Ayat-Ayat Multikulturalisme; Pesan al-Quran tentang “Perbedaan dalam Kedamaian”
Bagaimanakah membangun suatu masyarakat
yang ideal? Di atas dasar apa suatu masyarakat yang ideal itu dapat ditegakkan?
Dua pertanyaan yang bernada filosofis ini telah memancing perdebatan yang
memakan waktu cukup lama dalam sejarahnya. Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani
Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal
tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan,
dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil
filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana
seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang
menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah
suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan
sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan
diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu
bernama agama [al-din al-mutha’].
Kemudian, kehidupan modern saat ini banyak
dibangun di atas dasar kebangsaan. Konsep kebangsaan yang mulai dikenal
berbarengan dengan kemunculan modernitas, dilanjutkan kolonialisme terhadap
dunia ketiga, dan berakhir dengan penerimaan model kehidupan politik yang
berbasis kesatuan kebangsaan menuntut banyak penyesuaian, perumusan, dan
inovasi-inovasi baru dalam berkehidupan. Termasuk bagaimana menempatkan
kehidupan beragama kita dalam bingkai kebangsaan yang telah kita terima itu.
Awalnya, konsep kebangsaan menuntut
kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi berfikir dan bahkan mungkin
keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang demikian adanya. Setiap suku
bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga timbul negeri-negeri kecil
yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal ini tentu saja
berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi,
adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam
sebuah negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari
konsep kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest
Renan, seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas
dasar keinginan untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi
diisi oleh kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan
keyakinan. Di sinilah problem keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau
suatu masyarakat dituntut membiasakan diri menggunakan lebih dari satu
kebudayaan. Demikianlah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan
arti kebahasaan terhadap konsep multikulturalisme.
Ketika seseorang tidak dapat beradaptasi,
karena kendala-kendala kulturalnya, akan segera muncul ke permukaan gesekan,
sentimen, serta pertarungan yang tentu saja menimbulkan sentimen kesuku-bangsaan
serta identitas lainnya. Menurut Robert W. Hefner dalam kehidupan
modern-demokratis seperti saat ini, tidak ada ancaman yang lebih
mengkhawatirkan bagi impian modern mengenai kewarganegaraan demokratis daripada
terjadinya perpecahan-perpecahan etnis, religius, dan linguistik yang tajam
dalam masyarakat. Sejak awal era modern, para teoretis liberal Barat merasa
pesimis terhadap prospek-prospek tata pemerintahan demokratis di Negara-negara
yang sangat majemuk. Pada abad ke-19, seorang tokoh besar, J.S. Miller, menulis
bahwa “Institusi-institusi merdeka nyaris mustahil muncul di Negara yang
terdiri dari bangsa-bangsa yang berlainan. Di antara orang-orang yang tidak
memiliki rasa kesamaan, khususnya jika mereka membaca dan berbicara dengan
bahasa-bahasa yang berlainan, opini publik yang menyatu, yang perlu bagi bekerjanya
pemerintahan yang representative, tidak bias hidup”. Di sini
ada sebuah ironi. Orang-orang liberal abad ke-19 seperti Mill sigap dalam
mengakomodasi pluralitas kepentingan-kepentingan utilitarian di antara para
penjual dan pembeli di pasar. Tetapi ketika sampai pada kehidupan publik dan
politik, orang-orang liberal itu “Benar-benar tidak siap menghadapi kemajemukan
budaya”. Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia 1, sejumlah
kecil pemikir Barat mengungkapkan keyakinan bahwa demokrasi masih mungkin muncul
di dalam masyarakat multikultural.[2]
Terdapat dua hal yang patut dicatat dari
ulasan singkat di atas. Pertama, suatu kehidupan bersama memerlukan kesamaan
pandangan. Di sini, adanya suatu dasar yang disapakati menjadi penting. Kedua,
model kehidupan yang berdasarkan demokrasi di tengah kemajemukan mempunyai
tantangan besar berupa perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga, salah
satu pertanyaan paling penting bagi kita yang hidup di Indonesia adalah
bagaimana kita memahami satu sama lain dalam perbedaan. Terlebih ketika pikiran,
akal, dan kehidupan manusiawi sudah dijajah oleh kekuatan uang dan kekerasan.
Selain itu banyak faktor yang merusak akal budi kita sehingga kita tidak lagi
berkomunikasi secara rasional. Kita tidak lagi rasional karena dipengaruhi oleh
dogmatisme tradisi-tradisi kita, termasuk tradisi agama [?].
Persoalan dalam Masyarakat Multikultural
Mega Hidayati menuliskan bahwa masyarakat
multikultural menyadarkan kita tentang adanya cara hidup yang berbeda. Setiap
orang bebas untuk memilih apa yang ia pandang sebagai jalan yang benar.
Permasalahannya, seseorang seringkali menggunakan kepercayaannya untuk melihat
orang lain. Knitter menyatakan bahwa setiap orang memiliki teleskopnya
masing-masing, yang merepesentasikan budaya atau agamanya, untuk melihat dan mengamati
yang lain. Namun perspektif kita tentang kebajikan hanya sejauh area yang
dicapai teleskop ini. Karena itulah kita butuh teleskop-teleskop lain untuk
memperluas sudut pandang kita yang terbatas. Jika kita menganggap bahwa kebenaran
adalah sebagaimana yang kita lihat melalui teleskop budaya dan agama kita
sendiri, itu berbahaya.
Persoalan pertama adalah prasangka. Seseorang tidak dapat
menghindari prasangka-prasangka yang muncul ketika hidup berdampingan dengan
orang yang memiliki budaya dan agama berbeda. Salah satu yang mempengaruhi
prasangka adalah opini yang telah terbentuk atau identitas yang telah diberikan
oleh masyarakat tertentu. Tidak jarang kita mendengar seseorang memberikan
stereotip atau cap pada etnis tertentu, misalnya bahwa orang sumatera dan orang
dari Indonesia bagian Timur itu berperangai keras dan kasar (sehingga beberapa
pemilik rumah kos di Yogyakarta, misalnya, enggan menerima mereka), atau bahwa
orang Cina, Minang, dan Sunda materialistis.
Persoalan kedua adalah kesalahpahaman. Misalnya sebuah
keluarga yang sedang mempunyai hajat; seorang anaknya akan menikah. Maka,
berkumpullah keluarga besar di rumah
tersebut. Para perempuan memasak dan menyiapkan hiasan-hiasan pernikahan.
Seorang ibu dari keluarga besan berinisiatif ikut membantu. Namun, salah
seorang keluarga tuan rumah berkata, “Sudahlah, Bu. Kami pandai
mengerjakannya.” Mendengar ini, sang ibu tersinggung. Ia pergi dan menangis.
Sang ibu mengira, perkataan tersebut berarti ia dianggap tidak “becus” bekerja
dan diminta menghentikannya. Padahal, maksud dari kalimat tersebut adalah
“Aduh, ibu jangan repot-repot. Biar kami saja yang mengerjakannya.” Ini kasus
salah paham kecil. Dalam kasus dan konteks lain, salah paham bisa berakibat
mengerikan: pertikaian, antarsuku, perang antaragama.
Persoalan ketiga yang dapat muncul dalam masyarakat multikultural
adalah konflik dan kekerasan. Kondisi ini sangat berkaitan dengan persoalan
pertama dan kedua. Prasangka dan kesalahpahaman potensial membawa konflik dan
kekerasan. Kefanatikan terhadap budaya sendiri dapat menyebabkan seseorang
memandang budaya orang lain sebagai bertentangan, mengganggu, dan salah. Namun,
kita juga harus menyadari banyaknya faktor yang mungkin melatari sebuah
konflik, antara lain ekonomi dan politik.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita
bereaksi terhadap budaya orang lain agar dapat menghindari konflik dan
kekerasan, dan bisa saling memahami? Sementara pada saat yang sama terdapat
persoalan-persoalan sangat mendesak yang butuh diselesaikan bersama:
kemiskinan, kelaparan, pedamaian, pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi,
dan ketidakadilan?[3]
Sekalipun konflik telah mewarnai sejarah
kehidupan manusia, namun bukankah setiap manusia selalu menghidupkan harapan
akan munculnya suatu kedamaian dalam hatinya? Seluruh yang disebutkan di atas
merupakan warna kehidupan yang coba dirajut oleh manusia. Di tengah konstruksi
wacana, pengetahuan, sistem kehidupan yang dirancang oleh manusia-manusia atas
angin, ada baiknya jika kita juga sedikit menengok pesan-pesan Tuhan tentang
tema ini. Tulisan ini bermaksud mendedahkan pesan-pesan itu ke dalam konteks
perbedaan kultur. Ketika keragaman kultur telah menjadi problem, apa saja yang
pernah dikatakan al-Quran tentang kehidupan yang penuh perbedaan? Kearifan apa
yang dibawakannya untuk manusia yang hidup dalam dunia yang penuh warna? Tafsur
maudhu’i-ijtima’I ini dimaksudkan untuk ‘memaksa’ al-Quran berbicara tentang
perbedaan dan keragaman. Tulisan ini akan diawali dengan menyuguhkan
respon-respon yang pernah dilontarkan al-Quran terhadap isu kesuku-bangsaan,
keragaman, serta pesan-pesannya terhadap isu di atas.
Ayat-Ayat Tentang Keragaman
Penelitian ini didasarkan pada data yang
diambil dari buku al-Quran dan Terjemah terbitan Maghfirah Pustaka yang
mencantumkan indeks tematis al-Quran. Indeks tersebut merupakan hasil
penelitian Dr. Muhammad Hasan al-Himshi. Setelah meneliti status Makki-Madaninya
menggunakan standar Daftar Isi dan Penjelasan Makki-Madani al-Quran terbitan
Lembaga Penerbitan al-Mushaf al-Syarif Raja Fahd [Mujamma’ al-Malik Fahd Li
Thaba’at al-Mushaf al-Syarif], penulis menemukan terdapat tiga puluh tujuh
surat yang membahas tema keragaman dan kesukuan. Dua puluh tujuh surat
berstatus Makkiyyah, dan sepuluh surat berasal dari golongan Madaniyyah.
Dari ketigapuluh surat tersebut, al-Himshi
memetakan ke dalam sembilan [9] tema pokok; [1] dijadikan dari satu jiwa, [2]
perbedaan-perbedaan manusia, [3] bangsa-bangsa kabilah dan sekte, [4] kelebihan
antara satu dan lainnya, [5] tiap umat mempunyai ajal, [6] kepemimpinan dunia,
[7] bangsa Arab, [8] bangsa-bangsa dan [9] suku-suku dan terakhir orang-orang
badui.[4] Secara berurutan dimulai dari yang
terbanyak, dapat disajikan seperti di bawah ini;
1. Dijadikan dari satu
jiwa [20 surat]
2. Perbedaan-perbedaan
manusia [16 surat]
3. Bangsa-bangsa kabilah
dan sekte [12 surat]
4. Kelebihan antara satu
dan lainnya [8 surat]
5. Tiap umat mempunyai
ajal [8 surat]
6. Kepemimpinan dunia [6
surat]
7. Bangsa Arab [6 surat]
8. Bangsa-bangsa dan
suku-suku [3 surat]
9. Orang-orang badui [3
surat]
Kesamaan Muasal Manusia
Menurut penulis, keragaman sudah menjadi
isu penting yang dibawa al-Quran pada fase Mekah. Konteks masyarakat muslim
yang minoritas di tengah keragaman kepercayaan orang-orang Mekah, serta tekanan
yang sangat kuat dari kelompok yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik
dan militer, sepertinya membuat isu keragaman menjadi penting untuk diangkat. Paling
tidak sebagai bentuk strategi untuk memudahkan jalan dakwah yang memang
terbilang baru, dan mendapat banyak ganjalan, selain sebagai usaha memberikan
dasar-dasar universal bagi ajaran yang didakwahkan. Sebagaimana dimaklumi,
surat-surat Makkiyah kebanyakan berisikan dasar-dasar agama dan kemanusiaan.
Dalam hal ini, al-Quran menggunakan strategi kesatuan asal kemanusiaan [al-Ittihad
al-mabda’ al-insani], atau diciptakan dari jiwa yang satu dalam bahasa
al-Himshi [khuliqa min nafs wahidah]. Ini dibuktikan dengan ditemukannya
18 surat berstatus Makkiyah yang membahas tema kesatuan tersebut. Jauh lebih
banyak dibanding yang berstatus Madaniyah yang hanya terdiri dari 2 surat.
Kesatuan merupakan lawan dari keragaman itu sendiri. Al-Quran menggunakan isu
kesatuan muasal untuk mengatasi problem keragaman. Dari dua puluh [20] surat
yang membahas muasal manusia, delapan belas [18] surat yang berstatus Makkiyah
kebanyakan membahas tentang asal manusia sebagai makhluk materi. Pada QS.
al-‘Alaq [96]: 2, dikatakan,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Surat yang pertama kali turun ini mengatakan bahwa Rabb menciptakan
manusia dari ‘alaq, yang berarti gumpalan darah menurut penafsiran
klasik dan sebuah benda yang menggantung di rahim [zigot] menurut
penafsiran modern. Sedangkan surat yang turun pada urutan ke-23, al-Najm, juga
menyebutkan asal manusia.
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan pria dan wanita.
Dari air mani, apabila dipancarkan.
Manusia dalam ayat ini disebutkan terdiri dari dua macam-pasang;
laki-laki dan perempuan, al-zaujain al-dzakara wa al-untsa. Sekalipun
berbeda kelamin, keduanya dikatakan sama-sama berasal dari air mani yang
dipancarkan. Kemudian surat yang turun pada urutan ke-28, QS. al-Tin [95]: 4-5,
menjelaskan suatu fase di mana manusia merasakan kesempurnaan wujudnya, ahsan
al-taqwim. Allah swt. berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ
أَسْفَلَ سَافِلِينَ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka),
Kesatuan muasal material manusia juga diangkat
dalam dua surat Madaniyyah; al-Insan dan al-Hajj. Namun, tidak sebanyak pada
fase-fase Mekah. Kemungkinan karena telah kuatnya posisi kaum muslimin. Baik
secara ekonomi, politik, militer maupun keagamaan. Kemungkinan berikutnya,
kebanyakan wahyu saat itu lebih diorientasikan pada proses legislasi
peraturan-peraturan bagi komunitas Madinah. Sehingga dasar-dasar keagamaan dan
kemanusiaan cenderung dianggap cukup dengan apa yang telah disampaikan pada
periode Mekah.
Perbedaan di Kalangan Manusia
Kembali kepada kesamaan muasal, umat
manusia mulai mengalami perpecahan dan dirundung problem perbedaan. Di sini,
perbedaan menjadi masalah. Al-Himshi mencatat terdapat 16 surat yang membahas
tema ini, dengan rincian 10 surat Makkiyah dan 6 surat Madaniyyah. Dengan
demikian, di samping banyak menekankan kesamaan muasal, al-Quran juga
mengingatkan adanya perbedaan di lingkungan umat manusia. Perbedaan menjadi isu
penting kedua setelah kesamaan muasal manusia. Terbukti, perbedaan-perbedaan
manusia menempati posisi terbanyak kedua setelah surat-surat yang membahas kesatuan
muasal manusia. Perbedaan di sini meliputi perbedaan manusia dalam ketaatannya
kepada Tuhan seperti dalam al-Zukhruf, al-Jatsiyah, dan Syura. Manusia
dipetakan antara yang bersedia menerima petunjuk Tuhan dan yang menolak, yang
beriman dan yang kafir. Perbedaan juga ditujukan pada perpecahan ke dalam
sekte-sekte keagamaan. Selain itu, manusia juga berbeda dari segi asal puak [al-nasl],
karakteristik masing-masing, dan perbedaan akhir kejayaan suatu kelompok
manusia, seperti disinggung oleh surat al-Mukmin.
Sebab-Sebab Perpecahan Umat Manusia Perspektif al-Quran
QS. al-Baqarah [2]: 213 menyebutkan,
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا
فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ
الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا
فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Bahwa di antara sebab perpecahan di lingkungan umat manusia ialah rasa
dengki yang terjadi antara sesama mereka. Kedengkian itu sendiri muncul di
tengah jelasnya ketentuan-ketentuan hukum. Jelasnya batasan hukum tidak membuat
persoalan selesai. Perselisihan itu sendiri muncul setelah umat manusia pada
mulanya bersatu. Fungsi kehadiran para nabi adalah untuk melerai, memberi peringatan,
memberi keputusan di antara perkara yang diperselisihkan.
Sebab perbedaan lainnya seperti
diungkapkan al-Baqarah [2]: 113 yang mengatakan,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى
لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ
لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Dan
orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu
pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai
sesuatu pegangan.” Padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula
orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka
Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang
mereka berselisih padanya.
Menurut Abu Ja’far al-Thabari [w. 310 H.] ayat
ini merupakan bentuk peringatan dari Allah kepada kaum beriman. Agar tidak
mengikuti sikap kaum Yahudi dan Nasrani yang mensia-siakan ketetapan yang
terdapat dalam kitab suci mereka. Allah mengutip pernyataan kaum Yahudi dan
Nasrani, di mana keduanya saling kritik atas keabsahan kenabian pembawa ajaran
lawannya. Padahal masing-masing kitab suci yang menjadi pegangan mereka memberikan
kesaksian atas kebenaran yang lain. Bahwa Musa dan Isa adalah utusan Tuhan, bahwa
Taurat dan Injil sama-sama berasal dari-Nya. Ayat ini turun berkaitan dengan
kedatangan pemimpin kaum Nasrani daerah Najran untuk menghadap Nabi. Kemudian
tokoh-tokoh Yahudi juga turut hadir dalam majlis pertemuan tersebut. Terjadi
perdebatan tentang kenabian-kerasulan kedua pembawa ajaran tersebut. al-Quran
mengkritik sikap keduanya yang mengabaikan dogma kitab sucinya. Bukan murni
karena polemik yang terjadi di antara mereka, tapi melihat di sisi lain bahwa mereka
yang memperdepatkan itu tidak menjalankan kandungan-kandungan kitab sucinya.[5] Dari sini dapat dipahami bahwa sumber
perbedaan dan perpecahan di kalangan umat beragama ialah mengabaikan ajaran
agamanya masing-masing. Seandainya mereka murni mengamalkan ajaran agamanya,
niscaya perpecahan-polemik semacam itu tidak terjadi. Karena, tiap-tiap agama
mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia saleh dan menghargai yang
lain.
Perbedaan Asal Puak… Untuk Saling Mengenal dan Menolong…
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah
menciptakan manusia dari asal yang sama, kemudian dijadikan dalam kelompok syu’ub
dan qabail. Seluruh manusia setara dalam kemuliaan sebagai keturunan
Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Mereka menjadi lebih mulia daripada yang
lain hanya berdasar tingkat keberagamaannya. Yakni sebatas mana ketaatan mereka
kepada Allah dan rasul-Nya.[6] Sedangkan tujuan penciptaan semacam itu
ialah agar masing-masing saling kenal-mengenal. Menurut Abdurrahman bin Nashir
bin Abdillah al-Sa’di [w. 1376 H.] fungsi ta’aruf dalam konteks ayat ini ialah
untuk menumbuhkan semangat saling tolong-menolong, saling mewarisi, dan menjaga
hak-hak kerabat. Hal itu hanya dapat terwujud jika terdapat perbedaan identitas
primordial dan kondisi saling mengenal satu sama lain.[7] Ibnu Katsir [w. 774 H.] menambahkan bahwa
perbedaan identitas primordial tidak boleh dijadikan dasar persaingan yang
tidak sehat, seperti sikap saling menjatuhkan, menghujat dan
bersombong-sombongan [al-Tafakhur].[8]
Karakteristik Orang Arab Badui; Kritik dan Bimbingan al-Quran
الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا
حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (97) وَمِنَ
الْأَعْرَابِ مَنْ يَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ مَغْرَمًا وَيَتَرَبَّصُ بِكُمُ الدَّوَائِرَ
عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (98) وَمِنَ الْأَعْرَابِ
مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ
عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلَا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ سَيُدْخِلُهُمُ
اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (99 وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100) وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ
مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ
لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ
إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (101) وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا
صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (102) خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
(103)
97.
Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya,
dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 98. di antara
orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di
jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan Dia menanti-nanti marabahaya
menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. 99. di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang
yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang
dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada
Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul. ketahuilah,
Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri
(kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat (surga)Nya;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 100. orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. 101. di antara orang-orang Arab
Badwi yang di sekelilingmuitu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara
penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad)
tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka
akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang
besar. 102. dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. 103. (QS.
al-Taubah [9]: 97-103)
وَآخَرُونَ مُرْجَوْنَ لِأَمْرِ اللَّهِ إِمَّا يُعَذِّبُهُمْ وَإِمَّا
يَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (106) وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا
ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (107) لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ
أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ
يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108)
106.
dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah;
adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat
mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 107. dan (di antara
orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan
untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka
Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan
Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam
sumpahnya). 108. janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya.
Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih. 109. (QS.
al-Taubah [9]: 106-108)
Sekalipun sama-sama orang Arab, terdapat beberapa karakter dan sifat
yang berbeda di antara mereka. Di antara mereka ada yang berwatak keras,
materealis, mudah mengikuti kebaikan, ambivalen, mudah mengakui kesalahan, dan
gemar memprovokasi. Dari rangkaian al-Taubah di atas dapat disimpulkan beberapa
sifat orang Arab Badwi;
1. Orang-orang Arab Badwi
itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya.
2. di antara orang-orang
Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan
Allah), sebagi suatu kerugian
3. di antara orang-orang
Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan
memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk
mendekatkannya kepada Allah,
4.
orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah
5. di antara orang-orang
Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di
antara penduduk Madinah.
6. dan (ada pula)
orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan
pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
7. dan (di antara
orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk
menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin).
Bahwa tidak seluruh orang Arab berwatak keras, bengis, dan anti kebenaran. Ada juga orang-orang yang hanif, mau mengikuti kebenaran, dan mendapatkan ridha Allah.
Akhir[an]… Pesan untuk Saling Menghormati… Menuju Kehidupan yang Damai…
Ulasan di atas
memberikan gambaran kepada kita bahwa al-Quran tidak turun pada masyarakat yang
homogen. Kesalahan besar ketika dikatakan orang Arab hanya terdiri dari satu
macam. Bahkan isu keragaman telah banyak disinggung dalam periode Mekah,
sekalipun tidak secara langsung. Cara al-Quran mengatasi problem keragaman
ialah dengan mengembalikan kepada akar universal kemanusiaan. Terutama
kesama-setaraan pada level materialnya. Sebaliknya, al-Quran sangat menghargai
pembedaan-pengkelasan pada level spiritual-ketaatan. Pandangan demikian tentu
berbeda dengan sebagian pandangan yang mengukur banyak hal melalui ukuran
lahiriah, sehingga timbul kelas-kelas sosial yang basis penilaiannya adalah
materi.
Perbedaan pada
level materi hanya menjadi identitas primordial yang berfungsi untuk saling
mengenal, menghormati, dan saling menolong dalam berkehidupan. Hingga pada
akhirnya, lahir kehidupan damai yang dipenuhi oleh warna keragaman. Suatu model
kehidupan yang menyatu dan unik. Wallahu A’lam bis Shawab.
Artikel ini semula adalah tugas kelas pada Mata Kuliah Tafsir Ijtima'i, Program Studi Tafsir Hadis UIN Jakarta. Sebelumnya, artikel ini diposting dalam blog http://duniahadis.blogspot.com/2012/04/ ayat-ayat-multikulturalisme-pesan-al.html. Karena lupa paswordnya, saat ini blog tersebut tidak terurus. Semoga dengan diposting kembali di blog ini bisa memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
Referensi:
-
Ahmad Suhelmi, Pemikiran
Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan
Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2007)
-
Robert W.
Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
-
Mega Hidayati, Jurang
di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
-
Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Quran, (Maktabah
Syamilah)
-
Abu al-Fida Ismail bin Umar
bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah)
-
Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim
al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah)
[1] Lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta:
Gramedia, 2007), hlm. 26
[2] Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hal. 11-12
[3] Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), hal.24-26
[4]
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, (Maghfirah Penerbit), hlm.
xxiii
[5]
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi
al-Quran, (Maktabah Syamilah), juz 2, hlm. 514
[6]
Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim,
(Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385
[7]
Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah
al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah
Syamilah), hlm. 801
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm.
385
Komentar
Posting Komentar