Macam-Macam Disabilitas yang Dialami Ulama Ahli Hadis
Para penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas
terbesar di dunia. Menurut data World Healt Organization (WHO), jumlah kelompok
disabilitas mencapai 650 juta penduduk dunia. Kebanyakan berada di negara-negara
berkembang. Jumlah ini akan semakin membengkak di masa depan bersamaan dengan
tumbuhnya kelompok lanjut usia (lansia) dimana mereka akan mengalami proses
degradasi kesehatan secara bertahap. Pada akhirnya, mereka juga akan menjadi
bagian dari kelompok disabilitas.
Kelompok disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang
rentan mengalami diskriminasi. Hal ini menjadi perhatian dunia internasional
sejak tiga dekade belakangan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
mengeluarkan sejumlah resolusi sejak 1971 yang mengupayakan perbaikan situasi
bagi para penyandang disabilitas.
Resolusi itu mendapat dukungan dari negara-negara Muslim.
Kuwait misalnya, mencanangkan deklarasi Arab tentang bekerja bersama kaum
disabel (Arab Declaration on Work with the Disabled) pada tahun 1981.
Dilanjutkan dengan Konferensi Regiola Kesehatan Jiwa dalam Beragam Kitab Hukum,
khususnya hukum Islam pada tahun 1997. Pada 2001, dilaksanakan Konferensi
Regional bertema “Rehabilitasi Disabilitas dan Kepedulian untuk Lansia di dunia
Islam: Strategi untuk menghadapi abad 21” yang diselenggarakan oleh Dewan Dunia
Islam untuk Disabilitas dan Rehabilitasi yang berpusat di Khartoum, Sudan.
Selanjutnya, negara-negara Islam mulai mengembangkan kebijakan khusus untuk
menangani isu disabilitas.
Para sarjana Muslim juga mulai menggali khazanah
pengetahuan dan kebudayaan Islam untuk menemukan alternatif-alternatif
penanganan disabilitas yang berkeadilan. Sebagai misal, mulai diperkenalkan
istilah fiqh disabilitas yang pada tahun 90-an disebut dengan istilah fiqh
al-i’aqah wal mu’awwaqah. Studi-studi tentang bagaimana Islam merespon isu
disabilitas mulai dilakukan terhadap sumber-sumber ajaran Islam, sejarah dan
kebudayaan, serta praktik yang pernah ada di dunia Islam.
Mohammed Morad, Yusuf Nasri,
dan Joav Merrick mempublikasikan artikel mereka tentang “Islam and the Person
with Intellectual Disability” (2001). Majid Turmusani menulis artikel jurnal
“Disabled Women in Islam: Middle Eastern Perspective” (2001). Maysaa S. Bazna
dan Tarek A. Hatab mempublikasikan tulisan mereka berjudul “Disability in the
Qur’an: The Islamic Alternative to Defining, Viewing, and Relating to
Disability” (2005). Mohammed Ghaly melalui karyanya yang merupakan disertasi
berjudul “Islam and Disability Perspectives in theology and jurisprudence”
(2010). Kristina L. Richardson menulis Difference and Disability in the
Medieval Islamic World Blighted Bodies (2007). Darla Schumm dan Michael
Stoltzfus mengeditori buku berjudul Disability in Judaism, Christianity, and
Islam Sacred Texts, Historical Traditions, and Social Analysis (2011). Sara
Scalenghe menulis Disability in the Ottoman Arab World, 1500–1800
(2014). M. Khoirul Huda menulis Para Ahli Hadis Difabel (2015). Khairunnas
Jamal, Nasrul Fatah, dan Wilaela menulis “Eksistensi Kaum Difabel Dalam
Perspektif Al-Qur’an” (2017). Muhammad Alfatih Suryadilaga “Disability
and the Quest for Authority in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari”
(2019). Kabira Masotta menerbitkan
karyanya “Disability in Islam: a Sufi perspective” (2021).
Jauh sebelum para sarjana islamic studies modern menulis
karya tentang disabilitas di dunia Islam, tokoh seperti Al-Shafadi (w. 764 H.)
telah menulis Nukats al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Al-Jahizh (w. 255 H.) menulis al-Burshan wal urjan
wal-umyan wal haulan. Kedua karya ini dinilai sebagian sarjana sebagai
karya orisinal. Beberapa abad berikutnya
Ibn Fahd (w. 1547) menulis kitab Al-Nukat
al-Ziraf fi al-Mau‘izhah bi Dzawi al-‘Ahat min al-Asyraf.
Apa Itu Disabilitas?
Disabilitas yang diambil dari kata dis-ability berarti
ketiadaan kemampuan. Hal ini merujuk kepada kondisi seseorang yang memiliki
kekurangan, terutama secara fisik dan mental. Kekurangan fisik dan mental itu
sendiri memiliki banyak faktor dan ragam. Umumnya, hal itu akan menghambat
aktifitas dan membuat penyandangnya tertinggal dari kelompok masyarakat yang
dinilai ‘normal’. Faktor disabilitas
dapat berupa faktor bawaan lahir dan dapat pula berupa akibat penyakit atau
sebuah insiden yang berakibat fatal.
Dalam bahasa Indonesia, disabilitas pada mulanya disebut
“penyandang cacat” seperti dalam UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Ini
menimbulkan kekurangnyamanan sehingga diusulkan diganti dengan penyandang
ketunaan. Tetapi, pada akhirnya pemerintah mengubah istilah ini menjadi
penyandang disabilitas seperti tertuang dalam UU
No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam bahasa Arab modern, disabilitas disebut dengan
sejumlah istilah seperti I’aqah, ta’wiq, mu’awwaq, dzawu al-ihtiyaj al-khassh, al-fi’ah
al-khassh dan al-afrad ghairu al-‘adiyyin. Dalam bahasa Arab klasik disebut
dzawul ‘ahat dan ahlul a’dzar. Dalam literature klasik, sebenarnya tidak ada
istilah khusus untuk menyebut disabilitas. Biasanya, digunakan nama-nama
penyakit yang diidentifikasi berdampak pada disabilitas bagi para
penyandangnya; seperti syalal, khabal, ‘araj, dan zamin untuk penyakit fisik.
Majnun, ahmaq, ma’tuh, dan akhraq untuk yang mengalami gangguan mental. Istilah
Ama’, shamam, dan kharas digunakan untuk menyebut gangguan indera.
Sebagian sarjana memandang bahwa Al-Quran tidak memiliki
konsep umum tentang disabilitas; karena itu, kita perlu mengidentifikasi
kata-kata tertentu yang mengetahui pandangan Al-Quran tentang isu ini. Demikian
pula dalam hadis-hadis Nabi SAW yang belum diketahui konsep umum untuk menyebut
disabilitas ini.
Ulama Hadis dan Disabilitas
Dalam literatur yang telah disebut di atas, para sarjana
telah menggali bagaimana perspektif Islam terhadap disabilitas. Baik dalam
perspektif teologis, hukum, maupun sejarah. Demikian pula kajian disabilitas di
dunia Islam sebagai sebuah praktik.
Saya telah menulis buku kecil berjudul Para Ahli Hadis
Difabel (2015), namun lebih menyoroti para ahli hadis tuna netra. Sedangkan
Alfatih Suryadilaga menulis “Disability and the Quest for Authority
in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari” (2019). Kedua tulisan ini
sepakat bahwa disabilitas bukan penghalang untuk terlibat dan berkontribusi
dalam kesarjanaan hadis serta menjadi otoritas di bidang ini. Saya menemukan
dalam kitab rijalul hadis (biografi para perawi), ada puluhan perawi yang
berstatus penyandang disabilitas mata. Alfatih mencatat bahwa ahli hadis
terkemuka, Imam al-Bukhari, dan sahabat Nabi yang dikenal sebagai rujukan Ibnu
Abbas, keduanya adalah penyandang disabilitas.
Dalam
konteks ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk menyadari bahwa ternyata keterlibatan
para penyandang disabilitas dalam pengembangan kesarjanaan hadis lebih luas
dibanding yang sudah dikaji. Dalam kitab-kitab rijalul hadis, kita dapat menemukan
lebih banyak jenis disabilitas yang dialami para ahli hadis klasik. Diketahui
sejumlah nomenklatur seperti ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham yang ternyata
merupakan kategori disabilitas. Karena itu, kata kunci untuk menelusuri lebih
jauh keberadaan para ahli hadis difabel dapat semakin diperluas.
Sebenarnya,
para ulama telah mengompilasi daftar para perawi difabel. Misalnya, Syekh Shalahuddin
al-Ala’i (w. 761 H.) menyusun satu kitab khusus tentang para perawi yang
mengalami ikhtilath (gangguan ingatan yang berdampak pada bercampurnya riwayat)
berjudul Al-Mukhtalithin. Kitab ini memuat sebanyak 46 orang perawi yang
diidentifikasi sebagai disabilitas jenis ini.
Setelahnya,
Al-Hafizh Burhanuddin Sibthu Ibnul Ajami (w. 841 H.) mengembangkan kitab tersebut
dengan menambahkan daftar para ahli hadis difabel intelektual menjadi 123 orang
dalam kitab al-Ightibath Bi Man Rumiya Min al-Ruwah Bi al-Ikhtilath. Dalam
kitab ini, Ibnul Ajami mencatat pada urutan terakhir, ahli hadis yang menjadi
difabel intelektual adalah seorang ulama perempuan bernama Sakan binti Abdullah
(w. 785 H.). Ia dikenal dengan gelar Qathrun Nabat. Ia adalah bekas budak
Jamaluddin Muhammad bin Ali bin Abdun Nur al-Syadzili. Ibnul Ajami mencatat
bahwa Sakan binti Abdullah mengalami difabel intelektual pada masa tuanya,
sebelum ia meninggal dunia dan dimakamkan di Kairo, Mesir. Ini merupakan
fenomena disabilitas yang dialami lansia pada umumnya.
Disabilitas
Fisik dan Intelektual
Para
ahli hadis, seperti komunitas lain di dunia manusia, ada yang mengalami
disabilitas fisik dan ada pula yang mengalami disabilitas intelektual. Gangguan
intelektual misalnya dapat ditemukan pada para perawi yang mengalami ghaflah,
ikhtilath, dan wahm/auham. Sedangkan gangguan disabilitas fisik dapat ditemukan
pada para perawi yang diidentifikasi sebagai a’raj, ashamm, ahrad, ahwal,
a’sam, dan asyall.
Auham:
Jenis Disabilitas Paling Banyak Dialami Ahli Hadis
Dengan
menggunakan kata kunci “auham”, kita akan menemukan dalam kitab Taqrib
al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, sebanyak 87 orang ahli hadis menderita
jenis disabilitas ini. Jumlah ini lebih banyak dibanding yang mengalami
fenomena ghaflah maupun ikhtilath. Ghaflah hanya ditemukan menimpa 7 orang.
Sedangkan ikhtilath, seperti disebut sebelumnya, menimpa sebanyak 123
berdasarkan kitab Al-Ightibath. Sedangkan berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib,
terdapat 22 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa auham adalah jenis
disabilitas paling banyak menimpa para ahli hadis.
Auham
merupakan bentuk jamak dari kata wahm. Wahm secara bahasa berarti situasi
ketika hati seseorang memutuskan sesuatu tetapi sebenarnya ia menghendaki
pilihan lain (ma sabaqa ilaihi al-dzihnu ma’a iradati ghairihi). Dalam
terminologi ilmu hadis wahm berarti kesalahan kecil dalam periwayatan hadis.
Jika ia melakukan banyak kesalahan kecil, maka para ahli hadis akan menyebut
seorang perawi sebagai lahu auham (dia memiliki banyak kesalahan kecil). Dalam
posisi ini, terkadang seorang perawi diturunkan kualifikasinya; dari tsiqah
(terpercaya) menjadi shaduq (banyak benarnya). Jika tsiqah dapat membuat sebuah
hadis berkualitas sahih, maka shaduq menurunkannya menjadi bernilai hasan.
Disabilitas
Fisik di Kalangan Ahli Hadis: Kasus A’raj dan Ashamm
Disabilitas
fisik memiliki empat macam kelainan: Kelainan tubuh (tuna daksa), indera
penglihatan (tuna netra), pendengaran (tuna rungu), dan bicara (tuna wicara). Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
Di kalangan ahli hadis, disabilitas fisik
merupakan fenomena yang banyak dijumpai. Berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib,
ditemukan sejumlah kategori disabilitas fisik seperti a’raj, ashamm, ahwal,
a’sam, ahrad, dan asyall. Ditemukan mereka yang menderita a’raj sebanyak 31
orang perawi. Ashamm sebanyak 17 orang. Ahwal 15 orang. A’sam 1 orang, ahrad 1
orang, asyall 4 orang.
Para ulama ahli hadis
yang mengalami al-a’raj ditemukan sebanyak 31 orang. Al-A’raj berarti orang
yang kakinya bermasalah sehingga membuatnya terpincang-pincang saat berjalan.
Ashamm yang secara statistik berada di urutan kedua setelah a’raj, berarti
faqid al-sam’i atau kehilangan kemampuan mendengar pada telinga (tuna rungu,
tuli). Ahwal digambarkan dalam kamus bahasa Arab merupakan bentuk kelainan mata
seperti juling. A’sam adalah berarti
pinjang karena ada kelonggaran dalam sendi kaki. Ahrad adalah gangguan yang
terjadi pada kaki sehingga membuat pemilik kaki berjalan pincang. Asyall adalah
mushab fi ‘udhwin min a’dha’ihi bi al-syalal yaj’aluhu ‘ajizan ‘an al-harakah
yang berarti penyakit di bagian tubuh yang membuat anggota tubuh tak mampu
bergerak (lumpuh).
Demikian ulasan singkat tentang ulama ahli hadis yang
mengalami disabilitas. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita serta
menyadari bahwa sejatinya tiada orang yang sempurna. Para ahli hadis merupakan
manusia biasa yang sebagian di antara mereka adalah penyandang disabilitas.
Baik fisik maupun intelektual.
Komentar
Posting Komentar