Meriwayatkan Hadis dari Jin
Oleh: Abdul Karim Munthe
Latar
Belakang
Pembahasan mengenai periwayatan jin
sebenarnya bukanlah suatu hal yang aneh menurut sebahagian kalangan, namun
tidak menutup kemungkinan aneh menurut kalangan yang lain. Walaupun banyak kita
temukan hadis yang diriwayatkan dari jin atau bentuk suatu riwayat yang
menceritakan mengenai jin.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya
bahwa sanad dalam menentukan ke-shahîh-an hadis menempati tempat
yang cukup urgen, yang pada akhirnya dapat menentukan apakah sebuah hadis itu shahîh
atau dhaiîf, di samping juga perlu untuk mengkaji segi matannya. Oleh
karenanya sanad menjadi penting dalam hukum islam, sebab hadis adalah
salah satu sumber hukum islam.
Sebagai pendahuluan, kita sepakat bahwa
ilmu sanad dan ilmu hadis adalah pengetahuan
ilmiah, oleh karenanya segala yang terkait dengannya harus memenuhi standar
ilmiah pula, yaitu: rasional sistematis, dan teruji. Menjadi pertanyaan besar
kita adalah apakah seorang perawi (manusia) dapat meriwayatkan sebuah hadis
dari jin? Untuk menjawab pertanyaan tersebut haruslah dijelaskan secara
komprehensif apa sesungguhnya jin itu? Bagaimana pertemuan manusia dengan jin?
Dan bagaimana posisinya dalam periwayatan hadis?
Pengertian Jin
Dalam bahasa Arab Jin جن secara etimologis berarti sesuatu yang berkonotasi
"tersembunyi" atau "tidak terlihat". Dalam Islam dan mitologi Arab
pra-Islam, jin adalah salah satu ras makhluk yang tidak terlihat dan diciptakan
dari api.
Abu Ya’la bin al-Farra’ berpendapat bahwa
jin terdiri dari jasad yang dapat berubah-ubah.[1] Sedangkan dalam Irsyād
al-Imām Haramain mengatakan bahwa jin dan syaitan terdiri dari jasad yang
tercipta dari api halus yang tidak dapat dilihat oleh mata. Dan sebagian
sifatnya jin itu ada yang tidak makan dan minum, tapi ada juga yang makan dan
minum.[2]
Pengertian di atas
memberikan pemahaman kepada kita bahwa jin adalah bagian dari makhluk hidup yang penciptaannya berbeda dengan manusia atau
makhluk lain pada umumnya. Melihat dari segi dia dapat berubah (menyamar) wujud
maka dapat dipersamakan dengan malaikat yang juga dapat berubah wujud dengan
bentuk seorang laki-laki yang ganteng atau dalam bentuk lain, sebagaimana yang
dikisahkan dalam hadis dialog Nabi saw. dengan seorang laki-laki yang datang
kepada Nabi saw. bertanya mengenai apa itu islam, apa itu iman, apa itu ihsan,
dan tentang hari kiamat kapan terjadi. Sedangkan dalam bentuk aslinya
sebagaimana dikisahkan dalam hadis ketika surat pertama turun yaitu surat al-muzzammil
atau surat al-‘Alaq yang diturunkan dalam gua Hira.
Tidak jauh berbeda,
jin sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah swt dari api, juga dapat berubah
(menyamar) sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa manusia dan jin memiliki alam hidup yang berbeda, walaupun masih
dalam tempat ciptaan Allah swt.
Alquran dan Hadis Berbicara Tentang Jin
Alquran dan Hadis memberikan gambaran yang
begitu sempurna ketika berbicara mengenai jin, baik dalam hal penciptaannya
maupun kehidupannya
sehari-hari. Sebagaimana penciptaan jin yang termaktub dalam surah al-Hijr [15]: 27 menjelaskan bahwa penciptaan jin
sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.[3] Bahkan
dalam salah satu nama surah Alquran adalah surah jin itu sendiri, lebih
tepatnya dalam surah ke-72.
Sedangkan dalam hadis,
sebagaimana salah satu fungsi hadis adalah menjelaskan lebih lanjut apa yang
ada dalam Alquran, juga banyak
menjelaskan bagaimana dan apa sesungguhnya jin itu. Sebagaimana
dalam hadis dinyatakan bahwa malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan
dari api yang menyala dan Adam diciptakan dari tanah.[4]
Begitu juga dalam hal beragama terjadi
persamaan antara manusia dan jin sebagaimana digambarkan dalam hadis bahwa jin
juga terdapat kelompok yang kafir. Salah satu ayat yang mengindikasikan
golongan jin yang kafir diceritakan ketika Allah memerintahkan malaikat iblis
untuk sujud kepada Adam.[5]
Jin dan Manusia: persamaan, perbedaan dan hubungannya.
Dari berbagai macam makhluk ghaib, jin
adalah salah satu yang hampir memiliki kesamaan dengan manusia jika melihat
dari segi kemakhlukannya. Di antaranya adalah sama-sama dapat berkembang biak,[6] sama-sama memerlukan
makanan dan minuman, atau sama-sama menerima dakwah dari Nabi saw. Dan dalam
menerima dakwah dari Nabi saw. banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw.
sering berkomunikasi dan jin sering mendengarkan dakwah Rasulullah saw., oleh
karena itu tidak heran jikalau jin ada yang muslim. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan juga ada di antara mereka yang kafir.
Perkembangan umat islam, jikalau kita lihat
dari segi spiritualitas dan/atau intelektualitas dapat kita bagi kedalam dua
golongan besar, sebagaimana para ahli fikih membagi para ulama mazhab ke dalam
dua bagian. Yaitu pertama, mereka yang berlandaskan pada logika atau
nass yang ada, yang ini diwakili oleh ahli-ahli fikih, dan hadis; dan kedua,
diwakili oleh para tasawwuf, yang berlandaskan pada hal-hal yang bersifat
mistis dan sulit dijangkau oleh orang awam.
Sedangkan Imam Ghazali membagi manusia pada
tiga golongan yaitu, ‘awām, khās, khawās dan khawāsu
al-khawās.[7] Dari penggolongan ini
tergambar bahwa dalam hal intelektual maupun spiritual memiliki tingkatan
masing-masing, antara satu golongan dengan golongan yang lain sangat berbeda.
Gambar I
Segitiga Tingkatan Manusia
Manusia sebagai insān berbeda dengan
manusia sebagai basyar, dalam pembahasan ini kita tidak hanya melihat
manusia sebagai insān atau makhluk intelejensia tapi juga sebagai basyar,
sebab ini berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan jin. Jikalau kita hanya
membahas dari segi intelejensia maka tidak sulit untuk kita katakan bahwa
manusia mampu untuk menjangkau jin, sedangkan jika kita lihat dari sisi
kemanusiaannya maka kemungkinan untuk berhubungan antara manusia dengan jin
sulit untuk dilaksanakan, hal ini disebabkan manusia hidup di alam yang nyata,
dapat dilihat dengan indra mata, dapat disentuh dengan kulit, dan dapat
didengar suaranya. Sedangkan jin sulit untuk dilakukan sebab mereka hidup di
alam yang berbeda dengan manusia (alam ghaib) yang indra manusia sulit untuk
menjangkau hal tersebut,[8] kecuali hanya sebagian
kecil golongan. Berbeda dengan jin yang dapat melihat dan mengikuti manusia.[9]
Perbedaan alam dipengaruhi oleh awal
penciptaan manusia dan jin itu sendiri, manusia yang diciptakan dari tanah
tentu memiliki tekstur yang lebih kasar dibanding dengan jin yang diciptakan
dari api[10]
atau malaikat yang diciptakan dari cahaya. Oleh Karena itu pula jin dan
malaikat dapat berubah bentuk sebagaimana yang mereka inginkan, sedangkan
manusia tidak dapat.
No
|
|
Jin
|
Manusia
|
1
|
Diciptakan
|
Dari Api
|
Dari Tanah
|
2
|
Jasad
|
Halus (Dapat Berubah-ubah)
|
Kasar (tidak dapat berubah-ubah)
|
3
|
Kemungkinan Bertemu
|
Sulit (Ghaib)
|
Dapat Bertemu (Nyata)
|
4
|
Agama
|
Ada Islam dan Ada Kafir
|
Ada Islam dan Ada Kafir
|
5
|
Ruh
|
Memiliki Ruh
|
Memiliki Ruh
|
Table I
Perbedaan dan Persamaan Manusia dengan Jin
Jin sebagai makhluk Allah swt. tidak dapat
diingkari, karna percaya kepada yang ghaib adalah salah satu dari iman. Akan
tetapi, apakah dengan kepastian adanya jin kita dapat menerima suatu riwayat
dari jin? Pertanyaan ini perlu mencermati dari berbagai aspek pertimbangan.
Sebab, jikalau tidak, maka tidak akan menemukan hasil yang maksimal.
Pertimbangan yang
paling penting adalah dalam hal pertemuan dengan jin, apakah dalam pertemuan
tersebut benar-benar bertemu dengan jin islam atau dia adalah syaitan, sebab,
keduanya sama-sama hidup di alam ghaib.[11]
Syarat Periwayatan
Hadis Agar Diterima
Disiplin ilmu hadis
dikenal cukup ketat dalam penerimaan sebuah matan, sebab ia tidak hanya
dikaitkan dengan kebenaran berita tersebut tapi juga, kesakralan kata-kata atau
petunjuk Rasulullah saw., bahkan Rasullah saw. pernah mengatakan bahwa orang
yang sengaja berbohong atas namanya, maka ia telah mempersiapkan singgasananya
di neraka.[12] Atas nama Rasulullah saw. di sini dapat
berupa penyebaran hadis dho’îf atau bahkan hadis maudhū’ yang
tidak diketahui dari mana asal usulnya. Bahkan ulama mengharamkan bagi siapa
yang telah mengetahui akan ke-dho’îf-an atau ke-maudhū’-an sebuah
hadis untuk menyebarkannya.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika bagi
sejarawan ilmu hadis adalah yang paling otentik kebenarannya dan merupakan ilmu
yang paling mulia. Ilmu hadis, khususnya terkait dengan sanad adalah
salah satu bentuk tradisi transfer ilmu klasik, dan bukanlah seutuhnya
murni dari kontemplasi ilmuan muslim, tapi juga dipengaruhi oleh umat sebelum
Islam.[13] Akan tetapi sanad
hadir dengan format yang berbeda dan persyaratan yang cukup ketat, di antara
persyaratan tersebut penulis mencatat ada tiga hal yang fundamental yang harus
dimiliki perawi hadis agar kabar yang dia berikan dapat diterima, yaitu syarat
‘ādil, dhābith, dan dikenal. Persyaratan ketat seperti adalah
hasil inspirasi perintah Allah swt. yang mengharuskan mengecek ulang setiap
kabar yang diterima.[14]
Dalam pembahasan ini, tidak dijelaskan
kembali lebih dalam. Sebab, pembahasan tersebut telah ada tersendiri
sebelumnya, disini hanya menjelaskan secara umum saja.
a.
Syarat ‘Ādil
‘Ādil adalah kejelasan bahwa perawi tidak fāsiq,
yakni tidak melakukan sering dosa kecil dan/atau melakukan besar serta selalu
menjaga muruahnya. Dengan demikian bahwa keadilan tidak hanya melihat dari
aspek keislaman, tapi lebih dari itu fokus pada menjaga muruah. Seperti memakai
sandal, tidak merekok, tidak makan berdiri,
dll sesuai dengan kultur masyarakat tersebut.
b.
Syarat Dhābith
Dhābith adalah keadaan perawi
yang kuat dalam menjaga teks hadis yang dimilikinya, baik itu secara hafalan
atau dalam hal tulisan, dan ke-dhābith-an adalah titik selanjutnya dalam
menentukan ke- tsiqah-an seorang perawi.
c.
Syarat Dikenal
a.
Bertemu
Syarat harus bertemu dikarenakan indikasi untuk tidak
bertemu sangat tinggi antara satu perawi dengan perawi lainnya. Imam Bukhari
menjadikan syarat bertemu dalam bukunya, sehingga tidak heren jika kitab paling
mulia setelah Alquran adalah shahîh al-imām al-Bukhāri, karena
selektifitasnya dalam menerima riwayat hadis, yang mengharuskan bertemunya
antara murid dan guru, ini penting karena sanad adalah pembenar dari
sebuah matan hadis.
b.
Dikenal Biografinya
Penting biografi adalah agar dapat menjawab apakah
perawi termasuk dari yang tsiqah, dan jin sebagai makhluk yang sulit
untuk ditemui adalah karena keterbatasan indra, dan sulit untuk
mengidentifikasikan jin tersebut. Oleh karenanya dari segi pemahaman biografi
jin sulit untuk diungkap.
Apakah Ada Sahabat dari Golongan Jin?
Pertanyaan ini penting untuk menambah luas
pemahaman kita terhadap sahabat. Jika kita melihat dari beberapa pengertian
sahabat yang diutarakan oleh para ulama bahwa yang dimaksud sahabat adalah
mereka yang bertemu dan/atau melihat Nabi saw serta dia beriman kepada ajaran islam. Ada juga yang memberikan pengertian bahwa
yang dimaksud dengan sahabat adalah mereka yang ber-mulāzamah dengan
nabi sampai lima tahun.
Pengertian di atas memberikan pemahaman
kepada kita bahwa, sahabat juga termasuk dari golongan jin, sebagaimana
dikatakan oleh imam al-Sakhawi, sebab nabi juga diutus ke pada mereka, dan
mereka juga dibenbankan untuk beribadah,[15] dll.
Analisis Kedudukan Jin Sebagai Perawi Hadis
Untuk mengetahui kedudukan jin sebagai
perawi hadis, maka pertanyaannya bukan apakah manusia dapat bertemu dengan jin?
Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah ketika seorang manusia yang meriwayatkan
sebuah hadis dari jin, memang benar-benar jin islam yang memenuhi persyaratan
di atas? Dan bagaimana kita dapat mengetahuinya (red. Jin)?
Pertanyaan di atas akan dapat dijawab
apabila kita mengetahui karakteristik dari jin itu sendiri, kemudian dihubungkan
dengan persyaratan diterimanya sebuah rawi. Dari penjelasan sebelumnya tampak
jelas bahwa jin adalah makhluk halus yang dapat berubah bentuk, seperti ular,
anjing, atau hewan lainnya.[16] Manusia sulit untuk
mengetahui apakah jin yang dia temui jikalau berbentuk manusia adalah memang
benar-benar jin islam, atau bahkan jin yang tidak islam.
Kesulitan untuk mengetahui dengan jelas
pertemuan tersebut berimplikasi pada sulitnya menentukan biografi dari jin
tersebut. Walaupun dikatakan oleh sebagian kalangan itu dapat diketahui dengan
cara menanyakan pada ulama yang tau akan jin tersebut, dan ini adalah kesulitan
yang kedua, bahwa ulama mana yang telah menuliskan atau mengetahui biografi jin
tersebut. Hal ini berbeda dengan manusia, sebab ia hidup di tengah-tengah
manusia lainnya, keadaan seperti ini mempermudah mendeteksi biografi hidup
perawi tersebut, dan ini terbukti dengan banyaknya kitab rijāl al-hadîts
yang menuliskan biografi para perawi mulai dari sahabat sampai pada gurunya mudawwin
(penyusun kitab), yang memuat nama, tanggal lahir, wafat, guru, murid,
keberagamaannya, kemasyarakatannya, dll.
Gambar II
Proses Penerimaan Hadis
Ketidak jelasan biografi dari seorang
perawi akan mepersulit menentukan apakah dia ‘Ādil dan dhābith?
Sebab, dalam sebuah periwayatan diharuskan orang yang meriwayatkan hadis
bertemu langsung dengan yang diriwayatkan, jikalau pertemuan tersebut tidak
jelas di mana dan bagaimana, maka sulit untuk menentukan apakah hadis tersebut
bersambung atau tidak. Karena periwayatan dari jin hanya dapat dilakukan dan
disaksikan oleh orang tertentu, dengan kata lain tidak semua orang dapat
mengetahuinya.
Kedudukan hadis yang diriwayatkan dari jin
hanya dapat diamalkan bagi mereka yang bertemu saja, dan untuk tidak dapat
dijadikan argumentasi hukum. Sebab, hadis yang diriwayatkan oleh salah satu
perawinya jin adalah hadis majhūl, sebab perawinya tidak dapat dikenal
dengan jelas.
Penutup
Dari penjelasan di
atas sejatinya belum dapat mencukupi pembahasan yang cukup kompleks ini apabila
diingingkan pembahasan yang komprehensif. Dan sebagai bentuk kesimpulan bahwa
penulis berpendapat periwayatan dari jin, hadisnya dihukumi sebagai hadis yang majhūl,
sebab perawinya yang tidak dikenal, dan apabila ingin dijadikan sebagai hujjah
tidak dapat digunakan kecuali ada riwayat lain yang menceritakan permasalahan
tersebut.
Sebagai rekomendasi
kepada akademisi hadis agar meneliti lebih lanjut membahas mengenai posisi jin
sebagai perawi, apakah ada jin yang meriwayatkan hadis, dan bagaimana pertemuan
mereka dalam periwayatan tersebut.
Akhir kalam.
Wallahu’alam Bisshowab
[1]
Teks kalimat tersebut lebih lengkap,
قَالَ
أَبُو يَعْلَى بْن الْفَرَّاء: الْجِنّ أَجْسَام مُؤَلَّفَة وَأَشْخَاص مُمَثَّلَة
(فتح الباري لابن حجر - (ج 10
/ ص 79))
[2]
Teks kalimat tersebut lebih lengkap,
وفي
إرشاد إمام الحرمين : الجن والشياطين أجسام لطيفة نارية غائبة عن إدراك العيون.
قال: وعن بعض التابعين أن من الجن صنفا روحانيا لا يأكل ولا يشرب ومنهم من يأكل
ويشرب. (الفتاوى
الحديثية لابن حجر الهيتمي - (ج 1 / ص 263) )
¨b!$pgø:$#ur çm»uZø)n=yz `ÏB ã@ö6s% `ÏB Í$¯R ÏQqßJ¡¡9$# ÇËÐÈ
Kemudian
dalam surah al-Rahmān [55]:15,
t,n=yzur ¨b!$yfø9$# `ÏB 8lÍ$¨B `ÏiB 9$¯R ÇÊÎÈ
Ibn ‘Abbas, Ikrimah, Mujāhid dan al-dhahhak
berkata bahwa yang dimaksud dengan firman Allah: dari nyala api ialah api
murni.
[4]
Sebagaimana hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Muhammad bin Rafi’
dari Abdurrazzāq,
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم : خلقت الملائكة من نور و خلق الجان من مارج من نار
و خلق آدم مما و صف لكم
[5]
Sujud dalam pemahaman Ulama tidak sujud sebagaimana dilakukan dalam sholat, sebab
hal itu merupakan kemusyrikan dan dilarang dalam agama islam. Dalam hal
memberikan hukum terhadap sujud yang diperbolehkan hanya dalam tiga hal yaitu,
dalam sholat, sujud al-tilāwah, sahwi, dan ada juga yang masih
memperdebatkan dalam hal sujud doa. Dan sujud dalam perintah ini adalah cukup
dengan menundukkan kepala. Ayat yang menjelaskan perintah sujud tersebut di
antaranya dalam surah al-Kahfi [18]: 50 berbunyi,
وَإِذْ قُلْنَا
لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاء مِن
دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً
[6]
Lihat QS. al-Kahfi [18]: 50
[7]
Pembagian tersebut dilandaskan pada nilai spiritual terkait dengan pemahaman terhadap
agama ataupun terkait dengan tingkat ibadah mereka, dan yang paling rendah
adalah ‘awām. Istilah awam bukanlah istilah yang aneh dikalangan
Indonesia sebab, dia telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Awam dalam bahasa
Indoensia diartikan, sebagai kebanyakan, biasa, tidak istimewa, atau orang
kebanyakan. Dan tingkatan yang kedua adalah khāsh yaitu mereka yang
telah menempati ruang atau derajat yang lebih tinggi atau khusus; dan terakhir
adalah kawāsh al-khawāsh yang berada di atas tingkatan khas dan ini
diduduki oleh para nabi atau auliya’ Allah.
[8]
Bahkan dalam surah al-A’raf [7]: 27 dijelaskan bahwa manusia tidak dapat
melihat jin karena mereka makhluk ghaib.
[9]
Lihat QS. Al-A’raf [7]: 27.
[10]
QS. Hijr [15]: 27.
وأخرج البخاري عن سفيان الثوري: أخبره رجل كان يرى الجن
أنه رأى قاصا يقص في مسجد الخيف فتطلبه فإذا هو شيطان، وجاءت آثار أخرى بنحو ذلك
Artinya, diceritakan bahwa seorang laki-laki pernah melihat jin
menceritakan suatu kisah di Masjid al-Khaif, jawab Nabi dia adalah syaithan.
Dan ada juga atsar yang lain seperti ini. Lihat, Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa
al-haditsiah, h. 152.
[12]
Teks hadis nya adalah
من كذب علي متعمدا
فليتبوء مقعده من النار
[13]
Untuk lebih lengkapnya silahkan baca Sejarah Sanad.
[14]
Lihat QS. al-Hujurāt [49]: 6.
[15]
Dalam Alquran dikatakan bahwa Allah tidak menciptakan dari golongan manusia dan
jin kecuali untuk beribadah kepada Allah.
عن أبي ثعلبة الخشني رضي
الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
(الجن ثلاثة أصناف صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات وكلاب وصنف
يحلون ويظعنون)
Assalamu'alaikum.
BalasHapusBoleh minta referensinya nggak?
waalaikum salam, boleh mbak, referensi tentang apa kira2 yang diperlukan?
BalasHapus