Transendensi Citra Nabi dalam Kitab al-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mustafa Karya Al-Qadhi Iyadh


Ada empat cara bernalar yang dimainkan dalam kitab ini, yaitu nalar atau logika transendental, sublimasi, diferensiasi dan terakhir logika kuasa (power).  



Pendahuluan
Nama al-Qadhi Iyadh ketika penulis ngaji sorogan kitab kuning dulu di Pesantren tidak jarang disebut dan pandang-pandangannya sering dikutip dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, sehingga nama al-Qadhi Iyadh ini tidak asing lagi dalan memori kolektif kaum santri. Padahal, jika melihat background mazhab dan akademisnya, al-Qadhi Iyadh adalah penganut mazhab Maliki dan juga lebih populer dikategorikan sabagai pakar hadis dan ulum al-Hadis. Sebagaimana format keilmuan ulama terdahulu yang tidak mengenal spesialisasi di bidang-bidang tertentu seperti sekarang, hal itu juga berlaku pada diri al-Qadhi Iyadh. Sehingga, mengerucutkan al-Qadhi Iyadh sabagai pakar hadis, misalnya, penulis rasa terlalu menyempitkan kompleksitas disiplin keilmuan yang dimilikinya. Hal itu disebabkan karena selain pakar hadis, beliau juga pakar fiqih dan ushul fiqih, bahasa, sastra, tafsir dan ulum al-tafsir dan lainnya. Kualitas keilmuannya lintas disiplin, bahkan juga dapat dikatakan lintas mazhab. Untuk menunjukkan yang terakhir ini, dengan cukup sederhana akan mudah terjawab karena pendapat-pendapatnya sering dikutip dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah sebagai referensi, meskipun beliau sendiri adalah Maliki. Sebagai penghormatan terhadap beberapa disiplin keilmuan yang kuasainya, lebih objektif jika dirinya dikatakan sebagai “multididsiplin” atau apalah namanya, yang penting tidak memiskinkan keluasan keilmuannya pada kategori khusus yang sempit.        
Juga, selain personal yang multidisiplin, beliau juga sangat produktif dalam menghasilkan karya. Banyak karya yang telah dihasilkan dari buah keluasan ilmunya. Bahkan, karya yang dihasilkannya tidak dapat ditandingi oleh ulama yang semasa dengannya, baik secara kualitas dan kuantitas. Salah satu karya terbaik yang eksis  sampai sekarang adalah kitab al-Syifa. Kitab ini mendapat apresiasi yang bagus dari lapisan ulama dan masyarakat luas sampai sekarang. Mulai dari Maghrib hingga Masyriq. Juga poularitas kitab ini melampaui lintas generasi dan mazhab. Al-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala’ mengatakan bahwa kitab ini adalah karya yang bagus nan indah, meski al-Dzahabi juga menyayangkan beberapa riwayat yang tercantum di dalamnya karena dianggap validitasnya yang tidak bisa dipertnggungjawabkan.[1] Namun, terlepas dari kekurangannya, kitab ini tetap berada dalam jajaran karya-karya yang diperhitungkan, juga menjadi referensi lintas mazhab dan generasi. Tidak sedikit sebuah karya lahir karena terinspirasi dari kitab ini, baik yang bentuknya berupa syarh dari kitab ini maupun yang bentuknya berupa karya utuh namun terinspirasi dari kitab ini. Di antara karya yang bentuknya berupa syarah dari kitab al-Syifa ini adalah sebagai berikut; (1) Nasim al-Riyadh fi Syarh Syifa al-Qadhi Iyadh, karya al-Shihab al-Khafaji, (2) Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, karya al-Malla Ali al-Qari al-Harawi al-Hanafi, (3)   Al-Madad al-Fayadh, karya al-Syaikh Hasan al-Adawi al-Hamzawi, (4) Muzil al-Khafa An al-Alfadz al-Syifa, karya al-Allamah Taqiyuddin ahmad bin Muhammad bin Hasan al-Syamni al-Tamimy al-Dari al-Hanfi, (5)  Al-Muqtafa fi Hilli al-Fadz al-Syifa, karya al-Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Khalil al-Halbi Sabth bin al-Ajami, (6)  Manahil al-Syifa fi Takhrij Ahadis al-Syifa, karya al-Imam al-Suyuthi.[2]
Namun, dari berbagai kitab syarh dari kitab al-Syifa, dalam kajian ini penulis tidak menjadikan rujukan primer karena beberapa kendala, di antaranya keterbatasan untuk mengakses kitab-kitab syarh tersebut. Satu-satunya kitab syarh yang dimiliki penulis dan dijadikan referensi adalah kitab Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh karya al-Malla Ali al-Qari. Dalam kajian ini, penulis langsung mengeksplorasi kitab al-Syifa dengan sedikit dibantu oleh kitab-kitab syarh yang ada. Namun begitu, semoga dalam keterbatasan referensi tidak mengurangi kualitas kajian ini. Amin.

Biografi Penulis
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh bin Amrun bin Iyadh bin Muhammad bin Abdullah bin Musa bin Iyadh al-Yahshabi al-Andalusi al-Maliki.  Beliau merupakan ulama Maghrib dan pakar hadis di masanya. Beliau dilahirkan di sebuah kota bernama Sabtah (sekarang Ceuta), berasal dari Andalus lantaran kakek-kakek beliau tinggal di Andalus. Akan tetapi mereka pindah ke sebuah kota bernama Fes, kemudian menetap di daerah Kairouan. Beliau lahir pada bulan Sya’ban tahun 496 H. Dan beliau wafat  di Marrakech pada bulan Jumadil Akhir. Ada juga yang mengatakan pada bulan Ramadhan di tahun 544 H. Beliau wafat lantaran diracuni. Ada juga yang mengatakan diracuni oleh seorang Yahudi[3]. Menurut al-Dzahabi, beliau wafat karena dipanah.[4] Sedangkan gelar beliau adalah al-Imam, al-Allamah, al-Hafidz al-Auhad, Syaikh al-Islam, al-Qadhi, Abu al-Fadhl.[5]

Sekilas Perjalanan Ilmiyahnya
Beliau adalah sosok pribadi yang menguasai berbagai bidang keilmuan, mulai dari al-Hadis wa Ulum al-Hadis, al-Tafsir wa Ulum al-Tafsir, seorang faqih sekaligus menguasai bidang Ushul al-Fiqh. Selain itu, beliau juga sangat mumpuni dalam bidang Ulum al-Arabiyah wa Ayyam al-Arab, pakar mazhab Maliki dan sosok sastrawan. 
Beliau adalah pribadi yang sangat cinta ilmu. Terbukti, pada saat masih sangat belia kira-kira berumur 13 tahun, beliau berangkat dari kota Sabtah di Maghrib  ke Cordoba di Andalus untuk menuntut ilmu pada tahun 509 H. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari ulama-ulama yang hidup di masanya, baik dengan cara mendengar langsung (sima’) maupun ijazah.[6] Di Andalus, baik dengan melalui pola mendengar langsung (sima’) maupun ijazah, secara keseluruhan beliau menimba ilmu tidak kurang dari seratus ulama dari berbagai disiplin keilmuan yang beranekaragam, mulai dari ulum al-Hadis, fiqh, usul al-Fiqh, bahasa, sastra dan sebagainya.
Ketika berumur 30 tahun, beliau pulang ke Magrib dari Andalus. Beliau menetap di Sabta dan belajar dari beberapa ulama yang ada Magrib. Dari sini dengan jelas dapat diketahui bahwa korpus keilmuan beliau merupakan sintesis dari keilmuan Maghrib dan Masyriq.[7] Di Magrib, beliau sangat dihormati oleh penduduk setempat dan sempat menjadi seorang qadhi (hakim) dalam masa yang cukup panjang. Juga kepribadian beliau disanjung dan dipuji. Kemudian, pada tahun 531 H beliau pindah dan berdomisili di Granada dan menjadi qadhi di sana pada tahun 532 H.[8]

Guru-gurunya
Di antara guru-gurunya adalah Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Hamdain, Abul Hasan bin Siraj, Abu Muhammad bin Attab, Al-Qadhi Abi Ali Husain bin Muhammad al-Shadafi, Abu Bakr al-Thurthusy, Abu Ali al-Ghasani, Abu Abdillah al-Mazini, Ahmad bin Baqi, Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Makhul, Abu al-Thahir Ahmad ibn Muhammad al-Salafi, Al-Hasan bin Muhammad bin Sakrah, Al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi, dan Al-Qadhi Abi al-Walid bin Rusd dan lain-lain.[9]
 
Murid-muridnya
Di antaranya adalah putranya sendiri, yaitu al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Iyadh,    Al-Hafidz Khalaf bin Basykawal,  Abu Ja’far bin al-Qashir al-Gharnati, Al-Imam Abdillah al-Asyiri, Abu Muhmmad bin Ubaidillah al-Hajri, dan    Muhammad bin al-Hasan al-Jabiri.[10]

Karya-karyanya
Dalam kesibukan sebagai qadhi (hakim), beliau sempat menulis karya-karya ilmiyah yang lumayan banyak. Namun, di antara karya-karya tersebut banyak yang hilang dan hanya sedikit yang dapat diselamatkan. Kitab beliau yang eksis dengan baik sampai sekarang adalah kitab al-Syifa. Secara keseluruhan, pandangan dan metode pemahaman beliau dapat diketahui melalui kitab ini.[11] Perhatian beliau sangat besar di berbagai bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi kontribusi ilmiyah beliau yang paling terkenal adalah dalam ranah al-Hadis wa Ulumul Hadis. Di antara karya-karya beliau yang populer sebagai berikut; (1) Ikmal al-Mu’allim fi Syarh Shahih Muslim, (2) Tafsir Gharib Hadis al-Muwatha’ wa al-Bukhari wa Muslim, (3) Al-Tanbihat al-Mustanbathah fi Syarh Musykilat Al-Mudawwanah, (4) Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li Ma’rifah A’lami Mazhab Malik, (5) Bughyat Ar-Raid lima Tadhammanah Hadis Ummu al-Zar’ie min al-Fawaid, (6) Sirr al-Surrah fi Adab al-Qudhat, (7) Jami’ al-Tarikh, (8) Al-Saif al-Maslul ala Man Sabba Ashab al-Rasul, dan lain-lain.[12]

Komentar para ulama
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa al-Qadhi Iyadh merupakan sosok multidisipliner. Beliau menguasai berbagai disiplin keilmuan, mulai dari hadis, tafsir, sastra dan fiqh. Bahkan dalam disiplin yang terakhir ini, beliau sering dikutip oleh ulama-ulama Syafi’iyah, meskipun beliau sendiri bermazhab Maliki. Dalam kitab-kitab standar yang digunakan di Pesantren, nama beliau sering disebut sebagai otoritas rujukan, sehingga namanya tidak asing lagi terdengar di telinga kaum santri. Sebagai bukti dari ketinggian dan kredibilitas beliau, baik sebagai pribadi dan keilmuannya, di sini akan dipaparkan beberapa komentar ulama.

Putra beliau yang bernama Muhammad berkata, "Bapakku (Al-Qadhi Iyadh) menjalani kesehariannya dengan iffah (menjaga diri dari perbutan tercela), prilakunya disukai orang setempat, perkataan dan perbuatannya terpuji, beliau mengusai dan paham serta pecinta ilmu, seorang mujtahid, menghormati guru-gurunya, banyak berdiskusi bahkan kadang berbeda pendapat dengan mereka, beliau mengungguli teman-teman sezamannya. Selain itu, beliau juga seorang penghafal al-Qur’an disertai bacaan yang bagus, juga menguasai tafsir dan ulum al-Tafsirnya."
Ibn ‘Ashim berkata, "Al-Qadhi Iyadh adalah pribadi yang rendah hati, lembut, pecinta ilmu sehingga menguasai berbagai disiplin ilmu, bahkan pengetahuannya tidak dapat dikuantitatifkan."

Al-Malahi berkata, "Al-Qadhi Iyadh sangat dalam ilmunya, taat beragama dan lemah lembut, pengetahunnya sangat luas membentang dari berbagai disiplin, mulai dari ilm al-Hadis, ilm al-Ushul, hafal nama-nama rijal hadis, menguasai ilm al-Nahwi, juga mendalami berbagai mazhab fiqh dan sastra."

Ibn Khatimah berkomentar bahwa “Al-Qadhi Iyadh sangat menghormati sunnah, alim dan amil, berkata jujur, dan tidak gentar menghadapi serangan cacian. Juga beliau seorang Maliki yang sangat paham.[13]
Ibn khalkan mengatakan, “Al-Qadhi Iyadh adalah Imam al-Hadis di masanya, juga menguasai nahwu, bahasa, cerdas dan paham berbagai disiplin ilmu.”[14]
Ibn Basykawal berkata, "Al-Qadhi Iyadh adalah orang ahli ilmu yang menguasai di berbagai bidang, cerdas dan sangat paham".[15]
Al-Faqih Muhammad bin Hamadan al-Sabti berkata, "Al-Qadhi Iyadh adalah orang yang suka berdiskusi, di Sabtah tidak ada seorang pun di masanya yang dapat melebihi karangannya dari segi kuantitas."[16] 
Al-Imam al-Dzahabi mengatakan bahwa karya-karya Al-Qadhi Iyadh bobotnya sangat bagus. Dan yang paling monumental dari semua karyanya adalah kita al-Syifa.[17]

Latar belakang penulisan kitab al-Syifa
Dalam pengantar kitab al-Syifa, al-Qadhi Iyadh memberikan penjelasan terkait terbitnya kitab ini, yaitu karena ada banyak permintaan dari masyarakatnya waktu itu. Mereka tidak henti-hentinya meminta kepada al-Qadhi Iyadh supaya menulis sebuah kitab yang menjelaskan dengan detail dan panjang mengenai pribadi dan martabat Nabi Saw. Juga tentang bagaimana seharusnya mengagungkan dan menghormatinya, apa hukum yang harus disematkan kepada seseorang yang tidak mengagungkan atau memberikan suatu penilaian yang tidak pantas kepada baginda Nabi Saw.
Dengan penuh rendah hati, akhiranya al-Qadhi Iyadh merespon dan menyanggupi permintaan tersebut, dan tersusunlah kitab al-Syifa ini. Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh mengakui bahwa semua isi dan kandungannya merupakan kumpulan dari berbagai perkataan para ulama dan imam-imam sebelumnya. Posisi beliau di sini hanya sebagai penjelas dan memodifikasi berbagai perkataan ulama dan imam-imam tersebut. Namun begitu, dengan rendah hati, beliau mengakui bahwa dalam perjalanan menulis kitab ini menemukan banyak kesulitan. Hal itu lebih disebabkan karena ulasan yang akan beliau garap merupakan sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw, mulai dari sifat yang wajib, yang tidak boleh dan yang jaiz baginya. Juga bagaimana cara menghormati, mengagungkan dan menjunjung tinggi derajatnya. Sehingga hal itu, bukan hanya membutuhkan kedalaman dan keluasan ilmu, tapi juga membutuhkan kedalaman spiritual dan ma’rifah. Seperti dikatakan sendiri oleh beliau bahwa dalam rangka memaparkan berbagai hal yang memeliki korelasi dengan Nabi Saw, selain harus memiliki kualifikasi kedalaman dan keluasan ilmu, juga tidak kalah pentingnya mendapat pertolongan dan petunjuk dari Allah Swt supaya terlepas dari kekeliruan dan kesesatan

Metode penulisan kitab
Dalam penulisan kitab ini, al-Qadhi Iyadh menerapkan dua pola penting;
Pertama, sistematika penulisan yang sangat rapi dan bagus. Dalam sistematika kitab ini, al-Qadhi Iyadh menggunakan pola qism, bab, fasal. Untuk lebih jelasnya, rinciannya sebagai berikut;
Pembagian Pertama; terdiri dari empat (4) bab. Bab Pertama; terdiri dari sepuluh (10) fasal. Bab Kedua; terdiri dari dua puluh tujuh (27) fasal. Bab Ketiga; terdiri dari dua belas (12) fasal. Bab keempat; terdiri dari tiga puluh (30) fasal.
Pembagian Kedua; terdiri dari empat (4) bab. Bab Pertama; terdiri dari lima (5) fasal. Bab Kedua; terdiri dari enam (6) fasal. Bab Ketiga; terdiri dari tujuh (7) fasal. Bab keempat; terdiri dari sepuluh (10) fasal.
Pemabagian Ketiga; terdiri dari dua (2) bab. Bab Pertama; terdiri dari enam belas (16) fasal. Bab Kedua; terdiri dari sembilan (9) fasal.
Pembagian Keempat; terdiri dari dua (2) bab. Bab Pertama; terdiri dari sepuluh (10) fasal. Bab Kedua; terdiri dari sepuluh (10) fasal. Bab Ketiga; sebagai pelengkap yang sengaja disisipkan oleh al-Qadhi Iyadh guna menyempurnakan keseluruhan isi kitab.
Kedua, sebagaimana kitab ini disusun dengan sistematika yang baik, begitu juga dengan pola pemaparan dari segi argumentasi. Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh memakai pola sebagai berikut; Pertama, menghadirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan topik yang sedang dibahas.   Kemudian, ayat tersebut dikomentari, baik dari segi cara baca (qiraah) maupun penafsiran. Namun, dalam ranah penafsiran beliau berusaha menafsirkan sendiri ayat tersebut, kemudian penafsiran dari berbagai ulama dihadirkan. Juga diperkuat dengan hadis maupun berbagai pendapat ulama.[18] 
Kedua, menyuguhkan hadis, baik posisinya sebagai penguat dari ayat yang sudah ada maupun hadis tersebut dijadikan sebagai argumentasi primer dan independen.[19] Status hadis ini bervariasi, mulai dari yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Hadis maudhu’ tersebut ditampilkan hanya untuk menyempurnakan pembahasan yang sedang dikaji.[20] Namun, sacara keseluruhan hadis yang terdapat dalam kitab al-Syifa adalah shahih dan hasan, karena kebanyakan terdapat dalam Kutub al-Tis’ah, terutama Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam menyebutkan suatu hadis, al-Qadhi Iyadh tidak hanya fokus pada riwayat tunggal, tetapi juga menyebutkan riwayat-riwayat lain yang masih terkait. Kadang juga, hadis tersebut dikomentari statusnya oleh al-Qadhi Iyadh sendiri maupun dengan cara menyebutkan pendapat ulama.[21]  
Ketiga, dalam kitab ini juga dihadirkan berbagai pendapat ulama, terutama yang bertindak sebagai penafsir dari ayat maupun penjelas dari hadis. Bahkan juga dalam suatu tema, al-Qadhi Iyadh hanya mencukupkan argumentasinya pada pendapat-pendapat ulama, tanpa menyebut ayat sama sekali dan hadis pun disuguhkan hanya sebagai penyempurna dari pendapat-pendapat ulama tersebut.[22] Juga pendapat yang dikutip disebutkan nama ulama yang mengatakan, atau disebutkan mazhab dan golongannya. Dalam pengamatan penulis (kami), al-Qadhi Iyadh semaksimal mungkin menyebutkan dari siapa pendapat tersebut bersumber, dari mazhab dan golongan siapa, sehingga pendapat yang dikutip tidak terkesan misterius dan tanpa subyek. Hal ini membuktikan bahwa al-Qadhi Iyadh menulis kitab ini dengan penuh serius dan baik, berbeda dengan ulama terdahulu bahkan yang sezaman dengannya. Mereka banyak mengutip pendapat yang misterius dan tanpa subyek atau tokoh tanpa identitas (anonimitas), sehingga banyak ditemukan lafadz “dikatakan” (qiila) dan sebagainya.
Keempat, dalam kitab ini juga al-Qadhi Iyadh memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait lafadz-lafadz hadis yang gharib.[23][24]Hal ini membuktikan kualitas beliau sebagai ahli hadis sekaligus ahli bahasa.
Isi kitab al-Syifa
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa proses terbitnya kitab al-Syifa ini bermula dari sebuah permintaan masyarakat kepada al-Qadhi Iyadh supaya beliau menulis kitab yang kandungannya berisi tentang sifat-sifat dan kemulian Nabi Saw, dan beliau merespon permintaan tersebut. Kemudian kitab tersebut dinamakan al-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mustafa. Sesuai permintaan yang diajukan, konten dan isi dari kitab ini secara keselurahan berkorelasi dengan Nabi Saw, baik mengenai sifat-sifatnya, cara mengagungkan dan memuliakannya, dan juga bagaimana status seseorang yang merendahkan derajatnya. Semua kandungan dalam kitab ini tidak lepas dari pembahasan yang bersentuhan langsung dengan Nabi Saw. Lebih tepatnya, proyek yang diwarkan dalam kitab ini adalah proyek pengkultusan (fetisisme) terhadap Nabi Saw. Untuk mengetahui bagaimana proyek pengkultusan tersebut dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini, penulis (kami) akan mencoba memetakan pola-pola konstruksi tersebut sebagai berikut. 
Pertama, dalam memulai setiap topik bahasan, biasanya al-Qadhi Iyadh membukanya dengan ayat al-Qur’an, kemudian diperkuat dengan hadis, riwayat-riwayat serta pendapat-pendapat ulama. Hal ini juga direalisasikan ketika memposisikan kedudukan Nabi Saw yang menjadi bangunan besar dari keseluruhan kitab ini.  Sebelum al-Qadhi Iyadh mengeksplorasi posisi Nabi Saw dalam dunia realitasnya sebagai bagian dari manusia biasa, beliau terlebih dahulu mentransendenkan Nabi Saw dengan ayat-ayat al-Qur’an. Melalui aya-ayat ini, secara eksplisit dan tegas al-Qadhi Iyadh ingin mengukuhkan bahwa kemulian, kehormatan dan keagungan yang disandang Nabi Saw diperoleh bukan atas dasar gelar yang diberikan sesama manusia, namun dianugerahkan langsung oleh Allah Swt. Cara peneguhan seperti ini disebut sebagai logika transendental, yaitu menempatkan suatu objek dalam kondisi yang transenden, suci dan berada diluar realitas dan sejarah manusia. Maka, ketika al-Qadhi Iyadh mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjustifikasi kemulian Nabi Saw, praktis posisi Nabi Saw menjadi suci sebagaimana kesucian ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi basis justifikasinya. Karena keberadaan ayat-ayat al-Qur’an adalah suci, maka objek yang mendapat apresiatif kemulian dari ayat-ayat tersebut juga dengan sendirinya menjadi suci. Sebagaimana kebenaran ayat-ayat al-Qur’an harus diterima dengan penuh keimanan dan tanpa protes, begitu pula kemulian Nabi Saw yang mendapat pembenaran ayat-ayat tersebut harus diterima dengan penuh keimanan dan tanpa protes. Menentang dan mempertanyakan kemulian Nabi Saw, statusnya sama dengan menentang dan mempertanyakan kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
Dengan logika transendental ini, al-Qadhi Iyadh ingin menghipnotis bayangan kolektif masyarakat tentang mitos kemulian Nabi Saw, sekaligus juga membungkam segenap dialektika dan diskursus yang meragukan kemulian Nabi Saw. Karena keterbatasan referensi, penulis (kami) tidak dapat mengeksplorasi lebih jauh terkait siapa sebenarnya yang menjadi sasaran pembungkaman oleh al-Qadhi Iyadh. Apakah pembaca secara keseluruh, termasuk pembaca yang hidup di masa sekarang, atau ada individu dan golongan tertentu yang menjadi target utama yang hidup di zamannya. Tetapi jika kembali melihat proses terbitnya kitab ini, kemungkinan besar sasaran utamanya adalah sebagian orang yang hidup di zamannya, karena kitab ini lahir dari desakan dan kegelisahan masyarakat waktu itu. Dalam psikologi sosial, sebuah desakan dan kegelisahan tidak mungkin timbul tanpa ada gejolak dan benturan. Kemungkinan besar dalam konteks ini, penyebab timbulnya gejolak dan kegelisahan dalam masyarakat pada waktu itu adalah adanya sekolompok orang yang meragukan status kemulian Nabi Saw. Atau bahkan mengusik dan tidak mempercayainya, sehingga membuat masyarakat menjadi terganggu. Demi stabilitas sosial, masyarakat meminta al-Qadhi Iyadh untuk  meredam gejolak dan kegentingan tersebut melalui sebuah tulisan yang berisi secara detil tentang sosok Nabi Saw. Selain karena maksud menentramkan masyarakat, jelas kelahiran kitab ini ada sekolompok orang yang dituju dan menjadi target utama, yaitu sekolompok orang yang meragukan atau bahkan tidak mempercayai Nabi Saw. Di sini sebenarnya logika transendental yang dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini mendapat revelansinya. Karena, ketika yang memberi gelar kemulian kepada Nabi Saw adalah Allah melalui ayat-ayat-Nya, maka tidak seorang pun yang boleh menentangnya. Semuanya wajib mengimani dan tunduk, termasuk sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Melalui logika transendental ini, al-Qadhi Iyadh dapat membungkam dua kondisi sekaligus, yaitu masyarakat yang terganggu dan gelisah berubah menjadi tenang dan sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw menjadi tidak berkutik karena harus tunduk pada kebenaran ayat-ayat al-Qur’an yang secara tekstual memuliakan Nabi Saw. Dengan mengoperasionalkan logika transendental ini, sepertinya al-Qadhi Iyadh paham betul kondisi masyarakat Muslim yang sangat fanatik mengikuti ketentuan al-Qur’an, sehingga apapun yang bersumber dari bunyi teks al-Qur’an pasti diikuti dan masalah menjadi tuntas. Bahkan, sampai sekarang pun kondisi ini tetap tidak berubah. Jika ayat-ayat al-Qur’an sudah bicara dan dikutip meski dalam kepentingan politik, masyarakat Muslim akan mengikuti tanpa sikap kritis dan seakan-akan persoalan menjadi selesai. Ironis memang, tapi itulah realitasnya. Padahal, seperti kata Vico, pengetahuan apapun, termasuk kategori kemulian yang disandangkan kepada Nabi Saw adalah pengetahuan yang dibuat oleh manusia sendiri, bukan Allah Swt.[25] Singkatnya, kategori kemulian yang dianugerahkan kepada Nabi Saw dalam kitab ini adalah hasil dari pengetahuan al-Qadhi Iyadh sendiri melalui elaborasinya terhadap ayat-ayat Allah Swt dalam al-Qur’an. Begitu pun dengan gerakan-gerakan kanan semisal  HTI (Hisbut al-Tahrir Indonesia), pengetahuan mereka terhadap konsep “khilafah” yang selalu digaungkan dan berkoar sudah mendapat  restu Allah Swt (melalui ayat atau hadis yang mereka kutip) untuk ditegakkan, tidak lebih dari hasil pengetahuan mereka sendiri melalui penafsiran yang picik terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis Nabi Saw.
Kedua, dalam melakukan proyek pengkultusan terhadap Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh sepertinya belum puas dengan strategi dan logika transendentalnya. Padahal, andaikan mencukupkan diri pada strategi dan logika transendental, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk menekan, mengalienasi, marjinalisasi dan melakukan resistensi terhadap pihak lain yang dianggap abnormalitas karena meragukan kemulian Nabi Saw. Namun, realitasnya tidak demikian. Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh masih menggunakan strategi dan logika lain dalam melakukan proyek pengkultusan (fetisisme) terhadap Nabi Saw, yaitu logika sublimasi. Dalam arti, mengosongkan suatu objek dari karakter asalnya yang profan, kemudian diisi dengan karakter lain yang lebih tinggi nilai dan kualitasnya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan karakter yang lebih tinggi nilai dan kualitasnya adalah karakter yang bersumber dari sifat ilahiyah, sedangkan karakter asal yang profan adalah karakter seperti yang dimiliki setiap individu manusia secara keseluruhan. Ketika mengaplikasikan dalam diri Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh mengosongkan dan menegasikan terlebih dahulu karakter dan sisi sifat kemanusian Nabi Saw, kemudian diisi dengan karakter dan sifat-sifat yang bernuansa ilahiyah. Dengan begitu, semua karakter Nabi Saw, mulai dari sifat, gerak-gerik, aktivitas, dan bahkan semua yang bersumber darinya adalah bernilai tinggi, imanen, dan ilahiyah. Implikasi dari penerapan logika ini jelas, yaitu bahwa sang diri (Nabi Saw) adalah mulia, terhormat dan harus diagungkan. Logika sublimasi ini, dalam Islam lebih dikenal (hampir sama) dengan teori ishmah al-Anbiya’, yaitu terpeliharanya seorang Nabi dari segala perbuatan terlarang dan tercela. Karena seorang Nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw sudah dijamin tidak melakukan perbuatan tercela, dan yang tersisa adalah nilai-nilai terpuji dalam dirinya, maka tidak seorang pun yang pantas merendahkan, apalagi mencelanya. Kewajiban setiap orang, terutama kaum Muslim adalah menjungjung setinggi-tingginya tanpa harus menyisakan celah sedikit pun untuk merendahkannya. Merendahkan Nabi Saw statusnya sama dengan merendahkan yang ilahiyah. Mencela Nabi Saw berarti mencela yang ilahiyah. Meragukan kemulian Nabi Saw sama hukumnya dengan meragukan kemulian yang ilahiyah, karena semua yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk apapun, merupakan radiasi dan pancaran dari sang ilahi.
Dalam rangka memuluskan strategi dan logika sublimasinya ini, al-Qadhi Iyadh menerapkan dan melakukan proganda dalam bentuk ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw, riwayat-riwayat, perbuatan serta perkataan ulama. Bahkan juga menampilkan berbagai kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw, dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw tersebut, yaitu seperti membelah bulan dan menahan matahari yang pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Juga seperti memancarnya air dari jari-jemainya, air bartambah banyak ketika Nabi Saw menggenggamnya, makanan bertambah banyak, berinteraksi dan bercakap-cakap dengan pohon, bebatuan yang mengucapkan salam kepada Nabi Saw, menghidupkan orang mati, dan masih banyak lagi. Kejadian-kejadian ini ditampilkan oleh al-Qadhi Iyadh sebagai trik untuk mengisi kekosongan karakter dan sifat kemanusian Nabi Saw yang telah dicabutnya. Dengan menampilkan semua kejadian ini, al-Qadhi Iyadh juga ingin memproyeksikan memori kolektif masyarakat dalam satu poros, yaitu poros pengkultusan Nabi Saw. Dalam kesadaran masyarakat, termasuk kita, akan cenderung mengelukan-elukan dan mengagumi sesuatu yang dalam bayangan mereka istimewa dan diluar nalar. Dari proses mengagumi tersebut, selanjutnya akan menjalar pada proses mengidolakan, dan pada akhirnya mengkultuskan. Di Indonesia misalnya, ada Limbad, Dedy Corbuser, Joe Sandi yang sering menghibur pemirsa Indonesia dengan adegan-adegan yang diluar nalar. Dalam bayangan masyarakat Indonesia, mereka adalah manusia super atau superman karena dapat melakukan hal-hal yang istimewa, yang tidak dapat dilakukan masyarakat kebanyakan. Dapat dipastikan bahwa seluruh masyarakat dan pemirsa Indonesia mengenal, bahkan mengaguminya. Ketika Limbad melakukan atraksi misalnya, semua mata tertuju hanya pada satu poros, yaitu Limbad. Mereka lalu mengagumi Limbad, mengidolakannya dan kemudian mengkultuskannya. Selain itu, Limbad juga seakan menjadi keharusan untuk dihormati, untuk diagungkan.
Contoh lain,  yaitu yang melanda bayangan kolektif masyarakat pedesaan tentang Kiai mereka. Kiai Pesantren bukan hanya dihormati karena kedalaman ilmunya, tapi juga karena diyakini memiliki kemampuan mistik, dapat menyembuhkan orang sakit dan sebagainya. Dengan kemampuan-kemampuan mistik tersebut, masyarakat kemudian menghormati, mengagungkan kemudian mengkultuskannya. Semakin tinggi kemampuan mistik sang Kiai, maka penghormatan masyarakat kepadanya semakin kuat. Karena dengan kemampuan istimewa tersebut, masyarakat mempersepsi  bahwa sang Kiai sudah terlepas dari karakter kemanusiannya. Selanjutnya, yang tertanam dalam dirinya adalah karakter dan sifat-sifat supranatuaral. Sehingga  dengan praktis, mereka mengagungkan dan mengkultuskannya. Mereka tidak berani hanya sekedar melanggar titah Kiai, apalagi mengusik dan mengganggunya. Dengan begitu, ada semacam penggerak kesadaran untuk menuju satu poros, yaitu poros pengkultusan akibat hal-hal istimewa yang dimilikinya. Al-Qadhi Iyadh ketika menampilkan beberapa kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw, sebenarnya dalam rangka menggerakkan kesadaran masyarakat dalam lingkaran satu poros itu, yaitu poros pengkultusan. Sehingga tanpa kesadaran kritis, masyarakat akan mengagumi Nabi Saw, mengidolakan dan mengkultuskannya. Di sisi lain, al-Qadhi Iyadh juga ingin menghantam sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw dengan menyuguhkan kejadian-kejadian istimewa yang hanya dimiliki Nabi Saw.
Tidak hanya menghadirkan kejadian-kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh juga mengukuhkan kejadian-kejadian istimewa tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw. Bahkan juga, diperkuat dengan perkataan-perkataan ulama. Sejumlah perkataan ulama dihimpun dalam satu jaringan utuh dan diarahkan dalam lingkaran satu poros, yaitu poros pengkultusan. Selain itu, diperkuat juga dengan perbuatan dan ritual ulama. Sejumlah perbuatan dan ritual ulama yang mengagungkan Nabi Saw dicamtumkan untuk memperkuat daya sentuhnya. 
Ketiga, dalam proses selanjutnya, al-Qadhi Iyadh melakukan semacam oposisi biner untuk melancarkan proyek pengkultusannya. Di bagian-bagian akhir dari kitab al-Syif, lebih tepatnya di pembagian ketiga, al-Qadhi Iyadh membedah dan melakukan kategorisasi nailai yang mustahil, boleh dan yang tidak boleh bagi Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai bagian dari manusia biasa. Meskipun semua nilai (baik-buruk) terbuka dilakukan semua jenis manusia, namun bagi seorang Nabi tidak demikian. Ada nilai-nilai tertentu yang tidak mungkin dilakukan seorang Nabi. Tentu nilai yang tidak mungkin dan tidak boleh adalah nilai yang dapat mereduksi kualitasnya sebagai Nabi, seperti perbuatan tercela dan buruk. Dengan demikian, ketika melakukan kategorisasi nilai antara yang boleh dan tidak bagi Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh tengah melakukan logika diferensiasi, yaitu dikotomi antara Nabi/manusia biasa, baik/buruk, benar/salah, putih/hitam, moral/amoral, normal/abnormal. Asumsi yang bekerja dalam imajinasi al-Qadhi Iyadh adalah yang pertama superior, sedangkan yang kedua inferior. Yang pertama bernilai tinggi, sedangkan yang kedua bernilai rendah. Meski Nabi Saw bagian dari manusia biasa, tetapi hanya yang baik, benar, putih, moral dan normal yang boleh dilakukan. Sedangkan yang buruk, salah, hitam, amoral, dan abnormal tidak mungkin dilakukan, karena hal tersebut akan mereduksi status dirinya sebagai manusia pilihan.
Seperti dikatakan sendiri oleh al-Qadhi Iyadh, bahwa intisari dari kitab al-Syifa ini adalah pada pembagian ketiga ini, yaitu memantapkan antara nilai-nilai yang boleh dan tidak bagi Saw.  Meskipun seorang Nabi adalah manusia pilihan, namun dari sisi jenisnya tidak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi manusiawinya. Bahkan, ayat al-Qur’an dengan gamblang mengatakan bahwa Nabi Saw adalah manusia biasa layaknya manusia-manusia yang lain.[26] Nabi Saw makan, minum, tidur, kawin dan sebagainya layaknya manusia normal lainnya. Secara fisik, tidak ada yang istimewa dari Nabi Saw. Lantas kenapa pembagian ketiga ini menjadi penting untuk dimantapkan, bahkan menjadi intisari dari keseluruhan kandungan kitab ini?. Jawabannya, tidak lain karena melalui dimensi manusiawinya ini Nabi Saw dapat diserang. Seseorang boleh mengklaim bahwa Nabi Saw adalah manusia pilihan  yang tidak mungkin melakukan perbuatan tercela, tetapi apakah realitas kemanusiannya mengatakan demikian?. Bagi sebagian orang, Nabi Saw bisa saja khilaf, toh beliau juga manusia bukan malaikat. Ketika Nabi Saw khilaf, hal itu sah-sah saja sebagai manusia. Anggapan seperti inilah yang coba dikendalikan oleh al-Qadhi Iyadh melalui pemantapan pada pembagian ketiga ini. Al-Qadhi Iyadh menolak anggapan demikian melalui jalur normatif dengan mengutip berbagai ayat, hadis, dan pendapat ulama. Dimensi kemanusian Nabi Saw yang memberikan akses terhadap perbuatan khilaf, ditutup oleh statemen ayat-ayat al-Qur’an dan sebagainya. Tentu tidak lebih dari pemahaman yang dicapai al-Qadhi Iyadh sendiri. Karena secara normatif Nabi Saw terpelihara, maka segala kemungkinan melakukan perbuatan khilaf, meski dari dimensi manusiawinya, menjadi tertutup. Tidak ada peluang bagi seseorang untuk meragukan Nabi Saw, meski berangkat dari perspektif kemanusiaanya. Nabi Saw harus diagungkan dan dihormati karena terbebas dari perbuatan tercela. Tidak boleh meragukan kemulian Nabi Saw.
Melalui logika diferensiasi Nabi Saw, dugaan sementara penulis (kami) mendapat urgensinya ketika di atas mengatakan bahwa yang menjadi sasaran utama dari kitab ini adalah sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Karena, kemungkinan besar, mereka meragukan kemulian Nabi Saw melalui jalur dimensi kemanusiannya. Sebagai manusia, Nabi Saw bisa saja melakukan khilaf, tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Pandangan seperti ini yang coba ingin ditutup oleh al-Qadhi Iyadh melalui logika diferensiasi dalam pembagian ketiga ini.  Tidak heran bila al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa intisari kitab ini terdapat pada pembagian ketiga ini, karena pada titik ini al-Qadhi Iyadh melakukan logika diferensiasi untuk balik menyerang. Pada titik ini pula, al-Qadhi Iyadh melakukan pembelaan dan serangan terhadap  sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Bahwa dalam realitasnya, memang Nabi Saw adalah manusia, tapi juga berbeda (diferensi) dari manusia biasa. Kira-kira, seperti itulah  tawaran wacana yang dilontarkan al-Qadhi Iyadh sebagai bentuk pembalaan, tentu dengan disertai berbagai argumen normatifnya. 
Keempat, kini tiba pada logika terakhir yang dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini, yaitu logika kuasa (power). Setelah menyebut tiga logika di atas, al-Qadhi Iyadh di akhir pembahasan kitab ini memaparkan sejumlah sanksi sebagai konsekuensi bagi seseorang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Di sini dengan gamblang al-Qadhi Iyadh memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki ototoritas dan berwenang dalam menentukan keabsahan wacana kemulian Nabi Saw. Sedangkan pihak lain yang meragukan kemulian Nabi Saw berada dalam posisi salah sehingga pantas disanksi dan dihukum. Sejumlah sanksi disebutkan untuk mengadili pihak lain yang dianggap salah. Al-Qadhi Iyadh seolah-olah memiliki hak istimewa untuk bercerita dan merepresentasikan kemulian Nabi Saw, sehingga pemahaman yang menyimpang dengan dirinya harus dikebiri dan digunduli. Seakan-akan dirinya merupakan polisi kebenaran dan berwenang menertibkan berbagai pelanggaran pemahaman dengan sejumlah sanksi. Padahal, sebenarnya wacana kemulian Nabi Saw yang dikonstruknya tidak lebih dari salah satu bentuk legitimasi gagasan dan pemahaman hegemonik yang dianggap benar terhadap pemahaman lain yang inferior dan dianggap salah. Cara bernalar seperti ini jelas adalah sebentuk nalar kekuasaan dan keinginan hegemonik. Nalar subversif dan antagonistik dalam bentuk meragukan kamulian Nabi Saw harus ditumpas karena dianggap racun ditengah kehidupan masyarakat. 
Ada dua bentuk kekuasaan yang dimainkan al-Qadhi Iyadh dalam proyeknya memarjinalkan pemahaman yang dianggap menyimpang, pertama; kekuasaan intelektual. Hal ini jelas akan terungkap dari berbagai argumennya yang menyilaukan mata pemabaca, mulai dari ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw, riwayat-riwayat dan berbagai perkataan ulama. Semuanya ditampilkan untuk memperlihatkan keseksian argumennya. Al-Qadhi Iyadh mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelengkapan nalar normatif ditampilkannya. Sehingga seolah-olah wacana yang dikonstruknya merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Di sisi lain, seolah mengatakan bahwa pemahaman yang berbeda adalah bentuk penyimpangan intelektual, karena bertentangan dengan argumen-argumen normatif yang dibangunnya. Kedua; kekuasaan moral. Artinya, pemahaman  yang meragukan Nabi Saw bukan hanya penyimpangan intelektual, tapi juga penyimpangan moral yang harus diluruskan. Berbagai sanksi disebutkan dalam upaya meluruskan penyimpangan ini, baik sanksi sosial maupun sanksi fisik. Sanksi sosial berupa dituduh kafir, murtad sehingga harus disisihkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan hak warisnya harus dicabut. Sedangkan sanksi fisik berupa harus dibunuh. Semua sanksi ini dihadirkan dalam rangka meluruskan yang menyimpang. Pola-pola mengadili seperti ini tidak lain sebagai bentuk keinginan menghegomoni dan berkuasa.
Penutup
Kitab al-Syifa ini merupakan salah satu karya al-Qadh Iyadh yang paling prestisius dan monumental. Kitab ini popular baik di Maghrib maupun di Masyriq. Dikaji oleh lintas generasi, mazhab dan golongan. Banyak karya lahir karena terinspirasi dari kitab ini, mulai yang berupa Syarh maupun kitab independen. Hampir semua ulama mengakui nilai kualitas kitab ini. Meski tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian ulama, seperti al-Dzahabi, yang mengkritiknya karena terdapat segelintir hadis yang berkualitas rendah. Terlapas dari kekurangannya, kitab ini patut diapresiasi karena kualitasnya yang bagus. Setiadaknya, ada tiga faktor dalam kitab ini yang pantas mendapatkan respon positif. Pertama; sistematika penulisannya yang baik dan rapi. Bisa dibilang, sistematika penulisan kitab ini sudah masuk standar penulisan modern. Langkah-langkah penulisan kitab menggunakan pola pembagian general (qism), bab dan fasal. Kedua; pemaparan argumentasi yang runtut, dimulai dengan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw, riwayat-riwayat serta berbagai pendapat ulama. Semuanya tersaji dengan baik dan sistematik. Juga, kuliatas hadis yang dihidangkan bervariasi, mulai dari shahih, hasan, dhoif bahkan yang dianggap maudhu’. Tapi keseluruhan hadisnya adalah berkisar antara shahih dan hasan. Ketiga; cara bernalarnya yang juga baik dan sistematik. Secara keseluruhan ada empat cara bernalar yang dimainkan dalam kitab ini, yaitu nalar atau logika transendental, sublimasi, diferensiasi dan terakhir logika kuasa (power).

Moh. Jurianto, santri periset swasta-swadaya asal Madura.


[1] Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[2] Al-Malla Ali al-Qari, Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), hal. 3-4.
[3] Az-zirakly, Al a’lam,(Mesir:Darul ilm al malayin,2002), hal. 99, juz 5.
[4] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[5] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 49, juz 15.
[6] Adapun yang dimaksud Ijazah dalam kajian Ulum al-Hadis sacara etimologi adalah al-Idznu bi al-Riwayah, artinya seorang guru yang memberi izin muridnya untuk meriwayatkan, baik sacara lafadz (lisan) maupun tulisan. Adapun secara terminologi tidak jauh berbeda dengan pengertian etimologinya, yaitu seorang Syaikh (guru hadis) yang memberi izin meriwayatkan hadis kepada muridnya dengan mengatakan Ajaztu laka antarwiya hadza al-Hadis au hadza al-Kitab (saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan hadis ini atau kitab ini).
[7]  Ahmad Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz al-Qur’ani, (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16.
[8] Al-Qadhi Iyadh, As-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, (Kairo:Darul al-Hadits, 2004), hal.5.
[9] Ahmad Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz al-Qur’ani, (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16. Dan dalam kitab As-Syifa, hal. 5.
[10] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[11] Ahmad Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz al-Qur’ani, (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16. Dan dalam kitab As-Syifa, hal. 17.
[12] Al-Qadhi Iyadh, As-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, (Kairo:Darul al-Hadits, 2004), hal. 6.
[13] Al-Malla Ali al-Qari, Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), hal. 5-7.
[14] Abu Sahl Muhammad bin Abd al-Rahman al-Maghrawi, Mausu’ah Mawaqif al-Salaf fi al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Tarbiyah, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah, tth), hal. 133, juz 7.
[15] Abu Sahl Muhammad bin Abd al-Rahman al-Maghrawi, Mausu’ah Mawaqif al-Salaf fi al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Tarbiyah, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah, tth), hal. 133, juz 7.
[16] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 50, juz 15.
[17] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 50, juz 15.
[18] Lihat fasal pertama, bab pertama dari pembagian pertama.
[19] Lihat fasal tiga belas, bab keempat dari pembagian pertama.
[20] Sebagai contoh, hadis yang terdapat dalam fasal pertama, bab pertama dari pembagian pertama. Hadis tersebut berbunyi ; هل اصابك من هذه الرحمة شيء؟ الخ. Hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis.
[21] Lihat riwayat-riwayat yang terdapat dalam fasal dua belas, bab empat dari pembagian pertama.
[22] Lihat fasal sembilan, bab pertama dari pembagian ketiga.
[23] Lihat fasal dua puluh enam, bab dua dari pembagian pertama.
[24] Lafadz-lafadz hadis gharib adalah lafadz yang bagi orang Arab karena diadopsi dari bahasa lain atau karena lafadz tersebut tidak popular di lingkungan orang Arab sendiri.
[25] Edaward Said, kumpulan bunga rampai yang berjudul”Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan-Muslim,” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 143.
[26] Bunyi ayatnya “قل أنما أنا بشرمثلكم يوحى الي انما الهكم اله واحد “. (QS. Al-Kahfi : 110).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api