Kitab Kuno Tentang Disabilitas yang Ditulis Ulama Klasik, Kisah Para Pemimpin Lepra dan Buta
Sebagian orang berfikir bahwa kesarjanaan Muslim kurang menaruh perhatian terhadap isu disabilitas. Ada asumsi yang dikembangkan bahwa hal itu karena sumber utama Islam, Al-Quran dan Hadis, tidak memberikan penekanan yang cukup untuk memperhatikan isu ini. Setidaknya, Al-Quran dan Hadis tidak punya istilah yang setara dengan disabilitas. Hal ini berakibat pada sulitnya mengakses informasi dan pandangan kedua teks suci tersebut mengenai penanganan disabilitas.
Asumsi ini kurang
tepat karena ada cukup banyak nomenklatur yang mengarah kepada bentuk-bentuk
disabilitas yang kita temukan dalam Al-Quran dan Hadis. Al-Barash, al-judzam,
tha’un, jarab, hashbah, dan judari adalah beberapa istilah dalam hadis Nabi
SAW. Sedangkan Al-Quran menyebut umyun (kebutaan), summun (tuli), bukmun (bisu), a’raj (pincang), dan lainnya. Al-Quran
dan Hadis menyajikan sejumlah panduan etis bersinggungan dengan orang dengan
disabilitas, buta misalnya. Al-Quran mengajarkan bahwa hendaknya kaum beriman
tidak keberatan makan bersama penyandang disabilitas mata (Qs. An-Nur:
61).
Secara
umum, para sarjana kontemporer berbeda pendapat apakah Al-Quran memiliki sikap
positif terhadap disabilitas atau sebaliknya. Majid Turmusani menilai bahwa
Al-Qur’an mengadopsi sikap negatif terhadap penyandang disabilitas. Berbeda
dengan Rispler-Chaim yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang digunakan Majid
Turmusani merujuk pada cacat secara metaforis. Bukan arti harfiah. Namun, dia
menyimpulkan bahwa masih belum pasti dalam pandangannya apakah ayat-ayat ini
merujuk pada cacat nyata atau metafora.
Terlepas dari
bagaimana teks sumber utama Islam menggambarkan atau dikesankan
menggambarkan tentang disabilitas,
pada kenyataannya, para ulama Muslim ada yang mendedikasikan hidupnya untuk
mengkomplilasi berbagai hal tentang disabilitas. Hal ini seperti dapat dilihat
dalam sejumlah karya tulis (kitab) yang membahas disabilitas dalam perspektif
tradisi Islam.
Di sini, penulis
akan memaparkan kitab yang ditulis para ulama klasik dan berkaitan dengan isu
disabilitas dalam Islam. Ketiganya adalah al-Burshan wa al-‘Arajan wal ‘Umyan
wal Hulan karya Al-Jahizh (w. 255 H.) dan Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan karya Shalahuddin
al-Shafadi (w. 764 H.).
Al-Burshan wa
al-‘Arajan Wal ‘Umyan, Ensiklopedi Pertama Para Penyandang Disabilitas Sukses
Penulis kitab ini
bernama lengkap Abu Utsman Amr bin Bahr al-Jahizh (150-255 H.). Ia adalah orang
Basrah, Irak. Ia dikenal sebagai seorang teolog Muktazilah, zoologis, sastrawan
dan budayawan era Abbasiyah. Ia menulis dalam banyak bidang.
Karyanya yang
berbicara tentang disabilitas adalah Al-Burshan Wa al-‘Arajan Wa al-‘Umyan Wa
al-Hulan (Para penderita lepra, pincang, kebutaan dan juling). Al-Jahizh
merupakan penulis yang punya kebiasaan menulis kitab untuk dihadiahkan kepada
orang-orang besar pada zamannya. Namun tidak diketahui untuk siapa ia menulis
buku ini. Al-Burshan berarti orang-orang yang mengalami penyakit belang akibat
lepra. Berbagai bentuk penyakit diulas dalam kitab ini. Al-Jahizh sendiri
sebenarnya adalah seorang penyandang disabilitas. Ia mengalami paralisis atau
kelumpuhan total pada tubuhnya. Dikisahkan, ia wafat di perpustakaan pribadinya
setelah tertimpa tumpukan buku. Sebutan al-Jahizh sendiri berarti orang yang kedua matanya keluar (penyakit eksoftalmus). Disabilitas yang
dialaminya sering membuatnya menjadi bahan olok-olokan orang.
Al-Jahizh
menyusun kitab ensiklopedi disabilitas bukan untuk mendiskreditkan para
penyandangnya. Bahkan, ia bertujuan untuk menghadirkan gambaran yang baik
(positif) terhadap para penyandang disabilitas dan menunjukkan bahwa penyakit
yang mereka derita tidak dapat menjadi penghalang antara mereka dan orang-orang
yang mulia atau kemuliaan. Al-Jahizh menghadirkan syair Arab kuno dan
kontemporer untuk memperkuat pandangannya. Bahkan, menunjukkan bahwa sebagian
penyakit dapat menjadi sumber kemuliaan, pujian dan idolaisasi.
Misalnya, ia
menghadirkan pembahasan berjudul wa minal burshan al-ladzina fakharu bil barash
(Orang yang bangga dengan penyakit lepranya), min man fakhira bil barash min
al-ru’asa wal-syu’ara’ (pemimpin dan seniman yang berbangga dengan bekas
lepra), minal burshan al-sadah wal-qadah (orang lepra yang menjadi pemimpin).
Al-Jahizh mencatat nama-nama tokoh besar pada masa lalu dan pada zamannya yang
bangga dengan lepranya. Penghadiran nama-nama tokoh besar menunjukkan bahwa
disabilitas akibat penyakit lepra bukan penghalang untuk mendapatkan posisi
yang sejajar di masyarakat. Terbukti, bahwa ada orang-orang besar yang bertahan
dengan lepra dan mereka menjadi pemimpin di masyarakatnya. Mereka berasal dari
golongan politisi, sastrawan, panglima perang, ilmuwan dan ahli hadis, dan
lainnya.
Bagian kedua
kitab ini berbicara tentang orang-orang yang mengalami disabilitas fisik berupa
kepincangan (al-‘arajan). Al-Jahizh menghadirkan nama-nama tokoh besar dari
kalangan politisi, sastrawan, ulama, petapa (zahid), dan bangsawan-bangsawan
pincang. Uniknya, al-Jahizh mencoba menghadirkan keindahan pincang dengan
menjelaskan berbagai jenis pincang, kemiripannya dengan keindahan hewan-hewan
tertentu. Mengingat Al-Jahizh adalah seorang zoologis, tidak heran gambarannya
tentang disabilitas pincang berhasil mengubah perspepsi negatif tentang
pincang.
Selanjutnya,
kitab al-Burshan wal-‘Arajan menyajikan berbagai macam jenis postur tubuh,
ukuran anggota tubuh yang ideal, ragam cara berjalan, dan jenis-jenis penyakit
yang dikenal pada zamannya. Ulasan seputar kebutaan dan kejulingan tidak begitu
banyak. Ulasannya tentang kebutaan berkaitan dengan upaya membangun sikap
positif terhadap ‘kekurangan’ ini. Hal ini karena kebutaan adalah penyakitnya
orang-orang mulia. Dalam ulasan tentang Al-‘Umyan al-Asyraf (para tokoh besar
tuna netra), al-Jahizh menyebutkan di antara tokoh besar yang buta adalah: Nabi
Syuaib, Abdul Muthallib bin Hasyim, Abbas bin Abdul Muthallib, Abdullah bin
Abbas, Abu Sufyan bin Harb, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Arqam, Al-Hakam
bin Abil Ash, Al-Harits bin Abbas, Utban bin Malik, Amr bin Ummi Maktum,
al-Bara’ bin ‘Azib, Ka’b bin Malik, Hissan bin Tsabit, Abdullah bin Abi Aufa,
Qatadah bin Nu’man, Abu Abdurrahman al-Sulami, dan Abu Usaid al-Sa’idi.
Naktu
al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan: Ensiklopedi Disabilitas Mata Terlengkap
Kitab Naktu
al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Ada yang mengejanya “naktsu al-humyan”. Nama ini berarti mengeluarkan
sesuatu dari kantong, tentang biografi para tuna netra dalam sejarah Islam.
Kitab ini disusun oleh Shalahuddin Khalil bin Ubaik bin Abdullah Al-Shafadi (w.
764 H./1363 M.). Seorang yang berasal dari kawasan Shafad, Palestina. Ia hidup
pada era Kesultanan Mamluk. Gurunya adalah ulama-ulama Sunni berpengaruh
seperti Taqiyyuddin Al-Subki (w. 756 H.), Badruddin Ibnu Jama’ah (w. 733 H.),
Al-Mizzi (w. 742 H.), Al-Dzahabi (w. 742 H.), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H.).
Tentang kitab
ini, situs al-Warraq mencatat: tarjama fihi al-shalah al-shafadi li masyahiri
al-‘umyan mundzu al-jahiliyyah wa hatta ‘ashrihi murattaban ‘ala huruf
al-mu’jam, wa ja’ala lahu ‘asyra muqaddimat tanawala fiha al-‘ama min mukhtalaf
al-nawahi al-lughawiyyah wa al-thibbiyyah wa al-adabiyyah wa ma yata’allaqu bi
dzalika min al-ahkam (Shalahuddin
Al-Shafadi menulis profil orang-orang terkenal yang tuna netra. Sejak era jahiliyyah
hingga zaman ia hidup. Kitabnya disusun berdasarkan urutan abjad. Dalam
pengantar, ia membuat puluhan sub bab yang menjelaskan berbagai segi kebutaan
seperti aspek bahasa, kesehatan, sastra dan hal-hal yang berhubungan dengan
hukum).
Seperti
disebut di atas, kitab ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama
merupakan pengantar. Pengantar ini memiliki 10 sub bab yang menjelaskan
kebutaan dari berbagai aspeknya; mulai dari bahasa, kesehatan, sastra hingga
hukum. Bagian kedua membahas tentang biografi para tokoh besar dalam sejarah
yang mengalami kebutaan.
Motivasi
penulisan kitab ini adalah dorongan dari para tamu dalam forum kajian yang
disampaikan Al-Shafadi. Dimana ia telah membaca karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H.),
Al-Khathib al-Baghadi (w. 463 H.) dan Ibnul Jauzi (w. 597 H.) tentang daftar
tokoh-tokoh besar yang tuna netra. Para tokoh itu adalah para nabi, leluhur dan
keluarga Nabi, sahabat dan para ulama setelahnya. Para tamu mendorong
Al-Shafadi untuk mengumpulkan lebih banyak lagi tokoh-tokoh tuna netra dalam
sejarah Islam. Ia menyanggupi permintaan itu.
وجرى يوماً في بعض اجتماعاتي بجماعة من الأفاضل ذكر فصل
استطردت بذكره في شرح لامية العجم. ذكرت فيه جماعة من أشراف العميان، قال لي بعض
من كان حاضراً: لو أفردت للعميان تصنيفاً تخصّهم فيه بالذكر، لكان ذلك حسناً. فحداني ذلك الكلام، وهزّت عطفي نشوة هذه المدام، على إن عزمت على جمع هذه
الأوراق، في ذكر من أمكن ذكره أو وقع إليّ خبره وسميته: نكت الهميان في نكت
العميان
Pada suatu hari
terjadi pertemuan antara saya dengan perkumpulan orang-orang terhormat, saya
menyampaikan sebuah bab pembahasan kitab Syarah Lamiyah al-‘Ajam. Saya menyebut
di dalamnya ada segolongan orang-orang terhormat “Asyraf” yang tuna netra.
Sebagian orang yang hadir berkata kepada saya, “Sebaiknya anda menyendirikan
pembahasan tentang tokoh-tokoh tuna netra secara khusus. Niscaya itu bagus.”
Perkataan itu mendorong aku. Menggoncang perasaanku. Saya bertekad untuk
mengumpulkannya dalam lembaran kertas sebanyak mungkin daftar tokoh yang bisa
disebut atau diketahui informasinya. Saya menamai kitab ini dengan “Naktu
al-Humyan fi Nakti al-‘Umyan”. (hlm. 8).
Salah satu kisah
yang dihadirkan tentang kebutaan adalah kisah tentang kekejaman intrik politik
era Abbasiyah. Setidaknya, ada dua orang khalifah Abbasiyah yang berakhir
dengan disabilitas. Ibrahim bin Ja’far Abu Ishaq al-Muttaqi Lillah bin
al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid (297-357 H.). Ia naik tahta pada tahun 329 H. Menggantikan
saudaranya, Al-Radhi Billah. Ia lalu diturunkan pada tahun 333 H. Ia pernah
kabur hendak ke Mesir, namun tertangkap di Raqqah, Suriah.
Ia dibujuk oleh
Jenderal Turki bernama Tuzun. Tuzun berjanji tidak akan mencelakakannya. Tuzun
ingkar janji. Setelah sampai Baghdad, Tuzun menangkap Ibrahim bin Ja’far. Mata
Ibrahim bin Ja’far dibutakan namu tidak membunuhnya. Jenderal Tuzun mengangkat
adik Ibrahim bin Ja’far yang bernama al-Mustakfi Billah (w. 338 H.) sebagai khalifah.
Di kemudian hari, Al-Mustakfi Billahi dikhianati oleh Jenderalnya yang lain,
yaitu Muizzud Daulah Ahmad bin Buwaih. Al-Mustakfi Billah ditangkap dalam sebuah intrik, dipenjara di istananya sendiri, lalu
dibutakan matanya. Ia meninggal setelah empat tahun disekap dalam istana. Jadi,
ia menjabat sebagai khalifah dari 333-334 H. Hanya setahun. Ia lebih cepat
meninggal dibanding saudaranya.
Kisah tragis di balik
disabilitas yang disandang sang khalifah. Disabilitas yang timbul akibat
pengkhianatan para jenderal. Para khalifah, yang saat ini digambarkan oleh
sebagian kelompok Muslim sebagai era paling indah dalam sejarah Islam,
menyimpan beragam intrik politik yang kejam. Kita juga tahu pada akhirnya,
bahwa penguasa sebenarnya bukanlah para pemimpin tertinggi dalam sebuah negeri.
Tetapi, para jenderal di lingkaran istana.
Demikian ulasan
tentang dua kitab mengenai disabilitas dari era kuno Islam. Satu dari abad
ketiga hijriah. Satu lagi dari abad keempat belas hijriah. Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar