Hadis dan Kritik Sosial (Islam Jawa)




Diskusi kali ini mengangkat artikel Mark R. Woodward tentang terjemahan sebuah kitab hadis yang populer di Indonesia, Riyadh al-Shalihin (RS). Kajian Mark Woodward itu dituangkan dalam artikel berjudul Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts. Mark yang seorang Indonesianis dalam Islam Jawa itu mengamati bahwa terjemahan tersebut bukan sekadar terjemahan yang terlepas dari konteks sosial politiknya. Bahkan dalam temuannya, Mark menyatakan terjemahan itu ideologis. Ia berfungsi melakukan kritik sosial-kebudayaan-politik, selain meneguhkan identitas suatu kelompok sosial tertentu. 


RS merupakan kitab hadis karya sarjana kelahiran Syiria, al-Nawawi. Pertimbangan pemilihan kitab ini adalah, pertama karena kitab ini digunakan oleh masyarakat Indonesia secara luas. Terlepas dari varian aliran ideologi keislaman mereka; tradisionalis (NU), modernis (Muhammadiah), maupun radikal (Persis). Kedua, kitab ini memiliki otoritas yang tinggi karena merupakan saduran dari kitab-kitab hadis paling berpengaruh Bukhari-Muslim, serta kitab-kitab hadis lain yang memiliki kualifikasi kesahihan kuat.  

Dalam telaahnya, Mark menggunakan pisau analisa hermeneutika, etnografi, dan filologi kontemporer Anton Becker. Teori itu menyatkaan “Teks dari masa lalu, ketika dikutip, pasti melahirkan sebuah penafsiran (exegesis).” Hal ini karena pengutipan selalu melalui proses pembingkaian melalui kerangka berfikir tertentu dan untuk tujuan tertentu. Terjemahan tidak lain merupakan sebentuk penafsiran terhadap teks lama. Terjemahan itu sendiri ditujukan untuk mengomentari suatu situasi sosial tertentu. Dari sanalah sebuah teks itu bersifat ideologis, dan pada saat yang bersamaan menjadi sebuah kekuatan sosial yang menggerakkan masyarakat ke arah suatu gagasan. Hal semacam itulah yang diamati Mark.

Dalam kesimpulannya, Mark menyatakan bahwa dalam kontestasi wacana keislaman, terjemahan memainkan peranan penting dalam mengukuhkan superioritas kaum NU atas kelompok-kelompok Islam lain seperti Muhammadiah dan Persis. Yang pertama disebut Mark sebagai konservatif-tradisionalis, yang kedua disebut modernis-reformis, dan yang ketiga dia sebuat sebagai radikal Islam. 

Dengan terjemahan (commentary) NU juga berhadapan dengan kelompok Kejawen seperti Taman Siswanya Ki Hajar Dewantoro. NU berhasil menunjukkan bahwa NU bukan Kejawen seperti yang dituduhkan selama ini. NU juga bukan modernis-radikal Islam. Sekalipun demikian, NU memiliki pijakan yang kuat dalam hadis-hadis Nabi saw. Penggunaan terjemahan RS ini merupakan upaya counter wacana terhadap dominasi trilogi fragmentasi kelasnya Cliffort Geert; santri, priyayi, abangan. Santri yang dalam imajinasi Geert lebih merujuk kepada kaum Islam modernis an sich, dengan demikian mengabaikan kelompok pesantren NU yang pro tarekat, ziarah, dan selamatan, dan abangan yang diandaikan mereka yang suka pada tradisi selamatan, kenduri dan sejenisnya. Mark di sini tentu saja lebih spesifik dalam menampilkan NU sebagai kelompok yang bukan ‘santri’ dan bukan ‘abangan’ ala Geert.

Terjemahan dalam pembicaraan kita bukan sekadar pengalih bahasaan dalam bentuk buku. Lebih luas, ia merupakan upaya kontekstualisasi dalam konteks Indonesia modern. Commentary merupakan upaya mengkomunikasikan gagasan yang terdapat dalam teks lama untuk suatu konteks yang baru. Pada akhirnya, Mark menemukan, bahwa NU berhasil menciptakan wacana Islam ideal. Islam otoritatif yang sesuai dengan sabda-sabda Nabi saw. Isu-isu yang diangkat meliputi pemaknaan jihad, ziarah kubur, dan asas tunggal Pancasila. 

Dalam sesi diskusi, muncul sejumlah tanggapan. Di antaranya dari saudara Izzul Mutho’. 

Salah seorang peserta, M. Khoirul Huda, menanggapi ulasan pemateri. Menurutnya, untuk memahami artikel ini dengan baik, kita harus melihat konteks zamannya. Artikel berjudul Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts itu diterbitkan pada tahun 1993. Tentu saja penelitian dilakukan paling tidak sepuluh hingga lima tahun sebelumnya. Pada kisaran tahun 1980-an puluhan hingga 1990-an, terkait dengan sejarah NU, ada fenomena penting yang perlu dicatat. Yaitu program Kembali Ke Khittah 1926 yang berarti NU menarik diri dari politik praktis, dan memberikan kebebasan warganya menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai yang mereka kehendaki. NU sendiri lebih banyak mengambil peran secara kultural. Hal ini terjadi pada era kepemimpinan duo reformis NU, KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid. Mark Woodward melihat penarikan diri itu sebagai kekecewaan akibat gagal dalam perjuangan melalui politik praktis. Dalam perjuangan kultural itu, NU mencoba merumuskan konsepsi bernegara yang akomodatif-pragmatis. Misalnya, ketika negara memberlakukan asas tunggal bahwa semua organisasi di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, NU menjadi pioner yang mendorong penerimaan organisasi-organisasi lain mengambil sikap yang sama. Hal ini menjadi bumerang bagi NU karena dianggap menjalankan politik pragmatis. Mengambil kesempatan sekalipun itu tidak sesuai dengan ajaran agama. Dari sini perseteruan antara kaum tradisionalis-konservatif dengan modernis dan radikal terjadi. Salah satu front-nya dapat dilihat dalam perdebatan-perdebatan teologis antar kelompok yang lahir dari rahim nusantara modern ini yang menggunakan teks hadis dan terjemahan-komentar terhadapnya. Salah  satunya melalui pertarungan dalam merebut wacana Islam paling ideal. 

Kedua, penelitian Mark ini, dengan memunculkan NU sebagai varian baru dalam kontestasi wacana Islam Indonesia, merupakan perkembangan lebih lanjut dari penelitian Cliffort Geert yang tidak membedakan antara ‘santri’ yang modernis dan tradisionalis. Atau antara santri yang suka ziarah dan selametan, dengan abangan yang juga melakukan hal yang sama namun memiliki pemaknaan yang berbeda tentang kedua konsep tersebut. NU merupakan varian yang berbeda dari santri modernis yang pedagang taat dan abangan penggemar selametan dan berkah kuburan. Dengan demikian, variannya bukan lagi santri, priyayi dan abangan, tapi sudah santri modernis, santri tradisional konservatif, nasionalis-priyayi, dan abangan. 

Ketiga, Mark menunjukkan suatu model pengkajian yang unik. Pertama tentang objek kajiannya. Apa yang dilakukan Mark telah memperluas wilayah pengkajian hadis. Sampai saat ini, kajian hadis yang kita lakukan lebih banyak mengambil wilayah pada buku-buku hadis, sanad-sanad, kualitas hadis, buku-buku biografi perawi, kualitas para rawi, dan seterusnya. Artinya, kajian hadis hanya mengambil wilayah teks. Ini berbeda dengan Mark yang mencoba melihat (kitab) hadis yang digunakan kegiatan sosial politik. Mark melihat pengaruh teks yang sangat luar biasa dalam kehidupan masyarakat (Muslim Indonesia). Muncul pertanyaan, apakah sebenarnya model kajian Mark ini merupakan kajian hadis, sosiologi, politik, filologi atau terjemah? Pastinya, pendekatan yang dia gunakan meliputi hermeneutika, filologi kontemporer, dan etnografi yang ini memberi pelajaran berharga kepada kita bahwa dalam melakukan penelitian kita bisa menggunakan beragam pendekatan.  

Hengki Ferdiansyah, seorang peneliti el-Bukhari Institute (eBI), mengomentari bahwa artikel ini sebenarnya ingin menjelaskan posisi NU dalam percaturan wacana Islam Indonesia. Setelah gagal dalam politik praktis, kemudian menjalankan politik yang tidak konsisten. Hal ini memantik cibiran dari kalangan luar, bahwa NU cenderung pragmatis. Bukan sekadar akomodatif. Lalu, setelah gagal dalam politik praktis, apakah NU tidak menjalankan misi-misi Islam lagi? Mark ingin menjawab bahwa NU tetap berjuang di jalan Islam sekalipun dalam kerangka yang disebutnya akomodatif. Terkait dengan wacana Mas Choi-(rul Huda) yang mempertanyakan hakikat kajian ini, kajian hadis atau bukan. Menurutnya, kita sebenarnya perlu memahami model penelitian orang Barat yang punya prinsip konsisten. Untuk memahami ini kita perlu melihat konsentrasi Mark yang seorang Indonesianis dalam bidang Islam Jawa. Maka kajian terjemahan kitab hadis Riyadh al-Shalihin di sini dipahami dalam konteks pengkajian dia terhadap Islam Jawa. Bukan kajian hadis itu sendiri. 

Dalam closing statement-nya, saudari Unaesah Rahmah, mahasiswi jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP UIN Jakarta dan Mahasantri IIHS Darus-Sunnah, sebagai pemateri menyatakan bahwa kajian Mark ini menarik karena menunjukkan suatu model kekuatan baru, yaitu teks. Menurutnya, pada umumnya kajian politik memaknai kekuatan dengan kekuatan militer atau ekonomi. Tapi Mark menunjukkan satu model kekuatan lain yang berpengaruh kuat dalam masyarakat, teks. "Text is the power", katanya singkat.

Diskusi ini diikuti oleh sekitar dua puluh orang peserta. Sebagian besar merupakan mahasiswa pada tingkat strata satu. Namun ada sekitar empat orang yang berasal dari tingkat pascasarjana. Tiga dari pascasarjana UIN Jakarta, dan satu dari pascasarjana UI Jakarta, Fakultas Hukum. Acara selesai pada pukul 11.00 WIB dan dimulai pada 09.15 WIB. Masjid FISIP (28/09). (mkh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api