Asbab Wurud al-Hadith: Kritik Matan dan Instrumen Kritik Pemahaman
Apakah para sarjana hadis klasik mengabaikan
pengkajian terhadap matan hadis? Para sarjana modern berbeda pendapat. Ahmad
Amin, Mahmud Abu Rayah, Joshep Schacht, dan Caitani berpandangan bahwa para
ahli hadis lebih memperhatikan sanad dibanding matan. Jarang sekali mereka
mengkaji matan secara serius. Berseberangan dengan mereka, al-Damini,
al-Adhlabi dan Al-Azami menyatakan bahwa tidak sedikit pun para ahli hadis
klasik melupakannya.
Hal ini seperti dapat dilihat dalam faktanya bahwa ada
sejumlah literatur hadis yang khusus berbicara mengenai matan hadis. Sebut saja
misalnya mukhtalif al-hadis, gharib al-hadis, nasikh wa
mansukh al-hadis, dan asbab wurud al-hadis. Keempatnya merupakan
topik pembicaraan yang tidak jauh-jauh dari matan hadis. Dalam sejumlah
literatur ulumul hadis, keempatnya merupakan topik inti yang tidak dapat
dilewatkan oleh hampir seluruh penulis kitab ulumul hadis. Bahkan para ahli
hadis menyusun karya khusus yang berbicara mengenai masing-masing topik. Fakta ini
menunjukkan perhatian ahli hadis klasik terhadap aspek matan hadis. Maka dengan
mengkaji topik-topik tersebut, dapat dibuktikan bahwa matan tidak diabaikan
oleh para ulama hadis klasik.
Sebagai contoh, kajian asbāb al-wurūd yang pertama kali dikembangkan oleh Abu Hafsh
al-‘Akbari (339 H.)lalu dilanjutkan oleh Abu Hamid bin Kutah al-Jaubari (583
H.). Kajian ini kemudian diteruskan oleh Ibn al-Hanbali (634 H.) dan al-Suyuthi
(911 H.). Mahakarya dalam asbāb
al-wurūd lahir pada abad kedua belas hijriah berjudul al-Bayan
wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadith al-Sharīf karya Ibn
Hamzah al-Dimashqī (1120 H.).
Abad kelima
belas saat ini menjadi saksi lahirnya dua disertasi yangmengulas sabab al-wurud. Disertasi pertama adalah
karya Muhammad Rafat Said berjudul Asbab Wurud al-Hadith Tahlil Wa Ta’sis.
Dan kedua, Tariq Asad Halimi berjudul ‘Ilmu Asbāb Wurūd
al-Hadīth Wa Tathbīqatihi ‘inda al-Muh}addithīn wa al-Ushūliyyīn Wa Jam’
Thāifah Min Ma Lam Yushannaf Min Asbāb al-Hadīth. Karya-karya klasik pada umumnya lebih banyak
menampilkan daftar hadis yang mempunyai asbāb al-wurūd. Dan sepertinya masih sangat kurang dalam mengulas
dan menjelaskan fungsi asbāb
al-wurūd, mekanisme penafsiran hadis berbasis asbāb al-wurūd, dan pengembangan konsep asbāb al-wurūd. Hal ini seperti dikatakan Tariq Asad Halimi.
Menurutnya, diskursus asbāb
al-wurūd sampai saat ini
belum bisa keluar dari kerangka periwayatan. Asbāb al-wurūd hanya berfungsi membantu menguji keakuratan redaksi
hadis serta keragaman redaksi.[1] Artinya, asbāb
al-wurūd sudah dikembangkan untuk mengukur akurasi periwayatan,
namun belum digunakan sebagai alat bantu mengungkap pengertian teks Hadis, penafsiran
atau pemahaman hadis.
Kekosongan ini kemudian diisi oleh gagasan
Al-Qaradawi, Suhudi Ismail, Said Agil, Abdul Mustaqim, dan Ali Mustafa Yaqub
yang berupaya memfungsikan asbāb
al-wurūd sebagai alat bantu menafsirkan. Lalu bagaimana
langkah pemahaman berdasarkan asbāb
al-wurūd? Artikel ini berupaya memaparkannya.
Konsep Latar dalam Matan: Asbāb al-Wurūd dan Asbāb Irad
al-Hadith
Asbāb
al-wurūd tersusun dari dua kata asbab dan al-wurud.
Kata asbab merupakan bentuk plural dari kata sabab. Menurut
Al-Ashfihani (592 H.), sabab berarti tali yang digunakan menaiki pohon
kurma. Hal ini seperti dalam QS. Shad: 10. Pengertian ini kemudian berkembang
menunjuk semua hal yang dapat membantu mengantarkan seseorang kepada tujuannya
(kullu ma yutawasshalu bihi ila shai’in).[2]
Al-wurud berarti
mendatangi sumber air. Hal ini seperti yang digunakan dalam QS Al Qasas: 23, wa
lamma warada ma’a madyan (ketika Musa sampai di sebuah sumber air daerah
Madyan). Kata ini kemudian digunakan untuk pengertian lain yang punya unsur
datang-mendatangi.[3]
Ulumul Hadis mengenal beberapa pengertian asbāb al-wurūd. Di antaranya, pengertian yang dibuat oleh Yahya
Ismail Ahmad, editor kitab al-Luma’ fi Asbab al-Hadith,
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Peristiwa yang terjadi saat suatu Hadis
muncul.”
Definisi ini dibuat dengan merujuk kepada pengertian asbabun
nuzul.
Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah memberikan pengertian:
الامر الذي صدر الحديث من الرسول
بشأنه وقد يذكر في الحديث وقد يغفل
“Persoalan yang direspon oleh sabda
Rasul. Terkadang disebut dalam Hadis, terkadang tidak.”
Tariq Asad Halimi mengartikan,
معرفة ما جرى الحديث في بيان حكمه
أيام وقوعه
“Informasi mengenai peristiwa yang sedang
dijelaskan oleh hadis ketika peristiwa itu terjadi.”
Pengertian
lain yang diberikan beliau,
الحال التي جرى فيها الحديث من
جهة المشرع في سياق ما توافرت الدواعي الى بيانه في محل وقوعه
“Keadaan yang menjadikan Hadis muncul dari Nabi dalam suatu
konteks yang menuntut beliau untuk menjelaskannya saat peristiwa itu terjadi.”
Dari keempat pengertian di atas, para sarjana sepakat
bahwa asbāb al-wurūd berbentuk peristiwa atau kejadian yang mendorong
lahirnya respon khusus dari Nabi saw. Respon Nabi dapat berupa keputusan hukum,
bimbingan, anjuran, perintah maupun lainnya. Unsur pokok yang harus ada dalam asbāb al-wurūd adalah peristiwa dan sabda Nabi saw.
Kedua rukun pokok asbāb al-wurūd
ini ternyata menyisakan sebuah masalah. Yaitu ketika peristiwa dan sabda Nabi
saw. dihubungkan hanya saja bukan ketika beliau masih hidup. Apakah kasus
semacam itu dapat disebut asbāb al-wurūd?
Seperti ketika sabda Nabi dikutip oleh seorang
sahabat untuk merespon sebuah kejadian. Kemudian sahabat tersebut mengutip
sabda Nabi. Perawi dari generasi setelah sahabat kemudian memasukkan kejadian
dan sabda Nabi dalam satu paket. Tanpa pemisah seperti dapat ditemui dalam
banyak matan hadis.
Berdasarkan
pengertian di atas, kejadian yang terpisah dari masa Nabi tidak dapat disebut asbāb
al-wurūd. Namun menurut Ibn Hamzah al-Dimashqi, bila yang
menghubungkan hadis dengan peristiwa adalah seorang sahabat, maka ia dapat
disebut asbāb al-wurūd.
Sebagaimana banyak ditemukan dalam matan-matan hadis. Menurut Ibn Hamzah, untuk
membedakan antara asbāb al-wurūd yang
merupakan objek respon Nabi dengan asbāb
al-wurūd yang menjadi objek respon sahabat, digunakan istilah sabab
irad al-hadith. Sabab irad al-hadith menjadi konsepsi original Ibn Hamzah
al-Dimashqi setelah mendapati fakta bahwa sebagian matan hadis bukan hanya
terdiri dari sabda Nabi dan kejadian pada masa beliau masih hidup. Melainkan
juga memuat kejadian-kejadian pasca-wafatnya Nabi yang turut diabadikan dalam
narasi matan hadis.
Ibn Hamzah membedakan antara kejadian yang melibatkan
sahabat dengan selain sahabat dalam arti menganggap kejadian sahabat sebagai
bagian dari asbāb al-wurūd, sedangkan
yang lain tidak. Bukan hanya karena kejadian sahabat diabadikan dalam matan
hadis, tapi juga karena pengutipan hadis oleh sahabat dilandasi oleh
pengetahuan sahabat terhadap kejadian pada masa Nabi. Ketika seorang sahabat
mengutip hadis untuk menjelaskan atau merespon suatu kejadian, tentunya dia menilai
kejadian yang diresponnya sangat identik dengan kejadian pada masa Nabi saw.
Pengetahuan lebih itulah yang membuat pengutipan hadis oleh sahabat dibedakan
dengan pengutipan selain sahabat.
Macam-Macam Asbāb Al-Wurūd
Pada umumnya,
yang disebut hadis adalah pernyataan Nabi Muhammad atau pernyataan yang
dikaitkan dengan beliau. Terkait dengan pernyataan Nabi Muhammad, sebagian di
antaranya memiliki latar belakang. Namun sebagian lainnya tidak. Dalam konteks
matan hadis, dengan demikian, sebenarnya disusun oleh dua bagian. Latar
belakang dan sabda Nabi.
Seperti diulas
sebelumnya, latar belakang atau yang disebut sabab al-wurud harus
kejadian yang dialami pada masa Nabi yang kemudian mendorong beliau memberikan
respon. Ibn Hamzah al-Dimashqi menambahkan bagian baru, yaitu kejadian yang
dialami pada masa sahabat dan setelah wafatnya Rasulullah saw. Ibn Hamzah
menyebutnya sabab irad al-hadith (latar belakang pengutipan hadis).
sabab irad al-hadit ini cukup banyak bertebaran dalam matan-matan hadis.
Karena itu, matan hadis dapat dikatakan
disusun dari tiga bagian. Yaitu sabab al-wurud, sabab irad al-hadith dan
sabda Nabi. Dari sini, sebenarnya kita dapat membagi latar belakang sabda Nabi
ke dalam sabab al-wurud dan sabab irad al-hadith.
Menurut
al-Bulqini, ada dua model latar belakang. Yaitu latar belakang yang disebutkan
dalam matan hadis dan yang tidak disebutkan. Yang tidak disebutkan ada
kemungkinan; disebutkan dalam riwayat lain atau riwayat yang berbeda namun
menyinggung masalah yang sama. Menurutnya, bagian kedua inilah yang perlu
digarap serius oleh para pakar hadis.
Asbāb
al-Wurūd sebagai Instrumen Pemahaman
Asbāb al-Wurūd dapat berfungsi sebagai instrumen pemahaman. Di antara
fungsi asbāb al-wurūd yang telah
diketahui adalah:
a. memberikan pemahaman utuh
b. mengungkap alasan di balik suatu
aturan
c. membatasi keluasan pengertian
d. mengungkap aturan yang sudah
diubah
a. Memberikan Pemahaman Utuh
Asbāb
al-Wurūd membantu pembaca Hadis mendapatkan pengertian yang
utuh. Pembaca dapat memperoleh gambaran yang utuh tentang Hadis sehingga dapat
menggunakannya sebagai pedoman sesuai dengan konteks yang melatarbelakanginya. Sebagai
contoh adalah Hadis,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ
شَىْءٌ
“Air adalah
suci dan mensucikan. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membuatnya najis.”
Bila dilakukan analisa kebahasaan, mungkin hanya akan diketahui
bahwa arti redaksi al-ma’ adalah seluruh air. Tanpa dibatasi pada
air tertentu. Baik dari segi jumlah maupun jenis air. Bila demikian, bila ada
air kemasukan kotoran, maka air itu tidak dapat dianggap kotor. Apa pun jenis
kotoran yang mengenainya. Baik kotoran yang spesifik seperti jenis-jenis najis
maupun kotoran dalam pengertian umum. Dan berapa pun debet airnya, air tidak
dapat dianggap kotor.
Bila hadis tersebut ditempatkan sebagai pedoman dalam
berperilaku, maka sunggung menjijikkan pedoman semacam itu. Tidak higienis dan
tidak mencerminkan perilaku yang berperadaban. Apakah Nabi Muhammad mengajarkan
hidup kotor seperti itu? Rupanya, pemahaman semacam ini hanya berdasarkan
alasan kebahasaan. Kita belum melihat aspek lain, misalnya latar belakang
kejadian yang melingkupinya.
Lalu, bagaimana sebenarnya duduk soal hadis tersebut? Di
sinilah asbab al-wurud dapat berperan. Disebutkan bahwa Hadis ini merupakan jawaban Nabi kepada seorang sahabat yang
bertanya apakah sumur Bidha’ah dapat dipergunakan berwudu? Padahal warga
Madinah membuang sampah dan kotoran di sana.[4]
عن أبي سعيد الخدري : أنه قيل لرسول الله صلى الله عليه و سلم أنتوضأ من بئر
بضاعة ؟ وهي بئر يطرح فيها الحيض ولحم الكلاب والنتن فقال رسول الله صلى الله عليه
و سلم " الماء طهور لا ينجسه شيء "
“Dari Abu Said
bahwa ditanyakan kepada Rasulullah saw. apakah kita boleh berwudu dengan air
dari sumur Bidha’ah? Ia adalah sumur yang dibuang di dalamnya hadis, daging
anjing, dan kotoran. Rasulullah saw. menjawab, ‘Air adalah suci dan mensucikan.
Tiada sesuatu pun yang dapat membuatnya najis.”
Dengan asbab al-wurud, kita mendapatkan gambaran lebih
utuh mengenai latar belakang pernyataan. Berdasarkan latar belakangnya, yang
dimaksud dengan “air” dalam pernyataan Nabi adalah sumur Bidha’ah. Sebuah sumur
yang sangat besar dengan debit air yang melimpah. Sumur ini menjadi berada di
dataran rendah Madinah. Ketika musim hujan, seluruh kotoran yang berada di kota
Madinah terbawa aliran air menuju sumur tersebut. Bisa dibayangkan bahwa sumur
itu cukup besar dan lebih mirip danau, atau empang lebar dibanding sumur biasa.
Hal ini seperti dikatakan al-Thahawi menyatakan bahwa sumur ini tidak seperti
sumur pada umumnya. Sumur Bidha’ah mengalir bak sungai menuju perkebunan kurma
warga Madinah.[5]
Pengertian diperoleh sebelumnya pun harus diubah. Bahwa Nabi
sama sekali tidak mengajarkan cara hidup jorok. Nabi selalu mengajarkan
kebersihan. Masyarakat Madinah sangat membutuhkan air sumur Bidha’ah untuk
berbagai keperluan. Maka, sekalipun ketika hujan kotoran-kotoran dari kota
terbawa arus menuju sumur, dan kotoran itu menumpuk di sumur, namun sama sekali
tidak berpengaruh terhadap kebersihan air. Nabi kemudian mengambil kebijakan
bahwa sumur itu tetap boleh digunakan sebagaimana biasa.
Para ahli fiqh kemudian mengambil kesimpulan bahwa air yang
banyak tidak dapat menjadi kotor atau najis dengan bersentuhan dengan najis.
Kecuali bila kondisi air berubah karena kotoran atau najis tersebut. Secara
naluri saja, kita akan merasa jijik mengonsumsi air kotor. Dan Nabi yang
memiliki kebijaksanaan tingkat tinggi tidak mungkin mengajarkan hidup jorok.
b. Mengungkap Alasan di Balik Suatu Aturan
Pembaca hadis dapat memahami alasan pembuatan suatu aturan
yang terdapat dalam hadis. Setelah mengetahui dasar atau alasannya, pembaca
dapat memahami sejauhmana suatu aturan berlaku.
Misalnya dalam masalah air di atas. Mengapa Nabi
membolehkan penggunaan air yang terkena kotoran. Ternyata karena air yang
dilihat beliau tidak mengalami perubahan. Tidak adanya perubahan dalam air itu
terjadi karena volume air terbilang besar sehingga kotoran-kotoran yang masuk
ke dalamnya tidak berpengaruh sama sekali. Kenyataan ini kemudian dijadikan
alasan utama kebolehan mengonsumsi air yang terkena kotoran namun tidak berubah
sedikit pun. Penemuan alasan ini tidak dapat dilepaskan dari penggunaan asbab
al-wurud dalam memahami teks hadis.
c.
Membatasi Keluasan Pengertian
Matan hadis
seringkali menggunakan redaksi general atau umum. Atau kalimat yang cenderung
abstrak yang cakupannya ambigu dan tidak tegas batasnya. Keberadaan latar
belakang kemunculan hadis atau asbab al-wurud dapat membantu menjelaskan
maksud sabda Nabi dalam suatu matan hadis.
Sebagai contoh
adalah hadis di atas tentang air bersih dan dapat digunakan membersihkan benda
lain. Dalam matan tersebut digunakan redaksi al-ma’ yang berarti seluruh
jenis air. Berdasarkan analisis kebahasaan, kata al-ma’ tersusun dari
kata tunggal ma’ yang diberi atribut berupa al. Dalam bahasa
Arab, struktur semacam ini berdampak luasnya pengertian air dalam frasa
tersebut. Bila diartikan secara tekstual, frasa tersebut berarti seluruh jenis
air. Padahal, kenyataannya, yang dimaksud air dalam hadis tersebut adalah air
dari sumur Bidha’ah. Pengertian al-ma’ yang luas dibatasi oleh pengertian yang
diambil dari pengetahuan tentang latar belakang kejadian sabda Nabi saw.
d. Mengungkap Aturan Yang Sudah Diubah
Seseorang yang
banyak membaca hadis, kemudian membandingkan satu dengan lainnya, terkadang
menemukan matan yang pengertiannya bertentangan (kontradiksi). Hal ini menjadi
masalah karena dia meyakini hadis sebagai aturan. Dan tidak mungkin melakukan
dua pekerjaan yang bertolak belakang sekaligus. Seperti makan dan tidak makan.
Dalam studi hadis, kasus ini merupakan fenomena yang memang benar-benar
terjadi. Para ulama yang tekun menelaah kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemahaman hadis, memiliki strategi-strategi tertentu mengatasi masalah ini.
Salah satunya, menggunakan teori abrogasi atau pengubahan aturan. Artinya, ada
kemungkinan bahwa dua hadis yang merupakan dasar peraturan itu salah satunya
yang dihapus, dan digantikan dengan hadis yang lain. Sehingga, pada dasarnya
aturan lama tidak berlaku lagi. Dalam istilah usul fiqh, penghapusan,
pengubahan, atau penggantian aturan semacam ini disebut nasakh.
Penulis
mencontohkan sebagai berikut. Dalam sebuah hadis riwayat al-imam Muslim
dikatakan bahwa Nabi melarang menyimpan daging kurban melebihi tiga hari.[6] Namun dalam riwayat lain dikatakan Nabi menyuruh
menyimpan. [7]
Keyakinan bahwa hadis adalah peraturan berakibat pada kebingungan dalam
pelaksanaan dua hadis yang saling bertentangan tersebut. Tidak mungkin dua hal
yang bertolak belakang bisa diamalkan secara bersama-sama. Dalam kasus ini,
menyimpan dan tidak menyimpan.
Diriwayatkan,
عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم
أنه قال ( لا يأكل أحد من لحم أضحيته فوق ثلاثة أيام(
“Dari Ibnu
Umar, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Jangan seorang pun (menyimpan
untuk) makan daging kurbannya melebihi tiga hari.”
Hadis ini berintikan larangan menyimpan daging kurban di atas
tiga hari. Namun dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi memerintahkan
menyimpan daging kurban sampai kapan pun. Seperti diriwayatkan al-Imam Muslim;[8]
ادخروا ثلاثا ثم تصدقوا بما بقي
“Simpan selama
tiga hari, kemudian sedekahkan sisanya.”
Hadis terakhir ini memiliki pengertian yang bertentangan
hadis sebelumnya. Yang terakhir ini berkesimpulan bahwa menyimpan daging kurban
adalah diperintahkan. Sedangkan sebelumnya malah melarang. Mengapa Nabi membuat
dua aturan berbeda, bahkan bertentangan? Rupanya, kita perlu menelusuri latar
belakang kedua hadis tersebut.
Setelah dicari riwayat lengkapnya, ditemukan informasi
sebagaimana berikut:
عن عبدالله
ابن أبي بكرعن عبدالله بن واقد قال
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن أكل لحوم الضحايا بعد ثلاث قال عبدالله ابن أبي
بكر فذكرت ذلك لعمرة فقالت صدق سمعت عائشة تقول : دف أهل أبيات من البادية حضرة
الأضحى زمن رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ادخروا
ثلاثا ثم تصدقوا بما بقي ) فلما كان بعد ذلك قالوا يا رسول الله إن الناس يتخذون الأسقية
من ضحاياهم ويجملون منها الودك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( وما ذاك ؟ ) قالوا
نهيت أن تؤكل لحوم الضحايا بعد ثلاث فقال ( إنما نهيتكم من أجل الدافة التي دفت فكلوا
وادخروا وتصدقوا (
“Dari Abdullah bin Abi Bakr dari Abdullah
bin Waqid, dia berkata, ‘Rasulullah saw. melarang memakan daging kurban setelah
tiga hari.’ Abdullah bin Abi Bakr berkata, ‘Aku laporkan itu pada ‘Amrah lalu
dia berkata, ‘Dia Abdullah bin Waqid benar. Aku mendengar Aisyah berkata,
‘Rombongan orang badui datang saat hari raya Idul Adha, pada saat Nabi masih
hidup. Rasulullah saw. berkata, ‘Simpanlah daging yang kalian peroleh untuk
tiga hari. Kemudian sedekahkan sisanya.’ Beberapa waktu setelah itu, mereka
berkata, ‘Rasulullah! Orang-orang membuat minuman dari daging yang mereka
peroleh. Mereka mencairkan lemak daging itu.’
Rasulullah bertanya, ‘Mengapa mereka melakukannya?’ Mereka menjawab,
‘Engkau malarang kami memakan daging-daging kurban setelah tiga hari.’ Nabi
bersabda, ‘Aku melarang kalian karena ada rombongan orang badui (yang datang
kemari mencari sedekah). Maka sekarang makan, simpan dan sedekahkanlah.’
Dua hadis di atas mempunyai pengertian berlainan. Hadis
pertama melarang menyimpan dan hadis kedua membolehkan menyimpan daging kurban
lebih dari tiga hari. Melalui bantuan sabab al-wurud, dapat diketahui
bahwa hadis yang membolehkan merupakan peristiwa yang muncul lebih akhir. Dengan
demikian, aturan yang terdapat dalam hadis yang terakhir menghapus aturan yang
terdapat pada hadis yang terdahulu.
Penggantian aturan ini disebut nasakh.
Kontekstualisasi:
Contoh dan Aplikasi
a.
Islam Ilmu-Amal vs Islam Perang
Sekadar contoh bagaimana menggunakan sabab al-wurud,
di bawah ini penulis ulas dua Hadis yang berbeda. Pertama diriwayatkan
oleh al-Imam Muslim dan riwayat kedua berasal dari al-Imam al-Baihaqi. al-Imam Muslim meriwayatkan:
حدثني ابن نمير حدثنا أبي حدثنا حنظلة قال سمعت عكرمة
بن خالد يحدث طاوسا أن رجلا قال لعبدالله بن عمر : ألا تغزو ؟ فقال إني سمعت رسول الله صلى الله عليه و
سلم يقول إن الإسلام بني على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة
وصيام رمضان وحج البيت
Muslim dari Ibnu Numair dari ayahnya dari Hanzhalah
yang berkata, saya mendengar Ikrimah bin Khalid bercerita kepada Thawus bahwa
seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Umar: Kenapa engkau tidak
berperang? Ia menjawab: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
Islam ditegakkan di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitullah.”
Matan Hadis dimulai dari redaksi anna rajulan... Namun
sabda Nabi dimulai dari buniya al-islām. Matan merupakan redaksi yang berada di penghujung
sanad (muntaha al-sanad). Dengan demikian, matan hadis dimulai dari anna
rajulan, bukan buniya al-islam. Pertanyaannya, apakah redaksi
sebelum sabda Nabi saw. dapat disebut sabab al-wurud? Tentu saja bila kita menggunakan definisi yang mempersyaratkan
respon Nabi, maka redaksi tersebut tidak dapat dinamakan sabab al-wurūd. Berbeda
halnya bila kita menggunakan standar Ibnu Hamzah yang menyatakan bahwa faktor
yang mendorong seorang sahabat untuk mengungkapkan suatu sabda Nabi (sabab īrād al-hadīth) juga
dapat disebut sabab al-wurūd, maka redaksi tersebut dapat masuk dalam kategori sabab
al-wurūd. Baiklah, pendapat kedua ini akan kita gunakan untuk
membaca Hadis Ibnu Umar di atas.
Pertanyaan yang diajukan kepada Ibnu Umar
mengindikasikan bahwa Ibnu Umar tidak turut dalam peperangan. Apakah ini
menunjukkan bahwa Ibnu Umar jarang mengikuti pertempuran? Pastinya iya.
Kemungkinan ini diperkuat dengan melihat biografi Ibnu Umar yang lebih suka menyibukkan
diri dengan urusan ibadah dan pendidikan.[9] Ketika terjadi konflik antara pemerintahan Yazid (?)
dan Abdullah bin Zubair (?) sekitar tahun sembilan puluhan hijriah, yang
berakhir dengan kematian Abdullah bin Zubair di tangan Hajjaj bin Yusuf, Ibnu
Umar merupakan tokoh senior yang menolak berkomentar lebih jauh. Beliau lebih
suka menyibukkan diri dengan dua urusan tadi. Pantaslah kiranya ketika ditanya
mengapa ia tidak turut serta dalam perang, beliau justru mengutip sabda Nabi
tentang rukun Islam. Bahwa Islam sudah cukup dengan lima perkara di atas. Jika
asumsi ini benar, maka dapat dikatakan bahwa Ibnu Umar mengutip Hadis di atas
untuk menolak anggapan sang penanya tentang ketidaksempurnaan agama seseorang
yang tidak pernah turut berjihad di medan tempur. Pandangan yang mengaitkan
antara Islam dan perang memang sangat dominan saat itu.[10] Namun, Ibnu Umar sebagai murid langsung Rasulullah
bergeming ketika harus mengikuti anggapan umum itu. Karena, kenyataannya mereka
yang terlibat dalam perang, politik dan konflik semacam itu tidak terlalu
menghiraukan agamanya. lebih-lebih pengembangan pengetahuan agamanya.[11]
b.
Salam kepada Non-Muslim
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ketika
non-Muslim mengucapkan salam kepada Muslim, konon si Muslim perlu menjawabnya
dengan ungkapan, “wa ‘alaikum..” Berdasar hadis ini, diambil kesimpulan bahwa
salam non-Muslim kepada Muslim tidak perlu dijawab utuh. Kesannya adalah
basa-basi. Bila ditelusuri asal-usulnya melalui asbab al-wurud, diketahuilah
bahwa justru hal itu merupakan bentuk kelembutan Nabi kepada mereka yang non-Muslim. Berikut ini
riwayatnya,
عن عائشة قالت : استأذن رهط من اليهود على رسول الله صلى الله عليه و
سلم فقالوا السام عليكم فقالت عائشة بل عليكم السام واللعنة فقال رسول الله صلى الله
عليه و سلم يا عائشة إن الله يحب الرفق في الأمر كله قالت ألم تسمع ما قالوا ؟ قال
قد قلت وعليكم
“Dari Aisyah yang berkata, “Rombongan orang Yahudi
minta izin menghadap Rasulullah saw. Mereka mengatakan, ‘as-Samu ‘alaikum’
(kematian semoga menimpamu). Aisyah menjawab, ‘Sebaliknya, semoga kematian dan
laknat menimpa kalian!’ Rasulullah saw. menegur, ‘Aisyah, Allah menyukai kelembutan
dalam semua perkara.’ Aisyah membantah, ‘Apakah anda tidak mendengar apa yang
mereka katakan?’’ Nabi saw. berkata, ‘Aku telah menjawabnya, ‘Wa ‘alaikum…
(semoga menimpa kalian…).’”[12]
Jawaban “wa ‘alaikum” ternyata justru merupakan
bentuk kelembutan Nabi kepada mereka yang telah menyakitinya. Latar belakang
hadis itu sendiri adalah sikap kurang sopan orang Yahudi kepada beliau. Lantas,
apakah bila ada seorang non-Muslim yang bersikap santun dan tulus mengucapkan
salam harus dibalas dengan balasan serupa? Sepertinya, Nabi akan membalasnya dengan santun dan tulus
pula. Wallahu A’lam.
[1] Tariq Asad Halimi, Ilmu Asbab
al-Wurud..., Hlm. 12
[2] Ashfihani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm.
391
[3]
Ashfihani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran,
hlm. 391
[4] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi
Dawud, 1/64
[5] Al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi,
1/170
[6] Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, Sahih
Muslim, 3/1560
[7] Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, Sahih
Muslim, 3/1561
[8] Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, Sahih
Muslim, 3/1561
[9] Pandangan Ibnu Umar ini diyakini
sebagai cikal bakal aliran Ahlussunnah, kelompok moderat yang cenderung
menghindari pertarungan politik secara terbuka. Sekalipun demikian, pada
akhirnya selain mengembangkan pemikiran keagamaan, mereka juga mengembangkan
pandangan-pandangan politiknya. Generasi pertama ahlussunnah sering disebut
ahlul ilmi wal amal, zuhhad, dan
ahlussunnah. Lihat kajian Ahmad Baso dalam NU Studies,
[10] Tesis ini dikembangkan oleh Fuad
Jabali dalam disertasinya yang diterbitkan dengan judul Sahabat Nabi.
[11] Dengan melihat sabab al-wurūd kita dapat mengambil pemahaman bahwa
keberislaman yang selama ini sering dipojokkan dengan sebutan ‘islam minimalis’
atau ‘islam ritual’, jika tuduhan itu benar, merupakan sesuatu yang sah seperti
yang dicontohkan Ibnu Umar. Wallahu A’lam bis Shawab.
[12] Muslim bin Hajjaj
al-Naisaburi, Sahih Muslim, 4/1706
Komentar
Posting Komentar