Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni


Abstrak: Makalah ini merupakan resume hasil penelitian Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah (selanjutnya Ubayd) yang menyimpulkan bahwa tingkat komitmen seorang periwayat terhadap sunnah Nabi dapat menetralisir bias ideologi dalam proses periwayatan. Implikasinya, tingkat keterpercayaan seorang periwayat juga meningkat yang disertai tingkat penerimaan riwayat penganut ideologi. Dalam diskursus kajian hadis, ideologi sering digambarkan sebagai faktor yang mempengaruhi keterpercayaan seorang periwayat. Pada tahap selanjutnya, riwayat penganut ideologi ditolak karena kecurigaan bahwa riwayatnya dipenuhi kepentingan ideologis. Tesis ini didukung oleh sejumlah sarjana Barat seperti Ighnaz Goldizher, Joshep Schacth, J. Nicolson, dan lainnya yang menyatakan bahwa hadis yang bereda di lingkungan ummat Islam tidak dapat diyakini berasal dari Nabi saw. Seluruhnya merupakan produk ideologi abad pertama dan kedua hirjriah. Ubayd menolak asumsi tersebut dengan menggunakan teori resepsi komunikasi. Teori ini beroperasi dengan melihat aspek-aspek seperti komunikator (periwayat), maksud periwayatan, strategi periwayatan, dan respon komunikan (penerima riwayat). Hasil penelitian ini mengatakan, sekalipun menganut ideologi berbeda, para ahli hadis sunni menerima sejumlah periwayat Khawarij karena keteguhan mereka dalam berpegang kepada sunnah Nabi saw. yang berdampak pada lahirnya sikap jujur; prasyarat utama penerimaan hadis. Dalam tesis ini, ditemukan sekitar 26 periwayat Khawarij dalam literatur hadis sunni. 

Kata Kunci: Ideologi, Khawarij, Teori Resepsi, Periwayatan, Hadis 

      A.    Prolog
Ada satu waktu dimana ideologi menempati posisi sentral dalam kehidupan. Dalam kesempatan semacam ini, ia memberi harapan akan suatu perubahan mendasar dalam kehidupan. Ia dipuja seakan dapat menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia. Dalam fase sejarah tertentu, ia merupa dalam sistem sosial politik, pranata hukum, ekonomi, kebudayaan, dan pemikiran. 

Pada saat yang lain, ideologi dinilai sebagai ancaman dan berbahaya. Ia perlu dicurigai karena dianggap ancaman laten yang mengganggu stabilitas sosial. Orang-orangnya diburu, dipenjarakan, dan diadili atas ideologinya. Penganut ideologi diasingkan dan dikucilkan. Dicurigai dan diwaspadai. Itulah yang terjadi dalam sejarah yang berkenaan dengan ideologi.

Tak terkecuali dalam kehidupan ilmiah keislaman. Khususnya ilmu hadis yang dalam sejarahnya terlibat dalam perseteruan ideologis dengan ideologi-ideologi lain. Penganut ideologi politik tertentu dicurigai, diwaspadai, dipinggirkan dan diasingkan dalam kontestasi wacana keilmuan hadis. Riwayat yang bersumber dari tokoh yang menganut ideologi tertentu dicurigai karena dinilai mengandung bias. Ada kecurigaan bahwa hadis-hadis itu diriwayatkan untuk mendukung kepentingan ideologinya. Bahkan ada ketakutan bahwa hadis-hadis itu palsu. Inilah pandangan umum yang berkembang dalam wacana ilmu hadis selama.  Para ahli hadis dituduh membuat aturan-aturan penerimaan hadis, sistem keilmuan, serta praktik-praktik yang menguntungkan ideologinya, dan memasung hak-hak para penganut ideologi lain yang juga menggunakan hadis. Pandangan ini berujung pada ilmu hadis merupakan produk ideologi tertentu (dalam bahasa Ubayd, muntaj al-aidiyuluji). 

Tesis anggitan Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah berjudul Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni mencoba membantah pandangan di atas. Bahwa tidak selamanya mereka yang menganut ideologi berbeda ditolak riwayatnya. Buktinya, ada sejumlah periwayat yang menganut ideologi politik Khawarij yang masuk dalam daftar periwayat kitab-kitab hadis kalangan Sunni. 

Secara umum, tesis ini terdiri dari lima bab utama. Bab I merupakan pandahuluan dari seluruh bab selanjutnya. Menjelaskan latar belakang, permasalahan, metode dan sistematika. Bab II berbicara tentang ideologi dan hubungannya dengan kajian hadis. Bab III membicarakan konteks sosial politik yang membuat para periwayat memiliki keragaman ideologi. Bab IV secara khusus membicarakan ideologi Khawarij dalam periwayatan. Bab V mengulas tokoh-tokoh Khawarij yang namanya lolos seleksi para kritikus hadis Sunni. Nama mereka tersebar dalam banyak literatur hadis sampai saat ini. Tesis ini diakhiri dengan Bab ke-VI yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.  

Sedangkan pertanyaan pokok tesis ini adalah atas dasar apakah ahli hadis Sunni menerima hadis yang disampaikan oleh para periwayat Khawarij? Pertanyaan inilah yang akan dieksplorasi oleh Ubayd dalam tesis berjumlah 270-an halaman ini.


      B.     Perbicangan Ideologi dalam Studi Hadis
Diskursus keilmuan seputar hadis yang berkembang di era modern, hampir-hampir tidak dapat lepas dari kajian ideologi. Teori-teori besar yang berkembang dalam kajian ini, seringkali, kalau tidak dikatakan selalu melibatkan analisis ideologi. Analisis ideologi banyak dihubungkan dengan keotentikan hadis-hadis Nabi saw. 

Hal ini karena para pengusung teori ini percaya bahwa ideologi sangat berpengaruh dalam pembentukan sistem pengetahuan. Lebih-lebih, sejak dimulainya proyek penelitian “ilmiah” dalam studi hadis pendekatan yang digunakan para sarjana adalah pendekatan sejarah. Sejarah sendiri lebih banyak bersifat politis. Dalam bahasa populer, sejarah selalu berpihak kepada yang berkuasa. Dari sini saja sudah terlihat bahwa pengetahuan tentang masa lalu selalu bersifat ideologis. 

Menurut Ubayd, sarjana-sarjana yang menggunakan ideologi sebagai basis penelitiannya di antaranya, dimulai dari yang paling tua; Ighnaz Goldziher (1850-1921 M.), C Snouck Hugronje (1857-1936 M.), Joshep Schacht, Noel J. Coulson, dan Maya Yazigi.[1]
 
Sebagai contoh, isnad yang dalam tradisi ulama ahli hadis dipercaya sebagai cara terbaik untuk mengidentifikasi kebenaran informasi yang disebut-sebut berasal dari Nabi saw., menurut Goldziher hanyalah metamorfosa dari pemikiran generasi Islam awal yang berkembang semakin ke belakang menjadi semakin sempurna. Tujuannya adalah untuk melegitimasi pandangan-pandangan mereka. Dengan sistem isnad, pandangan mereka itu akan tampak  seperti berasal dari generasi sebelumnya. Inilah cara mereka melegitimasi pandangannya, yaitu dengan merujuk otoritas yang lebih tua. Artinya, pandangan itu seakan bukan pandangan mereka sendiri. Goldziher menambahkan bahwa mereka menyeleksi tokoh-tokoh yang hendak dijadikan sumber legitimasi dengan memilih figur-figur yang dinilai kompeten dan terpercaya.[2]  

Hampir sama dengan Goldziher, Snouck mengkritisi asal-usul hadis Nabi saw. melalui sejarah pembentukan hukum Islam. Menurutnya, literatur hadis yang muncul pada abad kedua hijriah merupakan produk ortodoksi, yaitu hasil pemikiran kelompok yang mendominasi wacana keislaman pada tiga abad pertama Islam. Hadis tidak dapat dikatakan orisinal dari Nabi saw., melainkan hanya refleksi pandangan-pandangan mereka terhadap Islam. Sederhananya, hadis merupakan kumpulan statemen para penganut ideologi yang dominan pada tiga abad pertama hijriah.[3]
 
Kelima sarjana ini hampir seragam dalam menyatakan keterlibatan ideologi dalam kelahiran hadis-hadis Nabi saw. pada abad kedua hijriah. Analisis ideologis ini berujung pada sikap skeptis atas orisinalitas hadis-hadis yang dikodifikasi pada abad ketiga hijriah. Menurut Ubayd, kelima tokoh orientalis ini menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Sekalipun demikian, kesimpulan mereka sama. Yaitu tidak ada hadis Nabi saw. yang otentik yang bersumber, bertahan secara utuh dari zaman beliau (baca: awal abad pertama hijriah). [4]
 
Sedagkan sarjana yang “menolak” pengaruh ideologi dalam analisis keotentikan hadis bisa disebut Nabia Abbot, A’zami, Motzki, dan Schoeler. Ketiganya menolak generalisir yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas bahwa semua isnad yang ada dalam literatur hadis abad ketiga hijriah adalah palsu. Sebagai contoh, Nabia Abbot membuktikan bahwa tradisi menulis hadis sudah berlangsung sejak masa Nabi saw. Para  sahabat Nabi saw. dikabarkan memiliki koleksi catatan-catatan hadis. Selain dalam bentuk tulisan, hadis juga diriwayatkan melalui cara oral berkesinambungan hingga abad ketiga yang merupakan era kanonisasi. Teori ini diperkuat oleh A’zami yang menemekan bahwa terdapat 60 orang sahabat yang bertugas sebagai juru catat Nabi saw. Motzki tidak percaya bahwa pemalsuan bisa terjadi secara sistematis bila melihat hadis-hadis yang populer yang diriwayatkan melalui jalur yang bervariasi. Pemalsuan sistematis hanya mungkin terjadi pada hadis-hadis mutawatir. Selebihnya, sangat tidak masuk akal bila dikatakan ada pemalsuan hadis secara sistematis dan massif. Belum lagi bila melihat uji kompetensi yang selalu dilakukan oleh para pemburu hadis terhadap perawi-perawi mereka. Jika saja mereka berniat memalsukan, niscaya akan dipilih perawi-perawi terpercaya saja. Faktanya, perawi-perawi bermasalah dalam hal keterpercayaan diapresiasi secara kritis sama dengan perawi-perawi terpercaya.[5]  

Menurut penulis, pada prinsipnya kelima tokoh skeptik di atas menggunakan pendekatan yang sama; pendekatan (kritik) sejarah. Kalaupun toh berbeda, penulis melihat pada aspek yang mereka amati dan cara mereka memperlakukan aspek-aspek tersebut. Hal ini dibuktikan bahwa mereka melakukan seleksi sumber dengan memilih sumber yang dianggap paling tua, paling merepresentasikan zaman yang sedang diteliti. Mereka mengabaikan sumber-sumber abad ketiga hijriah yang menjadi sandaran utama ulama ahli hadis dan pendukungnya. Mereka fokus kepada era yang lebih tua, akhir abad kedua hijriah, awal abad kedua, dan akhir abad pertama hijriah. Ketiga zaman inilah yang menjadi wilayah operasi analisis mereka. Dimana pada era ini, tidak ada warisan kitab hadis (dokumen sejarah) yang sampai kepada kita. Mungkin, yang ada hanyalah kitab-kitab psudo hadis seperti al-Umm, al-Muwattha’, dan beberapa kitab fiqh yang menggunakan hadis sebagai dasar argumentasinya. Apa yang disebut kitab hadis sepertinya belum eksis. Ketiadaan dokumen tertulis dari era ini berakibat pada ketidak-percayaan terhadap hadis-hadis yang konon sudah beredar pada saat itu. Menurut penulis, pandangan sejarah semacam ini sangat positivistik karena menekankan bukti (dokumen) empirik. Sebuah cara pandang yang mendominasi pemikiran Eropa modern dan saat ini mendapat tantangan serius dari pemikiran post-positivims, post-modern dan dekonstruksi. 

      C.     Perfect Pattern: Basis Epistemis Orisinalitas Hadis
Para skeptik metodis seperti Ighnaz, Schacht, dan lainnya, pada dasarnya melanjutkan tesis orientalis sebelumnya; John Wansbourgh. Dengan teori salvation of history (penyelamatan sejarah), Wansbourgh mengatakan bahwa gambaran mengenai Nabi saw. dan tradisi yang berkembang pada awal abad pertama hijriah merupakan laporan pada dan dari era belakangan. Sekalipun diyakini bahwa informasi-informasi tersebut bersumber dari awal abad pertama hijriah, namun pelaporannya dibuat pada akhir abad pertama hijriah dan terus berkembang lebih sempurna pada era lebih akhir. Hal ini karena masyarakat Muslim yang hidup pada era yang agak belakangan mengharapkan imajinasi mengenai generasi pendahulunya sebagai contoh dalam menghadapi carut-marut kehidupan sosial yang semakin komplek. Semakin ke belakang, orang semakin merindukan gambaran sejelas-jelasnya mengenai panutan mereka. Hal ini tidak banyak terjadi pada generasi sahabat yang terlibat langsung dengan Nabi saw. Salvation History pada akhirnya mewujud dalam gerakan perburuan informasi mengenai Nabi saw., pencatatan, dan pembukuan secara besar-besaran. Namun, yang sangat disayangkan, informasi-informasi itu tidak ada yang otentik dari awal abad pertama hijriah kecuali setelah melalui proses penafsiran-imajinatif dari para penuturnya pada akhir abad pertama hijriah dan seterusnya. Intinya, gambaran atas Nabi saw. merupakan gambaran yang ahistoris. Bahkan Wansbourgh menduga bahwa Nabi saw. sebagaimana digambar dalam sirah, syamail, dan hadis, tidak pernah ada dalam sejarah. 

Dari tesis ini, upaya pembuktian para sarjana orientalis di atas sekadar untuk membuktikan proyek penyelamatan sejarah-nya Wansbourgh. Ahmad Ubaydi Hasbillah mencoba memasuki wilayah teoritis ini dengan meminjam teori perfect pattern-nya Francis Robinson dan teori charismatic authority­-nya Max Weber.[6] Berdasarkan kedua teori ini, Ubayd mengandaikan bahwa masyarakat sahabat, dan selanjutnya generasi para penerus (tabiin), sebagai orang-orang yang setia dan loyal. Enam belas halaman pertama tesis ini dihabiskan untuk meneguhkan orisinalitas hadis berdasar kedua teori di atas. Begitu pula ketika memasuki perdebatan sektarian ideologis, teori perfect pattern masih dianggap layak untuk memaklumi fenomena perpecahan tersebut. Bahwa sekalipun terpecah ke dalam berbagai macam kelompok sosial-teologis-ideologis-sektarianistik, toh mereka tetap berpegang kepada sunnah Nabi saw. Mereka tetap menempatkan Nabi saw. sebagai sosok panutan (baca: uswah). Artinya, dengan teori ini, Ubayd menolak klaim ahistorisitas gambaran mengenai Nabi saw. Melalui perfect pattern, Ubayd berusaha menampilkan bahwa perdebatan teologis-sektarianis-ideologis merupakan cerminan keteguhan mereka dalam meyakini sosok yang paling dipatuhi. 

Dari sini kemudian Ubayd mulai membangun asumsi bahwa keteguhan berpegang kepada sunnah, pada tahap awal, merupakan titik temu aliran-aliran, yang selanjutnya, dapat menetralisir pengaruh ideologi dalam pemalsuan hadis. Tesis terakhir inilah yang membuat para perawi sekte Khawarij dapat lolos seleksi para kritikus hadis Sunni. Daya netralisir inilah yang kemudian menjadi fokus analisis Ubayd dengan teori resepsi komunikasi-nya.      

Perfect pattern merupakan teori yang dikembangkan, salah satunya, oleh Francis Robinson dalam telaahnya terhadap masyarakat Muslim Asia Selatan. Dalam masyarakat ini, terdapat banyak ulama dan tokoh agama yang ‘disucikan’ yang mengembangkan etika luhur dan kemampuan supranatural tertentu. Pandangan ini didasarkan kepada otoritas suci yang bersumber dari Nabi saw. Perfect pattern mengandaikan adanya sosok teladan yang sempurna yang memiliki kharisma (wibawa) yang dapat membuat masyarakat tunduk. Dengan meminjam teori ini, Ubayd mencoba memahami fenomena yang dinilainya sama dengan yang terjadi di India pada abad dua puluh satu. Bahwa ketundukan kepada tokoh panutan menunjukkan bahwa sang tokoh adalah eksis secara historis. 

Masyarakat Muslim pada abad kedua dan ketiga hijriah, diandaikan sebagai masyarakat yang baik (good society), yang segan melakukan kejahatan. Mereka masih takut pada otoritas Nabi saw. atau seakan-akan sekalipun melakukan tindakan kriminal, mereka sebenarnya dalam konteks menjalankan tuntunan Nabi saw. Hal ini karena Ubayd memercayai teks-teks suci hadis yang menyatakan kesempurnaan Nabi saw., dan dalam benaknya, masyarakat saat itu memiliki sikap yang sama. 

      D.    Sumber Data Penulisan Tesis dan Model Analisis
Tesis ini disusun dengan objek utama para periwayat berideologi Khawarij. Data para periwayat tersebut pertama adalah mereka yang namanya dimuat dalam literatur-literatur hadis Sunni. Dalam hal ini, Ubayd menggunakan enam belas (16) kitab hadis Sunni yang meliputi Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’I al-Mujtaba, Sunan al-Kubra al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Muwattha’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad al-Darimi, Sunan al-Baihaqi, Mustadrak, Mu’jam Thabrani, Mushannaf Abd Razzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Akhbar Makkah.[7]
 
Metode pengumpulan datanya sebagai berikut: Ubayd mencari biografi para perawi Khawarij dalam kitab-kitab rijal al-hadith. Setelah itu baru mencari hadis-hadis mereka dalam kitab-kitab hadis Sunni melalui metode takhrij hadis. Sebaran riwayat mereka ternyata cukup luas, yaitu dalam 16 judul kitab seperti disebut sebelumnya.

Biografi yang telah ditemukan kemudian dianalisis dengan pendekatan sosio-histori. Maksudnya untuk menelaah secara seksama mengenai latar belakang kehidupan dan kultur yang meliputi para periwayat hadis, termasuk ideologi teologis yang dianut. Selanjutnya, digunakan teori resepsi dan proses (theories of messege reception and procesing) untuk melihat keterkaitan antara ideologi para periwayat Khawarij tersebut dengan hadis-hadis yang mereka riwayatkan.[8]
 
Untuk memperkuat gambaran mengenai sosio-kultural saat itu, Ubayd menggunakan teori Models of Reality dan Models for Reality yang dikembangkan oleh Cliffort Geertz. Teori ini menyatakan bahwa agama merupakan suatu sistem simbol yang terbentuk dari pola-pola budaya yang pada akhirnya menjadi model. Di sini, terjadi adaptasi budaya atau realitas oleh agama. agama menjadi model of reality. Pada tahap selanjutnya, agama menjadi rujukan konseptual untuk melihat realitas. Agama menjadi panutan sebuah masyarakat. Hadis Nabi saw. menjadi panutan ideal dalam masyarakat Muslim kuno pada era para periwayat Khawarij itu hidup dan berdinamika dengan kelompok-kelompok lain. 

Untuk memperkuat analisisnya, Ubayd menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (critical analysis discourse), teori konflik Marxian dan Asabiyah Ibn Khaldun. 

      E.     Khawarij: Kelompok Sosial, Negara dan Dunia Pengetahuan
Khawarij merupakan kelompok oposan paling fenomenal dalam sejarah Islam. Seratus tahun pertama hijriah, kaum Khawarij melakukan tidak kurang dari 30 aksi pemberontakan dan perang terhadap otoritas resmi Muslim.[9]
 
Artinya, Khawarij merupakan kelompok oposan paling konsisten terhadap kekuasaan Negara. Hal ini dipengaruhi oleh ideologi amar ma’ruf nahi munkar untuk menegakkan hukum Allah yang dipraktikkan secara ketat. Untuk mendukung ideologi ini, Khawarij mengembangkan sistem pengetahuan seperti dilakukan kaum Sunni, Syi’i, maupun Muktazilah. Salah satunya adalah pengetahuan mengenai hadis Nabi saw. Sampai di sini, Khawarij menjadi salah satu agen penyebar hadis-hadis Nabi saw.[10]  Beberapa tokoh hadis dari kelompok ini, di antaranya, Jabir bin Zayd, Abu Ubaydah Muslim bin Abu Karimah (145 H.), Rabi’ bin Habib al-Farahidi (80-175 H.), dan Abu Ghanim Bisyr bin Ghanim al-Khurasani (283 H.).[11] Karya-karya koleksi hadis kaum Khawarij di antaranya, Musnad Rabi’ bin Habib, al-Mudawwanah, Ahadith fi al-‘Aqidah, Riwayat Abi Sufyan Mahbub bin Rahil al-Qurashi, Riwayat al-Imam al-Aflah, dan Maqati’ al-Imam Jabir bin Zayd.[12]

Ubayd melihat bahwa sekalipun kaum Khawarij dibenci oleh pada umumnya ahli hadis, namun riwayat-riwayat mereka diterima.[13] Bahkan dikatakan para perawi Khawarij merupakan para perawi bidah yang paling jujur.[14] Inilah paradoknya fenomena Khawarij. Di satu sisi, mereka dipandang oleh ahli hadis sebagai penganut bidah, mengkafirkan banyak sahabat, dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Hanya saja ternyata mereka memiliki hubungan yang cukup cair dengan ahli hadis Sunni. Ubyad menyebut hubungan ini sebagai silang ideologi dalam periwayatan hadis.[15]
 
Dalam teori resepsi yang menjadi grand theory tesis ini, untuk melihat pengaruh ideologi terhadap riwayat-riwayat mereka. Faktanya, dalam temuan Ubayd, kaum Khawarij tidak memaksakan pandangan ideologi (politik-keagamaan)-nya pada riwayata-riwayat mereka. Hal ini dibuktikan dengan analisisnya terhadap penganut Khawarij genarasi sahabat dan tabi’in yang tidak satu pun dari mereka yang memalsukan hadis atau pun menggunakan hadisnya untuk kepentingan ideologisnya. Para intelektual Khawarij yang diteliti Ubayd justru menunjukkan bahwa mereka adalah kaum akademisi yang mengabdikan dirinya sama seperti para profesional hadis Sunni. Standar periwayatan dan sistem penyebaran hadis tidak jauh berbeda dengan yang dikembangkan ahli hadis Sunni. 

Pada generasi sahabat, ada sekitar sepuluh orang yang diduga kuat mendukung gerakan kaum Khawarij ini. Mereka adalah (1) Zayd bin Hisn al-Tha’i, (2) Hurqus bin Zuhayr al-Sa’di al-Tamimi, (3) Abdullah bin Wahb al-Rasibi al-Azdi, (4) Syajarah bin Abi Aufa al-Salami, (5) Abdullah bin Syajarah al-Salami, (6) Syurayh bin Aufa bin Dhabghah al-‘Absi, (7) Nafi’, (8) Umayr bin al-Harith, (9) Haram bin ‘Amr al-Anshari, (10) al-Khirrit bin Rasyid al-Sami al-Naji, (11) Mazidah bin Jabir al-‘Abdi al-Asri.[16]
 
Dalam buku-buku biografi para tokoh di atas diduga kuat sebagai pendukung Khawarij Nahrawan. Sebagian diyakini sebagai sahabat Nabi saw., sedangkan sebagian lainnya masih diperselisihkan statusnya kesahabatannya. Dari generasi tabi’in, terdapat 26 orang tokoh hadis dari kalangan Khawarij yang hadis-hadis mereka tersebar dalam literatur hadis Sunni. Mereka adalah (1) ‘Ikrimah, (2) Jabir bin Zayd, (3) Dawud bin al-Husayn, (4) Imran bin Dawar Abu al-Awwam, (5) Walid bin Katsir, (6) Abu Hasan al-A’raj, (7) Sadaqah bin Yasar (8) Tsaur bin Zayd al-Dili, (9) Isma’il bin Sumay’ al-Hanafi, (10) Farwah bin Naufal al-Asyja’i (11) Abu Ubaydah al-Taymi Ma’mar bin al-Mutsanna, (12) Imran bin Hatthan, (13) Nasr bin Ashim al-Laitsi, (14) Hajib bin Umar Abu Khayshaynah, (15) Sa’sa’ah bin Suhan, (16) Juray bin Kulayb al-Sadusi, (17) Hayyan al-A’raj, (18) Abu Nuh Salih bin Nuh al-Dahhan, (19) Rabi’ bin Habib, (20) Abu Amr al-Basri Subail bin Azrah bin Umair al-Duba’i, (21) Salih bi Dirham al-Bahuli, (22) Syabath bin Rib’I, (23) Najdah bin Amir, (24) Nafi’ bin Azraq, (25) Abdullah bin Kawwa’ al-Yasykuri, dan (26) al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.[17]

Terdapat beberapa keunikan dari data ini. Pertama, kaum Khawarij memastikan kekafiran para sahabat yang terlibat dalam Tahkim antara Mu’awiyah dan Ali. Namun mereka menerima riwayat Ibnu Abbas yang saat perang Siffin berpihak kepada Ali, bahkan menjadi negosiator dalam Tahkim. Ikrimah merupakan murid utama Ibnu Abbas yang diakui ulama-ulama Sunni sebagai orang yang paling dalam tafsir di antara murid-murid Ibnu Abbas. Kedua, Khalil bin Ahmad al-Farahidi merupakan tokoh bahasa dan sekaligus hadis yang riwayat dan karya-karyanya dalam bidang bahasa diterima luas di kalangan Sunni. Keunikannya, dia menerima riwayat-riwayat orang-orang yang dikafirkannya dan demikian pula ahli hadis Sunni menerima riwayat-riwayatnya.   

Di sini, otoritas kharisma Nabi saw. masih tetap terjaga di kedua lingkungan sektarian ini. Menurut Ubayd,  perfect pattern yang hidup di tengah-tengah mereka lah yang membuat mereka berkepentingan saling menerima riwayat. Sebuah anomali bahwa mereka hidup dalam konflik yang berdarah-darah dan memiliki asabiyah yang kuat namun tetap saling terhubung dalam jejaring periwayat hadis. Ideologi yang sering dipahami sebagai faktor dominan dalam membuat sekat antar periwayat, sumber kecurigaan paling kuat, dan kekuatan paling berpengaruh dalam rekayasa informasi, seperti tidak berlaku lagi dalam kasus ini. 

      F.     Penutup
Pada bagian penutup, Ubayd menyatakan tesis besarnya bahwa semakin tinggi komitmen seorang periwayat kepada Sunnah Nabi, semakin dapat menetralisir bias ideologi dala periwayatan hadis. Sebagai konsekuensi, kesamaan dan perbedaan idelogi tidak dapat dijadikan alasan menolak hadis seorang periwayat. 

Ubayd juga mengambil kesimpulan bahwa ideologi sektarian yang berkembang di lingkungan Muslim kuno tampak terbentuk dari pemahaman terhadap suatu hadis yang sudah dinyatakan valid. Hadis pada akhirnya menjadi produsen ideologi (muntij al-aidiyuluji), di samping tidak semua hadis merupakan produk ideologi (muntaj al-aidiyuluji). Dan secara tidak langsung, hal ini menempatkan tesis ini sebagai pendukung gagasan-gagasan yang menyatakan ideologi tidak berpengaruh dalam sistem penerimaan hadis sebagaimana yang dinyatakan Aid al-Qarni, Azami, dan lainnya. Di sisi lain, tesis ini berbeda dengan kesimpulan Joshep Schact, Goldziher, dan lainnya yang menyatakan bahwa hadis merupakan produk ideologi tertentu. 



Artikel ini merupakan tugas mata kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI) dalam bentuk resume tesis. Tesis yang diangkat berjudul Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni karya Ahmad Ubaydi Hasbillah, di SPs UIN Jakarta, 2013.
                         



[1] Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, (Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, 2013), cet. ke-1, h. 41-47
[2] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 44
[3] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 44
[4] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 45
[5] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 50
[6] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 3
[7] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 182
[8] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 31
[9] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 127
[10] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 131
[11] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 132
[12] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 134
[13] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 140
[14] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 149
[15] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 159
[16] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 168-175
[17] Ahmad ‘Ubaydi, Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, h. 181-182

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api