Tradisi Periwayatan Umat Islam; Studi atas Sanad Hadis, Sanad Kitab dan Sanad Doa



Oleh : Yunal Isra
Pendahuluan.
Sanad atau isnad[1] dalam literatur Ilmu Hadis menempati posisi yang sangat urgen dan mendasar. Sehingga tidak heran kalau ulama besar sekaliber Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) menyatakan bahwa sanad termasuk bagian dari agama Islam sendiri, seandainya tidak ada sanad, niscaya setiap orang akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki.[2] Hal senada juga diungkapkan oleh Imam al-Tsauri (w. 159 H), beliau menegaskan bahwa sanad adalah senjata orang-orang yang beriman.[3] Imam Suyuthi (w. 911 H) dalam Tadrib-nya pernah menukil perkataan Muhammad bin Aslam al-Thûsi (w. 242 H) yang menyatakan bahwa dengan dekatnya sanad (kepada sumbernya) akan membawa dekatnya (seseorang) kepada Allah SWT.[4]

Setidaknya beberapa pendapat yang penulis kutip di atas cukup menjadi bukti betapa urgennya sanad dalam sebuah hadis. Arti penting sanad tersebut di taraf selanjutnya akan berdampak terhadap otentisitas hadis itu sendiri. Apabila sanadnya bagus, dalam artian memenuhi kriteria diterimanya sebuah sanad seperti bersambung dari awal sampai akhirnya, masing-masing perawinya kredibel, serta matan hadisnya selamat dari i’llah[5] dan syadz,[6] maka hadis tersebut akan bernilai shahih dan begitu juga sebaliknya. Apabila sanadnya jelek, maka secara otomatis kualitas hadis yang dihasilkan juga akan dhoif atau bahkan palsu sama sekali. Sehingga tepatlah apa yang pernah dilontarkan oleh Mahmud Thahhan “sekiranya tidak ada sanad, maka kita tidak akan mengetahui mana hadis yang shahih dan mana yang dusta”.[7]
Kemudian kalau ditinjau sejarah umat-umat terdahulu seperti kaum Yahudi, Nasrani, dan lain sebagainya, niscaya tidak akan ditemukan tradisi sanad sebagaimana yang berlaku dalam agama Islam ini. Hal itu, sebagaimana diungkap oleh sebagian besar ulama hadis baik klasik maupun kontemporer, menunjukkan bahwa tradisi sanad merupakan keistimewaan yang hanya dimiliki oleh umat Nabi Muhammad SAW saja. Ibnu Hazm (w. 448 W) menuturkan “korespondensi dari seorang kredibel dari orang kredibel lainnya yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW adalah keistimewaan yang hanya dikaruniakan Allah SWT kepada umat Islam, tidak umat-umat yang lain.[8]
Hal serupa juga pernah disinggung oleh Abu A’li al-Jayyâni (w. 498 H) sebagaimana yang dikutip oleh Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh dalam tahqiqannya terhadap kitab Muqaddimah karya Ibn Al-Shalâh (w. 642 H), ia mengatakan “Allah SWT mengistimewakan umat ini dengan tiga perkara yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tradisi sanad, nasab, dan i’rab”[9]. Syekh Yasin al-Fadani (w. 1410 H) dalam muqaddimah kitabnya Ittihaf al-Mustafîd bi Gharar al-Asânîd mengatakan “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan penelitian terhadap sanad sebagai perantara yang akan meninggikan derajat para pecinta ilmu (hadis), yang mana hal itu merupakan sebagian dari keistimewaan umat Nabi Muhammad SAW dari sekian banyak umat-umat yang ada.[10]
Dan masih banyak ulama-ulama besar lainnya yang telah membuktikan hal tersebut, seperti Abu Hâtim al-Râzi (w. 277 H), sebagaimana dinukil oleh pentahqiq Muqaddimah Ibn Shalah, Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh, Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi-nya, Imam al-I’raqi (w. 806 H) dalam Fath al-Mughis-nya, Imam al-Sakhawi (w. 664 H) dalam kitab yang sama, serta ulama besar lain yang tidak bisa penulis sebutkan secara satu persatu dalam tulisan yang sangat terbatas ini.

Bidang Pengaplikasian Sanad.
Setelah mengetahui sanad dengan segala urgensi dan sejarah perkembangannya, bahasan ini akan dilanjutkan kepada bidang-bidang pengaplikasian sanad. Setidaknya ada Tiga bidang yang sering diiringi oleh sanad, yaitu hadis, kitab, dan doa atau yang masyhur dengan sebutan sanad hidzib/tarekat. Masing-masing dari ketiga sanad tersebut mempunyai kekhususan dan ciri-ciri umum yang berbeda antar satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mencoba menguraikan masing-masingnya sesuai urutan di atas.
a.     Sanad Hadis.
Sanad menurut para ahli hadis berarti ikhbar (jalan untuk mengetahui) matan hadis. Sebagian ahli hadis yang lain menegaskan bahwa sanad adalah jalur atau silsilah yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau dengan kata lain urutan beberapa nama yang meriwayatkan hadis dari satu orang kepada yang lain sehingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara itu isnad diartikan sebagai penisbatan sebuah hadis kepada orang yang menyampaikannya. Akan tetapi mayoritas ulama hadis sering menyamakan antara istilah sanad dengan isnad untuk objek yang satu dengan makna yang sama.[11]
Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kekhususan sanad ini, penulis akan mengutip sebuah contoh dari sanad hadis yang nantinya akan dianalisis dari berbagai sisi guna membedakannya dengan sanad-sanad yang lain seperti sanad kitab ataupun sanad doa/tarekat. Contoh tersebut adalah sebagai berikut :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة عن سماك بن حرب ح وحدثنا هناد حدثنا وكيع عن إسرائيل عن سماك عن مصعب بن سعد عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا تقبل صلاة بغير طهور و لا صدقة من غلول.[12]           
Terjemahannya : Imam Tirmidzi mengatakan “telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, ia berkata “telah menceritakan kepada kami Abu A’wanah dari Simak bin Harb”, tahwil “telah bercerita kepada kami Waki’, dari Israil, dari Simak, dari Mus’ab bin Sa’ad, dari Ibn U’mar dari Nabi SAW, beliau berkata “tidak diterima shalat yang tidak didahului dengan bersuci dan sedekah dari hasil tipuan. (HR. Tirmidzi).
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis mempunyai beberapa ciri dan tanda khusus, diantaranya :
a)  Sanad hadis sangat memperhatikan penggunaan lafadz penyampaian sanad atau yang lazim disebut dengan shighah al-ada’ dan thuruq al-tahammul.[13] Pemakaian lafadz-lafadz ini dianggap sebagai ciri utama dari sanad ini, karena terkadang hanya dengan melihat lafadz-lafadz tersebut, seseorang bisa mengetahui apakah sanad hadis tersebut bersambung sampai kepada Rasulullah atau di dalamnya terdapat kemungkinan adanya keterputusan sanad (inqitha’ al-sanad) dengan sebab tadlis[14] atau sebab-sebab yang lain. Oleh sebab itu para ahli hadis telah menetapkan ada 8 cara penyampaian hadis sekaligus lafadz penyampaiannya. Yaitu sebagai berikut :
1.   Sima’ (mendengar) yaitu seseorang guru membaca hadis baik dari hafalan ataupun dari kitabnya, sedangkan para hadirin mendengarkannya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun tidak. Mayoritas ulama memandang bahwa metode ini merupakan metode yang paling tinggi kualitasnya.[15]
2.   Al-Qira’ah ala al-Syekh (membaca di hadapan guru). Yaitu seseorang membaca hadis di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti, sedangkan guru memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalan atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Metode ini berada di bawah peringkat metode yang pertama, namun sebagian ulama yang lain memandang metode ini lebih tinggi dari sima’.[16]
3.   Al-Ijazah (sertifikasi atau rekomendasi). Metode ini berbeda dari dua metode sebelumnya. Kalau dua metode tersebut menekankan bahwa seorang murid atau guru langsung membacakan hadis-hadis yang bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak. Namun metode ini masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula tanpa membacakan hadis yang diijazahkan. Oleh sebab itu, sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian yang lain tidak.[17]
4.   Al-Munawalah. Yaitu seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Sebagian ulama memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Munawalah ini pun ada yang disertai dengan ijazah secara langsung atau disebut juga al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah dan ada pula yang tidak atau disebut juga dengan al-munawalah al-mujarradah a’n a;-ijazah.[18]
5.   Al-mukatabah. Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian hadisnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain, lalu guru itu mengirimkan tulisan tersebut kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini juga terbagi dua ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang tidak.[19]
6.   I’lam al-Syekh. Yaitu seorang syekh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya yang telah didengar dan diambilnya dari seseorang atau perkataan lain yang senada tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Sebagian ulama mengatakan bahwa metode semacam ini harus disertai dengan ijazah agar periwayatan tersebut bisa bernilai shahih.[20]
7.   Al-Washiyyah. Yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkannya darinya. Ulama mutaakhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf yang mewasiatkan kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Metode tahammul seperti ini sangat jarang terjadi dan dianggap sebagai metode tahammul yang paling lemah.[21]
8.   Al-Wijadah. Kata ini merupakan konjugasi dari kata wajada-yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadis mengartikannya sebagai ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah, ataupun proses munawalah. Metode ini juga sangat jarang digunakan oleh ulama-ulama salaf dan bahkan sebagian besar mereka mencela para muhaddis yang meriwatkan hadis dari shahifah-shahifah tersebut. Hal itu dilatarbelakangi karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui pendengaran ataupun menyodorkan kitab.[22]
Sementara itu pembahasan mengenai lafadz ada’ (penyampaian hadis), maka disesuaikan dengan metode tahammul (penerimaan hadis) di atas.[23] Masing-masing metode mempunyai lafazd ada’ tertentu, sehingga dari lafadz tersebut nantinya akan diketahui secara praktis kualitas bersambung atau terputusnya sanad yang bersangkutan sebagaimana yang telah penulis singgung di awal pembahasan. Berikut beberapa lafadz ada’ yang sering dipakai dalam penyampaian hadis :
a.     Lafadz ada’ yang melambangkan metode sima’ antara lain lafadz sami’tu atau haddatsani menunjukkan sima’ (mendengar langsung dari syekh), lafadz akhbarani menunjukkan qira’ah (membaca di hadapan syekh), lafadz anbaani menunjukkan ijazah, dan lafadz qala li atau zakara li menunjukkan sima’ (mendengarkan) lewat mudzakarah.[24]
b.     Lafadz ada’ yang menunjukkan qira’ah (membaca) dihadapan syekh antara lain lafadz qara’tu ala fulan atau qaraa a’laihi wa ana asma’ fa aqarra bihi. Lafadz ini adalah lafadz yang lebih hati-hati. Selain itu ada lafadz lain yang juga diperbolehkan yaitu haddatsana qiraatan a’laihi dan pemutlakan lafadz akhbarana, tidak lafadz yang lain.[25]
c.      Lafadz ada’ yang menunjukkan metode ijazah antara lain lafadz ajaza li fulan dan boleh juga dengan ibarat sima’ dan qiraah yang dikait dengan ijazah seperti haddatsana ijazatan atau akhbarana ijazatan, serta lafadz anbaana menurut Abu al-A’bbas al-Walid bin Bakr al-Ma’mari, pengarang kitab al-Wijazah fi Tajwiz al-Ijazah.[26]
d.     Lafadz ada’ yang menunjukkan munawalah antara lain nawalani atau nawalani wa ajaza li jika disertai dengan ijazah dan boleh juga dengan ibarat sima’ atau qiraah yang dikait dengan lafadz munawalah seperti haddatsana munawalatan dan akhbarana munawalatan wa ijazatan.[27]
e.     Lafadz ada’ yang menunjukkan metode kitabah antara lain kataba ilayya fulan atau dengan ibarat sima’ atau qiraah yang dikait dengan lafadz kitabah seperti haddatsani au akhbarani kitabatan.[28]
f.      Lafadz ada’ yang menunjukkan metode i’lam dari syekh seperti a’lamani syaikhi bikadza.[29]
g.     Lafadz ada’ yang menunjukkan metode washiyyah seperti ausha ilayya fulan bikadza atau haddatsani fulan washiyyatan.[30]
h.     Lafadz ada’ yang menunjukkan metode wijadah seperti wajadtu bi khatti fulan au qara’tu bi khatti fulan kadza.[31]
b)    Sanad hadis sangat memprioritaskan ketersambungan sanad dari masing-masing perawi yang ada hingga sampai kepada sumber utama yaitu Nabi SAW. Ini juga merupakan salah satu ciri penting dari sanad ini. Namun dalam hal ini, para ulama hadis berselisih pendapat mengenai kriteria kapan sebuah sanad itu dinilai bersambung dan kapan dia dianggap terputus.
Di antara khilafiah (perbedaan) yang terjadi berkenaan dengan masalah ini adalah perbedaan kriteria shahih (yang salah satu unsurnya adalah ketersambungan sanad) antara Imam Bukhari (w. 256 H) dengan Imam Muslim (w. 261 H) ketika menyusun kitab Shahih-nya. Adapun syarat shahih perspektif Imam Bukhari ada tiga, yaitu keharusan liqa’ (bertemu secara pasti) antar perawi yang ada, harus semasa, serta terbebas dari tadlis. Sedangkan syarat shahih menurut Imam Muslim hanya dua yaitu semasa dengan bebasnya sanad dari kemungkinan tadlis.[32]
Adapun sanad yang tidak memenuhi kriteria shahih seperti yang telah disebutkan, akan berimplikasi terhadap matan hadis yang bersangkutan. Karena penilaian terhadap matan sangat bergantung terhadap kualitas sanadnya. Kongklusi dari hal ini adalah tidak sahnya beristidlal dengan hadis-hadis yang sanadnya terputus seperti Hadis Mu’allaq,[33] Hadis Mursal,[34] Hadis Mu’dhol,[35] Hadis Munqathi’,[36] Hadis Mudallas,[37] Mursal Khafiy,[38] dan Hadis Mu’an’an[39] atau Muannan.[40]
c)     Sanad hadis juga mengharuskan masing-masing dari perawi yang ada dalam rangkaian sanad bersifat adil[41] dan kuat hafalannya. Sehingga tidak sah beristidlal dengan hadis yang perawinya mempunyai kecacatan-kecacatan yang tidak bisa ditolerir dalam standar jarah wa ta’dil-nya ilmu hadis seperti Hadis Maudhu’,[42] Hadis Matruk,[43] Hadis Mungkar,[44] Hadis Mu’allal,[45] Hadis yang Mukhalafah li al-Tsiqah,[46] Hadis Mudraj,[47] Hadis Maqlub,[48] Hadis Muttharrib,[49] Hadis Mushahhaf,[50] dan Hadis Syadz.[51]
d)    Salah satu keistimewaan sanad hadis adalah adanya variasi penulisan sanad dengan jalan meringkas sanad atau yang lazim disebut dengan istilah tahwil[52]. Sehingga dengan adanya rumusan ini, seorang muhaddis yang mempunyai banyak guru tidak perlu boros dan “lebay” dalam menyebutkan sanad, karena hal itu bisa diringkas dengan cara membubuhkan istilah ح (dibaca tahwil) di sela-sela sanad hadis yang bersangkutan.
b.     Sanad Kitab.
Apabila istilah sanad dikaitkan dengan kata kitab (buku) atau disebut juga dengan sanad kitab maka maknanya adalah silsilah penulisan serta pengajaran sebuah kitab tertentu sehingga sampai kepada pengarangnya. Salah satu contoh dari sanad kitab ini adalah sanad kitab Shahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Nawawi (w. 676 H), sebagaimana yang beliau sebutkan dalam muqaddimah syarah Shahih Muslim. Berikut kutipannya :
أما اسنادي فيه فأخبرنا بجميع صحيح الامام مسلم بن الحجاج رحمه الله الشيخ الأمين العدل الرضى أبو إسحاق ابراهيم بن أبي حفص عمر بن مضر الواسطى رحمه الله بجامع دمشق حماها الله وصانها وسائر بلاد الاسلام وأهله قال أخبرنا الامام ذو الكنى أبو القاسم أبو بكر أبوالفتح منصور بن عبد المنعم الفراوي قال أخبرنا الامام فقيه الحرمين أبو جدى أبو عبد الله محمد بن الفضل الفراوي قال أخبرنا أبو الحسين عبد الغافر الفارسي قال أنا أحمد محمد بن عيسى الجلودي قال أنا أبو إسحاق ابراهيم بن محمد بن سفيان الفقيه انا الامام أبو الحسين مسلم بن الحجاج رحمه الله.[53]
Dari contoh sanad kitab tersebut, maka didapatlah beberapa kesimpulan, diantaranya :
a)     Sanad kitab juga mengharuskan penyebutan mua’llim atau silsilah para pengajar dari kitab tersebut mulai dari sang pemilik sanad hingga sampai kepada pengarangnya. Hal itu bisa dilihat dari contoh yang telah penulis kutipkan di atas, yaitu sanad kitab Shahih Muslim milik Imam Nawawi. Pada sanad tersebut Imam Nawawi menyebutkan secara detail runtutan atau silsilah para pengajar dari kitab tersebut mulai dari gurunya yang bernama Syekh al-Amin al-Adl al-Ridho Abu Ishak Ibrahim bin Abi Hafs Umar bin Mudhir al-Washiti hingga sampai kepada Imam Muslim sebagai penulisnya. Wallahu A’lam
b)    Sanad kitab juga menggunakan lafadz-lafadz ada’ (penyampaian) sebagaimana yang berlaku dalam sanad hadis. Hanya saja kriterianya tidak sedetail dan serumit sanad hadis yang memang mengutamakan ketransparanan dan kepastian.
Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa Imam Nawawi menggunakan lafadz akhbarana dalam lafadz penyampaiannya. Dan guru-gurunya juga menggunakan lafadz yang serupa. Kalau kita merujuk kepada istilah ilmu hadis yang berkenaan dengan lafadz ada’, maka hal ini menunjukkan metode qira’ah ala al-syekh (membaca langsung di hadapan guru), dalam kata lain Imam Nawawi langsung membaca kitab Shahih Muslim di hadapan gurunya yang bernama Syekh al-Amin itu.
Selain akhbarana, penulis menemukan lafadz ada’ yang lain pada contoh sanad ini. Yaitu lafadz a’n, kenyataan ini penulis jumpai dalam sanad kitab al-Qawaid al-Kubra karya Syekh I’zzu al-Dien bin Abd al-Salam (w. 660 H) milik Syekh Muhammad Yasin bin I’sa al-Fadani yang beliau tuliskan dalam kumpulan sanad beliau yang bernama Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd. Berikut kutipan lengkapnya :
قال الشيخ محمد ياسين بن عيسى الفاداني أرويه (كتاب القواعد الكبرى) عن الشيخ محمد علي المالكي عن شيخه السيد بكري يسنده في الجامع الصغير إلى الجلال السيوطي عن االشهاب أحمد بن إبراهيم القليوبي عن أبي علي المهدوي عن أبي النون يونس بن إبراهيم الدبوسي عن المؤلف سلطان العلماء عز الدين بن عبد السلام.[54]

c)     Lafadz-lafadz ada’ yang sering digunakan dalam sanad kitab adalah lafadz akhbarana dan a’n. Dan penulis belum menemukan shighat lain selain dua lafadz ini. Wallahu A’lam
d)    Keterputusan sanad dalam sanad kitab tidak berimplikasi terhadap lemahnya kandungan kitab yang dinisbatkan kepada pengarangnya, dengan syarat adanya bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa kitab itu memang karya dari penulis yang bersangkutan seperti adanya sanad kitab dari jalur yang lain terhadap kitab tersebut. Wallahu A’lam
e)     Implikasi dari keterputusan sanad kitab ini akan menimbulkan sebuah persoalan yaitu bolehkah bagi orang yang tidak mendapatkan sanad atau ijazah dari kitab tertentu, mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain atau tidak.? Jawaban dari pertanyaan ini mempunyai rincian sebagai berikut.
Apabila yang bersangkutan mempunyai keahlian dalam memahami kitab tersebut sesuai dengan aturan dan kaedah-kaedah standar bahasa yang berlaku, maka boleh baginya untuk mengajarkannya kepada murid atau siapapun yang dia kehendaki, tapi kalau tidak, maka tidak boleh. Pendapat yang lain mengatakan bahwa tidak boleh secara mutlak bagi orang yang tidak mendapatkan sanad atau ijazah dari kitab tertentu untuk mengajarkan kandungannya kepada orang lain, walaupun ia ahli dalam memahami kitab tersebut, karena keberadaan sanad atau ijazah dari guru yang bersangkutan menjadi syarat utama dalam mengajarkan kitab tersebut.[55]
Selain hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas, ada beberapa faedah dalam mencari sanad kitab ini, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Jalaluddin al-Qasimi dalam kitabnya Qawa’id Tahdis.[56] Di antara manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
a)     Memelihara kitab yang bersangkutan dari keterlupaan dan kesia-siaan.
b)    Menyebarluaskan serta membumisasikan ilmu dan pengetahuan untuk seluruh kalangan, baik umum ataupun khusus, sehingga pada akhirnya para siswa semakin terdorong untuk mencarinya.
c)     Sebagai stimulan dan pendorong seseorang untuk senantiasa membaca kitab tersebut, dan ini merupakan nikmat Allah SWT yang sangat besar terhadap umat manusia.
d)    Sebagai bukti keagungan para ulama masa lalu dengan karya-karya mereka berupa kitab-kitab yang berisi ilmu pengetahuan sekaligus lahan untuk menghargai serta mengapresiasi karya tersebut.
e)     Melanggengkan segala sesuatu yang bermanfaat dari kandungan kitab-kitab tersebut serta sarana untuk menjaga keabadian rangkaian sanad yang merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad SAW.[57]
c.      Sanad doa/hidzib/tarekat.
Setelah mengetahui dua pembahasan terdahulu, sekarang bahasan ini akan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sanad doa/hizib/tarekat serta apa saja keistimewaan yang dimiliki oleh sanad ini. Sebagaimana sanad hadis dan sanad kitab, ternyata doa/hizib/tarekat juga mempunyai sanad. Tentunya sanad ini mempunyai ciri khusus yang tidak dimiliki oleh dua sanad terdahulu. Namun sebelum menjelaskan itu, penulis akan mengutip beberapa contoh untuk sanad ini.
Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H) dalam kitabnya yang bernama al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id al-Shufiyyah mengatakan bahwa beliau mempunyai beberapa jalur sanad dalam tarekatnya.[58] Di antaranya adalah sebagai berikut:
·       Sanad yang pertama :
الطريق الأول هو من علي بن أبي طالب لقن الحسن البصري، والحسن البصري لقن حبيبا العجمي، وحبيب العجمي لقن دود الطائي، ودود الطائي لقن معروفا الكرخي، ومعروف الكرخي لقن السري السقطي، والسري لقن أبا القاسم الجنيد، والجنيد لقن القاضي رويم، وهكذا إلى الإمام عبد الوهاب الشعراني.
·       Sanad yang kedua :
الطريق الثاني الذي أقرب سندا مما قبل يعني قال ”أنني تلقنت على شيخ مشايخ الإسلام زكريا الأنصاري، وتلقن هو علي سيدي محمد الغمري تلميذ سيدي أحمد الزاهد رفيق سيدي مدين، وهو من رسول الله“.
·       Sanad yang ketiga :
الطريق الثالث يعنى قال ”أنني أخذت عن سيدي علي الخواص، وهو أخذ عن الشيخ سيدي إبراهيم المتبولي، وهو أخذ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم يقظة ومشافهة بالكيفية المعروفة بين القوم في عالم الروحانيات“.
·       Sanad yang keempat :
الطريق الرابع يعني قال ”أنني أخذت عن سيدي علي الخواص، وهو أخذ عن رسول الله“.[59]
Dari beberapa contoh sanad tarekat yang telah penulis kutip, setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan sebagai ciri atau tanda khusus dari sanad ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
a)     Sanad tarekat tidak mengutamakan ketersambungan sanad secara hakiki, namun ulama di bidang ini menerima dan menganggap sah sanad yang didapatkan lewat jalur rohani atau disebut juga dengan barzakhi (periwayatan seseorang yang hidup dengan orang atau syekh tarekat yang telah wafat melalui mimpi atau jalur lain yang tidak di alam nyata.
Dalam contoh sanad yang penulis kutipkan di atas, setidaknya ada tiga sanad dari empat sanad yang dimiliki Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani yang diriwayatkan dengan jalan rohani, yaitu sanad kedua, ketiga, dan keempat. Pada sanad kedua, Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani memiliki sanad a’li[60] dengan dua orang perantara antara dia dengan Rasulullah SAW, yaitu gurunya Syekh Zakaria al-Anshari (w. 925 H) dan gurunya yang bernama Syekh Muhammad al-Ghummari, dan syekh al-Ghummari ini mendapatkan tarekat langsung dari Nabi Muhammad SAW. Padahal secara logika, tidak mungkin syekh al-Ghimmari yang mempunyai jarak yang sangat jauh dengan Rasulullah bisa meriwayatkan tarekat secara langsung dari Nabi, kecuali lewat jalur rohani (pertemuan di alam roh/barzakh). Dan hal ini sangat-sangat lumrah dalam tradisi shufi yang mengutamakan kebersihan rohani.
Pada sanad yang ketiga Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani juga mempunyai sanad yang a’li, kali ini dia mengambil tarekat dari Syekh A’li al-Khawwash, dan dia dari gurunya yang bernama Sayyid Ibrahim al-Mathbuli, dan Sayyid Ibrahim mengambilnya langsung dari Rasulullah SAW lewat jalur rohani. Karena tidak mungkin keduanya bertemu secara hakiki, lantaran jauhnya jarak di antara keduanya.
Begitu juga dengan sanad keempat, Syekh Abdu al-Wahhab al-Sya’rani memiliki sanad yang lebih pendek lagi, yaitu dirinya, kemudian gurunya Syekh A’li al-Khawwash, dan Nabi SAW. Dalam kata lain beliau hanya mempunyai satu orang perantara antara dirinya dengan Rasulullah SAW, padahal dia hidup pada abad ke-10 hijriah, sementara Nabi hidup pada abad pertama hijriah. Tidak logis kalau ditinjau lewat pendekatan ilmu hadis adanya sanad seperti ini. Namun disinilah letak keistimewaan sanad tarekat ini sekaligus poin yang membedakannya dengan sanad hadis dan sanad kitab.
b)     Selanjutnya sanad tarekat juga tidak terlalu memperhatikan lafadz ada’ dan thuruq tahammul sebagaimana yang terdapat dalam sanad hadis dan sanad kitab. Hal ini terbukti dengan bolehnya pemakaian lafadz ada’ dengan kata laqqana, akhadza a’n, ila, dan lain sebagainya dalam sanad tersebut. Sehingga tidak ditemukan kaedah khusus yang menentukan kapan sebuah sanad tarekat itu dianggap terputus dan kapan sanad tersebut dianggap bersambung. Wallahu A’lam
c)     Boleh dalam penulisan sanad tarekat penyebutan sanad yang dimulai dari asal sanad (perawi pertama setelah sumber utama) atau kalau dalam sanad hadis dimulai dari tabaqat sahabat misalnya atau tabi’in, padahal dalam adat yang berlaku dalam sanad hadis atau kitab, penyebutan sanad itu selalu dari akhir sanad (shahib al-kitab) atau kalau dalam sanad hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, dan seterusnya hingga sampai kepada asal sanad. Ini merupakan kekhususan sanad tarekat yang juga tidak dimiliki oleh sanad hadis ataupun sanad kitab. Wallahu A’lam
Contoh dari poin ini adalah salah satu sanad tarekat Naqsyabandi yang dikutip oleh Imam Abdu al-Majid bin Muhammad al-Khani dalam kitabnya al-Hadaiq, beliau menuliskan :
”من مدينة العلم صلى الله عليه وسلم إلى بابه الأعظم سيدنا على بن أبي طالب إلي سيد الشهداء أبي عبد الله الإمام حسين إلي سيدنا الإمام زين العابدين علي الأصفر إلي سيدنا الإمام محمد الباقر إلي سيدنا الإمام جعفر الصادق إلي أخر السند.“[61]
d)    Kriteria tsiqah (kredibel) dalam sanad tarekat berbeda dengan kriteria tsiqah perspekstif ulama ahli hadis. Menurut mereka seorang perawi sudah dianggap kredibel manakala ia sudah berakhlak dengan budi pekerti yang baik dan yang terpenting dia adalah seorang yang a’rif (ahlu al-kassyaf) dengan Allah SAW. Hal ini sangat berbeda dengan kriteria para ahli hadis yang menekankan ketsiqahan dari segi a’dil dan kuatnya hafalan (dhobit).[62]
Untuk mengetahui perbedaan antara tiga sanad di atas secara mudah, berikut penulis cantumkan tabel perbedaan masing-masing sanad berdasarkan titik perbedaan dan persamaannya :




Tabel Perbedaan Antara Sanad Hadis, Sanad Kitab, dan Sanad Doa/Hidzib/Tarekat
No
Objek Kajian
Sanad Hadis
Sanad Kitab
Sanad Tarekat/Hidzib/Doa
1.
Urgensi sanad.
Sangat memprioritaskannya serta menetapkan kriteria yang sangat detail dalam menyeleksi apakah sanad tersebut muttashil atau tidak. Karena hal ini akan berimplikasi terhadap matan hadis tersebut, apakah dia shahih atau tidak, apakah dia bisa dijadikan hujjah atau tidak.
Sanad hanya diposisikan sebagai penguat penisbatan kitab kepada muallifnya. Selain itu sanad ini biasanya dijadikan sebagai syarat kebolehan dalam mengajarkan kandungan kitab tertentu kepada orang lain. Dan sanad ini terkadang oleh sebagian golongan dijadikan sebagai bahan untuk tabarrukan semata.
Sanad ini mempunyai aturan yang lebih longgar daripada sanad hadis dan kitab, seakan-akan tidak terlalu mementingkannya. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa hal seperti tidak adanya standar khusus terhadap penilaian ketersambungan sanad serta tidak jelasnya penentuan shighat fi riwayah dari para perawinya.
2.
Kriteria ketersambungan sanad.
Sanad dianggap muttashil manakala setiap perawi liqa’ (bertemu) antar satu sama lain. Akan tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan dalam standarisasi liqa’ ini, ada yang menyaratkan liqa’ hakiki (tidak secara rohani/barzakhi atau hanya ada kemungkinan bertemu semata) sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Bukhari dan adanya kemungkinan liqa’ dengan bukti mu’asharah (sezaman) menurut Imam Muslim.
Tidak mempunyai kriteria khusus dalam menentukan ketersambungan sanad, akan tetapi sanad dianggap muttashil manakala adanya ketersambungan silsilah para periwayat dari kitab itu secara zhanni dengan tanpa menyaratkan adanya kepastian bertemu. Seandainya sanad tersebut sudah bisa dipastikan terputus, maka hal itu juga tidak akan mempengaruhi kandungan dari kitab tersebut melainkan hanya tidak kuatnya penisbatan kitab yang bersangkutan kepada penulisnya.
Sanad ini lebih longgar lagi. Karena ketersambungan sanad tidak menyaratkan adanya pertemuan antar perawi secara nyata/hakiki. Tapi juga melegitimasi adanya pertemuan yang bersifat rohani (pertemuan di alam barzakh antar perawi yang masih hidup dengan yang sudah meninggal). Sehingga mungkin saja sanad akan bersifat a’li walaupun jarak antara perawi sangat berjauhan dari segi waktu. Lihat kembali contoh di atas.
3.
Implikasi keterputusan sanad.
Tidak sah dijadikan landasan/dalil dalam beramal. Namun di sini masih ada bahasan lain yang menjadi lahan khilafiah antar ulama hadis seperti boleh tidaknya mengamalkan hadis dho’if untuk fadhoil al-a’mal. Lihat bahasan lengkapnya di kitab-kitab musthalah hadis.
Ketidakpastian penisbatan kitab yang bersangkutan kepada penulisnya. Hal ini akan berakibat pendustaan terhadap seseorang, karena menisbahkan sesuatu karangan bukan kepada orang yang mengatakannya. Di sisi lain seseorang yang sanad kitabnya terputus tidak boleh mengajarkan kandungan kitab yang bersangkutan kepada orang lain. Namun menurut pendapat lain boleh dengan syarat dia menguasai isi kitab tersebut.
Ketidakpastian riwayat amalan yang diajarkan oleh masing-masing rawi, sehingga menyebabkan tarekat yang bersangkutan bisa dianggap ghair mu’tabarah sama sekali dan bahkan bisa dicap sebagai sebuah amalan bid’ah yang menyelisihi ajaran agama. Hal ini sangat berbahaya terhadap keberagamaan seseorang manusia, karena mengamalkan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW.
4.
Kriteria kredibelnya seorang rawi.
Apabila rawi yang bersangkutan bersifat ‘adil (muslim, baligh, dan berakal, tidak pernah berbuat dosa besar dan jarang berbuat dosa kecil, serta terjaga harga dirinya) dan dhobith (kuat hafalannya), dan dhobith di sini ada 2 yaitu ada dhobit shadr dan ada dhobith kitab.
Tidak mempunyai standarisasi yang jelas.
Dianggap kredibel apabila perawinya berakhlak baik dan yang paling penting dia adalah orang yang a’rif (mukasyafah) dengan Allah SWT dengan kesaksian para murid atau riwayat dari masyarakat sekitar.
5.
Pemakaian lafadz ada’ wa thuruq tahammul (penyampaian dan penerimaan hadis).
Sangat memperhatikan lafadz ada’. Karena terkadang dari sana bisa diketahui secara langsung apakah hadis tersebut muttashil atau tidak seperti penggunaan  lafadz sami’tu atau haddatsani menunjukkan sima’ (mendengar langsung dari syekh), lafadz akhbarani menunjukkan qira’ah (membaca di hadapan syekh), lafadz anbaani menunjukkan ijazah, dan lafadz qala li atau zakara li menunjukkan sima’ (mendengarkan) lewat mudzakarah.
Sanad kitab juga menggunakan lafadz-lafadz ada’ (penyampaian) sebagaimana yang berlaku dalam sanad hadis. Hanya saja kriterianya tidak sedetail dan serumit sanad hadis yang memang mengutamakan ketransparanan dan kepastian. Dan lafadz-lafadz ada’ yang sering digunakan dalam sanad kitab adalah lafadz akhbarana dan a’n. Dan penulis belum menemukan contoh sanad ini yang memakai shighat lain selain dua lafadz ini.
Selanjutnya sanad tarekat juga tidak terlalu memperhatikan lafadz ada’ dan thuruq tahammul sebagaimana yang terdapat dalam sanad hadis dan sanad kitab. Hal ini terbukti dengan bolehnya pemakaian lafadz ada’ dengan kata laqqana, akhadza a’n, ila, dan lain sebagainya dalam sanad tersebut. Sehingga tidak ditemukan kaedah khusus yang menentukan kapan sebuah sanad tarekat itu dianggap terputus dan kapan sanad tersebut dianggap bersambung.
6.
Sistematika penulisan sanad.
Penulisan sanad hadis selalu diawali dari shahibul al-kitab (seperti dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan lain-lain), kemudian terus ke atas sampai kepada awal sanad seperti sahabat/tabi’in dan pada akhirnya sampai kepada Nabi SAW.
Sama dengan sistematika penulisan sanad hadis, yaitu dari orang yang punya sanad hingga sampai kepada pengarang kitab.
Boleh dalam penulisan sanad tarekat penyebutan sanad yang dimulai dari asal sanad (perawi pertama setelah sumber utama) atau kalau dalam sanad hadis dimulai dari tabaqat sahabat misalnya sahabat atau tabi’in, padahal dalam adat yang berlaku dalam sanad hadis atau kitab, penulisan sanad itu selalu dari akhir sanad (shahib al-kitab) atau kalau dalam sanad hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, dan seterusnya hingga sampai kepada asal sanad. Ini merupakan kekhususan sanad tarekat yang juga tidak dimiliki oleh sanad hadis ataupun sanad kitab.
7.
Sistem peringkasan sanad.
Salah satu keistimewaan sanad hadis adalah adanya variasi penulisan sanad dengan jalan meringkas sanad atau yang lazim disebut dengan istilah tahwil. Sehingga dengan adanya rumusan ini, seorang muhaddis yang mempunyai banyak guru tidak perlu boros dan “lebay” dalam menyebutkan sanad, karena hal itu bisa diringkas dengan cara membubuhkan istilah ح (dibaca tahwil) di sela-sela sanad hadis yang bersangkutan.
Hal seperti ini belum ditemukan dalam sanad ini.
Hal seperti ini belum ditemukan dalam sanad ini.

Kesimpulan dan Penutup.
Setelah menelaah perbedaan dan persamaan antara ke-3 sanad di atas, maka jelaslah bahwa masing-masing mempunyai ciri dan kriteria tersendiri yang tidak dimiliki oleh yang lain. Tulisan ini baru mencapai bentuk perbedaan dalam artian luas dan belum menyentuh inti/pokok persoalan, yaitu apa yang menyebabkan perbedaan tersebut dan bagaimana cara untuk menyatukan pandangan ketiganya dalam satu konsep, sehingga tidak lantas perbedaan metodologi menjadikan seseorang terlalu cepat dalam mengklaim ataupun ceroboh dalam memberi pandangan terhadap sesuatu.


DAFTAR PUSTAKA
al-Fadani, Muhammad Yasin bin Muhammad I’sa, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd, Indonesia: Attahariyah, Cet. III, 1982.
al-Khani, Abdu al-Majid bin Muhammad, al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Haqaiq Ajillai al-Naqsyabandiah, Irak: Dar Taras li al-Thab’ah wa Nasyr, Cet. II, 2002.
al-Khathib, Muhammad A’jjaj, Ushul al-Hadis, Beirut: Darul Fikr, Cet. III, 1975.
al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim li al-Nawawi, Mesir: Darul Hadis, Cet. IV, 2001.
al-Qasimi, Jalal al-dien, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Nafais, Cet. I, 1987.
al-Suyuthi, Jalal al-Dien, Tadrib al-Rawi syarh Taqrib al-Nawawi, Mesir: Darul Hadis, Cet. I, 2004.
al-Sya’rani, Abdu al-Wahhab, al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id al-Shufiyyah, Beirut: Maktabah I’lmiyyah, t.t.
al-Syahrazuri, Abi Amr Utsman bin Abd al-Rahman, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-Hadis, dicetak bersamaan dengan tahqiqannya oleh Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh, Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, Cet. II, 2006.
Salim, Hasan Basri dan Shahabuddin bin Shahabuddin, Mabadi Ulum al-Hadis, Jakarta: UIN Press, 2009.
Surah, Abu I’sa Muhammad bin I’sa bin, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Darul Hadis, Cet. I, 1999.
Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. II, 2008.
Syakir, Ahmad Muhammad, al-Baits al-Hatsis Syarh Ikhtishar U’lum al-Hadis li al-Hafidz Ibn Katsir, Beirut: Darul Kutub I’lmiyyah, t.t.
Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, Cet. III, 1991.
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadis, Indonesia: Al-Haramain, Cet. VII, 1977.
Zaidan, Abdul Karim, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah al-Nâsyirun, Cet. I, 2008.



[1]Istilah sanad berasal dari kata Sanada-Yasnudu-Sanadan yang secara etimologi berarti al-mu’tamad (sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, yang sah). Dikatakan demikian karena hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya. Sedangkan secara terminologi sanad mengandung arti silsilah beberapa orang (yang meriwayatkan hadis) yang menghubungkannya kepada matan hadis. Adapun kata isnad mengandung pengertian menyandarkan, mengasalkan, mengangkat hadis kepada orang yang mengatakannya. Pada tahap selanjutnya kata sanad dan isnad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Lihat Taisir Musthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan, hal. 16, yang kemudian dikutip oleh Usman Sya’roni dalam bukunya Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, hal. 9.
[2]Lihat muqaddimah Syarh Shahih Muslim li al-Nawawi, bab ke-5, bab al-Isnad min al-Dien, hal. 120. Kemudian perkataan Ibn Mubarak ini dinukil hampir di semua kitab-kitab Musthalah Hadis seperti Muqaddimah karya Ibn Shalah, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis karya al-Qasimi, Tadrib al-Rawi syarh Taqrib al-Nawawi karya al-Suyuthi, Taisir Mushthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan, dan masih banyak yang lain.
[3]Lihat Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis karya Jalal al-dien Al-Qasimi, bab 6, pembahasan isnad, hal. 210.
[4]Lihat Tadrib al-Rawi syarh Taqrib al-Nawawi karya Jalal al-Dien al-Suyuthi, macam yang ke-29, pembahasan ma’rifah al-isnad al-a’li wa al-nazil, hal. 431.
[5]Kata I’llah berasal dari kata ‘alla, ya’ullu, atau ya’illu secara etimologi berarti penyakit, sebab, alasan, atau halangan. Sehingga ungkapan tidak beri’llat secara bahasa berarti tidak ada penyakit, tidak ada alasan, dan tidak ada halangan. Adapun pengertiannya secara terminology sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Shalah berarti sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak shahih menjadi tidak shahih. Lihat Muqaddimah Ibn Shalah, h. 43.
[6]Kata syadz berasal dari kata syadzza, yasyudzzu, secara bahasa berarti ganjil, yang terasing, yang menyalahi aturan, yang tidak biasa, atau yang menyimpang. Sehingga secara praktis dapat diartikan sebagai hadis yang menyimpang, hadis yang ganjil, atau hadis yang menyalahi aturan.  Adapun pengertiannya secara terminology adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang kapabel namun bertentangan dengan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang kapabel lainnya, sementara tidak ada rawi lain yang meriwayatkannya.
[7]Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, Cet. III, 1991), hal. 139.
[8]Lihat tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn Shalah, karya Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh, macam yang ke-29, pembahasan ma’rifah al-isnad al-a’li wa al-nazil, hal 271. Lebih lanjut Ibnu Hazm memaparkan bahwa salah satu kelemahan sanad yang dimiliki oleh kaum Yahudi adalah banyaknya sanad-sanad yang mursal dan mu’dhol dalam kisah-kisah yang mereka riwayatkan, sehingga kedekatan mereka terhadap Nabi Musa tidak sebanding dengan kedekatan umat Nabi Muhammad dengan beliau, karena terdapat jarak kira-kira 30 periode antara mereka dengan Nabi Musa. Sedangkan kaum Nasrani tidak mempunyai tradisi seperti ini melainkan hanya dalam persoalan talak saja. Sementara dalam persoalan lain, riwayat-riwayat mereka dipenuhi dengan kedustaan, majhul al-ain, dan lain sebagainya.
[9]Abi Amr Utsman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-Hadis, dicetak bersamaan dengan tahqiqannya oleh Abu A’bd al-Rahmân Shalah bin Muhammad bin U’waidhoh (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, Cet. II, 2006), hal. 271.
[10]Muhammad Yasin bin Muhammad I’sa al-Fadani, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd, (Indonesia: Attahariyah, Cet. III, 1982), hal. 2.
[11]Abdul Karim Zaidan, Ulum al-Hadis, (Beirut: Muassasah Risalah al-Nâsyirun, Cet. l, 2008), hal. 47. Lihat juga Taisir Musthalah al-Hadis karya Mahmud Thahhan, hal. 16 dan Qawa’id al-Tahdis karya Jalaluddin al-Qasimi, hal. 210.
[12]Abu I’sa Muhammad bin I’sa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Darul Hadis, Cet. l, 1999), juz ke-1, hal. 87. Hadis ini terdapat dalam Kitab Thaharah, bab tentang tidak diterimanya shalat tanpa bersuci, hadis ke-1.
[13]Rujukan terpenting dalam pembahasan ini adalah al-Muhaddis al-Fashil, paragraf 45-64, al-Kifayah, hal. 54-66, al-Ilma’, hal. 11/B, Muqaddimah ibn Shalah, hal. 48-50, Ikhtisar Ulum al-Hadis, hal. 120-122, Fath al-Mughits karya al-I’raqi, hal. 43, dan Fath al-Mughits karya al-Sakhawiy, hal. 163, Taudhih al-Afkar, hal. 206, juz 2, Fath al-Ghaffar, hal. 86, juz 2. Keterangan ini dikutip dari terjemahan Ushul al-Hadis karya Muhammad Ajjaj al-Khathib, hal. 217.
[14]Tadlis secara bahasa terambilkan dari kata dalas yang bermakna kegelapan atau percampuran kegelapan sebagaimana disebutkan dalam Qamus al-Muhith karya Fairuz Abadi. Sehingga secara praktis tadlis adalah menyembunyikan cacat/aib yang terdapat pada barang dagangan dari calon pembeli. Sementara itu secara istilah tadlis berarti menyembunyikan kecacatan yang terdapat di dalam sanad, sehingga secara lahiriahnya terlihat bagus dan tidak mempunyai cacat.
[15]Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, (Beirut: Darul Fikr, Cet. III, 1975), hal. 233-234. Lihat juga Qawa’id Tahdis karya al-Qasimi, hal. 211.
[16]Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, hal. 234-235.
[17]Ibid, hal. 235-236.
[18]Ibid, hal. 238-239.
[19]Ibid, hal. 239-240.
[20]Ibid, hal. 241-242.
[21]Ibid, hal. 243.
[22]Ibid, hal. 244.
[23]Ibid, hal. 248.
[24]Ahmad Muhammad Syakir, al-Baits al-Hatsis Syarh Ikhtishar U’lum al-Hadis li al-Hafidz Ibn Katsir, (Beirut: Darul Kutub I’lmiyyah), hal. 104.
[25]Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Indonesia: Al-Haramain, Cet. VII, 1977), hal. 160.
[26]Ibid, hal. 161.
[27]Ibid, hal. 162.
[28]Ibid, hal. 163.
[29]Ibid, hal. 164.
[30]Ibid, hal. 164.
[31]Ibid, hal. 165.
[32]Hasan Basri Salim dan Shahabuddin bin Shahabuddin, Mabadi Ulum al-Hadis, (Jakarta: UIN Press, 2009), hal 22. Ada yang mengatakan bahwa perbedaan syarat inilah yang menjadi salah satu faktor mayoritas ulama hadis mengunggulkan Shahih Bukhari daripada Shahih Muslim dari segi kualitas, walaupun dari segi yang lain terkadang Shahih Muslim lebih unggul dari Shahih Bukhari seperti adanya sebagian hadis dalam Shahih Muslim yang lebih tinggi kualitas keshahihannya daripada hadis shahih dalam Shahih Bukhari dan lain sebagainya.
[33]Yaitu hadis yang pada bagian awal sanadnya dibuang, baik seorang perawi atau pun lebih secara berturut-turut.
[34]Yaitu hadis yang gugur pada akhir sanad setelah tabi’in.
[35]Yaitu hadis yang sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
[36]Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung dari sisi manapun terputusnya.
[37]Yaitu menyembunyikan cacat yang ada pada sanad, lalu menampakkannya bagus.
[38]Yaitu hadis yang diriwayatkan dari orang yang pernah bertemu atau semasa dengannya, akan tetapi tidak pernah mendengarnya dengan bentuk lafadz yang mengandung pengertian sima’ (mendengar langsung) atau yang sejenisnya, seperti qala (ia telah berkata).
[39]Yaitu hadis yang perawinya memakai lafadz tahdis a’n (fulan dari si fulan).
[40]Yaitu hadis yang lafadz tahdis perawinya menggunakan lafadz anna dengan makna telah menceritakan kepadaku si fulan sesungguhnya fulan telah berkata.
[41]A’dil dalam istilah Ilmu Hadis bermakna seorang perawi yang di dalam dirinya terkumpul sifat muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak pula orang yang rusak harga dirinya.
[42]Yaitu dusta yang dibuat-buat dan direkayasa, kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah SAW.
[43]Yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang dituduh berdusta.
[44]Para ulama membuat definisi hadis mungkar bermacam-macam, tetapi yang terkenal ada dua :
1. Hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang kekeliruannya parah, atau banyak lupa, atau menampakkan kefasikannya. Defenisi ini disinggung oleh al-Hafidz Ibn Hajar dan Imam Baiquni dalam Mandhumat.
2. Hadis yang dirawayatkan oleh rawi yang dhoif yang bertentangan dengan rawi tsiqah. Devenisi ini juga disebut-sebut oleh Hafidz Ibn Hajar dan dijadikannya sebagai sandaran. Terdapat tambahan dari devenisi yang pertama yaitu hadis yang diriwayatkan rawi dhoif itu bertentangan dengan rawi tsiqah.
[45]Yaitu hadis yang jika dicermati terdapat cacat yang merusak keshahihannya, meski secara zohir hadis tersebut selamat dari cacat (I’lat).
[46]Yaitu hadis dho’if yang disebabkan lantaran riwayatnya menyelisihi riwayat dari rawi tsiqah. Dari hadis ini muncul lima macam cabang ilmu hadis yaitu hadis mudraj, hadis maqlub, al-mazid fi muttashil al-asanid,  hadis mudtharrib, dan hadis mushahhaf.
[47]Yaitu hadis yang dirubah susunan sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya tanpa ada pemisah.
[48]Yaitu menukar lafadz dengan lafadz lainnya pada sanad hadis atau pada matan hadis dengan cara mendahulukan, mengakhirkan, atau yang sejenis.
[49]Yaitu hadis yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-macam yang kekuatannya sama dan tidak bisa dijama’ antar satu sama lain.
[50]Yaitu berubahnya kata di dalam hadis dengan kata selain yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah, baik lafadznya maupun maknanya.
[51]Yaitu hadis yang diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima) yang menyelisihi dengan orang yang lebih utama.
[52]Secara bahasa kata tah̠wil berasal dari h̠awwala-yuh̠awwilu-tah̠wîlan, yang berarti memindahkan atau memalingkan. Kata tah̠wil semakna dengan kata ghayyara, intaqala, inshorof. Namun secara umum istilah ini dipakai untuk menunjukkan perpindahan sanad ke sanad yang lain, karena terdapat dua sanad atau lebih, kemudian menjadikan keduanya pada satu matan. Di dalam menjelaskan permasalahan tah̠wil, para ulama ahli hadis (muh̠addisin) berbeda pendapat di dalam memberikan tanda (rumus) h̠a. Ada yang menyebutkan bahwa huruf h̠a ini merupakan rumus dari lafadz al-tah̠wil atau al-h̠âil. Adapula yang menyebut bahwa huruf h̠a merupakan ibarat dari perkataan al-h̠adits. Ada sebagian orang yang menyangka bahwa huruf h̠a ini adalah kho, yaitu adanya jalur sanad yang lain, namun yang masyhur dan menjadi konsensus para ulama adalah huruf h̠a. Dalam membaca huruf  h̠a sebagai rumus untuk perpindahan dari satu sanad ke sanad yang lain, para ulama ahli hadis (muh̠adisîn) berbeda dalam hal pembacaannya. Berikut akan dijelaskan secara rinci cara pembacaan huruf h̠a beserta ulama yang mempraktekkan pembacaan tersebut.
1.   Menurut Ibn Shalah ketika kita sampai pada huruf h̠a, bacalah sebagaimana adanya, yaitu bacalah h̠a dan langsung meneruskan bacaan selanjutnya. Begitu pula dengan Imam al-Nawawi ketika sampai pada huruf h̠a hanya membaca h̠a sebagaimana adanya dan meneruskan bacaannya.
2.   Menurut Ulama Baghdad, ketika sampai pada huruf h̠a bacalah h̠a sebagaimana adanya dan teruskan bacaan selanjutnya. Adapula sebagian Ulama Baghdad ketika sampai pada huruf h̠a membaca h̠âjiz.
3.   Sedangkan Ahli maghrib ketika sampai pada huruf h̠a membaca al-h̠adis dan sebagian Ahli Maghrib lainnya membaca h̠âjiz sebagaimana yang dikatakan oleh Ulama Baghdad.
4.   Muhammad Jamal al-Dîn al-Qasamî, di dalam kitabnya Qawâid al-Tah̠dits Min Funûn al-Mushthalah̠ al-H̠adîs ketika sampai pada huruf h̠a membaca tah̠wil (tanpa alif lam), seperti apa yang dikatakan oleh atau dari guru-guru Beliau. Pembacan huruf h̠a dengan tah̠wil (tanpa alif lam), dianggap baik olehnya.
5.   Menurut Ahli masyriq, ketika sampai pada huruf h̠a membaca al-tah̠wil (dengan alif lam).
Keterangan ini dikutip dari makalah Saudara Muhammad Bindaniji, yang berjudul Pengertian Tahwil pada Sanad dan Faedahnya.
[53]Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim li al-Nawawi, (Mesir: Darul Hadis, Cet. IV, 2001), juz ke-1, hal. 18.
[54]Muhammad Yasin bin Muhammad I’sa al-Fadani, Ittihaf al-MustafÎd bi gharar al-Asânîd, hal. 60.
[55]Wawancara dengan salah seorang mahasantri senior Darussunnah, al-Habib Muhammad Idris Mas’udi, pada hari Jum’at, 6 April 2012, Jam 06.45 WIB.
[56]Jalal al-dien al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, hal. 224.
[57]Ibid, hal. 225.
[58]Abdu al-Wahhab al-Sya’rani, al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifah Qawa’id al-Shufiyyah, (Beirut: Maktabah I’lmiyyah, t.t), juz ke-1, hal. 20.
[59]Ibid, hal. 21.
[60]Kata A’li merupakan isim fail dari kata al-u’luw yang merupakan antonim dari kata al-nuzul. Secara istilah sanad a’li I bermakna sanad yang mempunyai rangkaian silsilah yang pendek/sedikit apabila dibandingkan dengan sanad lain dari hadis tersebut.
[61]Abdu al-Majid bin Muhammad al-Khani, al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Haqaiq Ajillai al-Naqsyabandiah, (Irak: Dar Taras li al-Thab’ah wa Nasyr, Cet. II, 2002),  hal. 10.
[62]Wawancara dengan salah seorang dosen Darussunnah, Ust. Arrazy Hasyim, pada hari Minggu, 8 April 2012, Jam 18.45 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api