Metode Pemahaman Hadis dalam Lintasan Sejarah

M. Khoirul Huda

Artikel ini akan sedikit memaparkan tentang sejarah pemahaman hadis secara sepintas lalu. Sekadar menulis ulang tentang konsep pemahaman, bentuk hadis yang menjadi objek pemahaman, dan jajaran literatur yang pernah terlibat dalam wacana metode pemahaman hadis. 
   

Hadis sampai saat ini menjadi teks yang banyak dikutip oleh umat Islam, dan para pemerhati isu keislaman secara umum. Dalam setiap pengutipan selalu terjadi proses pembingkaian. Pembingkaian itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kerangka pandang seseorang yang lebih luas sehingga dengan menjadikan hadis berada dalam bingkai cara pandangnya, secara tidak disadari telah terjadi proses pemaknaan. Di sinilah pengutipan selalu disertai pemaknaan. Apa yang diinginkan oleh si pengutip adalah makna itu sendiri. Hadis menjadi simbol yang menjadi objek pemaknaan.
       Pengutipan hadis sama besarnya dengan pengutipan Alquran dalam ceramah-ceramah agama, khutbah, ceramah ilmiah seputar ilmu keislaman, artikel majalah, pamflet, pembacaan doa yang merupakan saduran dari hadis, dan lain sebagainya. Hadis-hadis yang dikutip itu senantiasa dimaknai oleh pengutipnya. Di sini, hadis tidak mati. Ia bahkan hidup dalam aktifitas manusia. Tidak heran bila model-model pemahaman hadis tidak terbilang jumlahnya. Bila diasumsikan hadis telah melewati masa seribu empat ratus tahun (empat belas abad) untuk sampai kepada masa kita sekarang, bisa dibayangkan berapa kali hadis itu dikutip dan dimaknai. Dari sini, metode pemahaman hadis sangat tidak terbatas. Karena proses pemahaman tidak akan pernah berhenti selama manusia masih menggunakannya.
       Artikel ini akan sedikit menyinggung sejarah pemahaman hadis secara sepintas lalu. Sekadar menulis ulang tentang konsep pemahaman, bentuk hadis yang menjadi objek pemahaman, dan jajaran literatur yang pernah terlibat dalam wacana metode pemahaman hadis. 

Pengertian Pemahaman Hadis        
Pemahaman merupakan kata benda (noun) yang merujuk pada proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan (KBBI).[1] Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, al-Fahm (الفهم) yang berarti mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb).[2] Ada pula yang mengartikannya dengan menangkap pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara (tasawwur al-ma’nā min lafz al-mukhatib).[3] Kata al-fahm semakna dengan kata understand,  graps, comprehend, realize dan see dalam bahasa Inggris yang berarti tahu, menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang terjadi secara tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian.[4] Sekalipun memiliki penekanan yang agak berbeda, seluruh kata di atas memiliki kesamaan pengertian yaitu timbulnya informasi/pengertian dalam kesadaran manusia. Proses timbul bisa jadi melalui usaha yang keras atau muncul tiba-tiba tanpa diupayakan. Baik informasi tersebut bersifat lengkap ataupun mengandung kekurangan. Informasi itu pastinya didahului oleh ketidakadaan kemudian menjadi ada. Dengan demikian pemahaman berarti timbulnya informasi dalam benak setelah sebelumnya tidak wujud.
       Pemahaman hadis mengarah pada proses, cara serta perbuatan memahami atau memahamkan hadis Nabi saw. Hadis dalam tema kita memiliki dua pengertian. Pertama, hadis dalam arti pernyataan lisan Nabi saw. Dalam konteks ini, pernyataan lisan itu muncul dari lisan Nabi saw. maupun dari lisan sahabat yang mengutip sabda beliau. Hadis dalam tradisi lisan ini, untuk konteks sekarang banyak ditemukan dalam doa-doa maupun pengutipan-pengutipa kaum Muslim dalam kehidupan kesehariannya. Kedua, hadis dalam pengertian teks tertulis. Hadis dalam kategori ini sudah ada sejak masa Nabi saw. dan lebih banyak lagi pasca wafatnya beliau. Bahkan ada kecenderungan semakin kebelakang, koleksi sabda tertulis Nabi semakin berkembang. Hal ini terjadi bersamaan dengan peralihan dari tradisi oral menuju tradisi literal. Pemahaman terhadap masing-masing jenis hadis ini tentu saja berbeda. Hadis-hadis yang disampaikan dalam bentuk oral misalnya, memiliki banyak alat bantu untuk lebih memahamkan pendengarnya. Berbeda dengan hadis jenis tulisan yang seringkali karena tidak disertai tanda baca, susunan spasi yang kurang tepat, maupun proses penyalinan yang tidak sempurna, menyebabkan munculnya masalah pemahaman. Belum lagi dengan ketiadaan pengetahuan akan konteks hadis. Hal ini lebih menyulitkan proses pemahaman.  

       Metode Pemahaman Hadis era Klasik
       Bila dirunut akar sejarahnya, praktik memahami hadis sudah muncul sejak beliau menyampaikan sabdanya kepada orang lain (baca: sahabat). Demikian pula setelah sabda beliau dikutip, diriwayatkan, lalu dipahami guna diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di sanalah proses memahami terjadi dan timbul cara-cara atau metode memahami yang semakin lama semakin sistematis dan kompleks. Para sahabat diyakini sebagai kelompok generasi yang paling baik dalam memahami sabda Nabi saw.[5] Hal ini tidak lain karena mereka merupakan pendengar langsung sabda Nabi tersebut.
       Metode pemahaman hadis berkembang mengikuti perkembangan sejarah hadis itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari lahirnya metode-metode operasional seperti nasakh atau jam’  yang berkembang dalam kajian hukum fikih. Metode lain yang berkembang adalah sejenis “kritik akal” menggunakan logika-logika tertentu terhadap kandungan hadis yang dikenal dalam perdebatan ilmu Kalam.[6]
       Pada fase pengumpulan hadis-hadis Nabi saw. dalam kitab-kitab kanonik –sekitar abad ketiga hijriah, metode pemahaman hadis dapat dilacak pada judul-judul bab yang dibuat oleh para pengumpul. Hal ini didasarkan pada asumsi para pengumpul memberikan tafsiran hadis pada judul yang mereka buat.[7]

     Metode pemahaman hadis juga dapat pula ditemukan dalam kitab kumpulan hadis tematik berdasar tema keilmuan tertentu seperti karya-karya dalam ilmu mukhtalif al-hadīṡ, gharīb al-ḥadīṡ, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa mansūkh al-aḥādīṡ. Metode yang dikembangkan dalam karya-karya tersebut kemudian diintegrasikan dengan disiplin keilmuan hadis lainnya dalam karya-karya kodifikatif ensiklopedi ilmu hadis (‘ulūm al-ḥadīṡ).[8]
       Dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ketika menjelaskan hadis, para komentator hadis (syurrāḥ al-ḥadīṡ) seringkali mengutip atau meminjam metode-metode yang dikembangkan dalam disiplin di atas. Secara kreatif mereka menggunakan metode-metode tersebut ketika menjelaskan hadis-hadis yang dimuat dalam buku-buku hadis yang sedang mereka syarahkan. Menurut Alfatih Suryadilaga tradisi syarah hadis muncul pada abad ketujuh Hijriah pasca kodifikasi hadis dan ilmu-ilmu hadis.[9]
       Metode Pemahaman era Modern
       Pertemuan kebudayaan Muslim dan Barat pada abad kesembilan belas menuntut kaum muslim banyak berfikir ulang mengenai otoritas sunnah/hadis sebagai bagian dari agama. Wacana otoritas ini mewarnai perdebatan ilmu-ilmu keislaman era modern. Perdebatan dalam ranah ini tidak kalah sengitnya dengan yang terjadi dalam problem otentisitas hadis. Implikasi pemikiran ini ialah penolakan sunnah sebagai sumber ajaran agama dalam batas paling ekstrem, pembatasan wahyu dalam konteks keduniaan, dan pemilahan posisi Nabi saw. dalam memahami hadis.[10] Menurut Daniel Brown, pada awalnya gerakan ini muncul di Subbenua India, kemudian timbul di Mesir.[11] Kelompok modernis-moderat yang masih menerima otoritas sunnah melakukan pemilahan antara sunnah yang bermuatan agama dan yang bukan agama. Selanjutnya, pemilahan peran Nabi saw. pun tak terelakkan menjadi metode pemahaman yang dikembangkan mereka.      
       Masa selanjutnya, studi-studi khusus mengenai metode pemahaman hadis mulai banyak dilakukan. Sejak tahun 90-an beberapa orang tokoh muslim dan lembaga berskala internasional mengadakan muktamar-muktamar mengembangkan kajian hadis (hadith studies).
       Ṭāha Jābir ‘Ulwanī dengan The International Institute of Islamic Though (IIIT)-nya secara konsisten mengembangkan metode-metode alternatif yang dapat membantu kelahiran pemahaman humanis atas sumber-sumber agama (Alquran dan hadis) agar sesuai dengan semangat kemanusiaan kontemporer. Lembaga ini telah melakukan beberapa langkah penting dalam kajian hadis melalui beberapa programnya, di antaranya upaya menggeser simpul-simpul perdebatan dalam kajian hadis. Di kalangan para pengkaji hadis, ada problem-problem yang sebenarnya sudah dianggap selesai oleh sejarah. Oleh sebab itu, umat Islam hanya membuang waktu ketika harus terus memperdebatkannya. Seperti problem otoritas sunnah dalam agama misalnya. Persoalan ini yang sudah dianggap selesai. Seluruh umat Islam saat ini meyakini bahwa sunnah merupakan bagian inti agama. Lembaga yang berpusat di London ini menerbitkan Ḥujjiyyat al-Sunnah (Otoritas Sunnah Nabi saw.) karya Prof. Abd Ghani Abd Khaliq, seorang pakar usul fiqh terkemuka, sebagai upaya penegasan atas ide tersebut. Problem kontemporer yang perlu ditanggapi ialah soal pemahaman terhadap otoritas tersebut.  Atas alasan tersebut, IIIT bekerja sama dengan tokoh-tokoh besar dunia Islam menerbitkan karya yang mengulas metode pemahaman hadis. Hasilnya, diterbitkannya karya Syaikh Muḥammad al-Ghazāli yang berjudul al-Sunnah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīṡ (Sunnah antara pemahaman kontekstual ahli fikih dan literalisme ahli hadis) dan Syaikh Yūsuf al-Qaraḍāwī yang menyumbangkan karyanya yang terkenal Kaifa Nata’āmal Ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah Maʻālim wa Ḍawābiṭ (bagaimana berinteraksi dengan sunnah Nabi: rambu-rambu dan batasannya).[12] Dua buku terakhir merupakan rintisan bagi dibukanya perdebatan mengenai metode pemahaman hadis di era kontemporer.
       Tidak lama setelah itu, Syuhudi Ismail di Indonesia juga mengembangkan langkah-langkah metodis untuk memahami hadis Nabi saw. Bukunya yang berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal meramaikan wacana metode pemahaman hadis di Indonesia pada kisaran tahun 90-an. Pada era selanjutnya, Ali Mustafa Yaqub menerbitkan karyanya Haji Pengabdi Setan yang salah satu artikelnya memuat metode-metode pemahaman hadis.[13]
       Metode pemahaman hadis di era kekinian mengalami pergeseran yang lebih jauh dengan diadopsinya pendekatan-pendekatan ilmu sosial-humaniora seperti sosiologi, antropologi, hermeneutik dan lainnya.[14] Melihat sejarahnya yang panjang, metode pemahaman hadis tentu saja menyuguhkan keragaman yang luar biasa. Saya menyadari, bahwa begitu sulit melakukan klasifikasi metode-metode tersebut. Namun hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan.



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.1
[2] Ibn Manzhur, Lisān al-‘Arab, Maktabah Syamilah Isdār Sanī versi 2.11
[3] Ali al-Jurjani, al-Ta’rifāt, Maktabah Syamilah Isdār Sanī versi 2.11
[4] Al-Maurid al-Qarīb, Syirkah al-‘Aris li al-Kumbuter dan Cambridge Advenced Learner’s Dictionary (third edition) 
[5] Sama seperti Alquran bahwa penafsiran terbaik ialah yang bersumber langsung dari Allah, Rasulullah, sahabat dan para ulama salaf. Hierarkhi semacam ini juga dikenal dalam tradisi pemahaman hadis. Lihat dalam Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazamul, ‘Ilm Syarḥ al-Ḥadīṡ wa Rawāfid al-Bahṡi Fīhi, (t.p., t.t), h. 27  
[6] Kitab Ikhtilāf al-Ḥadīṡ karya al-Syāfiʻī (204 H.) merupakan contoh yang baik tentang perkembangan metode pemahaman hadis yang muncul dari perdebatan-perdebatan hukum fikih. Karya Ibn Qutaibah al-Dīnawarī (276 H.) Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīṡ  di sisi lain menjadi contoh yang dapat mewakili metode yang berkembang di sekitar ilmu Kalam. Di sini, perkawinan hadis dengan fiqh atau kalam telah melahirkan seorang anak yang tidak disadari telah turut memperkaya kajian hadis itu sendiri.  
[7] Sebagai contoh dalam sebagian syarḥ al-Bukhāri dinyatakan, fiqh al-bukhāri fi tarajumihi (pendapat pribadi al-Bukhāri bisa dilihat pada judul bab yang dibuatnya) 
[8] Lihat dan bandingkan karya-karya ‘ulūm al-ḥadīṡ: al-Muḥaddiṡ al-Fāṣil, Ma’rifat ‘Ulūm al-Ḥadīṡ, Muqaddimah ibn Ṣalāḥ, Taqrīb al-Nawawī, Iktiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ karya Ibn Kaṡīr, Tadrib al-Rāwī karya al-Suyūṭī. 
[9] Lihat misalnya dalam M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta: Suka Press, 2012), cet. ke-1, h. x 
[10] Tantangan Modernitas Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Otoritas Islam, Diambil dari http://www.slideshare.net/mazizaacrizal/tantangan-modernitas-terhadap-sunnah-sebagai-sumber-otoritas-islam. Tanggal 27 Mei 2013, jam 16.54. lihat juga dalam Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sariani Muslim (Bandung: MIZAN, 2000). 
[11] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sariani Muslim (Bandung: MIZAN, 2000). 
[12] Yūsuf al-Qaraḍāwī, Kaifa Nataʻāmal Maʻa al-Sunnah al-Nabawiyyah Maʻālim wa Ḍawābiṭ, (Herndon: al-Maʻhad al-‘Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992), cet. ke-5. 
[13] Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),  cet. ke-3. 
[14] Sebagai contoh buku yang mencoba memparkan pendekatan-pendekatan tersebut ialah, Said Agil al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), cet. Ke-1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api