Naskh al-Hadith: Kontradiksi, Penyelesaian dan Otoritas



A. Pendahuluan
Dalam ranah perbandingan matan, ketika suatu hadis -secara tekstual- bertentangan dengan hadis lain, maka hadis tersebut dapat dikategorikan ke dalam beberapa istilah. Bila pertentangannya memiliki peluang untuk dikompromikan (al-Jam’), maka disebut Mukhtalif al-H{{adi>th. Bila tidak dapat dipertemukan, namun diketahui sejarah kemunculan nas{ hadis tersebut, hadis yang lebih dahulu muncul disebut mansu>kh dan yang datang belakangan disebut na>sikh. Hubungan keduanya disebut naskh.[1] Sedangkan, bila tidak dapat dicarikan solusi sama sekali, maka disebut mud{t{arib.[2]
Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan sekelumit tentang ‘Ilm Naskh al-H{adi>th. Mengenai definisi ‘Ilm Naskh al-H{adi>th, Sejarah dan Ulama Hadis yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan ‘Ilm Naskh al-H{adi>th, Kitab apa saja yang mengkaji bidang ini, urgensi dan penerapan ‘Ilm Naskh al-H{adi>th dalam kontekstualisasi hadis.

B. Pengertian ‘Ilm Naskh al-H{adi>th
Naskh merupakan bentuk masdar dari fi’l ma>d{i> mujarrad nasakha-yansakhu-naskhan yang memiliki akar kata nun-sin-kha’. Menurut Ibn Fa>ris, kata ini mempunyai dua pengertian dasar: mengganti sesuatu dengan menempatkan yang lain pada posisinya (raf’ shai’ wa ithba>t ghairih maka>nah) dan memindahkan ke tempat lain (tah{wi>l al-shay’ ila shay’).[3] Pengertian senada dikemukakan al-H{a>zimi> (548 H), yakni naskh sebagai sebuah kata untuk mengungkapkan pendisfungsian sesuatu dan menempatkan sesuatu yang lain pada posisinya (‘iba>rah ‘an ibt{a>l shai’ wa iqa>mah a>khar maqa>mah). Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan naskh secara terminologi. Sebagian ulama mengartikan,[4]
بيان انتهاء مدة العبادة
“Penjelasan berakhirnya waktu ibadah”
بيان  انقضاء مدة العبادة التي ظاهرها الدوام
“Penjelasan berakhirnya masa ibadah yang secara lahiriah berlaku selamanya.”

Kedua definisi masih menimbulkan banyak pertanyaan karena belum memberikan pengertian yang tegas. Penyebutan redaksi “ibadah” menyebabkan persoalan yang tidak termasuk ubudiyah dinilai tidak mengalami naskh. Padahal, ada banyak persoalan yang bukan ibadah namun hukumnya tidak berlaku lagi. Tidak pula dijelaskan apa yang menyebabkan keberakhiran ibadah tersebut. Apakah akibat ditetapkannya ketentuan baru, atau hanya karena batas waktu pelaksanaannya telah habis? Kedua definisi di atas tidak menyebutkan dua unsur penting dalam naskh, yaitu dalil terdahulu dan dalil yang datang belakangan. Kekurangan dalam definisi di atas disempurnakan dengan redaksi berikut.
رفع الحكم بعد ثبوته
“membatalkan hukum setelah ditetapkan.”

Definisi ini lebih umum daripada sebelumnya karena menggunakan redaksi “hukum” dan tidak dibatasi pada persoalan ibadah. Artinya ia dapat mencakup persoalan ibadah dan selain ibadah. Namun pengertian ini belum juga mencakup esensi naskh secara komperehensif, yaitu tidak dapat membedakan hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil nas{ syari’ah atau hukum asal segala sesuatu. Faktanya, hukum yang ditetapkan berdasar prinsip asali (al-Bara>’ah al-As{liyah, al-As{l fi> al-Ashya>’ al-Iba>h{ah) kemudian turun ketentuan baru dari Tuhan tidak dapat disebut dengan naskh. Tidak dijelaskan pula bentuk pembatalan hukum menggunakan apa. Apakah dengan hukum yang baru atau pembatasan tertentu. Kelemahan ini disempurnakan oleh definisi yang ditawarkan oleh al-Qa>di> berikut,

الخطاب الدال على ارتفاع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على وجه لولاه لكان ثابتا به مع تراخيه عنه
“Dalil yang memberikan pengertian terangkatnya hukum yang ditetapkan berdasar dalil terdahulu dalam arti bila saja tidak diangkat maka hukum tersebut akan terus berlaku.”

Kekurangan yang terdapat dalam definisi sebelumnya tidak ditemukan di dalamnya. Semisal tentang sumber penetapan hukum yang pertama. Di sini dikatakan berdasarkan dalil terdahulu. Terdapat pengangkatan atau pembatalan hukum. Hukum di sini tentu tidak terbatas pada ibadah. Menurut al-H{a>zimi>, pengertian terakhir merupakan yang paling benar.[5] Berbeda dengan Ibn al-S{ala>h{ (557-643 H) yang masih merasa belum puas dengan definisi seperti itu. Terbukti definisi di atas justru lebih mengedepankan unsur nasikh dan mansukh diskursus naskh daripada menganggap naskh sebagai sebuah proses pembaruan legislasi suatu hukum. Di sinilah beliau menawarkan definisi yang dinilainya akan selamat dari kritikan,[6]

عبارة عن رفع الشارع حكما منه متقدما بحكم منه متأخر
“Istilah untuk menyebut penggantian hukum yang telah ditetapkan Sha>ri’ dengan ketentuan mutakhirnya.”

Menurutnya, definisi di atas merupakan yang paling aman dari kritikan. Baginya, naskh merupakan proses pembaruan hukum lama dengan ketentuan baru. Terlepas dari perdebatan di atas, dapat ditarik beberapa hal tentang pengertian naskh: (1) naskh merupakan perombakan suatu ketentuan dengan ketentuan baru, (2) ketentuan lama (mansu>kh) didasarkan kepada dalil-tekstual, (3) demikian pula  ketentuan baru (na>sikh).

C. Otoritas dalam Na>sikh Mansu>kh
Nasakh merupakan praktik ijtihad yang telah dikenal dan direstui syariat. Sebagai bukti, hal ini dapat ditemukan dalam al-Quran, Hadis dan sejarah.
1.  Al-Qur’a>n
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106)
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101)
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa al-Quran merupakan teks yang punya otoritas dalam menasakh. Dapat dipahami pula bahwa ayat yang menasakh merupakan ayat yang lebih baik, atau minimal setara yang dengan ayat yang dinasakh. Berdasar ayat ini, al-Shafi’I berpendapat hadis tidak dapat menasakh al-Quran. Hal ini berbeda dengan para pengikutnya, juga para ulama pada umumnya yang membolehkan hadis menasakh al-Quran.


2.  Al-H{adi>th
803 - حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِىُّ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو الْعَلاَءِ بْنُ الشِّخِّيرِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْسَخُ حَدِيثُهُ بَعْضُهُ بَعْضًا كَمَا يَنْسَخُ الْقُرْآنُ بَعْضُهُ بَعْضًا.

4279- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْبَزَّازُ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ سُلَيْمَانَ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَرْقِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي صَخْرٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي لَحَدِّثُنِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ الْقَوْلَ ، ثُمَّ يَلْبَثُ حِينًا، ثُمَّ يَنْسَخُهُ بِقَوْلٍ آخَرَ كَمَا يَنْسَخُ الْقُرْآنُ بَعْضُهُ بَعْضًا
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa hadis juga mempunyai fungsi nasakh. Dalam riwayat pertama dikatakan bahwa hadis nabi dapat saling menasakh sebagaimana ayat al-Quran. Dengan demikian, nasakh dalam hadis merupakan hasil analogi dengan nasakh pada al-Quran.


3.  Al-Ta>ri>kh
1170 - أخبرنا محمد بن أحمد بن أبي عون الرياني، قال: حدثنا محمد بن عبد ربه، قال: حدثنا عبدة بن سليمان، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن أبي أيوب الأنصاري عن أبي بن كعب، عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم، قال: قلت: أرأيت أحدنا إذا جامع المرأة فأكسل ولم يمن؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " ليغسل ذكره وأنثييه، وليتوضأ ثم ليصل"

952- حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاق ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ ، عَنْ مَعْمَرِ بْنِ أَبِي حُيَيَّةَ ، مَوْلَى ابْنَةِ صَفْوَانَ ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ ، عَنْ أَبِيهِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ ؛ قَالَ : بَيْنَا أَنَا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ إذْ دَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ ، فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، هَذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ يُفْتِي النَّاسَ فِي الْمَسْجِدِ بِرَأْيِهِ فِي الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ ، فَقَالَ عُمَرُ : عَلَيَّ بِهِ ، فَجَاءَ زَيْدٌ ، فَلَمَّا رَآهُ عُمَرُ قَالَ : أَيْ عَدُوَّ نَفْسِهِ ، قَدْ بَلَغْتَ أَنْ تُفْتِيَ النَّاسَ بِرَأْيِكَ ؟ فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، بِاَللَّهِ مَا فَعَلْتُ ، ولَكِنِّي سَمِعْتُ مِنْ أَعْمَامِي حَدِيثًا ، فَحَدَّثْتُ بِهِ ؛ مِنْ أَبِي أَيُّوبَ ، وَمِنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَمِنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ ، فَأَقْبَلَ عُمَرُ عَلَى رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ فَقَالَ : وَقَدْ كُنْتُمْ تَفْعَلُونَ ذَلِكَ ، إذَا أَصَابَ أَحَدُكُمْ مِنَ الْمَرْأَةِ فَأَكْسَلَ لَمْ يَغْتَسِلْ ؟ فَقَالَ : قَدْ كُنَّا نَفْعَلُ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَلَمْ يَأْتِنَا مِنَ اللهِ فِيهِ تَحْرِيمٌ ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيهِ نَهْيٌ ، قَالَ : ورَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعْلَمُ ذَاكَ ؟ قَالَ : لاَ أَدْرِي ، فَأَمَرَ عُمَرُ بِجَمْعِ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ ، فَجُمِعُوا لَهُ ، فَشَاوَرَهُمْ ، فَأَشَارَ النَّاسُ ، أَنْ لاَ غُسْلَ فِي ذَلِكَ ، إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ مُعَاذٍ ، وَعَلِيٍّ ، فَإِنَّهُمَا قَالاَ : إذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ ، فَقَالَ عُمَرُ : هَذَا وَأَنْتُمْ أَصْحَابُ بَدْرٍ ، وَقَدِ اخْتَلَفْتُمْ ، فَمَنْ بَعْدَكُمْ أَشَدُّ اخْتِلاَفًا ، قَالَ : فَقَالَ عَلِيٌّ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْلَمَ بِهَذَا مِنْ شَأْنِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَأَرْسَلَ إلَى حَفْصَةَ فَقَالَتْ : لاَ عِلْمَ لِي بِهَذَا ، فَأَرْسَلَ إلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ : إذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ ، فَقَالَ عُمَرُ : لاَ أَسْمَعُ بِرَجُلٍ فَعَلَ ذَلِكَ ، إِلاَّ أَوْجَعْتُهُ ضَرْبًا.

Dalam diskusi nasakh, sejarah menempati posisi yang penting. Nasakh meniscayakan pengetahuan tentang nas yang muncul duluan dan belakangan. Artinya, hal itu hanya bisa diketahui melalui sejarah. Hadis di atas merupakan bukti dimana sejarah mengambil peran dalam praktik nasakh.

D. Sejarah perkembangan ‘Ilm Naskh al-H{adi>th
Praktik nasakh sudah dikenal sejak zaman sahabat. Hal ini dibutkikan dengan pernyataan beberapa ulama dari kalangan sahabat serta perhatian mereka terhadap metode ijtihad yang satu ini. Sub bab sebelumnya telah menyinggung dua buah hadis (mauquf) yang menegaskan bahwa nasakh telah dikenal oleh para sahabat. Khalifah ‘Ali> bin Abi> T{a>lib, suatu ketika pernah menguji keahlian seorang calon hakim negara. Salah satu pertanyaan yang diajukan terkait dengan pengetahuan seputar nasakh-mansukh. Demikian pula mufassir sahabat, Ibn ‘Abba>s. Selanjutnya, nasakh-mansukh banyak dikembangkan oleh ulama fiqh. 

Tokoh yang populer dan mempunyai peran besar dalam bidang ‘Ilm Naskh al-H{adi>th adalah al-Ima>m al-Sha>fi’i>. Beliau memiliki sumbangan yang tidak diragukan lagi dan tergolong pioner dalam kajian ini. Ketika Ibn Wa>rah (w. 265 H) baru kembali dari Mesir, Al-Ima>m Ah{mad (w. 241 H) bertanya kepadanya: “Apakah engkau menyalin kitab-kitab al-Sha>fi’i>?” Ibn Wa>rah menjawab: “Tidak.” Imam Ah{mad menimpali: “Engkau telah lalai, kita tidak dapat mengetahui hadis yang mujmal (global) dengan yang mufassar (parsial) dan hadis na>sikh dengan hadis mansu>kh hingga kita berguru kepada al-Sha>fi’i>.” [7]

Menurut Ibn al-A>t}ir, ilmu naskh lebih banyak dikembangkan oleh ulama ushul fiqh daripada ulama hadis. Sekalipun demikian, terdapat beberapa karya dalam bidang nasakh-mansukh yang secara khusus mengoleksi hadis-hadis yang disinyalir sebagai nasikh dan mansukh. Karya-karya itu tentu saja mementahkan tesis yang menyatakan ahli hadis abai terhadap isu ini. Berikut ini penulis sajikan daftar karangan bertema nasakh-mansukh dalam hadis, dimulai dari yang paling tua hingga yang paling mutakhir.

E. Kitab-kitab yang membahas‘Ilm Na>sikh wa Mansu>kh al-H{adi>th
Kitab-kitab yang membahas kajian ‘Ilm Naskh al-H{a>dith secara independen antara lain:

[1] Al-Na>sikh wa al-Mansu>kh karya al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal (w. 241 H).
[2] Na>sikh al-H{adi>th wa Mansu>khuh karya al-Athram (w. 261 H).
[3] Na>sikh wa Mansu>khah al-H{adi>th karya Abu> Da>wu>d al-Sijista>ni> (w. 275 H).
[4] Na>sikh al-H{adi>th wa Mansu>khuh karya Ibn Sha>hi>n (w. 385 H).
[5] Al-I’tiba>r fi> al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-Atha>r karya Abu> Bakr Muhammad bin Mu>sa> bin ‘Uthma>n bin Ha>zim al-Hamadza>ni> (w. 584 H). Kitab ini disebut oleh al-Ja’bari> sebagai kitab rujukan paling lengkap mengenai Naskh al-H{adi>th.
[6] A’la>m al-‘A>lim ba’d Rusu>khih bi H{aqa>iq Na>sikh al-H{adi>th wa Mansu>khih karya Ibn al-Jauzi> (w. 597 H).
[7] Rusu>kh al-Ah{ba>r fi> Mansu>kh al-Akhba>r karya al-Ja’bari> (w. 732 H).

dan masih banyak karya ilmiah lainnya yang bertemakan Naskh al-H{adi>th, akan tetapi tidak diketahui namanya karena manuskrip kitab tidak ditemukan. Hanya terdapat informasi yang memberitakan keberadaan karya tersebut, antara lain kitab Naskh al-H{adi>th karya Abu> Bakr Muh{ammad bin ‘Uthma>n bin al-Ja’d al-Shayba>ni> (w. 301 H) yang disebutkan dalam kitab Kashf al-Zhunu>n, karya Ah{mad bin Ish{a>q al-Tanu>khi> (w. 318 H) keterangan mengenai keberadaannya diungkapkan oleh al-Khat{i>b al-Baghda>di> dalam Ta>ri>kh-nya.[8]

F. Syarat-syarat Naskh
Tidak seluruh hadis/dalil yang saling bertentangan dapat diselesaikan melalui teori nasakh. Nasakh merupakan penyelesaian terakhir yang diambil ketika tidak ada jalan lain untuk menyelesaikannya. Selain itu, terdapat sekian syarat yang harus dipenuhi untuk memasukkan dua dalil dalam kerangka kerja ini.


1.  Syarat Na>sikh
[a] Berupa nas{ shar’i, yakni dalil al-Qur’a>n dan al-H{adi>th yang berkaitan dengan hukum. Hal-hal yang berkenaan dengan rasio atau tidak berkaitan dengan hukum, dengan penyandarannya berupa prinsip asali tidak mengalami naskh. Semisal kisah.[9]
[b] Datang belakangan (ta’akhur / mutara>khi> ‘an al-Mansu>kh), artinya telah ada nas{ yang menetapkan hukum sebelumnya. Nasikh datang setelah ketetapan tersebut.[10]
[c] Tidak dapat dikompromikan (jam’) dengan nas{ yang turun sebelumnya –mansukh-
[d] Bila antara nas{ pertama dan nas{ kedua dapat diselesaikan dengan cara kompromi (jam’), maka nas{ kedua tidak menjadi na>sikh, tapi muqayyid atau mukhass{is{. Taqyi>d dan takhsi>s{ berbeda dengan nasakh.
[e] Kualitas nas{ kedua tidak di bawah nas{ yang pertama dalam segi periwayatannya. Semisal, nas{ kedua berstatus d{a’i>f, maka nas{ yang semacam ini tidak menjadi na>sikh.

2.  Syarat Mansu>kh
[a] Berupa nas{ shar’i, yakni dalil al-Qur’a>n dan al-H{adi>th
[b] Nas{ shari’ah berfungsi menetapkan hukum.
[c] Dipastikan tarikh kemunculan nas{ yang kedua untuk membuktikan bahwa dia muncul belakangan.
[d] Nas{ mansukh harus muncul dahulu, tidak bisa lebih belakangan daripada nasikh.
[e] Tidak dibatasi waktu, karena pembatasan waktu menyebabkan tidak berlakunya naskh (al-Ta’qi>t yamna’ al-Naskh). Bila dibatasi waktu, maka sebenarnya kedua dalil yang saling bertentangan itu tidak ditempatkan pada posisinya yang tepat. Nas{ pertama diberlakukan sesuai batasan dan cakupannya. Tidak lebih.

G. Cara Mengetahui Hadis yang Mengalami Naskh
Penasakhan suatu hadis dapat diidentifikasi dan dipastikan melalui empat cara:[11]
1.   Penjelasan langsung dari Rasu>lulla>h S{alla Alla>h ‘alaih wa sallam. Seperti kasus larangan menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari.

4423 - أخبرنا إسحاق بن إبراهيم قال أنبأنا عبد الرزاق قال حدثنا معمر عن الزهري عن سالم عن بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن تؤكل لحوم الأضاحي بعد ثلاث[12]

Larangan yang ditetapkan dalam ini dinasakh oleh riwayat lain yang memperbolehkan, salah satunya yang diriwayat oleh al-Imam Muslim dari sahabat Ibn Mas’u>d ,

157137 - (1977) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: عَنْ أَبِي سِنَانٍ، وَقَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى: عَنْ ضِرَارِ بْنِ مُرَّةَ، عَنْ مُحَارِبٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، حَدَّثَنَا ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ أَبُو سِنَانٍ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا، وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا»

2.   Qawl S{ah{abi>, seperti hukum berwudlu setelah memakan masakan yang diolah dengan menggunakan api –salah satunya- seperti riwayat A>ishah dalam S{ah{i>h{ Muslim,

816 - قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى سَعِيدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ وَأَنَا أُحَدِّثُهُ هَذَا الْحَدِيثَ. أَنَّهُ سَأَلَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ عَنِ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ فَقَالَ عُرْوَةُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ ».[13]

Hukum ini kemudian dinasakh salah satunya oleh riwayat Ibn ‘Abbas dalam S{ah{i>h{ Muslim,

817 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.[14]

3.   Pendekatan Historis. Dengan mengetahui sejarah kemunculan hadis yang bertentangan, dapat diketahui mana hadis yang datang belakangan (na>sikh) dan yang lebih dahulu (mansu>kh). Seperti kasus berbekam dapat membatalkan puasa –salah satunya- dalam riwayat Uthma>n dalam Sunan Abi> Da>wu>d,

2372 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ - يَعْنِى ابْنَ إِبْرَاهِيمَ - عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِى مَكْحُولٌ أَنَّ شَيْخًا مِنَ الْحَىِّ - قَالَ عُثْمَانُ فِى حَدِيثِهِ مُصَدَّقٌ - أَخْبَرَهُ أَنَّ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ »

Hadis ini muncul ketika Fath{ al-Makkah tahun 8 H, kemudian dinasakh –salah satunya- dengan riwayat Ibn Abbas dalam S{ah{ih{ al-Bukha>ri> yang menceritakan bahwa Nabi S{alla Allah ‘alaih wa Sallam berbekam ketika sedang berpuasa dan ihram pada saat haji Wada’ (10 H).

1938- حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ ، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ

4.   Ijma’ yang disandarkan pada nas{. Ijma ulama tanpa ada penyandaran nas{ tidak dapat menasakh suatu hadis. Sejatinya adalah ijma’ hanya sebagai indikator keberadaan na>sikh yang berupa nas{ shar’i. Contoh, kasus peminum khamr ketika mengulang perbuatannya sebanyak empat kali, maka dijatuhi hukuman mati dengan dalil riwayat Mu’awiyah,

1444 - حدثنا أبو كريب حدثنا ابو بكر بن عياش عن عاصم بن بهذلة عن أبي صالح عن معاوية قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد في الرابعة فاقتلوه

Lalu dinasakh dengan ijma’ yang menegaskan bahwa walaupun ketentuan hukuman mati sudah ditetapkan, akan tetapi pada kenyatannya Nabi S{alla> Alla>h ‘alaih wa Sallam tidak menjatuhi hukuman mati kepada sang peminum khamr, beliau hanya mencambuknya, berdasar riwayat Muh{ammad bin al-Munkadir ‘an Ja>bir dan riwayat al-Zuhri> ‘an Qabi>s{ah bin Dzu’aib.[15]


H. Aplikasi penyelesaian al-Ah}a>di>th al-Mukhtalifah  menggunakan ‘Ilm Na>sikh wa Mansu>kh al-H{adi>th

Dalam kitab Nasikh al-adīth wa al-Mansūkh, al-Athram meriwayatkan dua hadis yang saling bertentangan. Dalam hadis pertama dikatakan,

روى زيد بن الحباب عن أفلح بن سعيد عن بريدة بن سفيان عن غلام لجده يقال له مسعود أنه قام مع النبي صلى الله عليه وسلم هو وأبوبكر فجعلهما خلفه

Zaid bin al-Hubbab meriwayatkan dari Aflah dari Buraidah bin Sufyan dari seorang laki-laki yang punya kakek bernama Mas’ud. Bahwa Mas’ud berjamaah bersama Nabi saw. dan Abu Bakar. Dia dan Abu Bakr disuruh berada di belakang Nabi saw.

Dalam hadis kedua dikatakan,

وأما ابن مسعود فروى عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا كانوا ثلاثة أن يصفوا معا أحدهما عن يمينه والأخر عن يساره
Sedangkan Ibn Mas’ud meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa ketika ada tiga orang jamaah, hendaknya mereka berbaris lurus. Satu di samping kanan, yang lain di samping kiri.


Kedua hadis ini kelihatan saling bertentangan. Hadis yang pertama menganjurkan kedua makmum berdiri sejajar di belakang imam. Sedangkan hadis kedua menganjurkan masing-masing mengambil posisi yang berbeda, satu di sebelah kanan imam dan satu lagi di sebelah kiri. Menurut Abu> Bakr Muh{ammad bin Ah{mad al-Athram, keduanya merupakan hadis yang mukhtalif dan hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan naskh. Argumentasinya, Ibn Mas’u>d meriwayatkan hadis tersebut langsung dari Nabi saw. disertai perincian penerapannya. Informasi dari ‘Umar, Sa’d dan sahabat lain menyatakan praktik tersebut telah dinasakh. Sebagaimana diketahui, Ibn Mas’ud merupakan orang yang pertama masuk Islam dan lebih tua umurnya daripada para sahabat yang meriwayatkan hadis kesejajaran shaf dalam jama’ah tiga orang. Di sini dapat dipahami adanya kemungkinan kesejarahan bahwa Ibn Mas’ud mendapatkan praktik tersebut lebih dahulu. Sedangkan para sahabat lain yang lebih muda mendapatkan praktik yang lebih belakangan. Atas alasan itulah hadis yang mengatakan posisi kanan-kiri bagi jamaah yang terdiri dari tiga orang dinasakh.[16]
                                          


[1] Lihat dalam Muh{ammad Abd Al-‘Azi>z al-Khawli>, Ta>ri>kh Funu>n Al-H{adi>th Al-Nabawi>, (Beirut: Dar Ibn Kathi>r, t.th), h. 277
[2] Mah{mu>d al-T{ah{h{an, Taysi>r Must{ala>h{ al-H{adi>th, (Surabaya: al-Haramain, t.t.), h. 112
[3] Abu> al-H{usayn Muh{ammad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lughah, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), jilid V, h. 424
[4] Muh{ammad bin Mu>sa> al-H{a>zimi>, al-‘Itiba>r fi> Baya>n al-Na>sikh wa al-Mansu>kh min al-Atha>r, (Hums{: Mat{ba’ah al-Andalu>s, 1966), cet. Ke-1, h. 7-8 bandingkan dengan Abu> al-Ma’a>li> Abd al-Ma>lik bin Abdilla>h bin Yu>suf al-Juwayni>, al-Burha>n fi> Ushu>l al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), cet. Ke-1, juz II, h. 246-248
[5] Muh{ammad bin Mu>sa> al-H{a>zimi>, al-‘Itiba>r..., h. 8
[6] Lihat dalam Zayn al-Din al-‘Ira>qi>, al-Taqyid wa al-Id{a>h Sharh} Muqaddimah Ibn al-S{ala>h, Jilid I, h. 278
[7] Al-Suyu>t{i>, Tadri>b al-Ra>wi>… Jilid II, h. 111. Lihat pula al-H{a>zimi>, al-‘I’tibar… h. 5
[8] Ibra>hi>m bin ‘Umar Al-Ja’bari>, Rusu>kh al-Ah{bar fi> Mansu>kh al-Akhba>r, (Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1988), Cet. Pertama, h. 92
[9] Muh{ammad bin Mu>sa> al-H{a>zimi>, al-‘Itiba>r..., h. 8
[10] Muh{ammad bin Mu>sa> al-H{a>zimi>, al-‘Itiba>r..., h. 9
[11] Al-Suyu>t{i>, Tadri>b al-Ra>wi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Jilid II, h. 111-112. Lihat pula al-H{a>zimi>, al-‘I’tibar… h. 10 dan Mah{mu>d T{ah{h{a>n, Taysi>r Must{alah{ al-H{adi>th… h. 60
[12] Abu> ‘Abd al-Rah{ma>n al-Nasa>’I, Sunan al-Nasa>’i>, (Halb: Maktabah al-Mat{bu>’a>t al-Isla>miyah, 1986), Jilid VII, Ba>b al-Nahy ‘an al-Akl min Luh{um al-Ad{a>h{i> ba’d Thala>th wa ‘an Imsa>kih, Hadis no. 4423 h. 234
[13] Muslim bin al-Hajja>j, S{ah{i>h> Muslim, (Beirut: Da>r al-Ji>l, t.th), Jilid I, Ba>b al-Wud{u>’ min Ma> Massat al-Na>r, Hadis no. 816, h. 187
[14] Muslim bin al-Hajja>j, S{ah{i>h> Muslim… Ba>b al-Wud{u>’ min Ma> Massat al-Na>r, Hadis no. 817, h. 187
[15] Abu> ‘i>sa> al-Tirmidzi>, Sunan al-Tirmidzi>, (Beirut: Da>r Ih{ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, t.th), Jilid IV, Ba>b [15] Ma> Ja>’ Man Shariba al-Khamr fa Ijlidu>h wa Man ‘A>da fi> al-Ra>bi’ fa Uqtulu>h, Hadis no. 1444, h. 48
[16]Abu> Bakr Ah{mad bin Muh{ammad bin al-Athram, Na>sikh al-H{adi>th wa Mansu>khuh (Riyad{: Abdulla>h bin Ah{mad bin Mans{u>r, 1999), cet. Ke-1, h. 43

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api