dengan yang sudah meninggal). Sehingga mungkin saja sanad
akan bersifat a’li walaupun jarak antara perawi sangat berjauhan dari
segi waktu. Lihat kembali contoh di atas.
|
3.
|
Implikasi
keterputusan sanad.
|
Tidak
sah dijadikan landasan/dalil dalam beramal. Namun di sini masih ada bahasan
lain yang menjadi lahan khilafiah antar ulama hadis seperti boleh
tidaknya mengamalkan hadis dho’if untuk fadhoil al-a’mal. Lihat
bahasan lengkapnya di kitab-kitab musthalah hadis.
|
Ketidakpastian
penisbatan kitab yang bersangkutan kepada penulisnya. Hal ini akan berakibat
pendustaan terhadap seseorang, karena menisbahkan sesuatu karangan bukan
kepada orang yang mengatakannya. Di sisi lain seseorang yang sanad kitabnya
terputus tidak boleh mengajarkan kandungan kitab yang bersangkutan kepada
orang lain. Namun menurut pendapat lain boleh dengan syarat dia menguasai isi
kitab tersebut.
|
Ketidakpastian
riwayat amalan yang diajarkan oleh masing-masing rawi, sehingga menyebabkan
tarekat yang bersangkutan bisa dianggap ghair mu’tabarah sama sekali
dan bahkan bisa dicap sebagai sebuah amalan bid’ah yang menyelisihi ajaran
agama. Hal ini sangat berbahaya terhadap keberagamaan seseorang manusia,
karena mengamalkan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW.
|
4.
|
Kriteria
kredibelnya seorang rawi.
|
Apabila rawi yang bersangkutan bersifat ‘adil
(muslim, baligh, dan berakal, tidak pernah berbuat dosa besar dan jarang
berbuat dosa kecil, serta terjaga harga dirinya) dan dhobith (kuat
hafalannya), dan dhobith di sini ada 2 yaitu ada dhobit shadr dan ada dhobith
kitab.
|
Tidak
mempunyai standarisasi yang jelas.
|
Dianggap
kredibel apabila perawinya berakhlak baik dan yang paling penting dia adalah
orang yang a’rif (mukasyafah) dengan Allah SWT dengan kesaksian para
murid atau riwayat dari masyarakat sekitar.
|
5.
|
Pemakaian
lafadz ada’ wa thuruq tahammul (penyampaian dan penerimaan hadis).
|
Sangat memperhatikan lafadz ada’. Karena
terkadang dari sana bisa diketahui secara langsung apakah hadis tersebut
muttashil atau tidak seperti penggunaan
lafadz sami’tu atau haddatsani menunjukkan sima’ (mendengar
langsung dari syekh), lafadz akhbarani menunjukkan qira’ah (membaca di
hadapan syekh), lafadz anbaani menunjukkan ijazah, dan lafadz qala
li atau zakara li menunjukkan sima’ (mendengarkan) lewat
mudzakarah.
|
Sanad kitab juga menggunakan lafadz-lafadz ada’
(penyampaian) sebagaimana yang berlaku dalam sanad hadis. Hanya saja
kriterianya tidak sedetail dan serumit sanad hadis yang memang mengutamakan
ketransparanan dan kepastian. Dan lafadz-lafadz ada’ yang sering digunakan
dalam sanad kitab adalah lafadz akhbarana dan a’n. Dan penulis
belum menemukan contoh sanad ini yang memakai shighat lain selain dua lafadz
ini.
|
Selanjutnya sanad tarekat juga tidak terlalu
memperhatikan lafadz ada’ dan thuruq tahammul sebagaimana yang terdapat dalam
sanad hadis dan sanad kitab. Hal ini terbukti dengan bolehnya pemakaian
lafadz ada’ dengan kata laqqana, akhadza a’n, ila, dan lain sebagainya
dalam sanad tersebut. Sehingga tidak ditemukan kaedah khusus yang menentukan
kapan sebuah sanad tarekat itu dianggap terputus dan kapan sanad tersebut
dianggap bersambung.
|
6.
|
Sistematika
penulisan sanad.
|
Penulisan
sanad hadis selalu diawali dari shahibul al-kitab (seperti dari Imam Bukhari,
Muslim, Abu Daud, dan lain-lain), kemudian terus ke atas sampai kepada awal
sanad seperti sahabat/tabi’in dan pada akhirnya sampai kepada Nabi SAW.
|
Sama
dengan sistematika penulisan sanad hadis, yaitu dari orang yang punya sanad
hingga sampai kepada pengarang kitab.
|
Boleh dalam penulisan sanad tarekat penyebutan
sanad yang dimulai dari asal sanad (perawi pertama setelah sumber utama) atau
kalau dalam sanad hadis dimulai dari tabaqat sahabat misalnya sahabat atau
tabi’in, padahal dalam adat yang berlaku dalam sanad hadis atau kitab,
penulisan sanad itu selalu dari akhir sanad (shahib al-kitab) atau kalau
dalam sanad hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, dan seterusnya hingga sampai
kepada asal sanad. Ini merupakan kekhususan sanad tarekat yang juga tidak
dimiliki oleh sanad hadis ataupun sanad kitab.
|
7.
|
Sistem
peringkasan sanad.
|
Salah satu keistimewaan sanad hadis adalah
adanya variasi penulisan sanad dengan jalan meringkas sanad atau yang lazim
disebut dengan istilah tahwil. Sehingga dengan adanya rumusan ini,
seorang muhaddis yang mempunyai banyak guru tidak perlu boros dan “lebay”
dalam menyebutkan sanad, karena hal itu bisa diringkas dengan cara
membubuhkan istilah ح (dibaca
tahwil) di sela-sela sanad hadis yang bersangkutan.
|
Hal
seperti ini belum ditemukan dalam sanad ini.
|
Hal
seperti ini belum ditemukan dalam sanad ini.
|
Kesimpulan dan Penutup.
Setelah menelaah perbedaan dan persamaan antara
ke-3 sanad di atas, maka jelaslah bahwa masing-masing mempunyai ciri dan
kriteria tersendiri yang tidak dimiliki oleh yang lain. Tulisan ini baru
mencapai bentuk perbedaan dalam artian luas dan belum menyentuh inti/pokok
persoalan, yaitu apa yang menyebabkan perbedaan tersebut dan bagaimana cara
untuk menyatukan pandangan ketiganya dalam satu konsep, sehingga tidak lantas
perbedaan metodologi menjadikan seseorang terlalu cepat dalam mengklaim ataupun
ceroboh dalam memberi pandangan terhadap sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
al-Fadani,
Muhammad Yasin bin Muhammad I’sa, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd, Indonesia:
Attahariyah, Cet. III, 1982.
al-Khani,
Abdu al-Majid bin Muhammad, al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Haqaiq Ajillai
al-Naqsyabandiah, Irak: Dar Taras li al-Thab’ah wa Nasyr, Cet. II, 2002.
al-Khathib,
Muhammad A’jjaj, Ushul al-Hadis, Beirut: Darul Fikr, Cet. III, 1975.
al-Nawawi,
Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim li al-Nawawi,
Mesir: Darul Hadis, Cet. IV, 2001.
al-Qasimi,
Jalal al-dien, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, Beirut:
Dar al-Nafais, Cet. I, 1987.
al-Suyuthi,
Jalal al-Dien, Tadrib al-Rawi syarh Taqrib al-Nawawi, Mesir: Darul
Hadis, Cet. I, 2004.
al-Sya’rani, Abdu al-Wahhab, al-Anwar al-Qudsiyyah fi
Ma’rifah Qawa’id al-Shufiyyah, Beirut: Maktabah I’lmiyyah, t.t.
al-Syahrazuri, Abi Amr Utsman bin Abd al-Rahman, Muqaddimah
Ibn Shalah fi Ulum al-Hadis, dicetak bersamaan dengan tahqiqannya oleh Abu
A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,
Cet. II, 2006.
Salim,
Hasan Basri dan Shahabuddin bin Shahabuddin, Mabadi Ulum al-Hadis, Jakarta:
UIN Press, 2009.
Surah,
Abu I’sa Muhammad bin I’sa bin, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Darul Hadis,
Cet. I, 1999.
Sya’roni,
Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, Cet. II, 2008.
Syakir, Ahmad Muhammad, al-Baits al-Hatsis Syarh
Ikhtishar U’lum al-Hadis li al-Hafidz Ibn Katsir, Beirut: Darul Kutub
I’lmiyyah, t.t.
Thahhan,
Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif, Cet. III, 1991.
Thahhan,
Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadis, Indonesia: Al-Haramain, Cet. VII,
1977.
Zaidan,
Abdul Karim, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah al-Nâsyirun, Cet.
I, 2008.
[1]Istilah
sanad berasal dari kata Sanada-Yasnudu-Sanadan yang secara etimologi
berarti al-mu’tamad (sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang
dipercaya, yang sah). Dikatakan demikian karena hadis itu bersandar kepadanya
dan dipegangi atas kebenarannya. Sedangkan secara terminologi sanad mengandung
arti silsilah beberapa orang (yang meriwayatkan hadis) yang menghubungkannya
kepada matan hadis. Adapun kata isnad mengandung pengertian
menyandarkan, mengasalkan, mengangkat hadis kepada orang yang mengatakannya.
Pada tahap selanjutnya kata sanad dan isnad mempunyai arti yang hampir sama
atau berdekatan. Lihat Taisir Musthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan,
hal. 16, yang kemudian dikutip oleh Usman Sya’roni dalam bukunya Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hal. 9.
[2]Lihat
muqaddimah Syarh Shahih Muslim li al-Nawawi, bab ke-5, bab al-Isnad min
al-Dien, hal. 120. Kemudian perkataan Ibn Mubarak ini dinukil hampir di
semua kitab-kitab Musthalah Hadis seperti Muqaddimah karya Ibn Shalah, Qawaid
al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis karya al-Qasimi, Tadrib al-Rawi
syarh Taqrib al-Nawawi karya al-Suyuthi, Taisir Mushthalah al-Hadis
karya Mahmud Thahhan, dan masih banyak yang lain.
[3]Lihat
Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis karya Jalal al-dien
Al-Qasimi, bab 6, pembahasan isnad, hal. 210.
[4]Lihat
Tadrib al-Rawi syarh Taqrib al-Nawawi karya Jalal al-Dien al-Suyuthi,
macam yang ke-29, pembahasan ma’rifah al-isnad al-a’li wa al-nazil, hal.
431.
[5]Kata
I’llah berasal dari kata ‘alla, ya’ullu, atau ya’illu secara
etimologi berarti penyakit, sebab, alasan, atau halangan. Sehingga ungkapan
tidak beri’llat secara bahasa berarti tidak ada penyakit, tidak ada alasan, dan
tidak ada halangan. Adapun pengertiannya secara terminology sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ibn Shalah berarti sebab yang tersembunyi yang merusak
kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak
shahih menjadi tidak shahih. Lihat Muqaddimah Ibn Shalah, h. 43.
[6]Kata
syadz berasal dari kata syadzza, yasyudzzu, secara bahasa berarti
ganjil, yang terasing, yang menyalahi aturan, yang tidak biasa, atau yang
menyimpang. Sehingga secara praktis dapat diartikan sebagai hadis yang
menyimpang, hadis yang ganjil, atau hadis yang menyalahi aturan. Adapun pengertiannya secara terminology
adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang kapabel namun
bertentangan dengan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kapabel
lainnya, sementara tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
[7]Mahmud
Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif, Cet. III, 1991), hal. 139.
[8]Lihat
tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn Shalah, karya Abu A’bd al-Rahmân Shalah
bin Muhammad bin U’waidhoh, macam yang ke-29, pembahasan ma’rifah al-isnad
al-a’li wa al-nazil, hal 271. Lebih lanjut Ibnu Hazm memaparkan bahwa salah
satu kelemahan sanad yang dimiliki oleh kaum Yahudi adalah banyaknya
sanad-sanad yang mursal dan mu’dhol dalam kisah-kisah yang mereka riwayatkan,
sehingga kedekatan mereka terhadap Nabi Musa tidak sebanding dengan kedekatan
umat Nabi Muhammad dengan beliau, karena terdapat jarak kira-kira 30 periode
antara mereka dengan Nabi Musa. Sedangkan kaum Nasrani tidak mempunyai tradisi
seperti ini melainkan hanya dalam persoalan talak saja. Sementara dalam
persoalan lain, riwayat-riwayat mereka dipenuhi dengan kedustaan, majhul
al-ain, dan lain sebagainya.
[9]Abi
Amr Utsman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum
al-Hadis, dicetak bersamaan dengan tahqiqannya oleh Abu A’bd al-Rahmân
Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, Cet. II, 2006),
hal. 271.
[10]Muhammad
Yasin bin Muhammad I’sa al-Fadani, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd, (Indonesia:
Attahariyah, Cet. III, 1982), hal. 2.
[11]Abdul
Karim Zaidan, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah al-Nâsyirun,
Cet. l, 2008), hal. 47. Lihat juga Taisir Musthalah al-Hadis karya
Mahmud Thahhan, hal. 16 dan Qawa’id al-Tahdis karya Jalaluddin
al-Qasimi, hal. 210.
[12]Abu
I’sa Muhammad bin I’sa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Darul
Hadis, Cet. l, 1999), juz ke-1, hal. 87. Hadis ini terdapat dalam Kitab
Thaharah, bab tentang tidak diterimanya shalat tanpa bersuci, hadis ke-1.
[13]Rujukan
terpenting dalam pembahasan ini adalah al-Muhaddis al-Fashil, paragraf
45-64, al-Kifayah, hal. 54-66, al-Ilma’, hal. 11/B, Muqaddimah
ibn Shalah, hal. 48-50, Ikhtisar Ulum al-Hadis, hal. 120-122, Fath
al-Mughits karya al-I’raqi, hal. 43, dan Fath al-Mughits karya
al-Sakhawiy, hal. 163, Taudhih al-Afkar, hal. 206, juz 2, Fath
al-Ghaffar, hal. 86, juz 2. Keterangan ini dikutip dari terjemahan Ushul
al-Hadis karya Muhammad Ajjaj al-Khathib, hal. 217.
[14]Tadlis
secara
bahasa terambilkan dari kata dalas yang bermakna kegelapan atau
percampuran kegelapan sebagaimana disebutkan dalam Qamus al-Muhith karya
Fairuz Abadi. Sehingga secara praktis tadlis adalah menyembunyikan
cacat/aib yang terdapat pada barang dagangan dari calon pembeli. Sementara itu
secara istilah tadlis berarti menyembunyikan kecacatan yang terdapat di
dalam sanad, sehingga secara lahiriahnya terlihat bagus dan tidak mempunyai
cacat.
[15]Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, (Beirut: Darul Fikr, Cet. III, 1975),
hal. 233-234. Lihat juga Qawa’id Tahdis karya al-Qasimi, hal. 211.
[16]Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, hal. 234-235.
[24]Ahmad
Muhammad Syakir, al-Baits al-Hatsis Syarh Ikhtishar U’lum al-Hadis li
al-Hafidz Ibn Katsir, (Beirut: Darul Kutub I’lmiyyah), hal. 104.
[25]Mahmud
Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Indonesia: Al-Haramain, Cet. VII,
1977), hal. 160.
[32]Hasan
Basri Salim dan Shahabuddin bin Shahabuddin, Mabadi Ulum al-Hadis, (Jakarta:
UIN Press, 2009), hal 22. Ada yang mengatakan bahwa perbedaan syarat inilah
yang menjadi salah satu faktor mayoritas ulama hadis mengunggulkan Shahih
Bukhari daripada Shahih Muslim dari segi kualitas, walaupun dari segi yang lain
terkadang Shahih Muslim lebih unggul dari Shahih Bukhari seperti adanya
sebagian hadis dalam Shahih Muslim yang lebih tinggi kualitas keshahihannya
daripada hadis shahih dalam Shahih Bukhari dan lain sebagainya.
[33]Yaitu
hadis yang pada bagian awal sanadnya dibuang, baik seorang perawi atau pun
lebih secara berturut-turut.
[34]Yaitu
hadis yang gugur pada akhir sanad setelah tabi’in.
[35]Yaitu
hadis yang sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
[36]Yaitu
hadis yang sanadnya tidak bersambung dari sisi manapun terputusnya.
[37]Yaitu
menyembunyikan cacat yang ada pada sanad, lalu menampakkannya bagus.
[38]Yaitu
hadis yang diriwayatkan dari orang yang pernah bertemu atau semasa dengannya,
akan tetapi tidak pernah mendengarnya dengan bentuk lafadz yang mengandung
pengertian sima’ (mendengar langsung) atau yang sejenisnya, seperti qala (ia
telah berkata).
[39]Yaitu
hadis yang perawinya memakai lafadz tahdis a’n (fulan dari si fulan).
[40]Yaitu
hadis yang lafadz tahdis perawinya menggunakan lafadz anna dengan makna
telah menceritakan kepadaku si fulan sesungguhnya fulan telah berkata.
[41]A’dil
dalam
istilah Ilmu Hadis bermakna seorang perawi yang di dalam dirinya terkumpul
sifat muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak pula orang yang rusak
harga dirinya.
[42]Yaitu
dusta yang dibuat-buat dan direkayasa, kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah
SAW.
[43]Yaitu
hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang dituduh berdusta.
[44]Para
ulama membuat definisi hadis mungkar bermacam-macam, tetapi yang terkenal ada
dua :
1. Hadis
yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang kekeliruannya parah, atau banyak
lupa, atau menampakkan kefasikannya. Defenisi ini disinggung oleh al-Hafidz Ibn
Hajar dan Imam Baiquni dalam Mandhumat.
2. Hadis
yang dirawayatkan oleh rawi yang dhoif yang bertentangan dengan rawi tsiqah.
Devenisi ini juga disebut-sebut oleh Hafidz Ibn Hajar dan dijadikannya sebagai
sandaran. Terdapat tambahan dari devenisi yang pertama yaitu hadis yang
diriwayatkan rawi dhoif itu bertentangan dengan rawi tsiqah.
[45]Yaitu
hadis yang jika dicermati terdapat cacat yang merusak keshahihannya, meski
secara zohir hadis tersebut selamat dari cacat (I’lat).
[46]Yaitu
hadis dho’if yang disebabkan lantaran riwayatnya menyelisihi riwayat dari rawi
tsiqah. Dari hadis ini muncul lima macam cabang ilmu hadis yaitu hadis mudraj,
hadis maqlub, al-mazid fi muttashil al-asanid,
hadis mudtharrib, dan hadis mushahhaf.
[47]Yaitu
hadis yang dirubah susunan sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan
menjadi bagiannya tanpa ada pemisah.
[48]Yaitu
menukar lafadz dengan lafadz lainnya pada sanad hadis atau pada matan hadis
dengan cara mendahulukan, mengakhirkan, atau yang sejenis.
[49]Yaitu
hadis yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-macam yang kekuatannya sama dan
tidak bisa dijama’ antar satu sama lain.
[50]Yaitu
berubahnya kata di dalam hadis dengan kata selain yang diriwayatkan oleh rawi
tsiqah, baik lafadznya maupun maknanya.
[51]Yaitu
hadis yang diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima) yang menyelisihi dengan
orang yang lebih utama.
[52]Secara
bahasa kata tah̠wil berasal dari h̠awwala-yuh̠awwilu-tah̠wîlan,
yang berarti memindahkan atau memalingkan. Kata tah̠wil semakna dengan kata ghayyara,
intaqala, inshorof. Namun secara umum istilah ini dipakai untuk
menunjukkan perpindahan sanad ke sanad yang lain, karena terdapat dua sanad
atau lebih, kemudian menjadikan keduanya pada satu matan. Di dalam menjelaskan
permasalahan tah̠wil, para ulama ahli hadis (muh̠addisin) berbeda
pendapat di dalam memberikan tanda (rumus) h̠a. Ada yang
menyebutkan bahwa huruf h̠a ini merupakan rumus dari lafadz al-tah̠wil
atau al-h̠âil. Adapula yang menyebut bahwa huruf h̠a merupakan
ibarat dari perkataan al-h̠adits. Ada sebagian orang yang menyangka
bahwa huruf h̠a ini adalah kho, yaitu adanya jalur sanad yang
lain, namun yang masyhur dan menjadi konsensus para ulama adalah huruf h̠a.
Dalam membaca huruf h̠a sebagai
rumus untuk perpindahan dari satu sanad ke sanad yang lain, para ulama ahli
hadis (muh̠adisîn) berbeda dalam hal pembacaannya. Berikut akan
dijelaskan secara rinci cara pembacaan huruf h̠a beserta ulama yang mempraktekkan
pembacaan tersebut.
1. Menurut Ibn Shalah “ketika
kita sampai pada huruf h̠a, bacalah sebagaimana adanya, yaitu bacalah h̠a dan
langsung meneruskan bacaan
selanjutnya.”
Begitu pula dengan Imam al-Nawawi ketika sampai pada huruf h̠a hanya
membaca h̠a sebagaimana adanya
dan meneruskan bacaannya.
2. Menurut Ulama Baghdad, ketika sampai pada huruf h̠a
bacalah h̠a sebagaimana adanya dan teruskan bacaan selanjutnya. Adapula
sebagian Ulama Baghdad ketika sampai pada huruf h̠a membaca h̠âjiz.
3. Sedangkan Ahli maghrib ketika sampai pada huruf h̠a
membaca al-h̠adis dan sebagian Ahli Maghrib lainnya membaca h̠âjiz sebagaimana
yang dikatakan oleh Ulama Baghdad.
4. Muhammad Jamal al-Dîn
al-Qasamî, di dalam kitabnya Qawâid al-Tah̠dits Min Funûn al-Mushthalah̠
al-H̠adîs ketika sampai pada huruf h̠a membaca tah̠wil (tanpa alif lam), seperti apa yang dikatakan oleh atau dari
guru-guru Beliau. Pembacan huruf h̠a dengan tah̠wil (tanpa alif
lam), dianggap baik olehnya.
5. Menurut Ahli masyriq, ketika
sampai pada huruf h̠a membaca al-tah̠wil (dengan alif
lam).
Keterangan ini dikutip dari makalah Saudara Muhammad
Bindaniji, yang berjudul Pengertian Tahwil pada Sanad dan Faedahnya.
[53]Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim li al-Nawawi, (Mesir: Darul Hadis, Cet. IV,
2001), juz ke-1, hal. 18.
[54]Muhammad
Yasin bin Muhammad I’sa al-Fadani, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd,
hal. 60.
[55]Wawancara
dengan salah seorang mahasantri senior Darussunnah, al-Habib Muhammad Idris
Mas’udi, pada hari Jum’at, 6 April 2012, Jam 06.45 WIB.
[56]Jalal
al-dien al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, hal.
224.
[58]Abdu
al-Wahhab al-Sya’rani, al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id
al-Shufiyyah, (Beirut: Maktabah I’lmiyyah, t.t), juz ke-1, hal. 20.
[60]Kata
A’li merupakan isim fail dari kata al-u’luw yang merupakan
antonim dari kata al-nuzul. Secara istilah sanad a’li I bermakna
sanad yang mempunyai rangkaian silsilah yang pendek/sedikit apabila
dibandingkan dengan sanad lain dari hadis tersebut.
[61]Abdu
al-Majid bin Muhammad al-Khani, al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Haqaiq Ajillai
al-Naqsyabandiah, (Irak: Dar Taras li al-Thab’ah wa Nasyr, Cet. II,
2002), hal. 10.
[62]Wawancara
dengan salah seorang dosen Darussunnah, Ust. Arrazy Hasyim, pada hari Minggu, 8
April 2012, Jam 18.45 WIB.
Komentar
Posting Komentar