Pendekatan Intellectual History dalam Studi Hadis
M. Khoirul
Huda
Artikel ini
akan membincang bentuk lain hubungan dua disiplin keilmuan tersebut (ilmu hadis dan ilmu sejarah). Kita akan
melihat bagaimana studi sejarah digunakan melihat persoalan hadis. Utamanya apa
yang disebut sejarah intelektual atau bila Anda rajin mengunjungi dunia
maya lebih populer dengan nama intellectual history. Sejarah intelektual
berarti sebuah disiplin sejarah yang memfokuskan para intelektual sebagai objek
kajiannya.
Pengetahuan
mengenai masa lalu sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena itulah manusia
mengenal cukup banyak sumber-sumber referensi yang dinilai memiliki unsur
kemasa-laluan. Manusia mengenal mitos, dongeng, cerita, hikayat, sejarah,
agama, bahkan dalam tataran tertentu sains. Pengetahuan tentang masa lalu
menjadi sangat penting di sini.
Ketika masa
lalu dibincang dalam suasana yang lebih serius, ilmiah, dipertanyakan
kebenarannya, dibandingkan dengan sumber masa lalu yang lain dan berbeda,
dipilih yang diyakini otentik, dicari alasan kemunculan suatu peristiwa, dan
seterusnya, muncullah tradisi ilmu sejarah. Para pakar memang masih
memperdebatkan apakah sejarah dapat dikategorikan sebagai sebuah ilmu atau
tidak. Namun, para ahli sejarah dan pendukungnya meyakini dan mengukuhkan
sejarah layak disebut ilmu. Ilmu sejarah memiliki sumber-sumber, metode
penggunaan sumber, analisis, hingga hasil-hasil penafsiran kesejarahan yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Yang terakhir ini tidak lain merupakan nilai
guna dari ilmu sejarah (aksiologi), sedangkan dua unsur sebelumnya merupakan
elemen epistemologis dan ontologis sejarah itu sendiri.
Kaum Muslim
memiliki tradisi sejarah yang berguna bukan saja untuk kepentingan
sosial-politiknya, tapi juga keagamaannya. Utamanya yang berbicara mengenai
sejarah awal agama yang seringkali menjadi rujukan dalam penetapan
doktrin-doktrin agama. Di sini muncul, bukan saja ilmu sejarah, tetapi apa yang
oleh kaum Muslim sebut ilmu hadis. Ilmu sejarah dan ilmu hadis memiliki
kesamaan, yaitu meneliti masa lalu. Dari
sini saja, dapat diketahui bahwa ilmu sejarah memiliki hubungan kuat dengan
ilmu hadis. Alasan sederhananya, karena hadis dan sejarah membicarakan
peristiwa di masa lalu. Keduanya sama-sama berbicara tentang kebenaran masa
lalu. Belum lagi bila kita melihat karya-karya sarjana Muslim klasik, yang pada
umumnya, ketika mereka seorang ahli hadis, sedikit banyak pasti “nyambi”
sebagai ahli sejarah. Ambil contoh Ibnu Kasir, al-Dzahabi, Ibni Asir, Ibnu
Hajar al-Asqalani, al-Suyuti, dan lainnya. Selain mengarang literatur hadis,
tidak sedikit mereka menyusun karya-karya kesejarahan.
Para penulis
Muslim kontemporer, begitu pula para orientalis, persentuhan mereka dengan
hadis, hampir-hampir tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai sejarah.
Sebut saja Nuruddin ‘Itr (Ulumul Hadis), MM. Azami (Manhaj al-Naqd
Inda al-Muhadditsin) dan Syuhudi Ismail (Kaidah Kesahihan Sanad Hadis).
Ketiganya menjadi contoh penulis-penulis Muslim yang mendialogkan ilmu hadis
dengan ilmu sejarah. Terlepas dari pemihakan mereka terhadap salah satu dari
kedua jenis ilmu itu.
Para
orientalis, ketika mereka ingin membuktikan ketidak-percayaan mereka pada
hadis, mereka menggunakan kritik sejarah (historical critisism) sebagai
instrumen untuk menguak masa lalu formatif umat Islam. Intinya, ilmu sejarah
dan ilmu hadis sangat dekat. Saking dekatnya, sebagian orang
mempertentangkannya, ibarat adik-kakak yang saking akrabnya malah sering
bertengkar, namun bila tidak bertemu cukup lama, akan akan rindu dan saling
mencari.
Artikel ini
akan membincang bentuk lain hubungan dua disiplin keilmuan tersebut. Kita akan
melihat bagaimana studi sejarah digunakan melihat persoalan hadis. Utamanya apa
yang disebut sejarah intelektual atau bila Anda rajin mengunjungi dunia
maya lebih populer dengan nama intellectual history. Sejarah intelektual
berarti sebuah disiplin sejarah yang memfokuskan para intelektual sebagai objek
kajiannya. Sama seperti sejarah kota, sejarah, desa, sejarah politik, sejarah
filsafat, sejarah militer, sejarah bola, sejarah uang, sejarah bank dan lain
sebagainya.
Para
intelektual menarik perhatian para sejarahwan karena mereka merupakan kelompok
sosial yang seringkali menjadi “provokator” dalam suatu peristiwa perubahan
sosial. Mereka menjadi salah satu kekuatan sejarah. Yang menentukan kemana arah
perubahan suatu masyarakat (lihat misalnya dalam Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu
Sejarah, hlm. 132).
Kajian sejarah intelektual telah menarik
perhatian para ahli sejak lama dan mencapai puncaknya pada tokoh Arthur O.
Lovejoy pada tahu 1940-an, dan hingga sekarang telah berdiri
komunitas-komunitas internasional yang konsern pada isu sejarah intelektual
ini. Umumnya mereka berbicara isu-isu politik, ekonomi, dan kebudayaan. Dan
kadang-kadang agama.
Untuk
konteks Islam, seorang doktor dalam studi ini telah menyumbangkan pikirannya
dalam sebuah disertasi, yang kemudian dibukukan dan diterbitkan pula ke dalam
bahasa Indonesia. Dia adalah Daniel W. Brown, islamisist Amerika, penulis buku
Rethingking Tradition Of Islamic Modern Thought (dalam edisi Indonesianya, Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerbit Mizan). Secara khusus, kita akan
membincang buku ini dan islamic intellektual history pada umumnya.
Intellectual
History: Definisi Tentang Objek..
Bila kita
terjemahkan secara bebas konsep ini, sebenarnya bukan sesuatu yang asing. Intellectual
history atau sejarah para intelektual mirip dengan sejarah para “ulama”. Karya-karya
Muslim klasik dipenuhi oleh studi tentang “orang-orang pintar” ini.
Para ahli
kritik hadis menyusun kitab yang berjilid-jilid tentang para ulama penghafal
hadis lengkap dengan data pribadi dan pengaruhnya kepada murid-murid mereka.
Para sejarahwan fukaha menyusun daftar intelektual yang menjadi mata rantai ide
mazhabnya, seperti al-Subki dengan Thabaqat al-Syafi’iyyah, Abu Ya’la
dengan Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Wafa dengan Thabaqat
al-Hanafiyyah. Hampir semua disiplin keilmuan yang berkembang dalam tradisi
keislaman mengenal ensiklopedi para ulama semacam ini. Hal ini menegaskan bahwa
ide tentang sejarah para intelektual bukanlah suatu yang asing. Soal metodologi
dan cara kerjanya, pendekatan ini pada era kontemporer pun belum menemukan kata
sepakat, hatta soal definisi. Lalu, apa yang disebut sejarah intelektual? What
is intellectual history?
Donald R. Kelley, seorang pakar sejarah intelektual
sekaligus editor pada Journal History of Idea, mengatakan, “ . . .
intellectual history is an irretrievably interdisciplinary area of inquiry, and
. . . its primary topics of inquiry--philosophy, literature, language, art,
science, and other disciplines--each has its own tradition of historical
inquiry. The result is that intellectual history has had to invent, or to
appropriate, concepts to define its area of competence and cognizance: the
history of philosophy (in an extended sense), the history of culture (in a
restricted sense), or more problematic formulations, such as the history of
ideas, the history of thought, the human spirit, ideologies…).” (terjemah bebasnya kira-kira, sebuah subjek
penelitian interdisiplin tentang suatu hal yang telah berlalu (baca: masa
lalu). Topik utamanya meliputi filsafat, sastra, bahasa, seni, sains, dan disiplin
lainnya. Masing-masing memiliki sejarah pengkajiannya sendiri. Hasilnya,
sejarah intelektual berhasil merumuskan konsep-konsep definitif mengenai
wilayah kajian dan pengetahuan tentang subjek penelitian ini; sejarah filsafat
(dalam pengertian yang umum), sejarah kebudayaan (dalam pengertian yang
sempit), atau sesuatu yang melebihi perumusan problem-problem, seperti sejarah gagasan, sejarah pemikiran,
jiwa manusia, ideologi-ideologi..).
Untuk memudahkannya, sejarah intelektual adalah
merupakan bentuk studi sejarah yang mengambil intelektual (person), ide, paham,
dan pandangan filsafat sebagai objek kajiannya. Subjek penelitian ini
meniscayakan penggunaan teori-teori, metodologi dan pendekatan yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu yang berbeda-beda. Inilah yang pada akhirnya
memunculkan salah satu sifat khas sejarah intelektual, interdisiplin.
Di sini, sejarah intelektual menempatkan sejarah gagasan
sebagai bagian kajiannya. Hal ini seperti dikutip oleh Wikipedia berikut ini, The
history of ideas is a field of research in history that deals
with the expression, preservation, and change of human ideas over time. The
history of ideas is a sister-discipline to, or a particular approach within, intellectual history. (history of
ideas adalah bidang penelitian yang berupaya menjelaskan mengenai ekspresi,
konservasi dan perubahan ide-ide manusia sepanjang masa dalam sejarah. Sejarah
gagasan adalah saudara atau bagian dari sejarah intelektual).
Bagaimana Intellectual History Beroperasi?
Tidak ada kata sepakat mengenai bagaimana pendekatan
ini dioperasikan. Semua tidak dapat dilepaskan dari perbedaan watak khas objek
yang diteliti. Hal ini menjadi penting karena setiap objek harus diperlakukan
sepantasnya agar ia memberikan informasi yang benar kepada peneliti. Untuk itu,
perlu kiranya mendefinisikan objek yang hendak diteliti terlebih dahulu. Kita
akan melihat, sekadar sebagai contoh, bagaimana seorang islamisist,
mengaplikasikannya dalam studi hadis (apakah benar diskursus ini layak disebut
studi hadis, masih bisa diperdebatkan. Alasannya, objek yang dikaji adalah
pemikiran dalm suatu ruang sosial tertentu, mirip dengan studi sosial).
Dalam bagian metodologi, Brown menjelaskan bahwa studi
sejarah gagasan mengarahkan analisisnya pada pemikiran atau gagasan yang
menjadi arus yang tampaknya baru, inovatif dan menjanjikan perubahan.
Dalam satu buku itu, dia mencoba mengidentifikasi model-model pemikiran sejenis
itu, baik dalam sejarah Islam klasik maupun modern.
Menurutnya, ada dua pola yang dikembangkan dalam studi
sejarah ide. Pertama, kecenderungan yang mengarah pada analisis indinvidu
(tokoh). Kecenderungan ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya,
kecenderungan ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai gagasan
individu yang dinilai memiliki pengaruh luas di masyarakat. Karenanya,
pemilihan individu (tokoh) sebagai objek kajian tidak boleh keliru selain bahwa
individu tersebut harus mewakili kecenderungan pemikiran yang sangat penting
saat itu. Hal ini untuk menegaskan peneliti tidak salah dalam memilih unit
analisisnya. Individu itulah yang merupakan motor penggerak perubahan
(perspektif maupun sosial). Kekurangan pendekatan ini ialah pemilihan seorang
tokoh yang dianggap menarik tidak dapat dilepaskan dari subjektifitas peneliti.
Apa yang dianggap menarik adalah apa yang Anda anggap sesuai dengan Anda.
Karena kita hidup di era modern, maka pemikiran yang menarik adalah apa yang
sesuai dengan kebutuhan, kebiasaan, dan cara berfikir kita di era modern ini.
Sedangkan yang tidak sesuai cenderung dianggap kurang menarik. Padahal, ia
merupakan suatu pemikiran yang sangat berpengaruh dan penting, misalnya.
Kedua, kecenderungan studi gagasan yang menekankan
pada analisis mazhab pemikiran. Kekurangan pendekatan ini adalah dia akan
mengabaikan kekhasan gagasan individu. Ia akan mengaburkan perbedaan antara
individu (a-historis) dan keliru mempersatukan gagasan-gagasan yang
beragam (salah dalam membuat kategori klasifikasi). Namun Daniel Brown
lebih memilih pendekatan kedua ini.
Menurutnya, seorang peneliti sejarah gagasan harus
peduli pada pengaruh gagasan, dan bukan pada gagasan itu sendiri.
Karena seperti prinsip yang dipeganginya, sejarah gagasan menekankan pada
kebaruan, inovasi, dan menjanjikan perubahan. Suatu gagasan dapat dianggap
menjanjikan perubahan dapat dilihat sejauh ia berpengaruh pada orang-orang di
masanya. Pengaruh itu dapat berarti respon balik, kontroversialitas, dukungan
terhadap ide itu, atau penerimaan ide tersebut oleh para penentangnya namun
disertai modifikasi tertentu. Hal ini menurutnya, merupakan indikator
penting penyebaran gagasan.
Kontroversialitas pada akhirnya menjadi standar Brown
dalam memilih sumber data dan unit analisisnya. Dia memilih literatur yang
banyak menuai respon dan kontroversi. Untuk itu dia melakukan uji sederhana, jika
suatu pernyataan menarik banyak respon, maka pernyataan itu penting; jika
berlalu begitu saja, maka pernyataan itu tidak penting. Karya dan pemikiran
yang memenuhi syarat semacam itu ia temukan dalam perdebatan di kalangan
tokoh-tokoh penting di Mesir dan Pakistan. Karenanya, studi yang dilakukannya pada
akhirnya dibatasi pada perdebatan yang terjadi di dua negara Muslim tersebut.
Apa yang dianalisis dari literatur-literatur itu?
Menurutnya, dari karya-karya itu akan diidentifikasi tema-tema yang paling
penting, yaitu yang paling banyak diulang. Baik dalam tradisi kesarjanaan Islam
klasik maupun modern. Selanjutnya, dia akan memilih tema-tema yang menonjol, topoi,
isu-isu yang menjadi pusat pembahasan sunnah, dan untuk menganalisis
posisi-posisi utama yang dibangun terhadap isu-isu tersebut oleh orang Muslim
modern.
Bila disederhanakan, studi Brown ini akan terfokus
kepada wacana Inkarus-Sunnah. Inkar-Sunnah klasik akan diangkat untuk melacak
akar historisnya. Sedangkan Inkar-Sunnah modern merupakan pokok penelitiannya. Bila
dikaitkan dengan konsep sejarah gagasan, objek studinya mengarah kepada gagasan
Muslim tentang sunnah Nabi. Para pendukung dan penentangnya. Bagaimana kedua
kelompok ini mengekspresikan gagasan mereka dalam bentuk argumen-argumen,
praktik-praktik, dan pembentukan lembaga-lembaga tertentu. Serta akan dilihat
mengenai gagasan yang mencoba melestarikan (konservasi) gagasan lama,
argumen-argumen mereka, serta lembaga bentukan mereka. Interaksi dan dialektika
antara kedua pengusung gagasan itu akan menghasilkan perubahan ide. Utamanya dalam
argumen yang mereka susun. Baik bagi penentang maupun pendukungnya.
Kelompok-kelompok itu akan merasakan perubahan dalam ide-ide mereka.
Hal ini dapat dilihat dalam kesimpulan Brown mengenai
spektrum perubahan (the spectrum of change). Kutipan ini akan
menjelaskan itu,
“Pemikiran para penentang hadis berpengaruh penting
dalam wacana Islam, terutama di kawasan subbenua, tetapi pengaruh ini tidak
langsung dan tidak perlu dibesar-besarkan. Perkenalan sekilas dengan pemikiran
religius… semacam pemikiran Parwes atau Abu Rayyah tidak merebut hati dunia
Islam… hal ini bukan berarti bahwa ide-ide para penentang hadis tidak memiliki
pengaruh. Walaupun posisi mereka kalah, para penentang hadis menciptakan
term-term perdebatan dan menegakkan sentralitas sunnah dalam wacana Muslim
modern. Ide-ide para penentang hadis tampak mempengaruhi para pemikir lebih
moderat, terutama Maududi. Perhatian kontemporer terhadap masalah hadis dan
autoritasnya hanya dapat dimengerti dalam konteks kontroversi yang dipicu oleh
ide-ide penulis seperti Parwez dan Fazlur Rahman.
Pusat kontroversi dalam perdebatan mengenai sunnah
telah bergeser dari para penentang hadis ke kaum pembaru. Buku al-Ghazali dan
respons terhadap buku tersebut, baik yang positif maupun negatif, membuktikan
vitalitas pendekatan yang ditunjukkan al-Ghazali. Antusiasme dan kontroversi
yang ditimbulkan al-Ghazali mengisyaratkan bahwa ide-idenya signifikan. Barat
sering merasa gerakan pembaharu Muslim cenderung kepada kekerasan, memusuhi
kepentingan geopolitik Barat, dan berkomitmen kepada genda sosial yang
reaksioner… Barat salah menaggapi… visi pembaruan Islam bukan hanya selaras
dengan masa lalu Islam ideal, tetapi juga adaptif terhadap situasi modern
Muslim… pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah menjanjikan fleksibilitas dan
relevansi yang dikombinasikan dengan keautentikan. Visi ini sesuai dengan
meningkatnya tuntutan di Pakistan dan Mesir akan visi yang autentik Islam
sekaligus adaptif terhadap situasi modern… pendekatan para pembaru bukan
defensif, melainkan memandang ke depan dan yakin. Islam sedang mendapatkan
kembali inisiatif, sebuah cetak biru diperlukan untuk membimbing proses
ini.
Proses perubahan itu dimulai dari,
gerakan anti-hadis>>>respon dengan gerakan
pembelaan hadis>>>gerakan pembaruan mensitesakan kedua usulan gerakan>>>perlunya
otentifikasi Islam dan adaptasi dengan dunia modern.
Di sini, gerakan pembaruan lahir untuk menyesuasikan
landasan normatif Islam dengan tuntutan dunia modern (atau Barat?). Melalui
sejarah gagasan, sejarah intelektual, Daniel Brown mengidentifikasi beberapa
ide baru, inovatif, dan menjanjikan perubahan. Apakah benar gagasan para
pembaru menjanjikan perubahan?
Kembali kepada hubungan ilmu sejarah dan ilmu hadis
dalam konteks yang lebih luas. Inilah salah satu bentuk hubungan itu. Bahwa
pertemuan kedua disiplin tersebut memberikan sumbangan berupa wilayah kajian
lain, bukan saja pada teks hadis, sebagaimana kajian hadis pada umumnya yang
bersifat normatif. Di sini hadis hadir dalam konteks sosial-historisnya. Sikap
(ekspresi) kaum Muslim yang berbeda-beda mengenai hadis. Pertanyaannya, ini
kajian hadis, kajian sosial atau kajian sejarah? Kita bisa menjawab, ini kajian
sosial hadis.
Komentar
Posting Komentar