Penistaan Nabi pada Masa Nabi: Kritik Sanad dan Matan Hadis
Mohammad Nabiel*
Islamofobia atau prasangka buruk terhadap umat Islam di Barat digalakkan melalui beragam aksi. Ada banyak pemicu yang melatar belakanginya, diantaranya provokasi pihak Barat yang sengaja memvisualisasikan Nabi Muḥammad Saw. melalui gambar (kartun) atau film yang terkesan memojokkan. Tahun 2007 silam, seorang seniman asal Swedia bernama Lars Vilks mencoba menggambar Nabi Muḥammad seperti seekor anjing yang kemudian dimuat dalam surat kabar Nerikes Allehanda. Begitu juga dengan film Innocent of Muslims yang memvisualkan sosok Nabi Muḥammad Saw. sebagai laki-laki primitif yang gila wanita dan hidup di gurun pasir yang jauh dari dunia modern.
Belakangan, kasus semacam itu kembali heboh dengan
terbitnya majalah Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad Saw.
Tak pelak pemuatan tersebut memicu protes kemarahan muslim dunia yang mengecam
majalah tersebut karena melakukan penistaan agama. Sementara pihak Charlie
Hebdo tidak menghiraukan kecaman publik dengan dalih kebebasan berekspresi.
Malahan majalah tersebut mencetak kembali dalam jumlah eksemplar yang lebih
banyak. Hingga akhirnya hal itu berimbas pada penyerangan kantor majalah
tersebut dan mengakibatkan 12 korban jiwa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa memvisualkan sosok nabi dalam Islam adalah sebuah larangan, sekalipun bertujuan baik. Fenomena yang terjadi di Barat, mereka tidak hanya sengaja memvisualkan sosok Nabi dalam kartun, melainkan juga menghina beliau. Terkait hal ini, terdapat hadis yang kami anggap menarik untuk dibahas. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى
الْخُتَّلِيُّ أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَدَنِيُّ عَنْ
إِسْرَائِيلَ عَنْ عُثْمَانَ الشَّحَّامِ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ
عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي
وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ قَالَ فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ جَعَلَتْ
تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَشْتُمُهُ فَأَخَذَ
الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا فَوَقَعَ
بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ فَلَمَّا أَصْبَحَ
ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَمَعَ
النَّاسَ فَقَالَ أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ
إِلَّا قَامَ فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى
قَعَدَ بَيْنَ يَدَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا كَانَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَنْهَاهَا
فَلَا تَنْتَهِي وَأَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ
اللُّؤْلُؤَتَيْنِ وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ
تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا
وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَر
Ibnu Abbas berkata, "Seorang laki-laki buta
mempunyai Ummu Walad (budak wanita yang dijadikan isteri) yang menghina Nabi
Saw., dan ia benar-benar telah melakukannya (penghinaan). Laki-laki itu
melarang dan mengancamnya namun ia tidak berhenti dan ia terus melarangnya
namun wanita itu tidak menggubris.” Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya, "Pada suatu malam
wanita itu kembali mencela Nabi Saw., maka laki-laki itu mengambil sebuah pisau
tajam dan meletakkan di atas perut wanita itu seraya menusuknya. Laki-laki itu
membunuhnya, sementara antara kedua kaki wanita tersebut lahir seorang bayi
mungil hingga ia pun berlumuran darah. Pagi harinya, kejadian tersebut
disampaikan kepada Nabi Saw. Beliau lantas mengumpulkan orang-orang dan
bersabda: "Aku bersumpah kepada Allah atas seorang laki-laki, ia telah
melakukan suatu perbuatan karena aku, ia dalam kebenaran." Kemudian
laki-laki buta itu melangkah di antara manusia hingga ia duduk di hadapan nabi Saw. Ia lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah
suaminya. Namun ia mencela dan menghinamu, aku telah melarang dan mengancamnya,
namun ia tidak berhenti atau menggubrisnya. Darinya aku telah dikaruniakan dua
orang anak yang rupawan layaknya bintang yang bersinar, wanita itu sangat sayang
kepadaku. Namun, tadi malam ia mencela dan menghinamu, lantas aku mengambil
pisau tajam, pisau itu aku letakkan di atas perutnya dan aku tusukkan hingga ia
mati." Nabi Saw. lalu bersabda, "Ketahuilah, bahwa darah wanita itu adalah sia-sia
(halal)."
Takhrij Hadis
Kisah Hadis di atas dapat kita
lihat dalam Sunan Abi Dawud, kitab al-Hudud bab al-Hukmu fi Man Sabba al-Nabi Saw.
Hadis tersebut juga dimuat dalam Sunan al-Nasa’i, kitab Tahrim al-Dam bab al-Hukmu fi Man Sabba
al-Nabi Saw. Dari segi sanad Imam Abu Dawud dan al-Nasa’i meriwayatkan dari
jalur yang sama, yaitu dari 'Abbad bin Musa dari Isma'il bin Ja'far dari Israil
dari Utsman Asy Syahham dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Hanya saja pada riwayat
al-Nasa’i terdapat tambahan satu rawi pada permulaan sanad, yaitu Utsman bin
Abdullah.
Akan tetapi, jika kita telusuri Hadis di atas dengan indeks kata أن دمها هدر melalui maktabah syamilah, maka terdapat dua sumber lain, yaitu Sunan al-Daruqutni dan Sunan al-Bayhaqi. Hadis ini juga memiliki banyak pendukung dari riwayat lain. Meski matannya tidak sama akan tetapi memiliki kesamaan makna dan pesan yang terkandung. Di antaranya adalah riwayat Jabir bin ‘Abdillah, Barra` bin ‘Azib, dan Anas bin Malik.
Studi Sanad
Kembali ke riwayat Abu Dawud dan al-Nasa’i. Dari studi
pustaka yang kami lakukan terhadap jalur sanad dua imam tersebut diketahui
bahwa seluruh rawi kesemuanya tsiqoh (kredibel). Dalam
kitab-kitab biografi rawi seperti Tahdzibul Kamal, Siyar A’lam
al-Nubala’, dan kitab lainnya, tidak ditemukan kecacatan rawi yang
menjadikan Hadis tersebut dha’if. Begitu juga, berdasarkan data-data
yang dikumpulkan, jika melihat domisili, rekam guru dan murid, tahun kelahiran
dan wafat padi masing-masing rawi, maka bisa disimpulkan bahwa seluruh perawi,
baik jalur Abu Dawud maupun al-Nasa’i, semuanya bertemu.
Memang ada beberapa rawi yang tidak ditemukan tahun kelahiran dan/ wafatnya, sehingga sulit untuk mengidentifikasi ketersambungan antarrawi. Seperti Usman al-Syahham, salah seorang tabi’in generasi terakhir. Namun, jika melihat gurunya yang juga merupakan tabi‘in maka ada kemungkinan bertemu (Imkaniyah al-Liqa’) dan hidup dalam satu masa. Terlebih, pada riwayat al-Nisa’i beliau menggunakan shighat ‘Haddatsana’, sehingga tidak diragukan lagi adanya pertemuan guru dan murid. Di sisi lain, tidak ditemukan komentar ulama’kritikus Hadis yang mencacatnya.
Berdasarkan data-data di atas maka dapat dikatakan bahwa Hadis tersebut dari segi sanad muttasil (nyambung).
Kritik Matan Hadis
Sebagian besar para pakar hadis fokus pada kajian kritik
sanad, hanya sebagaian kecil saja yang fokus pada kritik matan. Sebab mainset
yang berkembang adalah ketika sanad dinilai sahih secara otomatis matan akan
sahih. Akan tetapi tidak semua pakar hadis sepakat dengan hal ini. Seperti Salaḥuddin Ibn Ahmad al-Adlabi yang meniscayakan kesahihan
matan untuk melengkapi kesahihan sanad, dengan mendasarkan pada empat syarat. Pertama,
tidak bertentangan dengan al-Quran. Kedua, tidak bertentangan dengan Hadis
dan Sirah Nabawiyah yang sharih. Ketiga, tidak
bertentangan dengan akal, indra atau sejaraḥ.
Keempat, menunjukkan bahasa kenabian. Berdasarkan syarat-syarat ini kami
akan menilik Hadis penista nabi di atas sesuai empat syarat tersebut.
- Kesesuaian al-Quran dan Hadis
Hadis
penista Nabi Saw. dalam Sunan al-Nasa`i dan Sunan Abi Dawud menyebutkan sabda
Nabi Saw. “Anna damaha hadarun”. Dari sabda redaksi tersebut menunjukkan
bahwa penista Nabi Saw. dalam hadis tersebut telah dilegalkan darahnya. Dalam
al-Quran terdapat tujuh ayat yang menyebutkan adanya hukuman bagi para penista.
Yaitu pada Surat al-Taubah: 61 dan 63, Surat al-Ahzab: 57 dan 61, Surat al-Mujadalah:
5 dan 58, Surat al-Nisa`: 52.
Pada surat al-Taubah: 61 misalnya, Allah berfirman:
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ
وَيَقُولُونَ هُوُ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَّكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَيُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ
رَسُولَ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Di antara mereka
(orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:"Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah:"Ia mempercayai
semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang
mu'min, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu".
Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.”
(QS. Al-Taubah: 61)
Dalam Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi dijelaskan bahwa ayat ini turun ditujukan kepada orang-orang munafik yang menghina Nabi Saw. mencela dengan perkataan yang tidak sepantasnya. Orang munafik itu bernama Nabtal bin Ḥarits dengan mengatakan, “Dia (Muḥammad ) orang yang hanya menerima setiap berita yang belum tentu benar tanpa mengklarifikasi lebih lanjut. Sedangkan kalian hanya membenarkan dan menerima begitu saja”.
Kata-kata provokasi ini jelas sangat menyakitkan sekali bagi Nabi Saw. dan orang muslim, sebab apa yang diterima Nabi Saw. adalah wahyu yang bersumber langsung dari Allah. Maka Allah memperingatkan melalui ayat tersebut bahwa mendengarkan Nabi Saw. lebih baik bagi mereka dan Allah akan menyiapkan azab yang sangat pedih untuk orang munafik. Inilah korelasi antara ayat dan hadis bahwa mereka para penghina Rasul-Nya sangat layak mendapat hukuman yang seberat-beratnya.
- Kesesuaian dengan Riwayat Lain
Untuk
mengkritik hadis di atas bisa kita bandingkan misalnya dengan Hadis riwayat
Jabir bin Abdillah dalam Sahih al-Bukhari:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَامَ مُحَمَّدُ
بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ قَالَ نَعَمْ
Rasulullah Saw. bersabda:
"Siapakah yang akan membunuh Ka'b bin Asyraf yang telah durhaka kepada
Allah dan melukai Rasul-Nya?" Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan
berkata, "Wahai Rasulullah, sukakah anda jika aku yang akan
membunuhnya?" beliau menjawab: "Ya."
(HR. Bukhari)
Ibn
Ḥajar al-‘Asqalānī menjelaskan bahwa
berdasarkan Hadis ini boleh membunuh orang yang mencela Nabi Saw. Secara dzahir
al-nash
Hadis riwayat Jabir tidak bertentangan dengan Hadis riwayat Ibn ‘Abbas dalam
Sunan Abi Dawud dan al-Nasa’i di atas. Sebab dibunuhnya mereka adalah sama,
yakni mencela Allah dan Rasul-Nya.
- Rasionalitas Hadis
Setiap
ucapan, tindakan, dan keputusan Nabi Saw. tidak pernah lepas dari landasan
wahyu. Jika Nabi Saw. salah dalam mengucapkan atau bertindak pasti mendapat
teguran langsung dari Allah swt. Demikian pula dengan keputusan Nabi Saw. dalam
melegalkan darah seorang penista agama atau orang yang melecehkan Nabi Saw.
sangat wajar. Selain alasan karena beliau seorang nabi, perlu menjunjung tinggi
martabat Islam dan risalah yang beliau bawa.
Ketika Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh orang yang menghinanya tentu hal ini sangat dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan rasio akal manusia. Memang di satu sisi Nabi Saw. adalah pemaaf, tapi kita juga tidak bisa mengeneralisir sifat pemaaf beliau dalam segala hal dengan bukti adanya Hadis yang meriwayatkan dan nash al-Quran yang menguatkan.
- Bahasa Nabi Saw. dalam Hadis
Salahuddin
Ibn Ahmad al-Adlabi memberikan kriteria dalam mengidentifikasi bahasa kenabian.
Setidaknya hadis tersebut tidak mengandung tiga kriteria ini: Pertama, hadis
yang mengandung keserampangan. Kedua, hadis yang mengandung makna rendah.
Ketiga, hadis yang lebih menyerupai perkataan ulama khalaf. Dalam hal ini,
Hadis penista Nabi Saw. Di atas tidak menunjukkan tiga kriteria tersebut.
Terbukti dengan adanya riwayat sahih lain yang menguatkan.
Pada tataran mengkritik matan ini, melihat adanya keselarasan pesan al-Quran,dan Hadis, tidak bertentangan dengan akal sehat dan menunjukkan bahasa kenabian semakin mengukuhkan bahwa hadis ini sahih secara matan.
Hukum Membunuh Penista
Nabi Saw. Menurut Para Ulama
Berdasarkan
kisah hadis di atas, jika dilihat secara dzahir penghina Nabi Saw. boleh
dibunuh. Menurut al-Mundziri dalam kitab ‘Awn al-Ma‘bud mengatakan sudah
tidak dipermasalahkan lagi jika status penghina Nabi Saw. adalah orang Islam
maka wajib dibunuh kecuali jika status pencela adalah kafir dzimmi.
Akan tetapi para ulama memerinci hukum tersebut; yang pertama pendapat al-Syafi’i, bahwa seorang pencela harus dibunuh dan jika dia seorang kafir dzimmi maka status tersebut tidak dianggap lagi. Kedua pendapat Abu Ḥanifah, bahwa seorang pencela tidak dibunuh akan tetapi perbuatannya dianggap sebagai perbuatan syirik al-A‘dzam. Ketiga pendapat Malik, jika pencela adalah seorang yahudi dan nasrani maka dibunuh kecuali jika mereka masuk Islam.
Yang perlu menjadi catatan ialah bahwa hukum membunuh dengan alasan menghina itu hanya berlaku jika yang dihina adalah Rasulullah SAW bukan pengganti Rasul yaitu khalifah atau kepala Negara, atau lainnya.
Sedangkan untuk konteks saat ini, penghinaan yang dilakukan sebagian pihak melalui sinema maupun bentuk visualisasi tertentu, seyogyanya diselesaikan oleh pihak yang berwenang. Sehingga pembelaan terhadap simbol agama tidak berujung pada aksi main hakim sendiri. Wallahu Alam.
*Penulis adalah santri periset. Saat ini melanjutkan ke jenjang master di UIN Sunan Ampel Surabaya sambil merintis karis sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Badrus Soleh (STAIBA), Purwoasri Kediri. Tulisan ini adalah saripati skripsi penulis, dan telah diterbitkan di Majalah Nabawi, Ciputat.
Komentar
Posting Komentar