Transendensi Citra Nabi dalam Kitab al-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mustafa Karya Al-Qadhi Iyadh
Ada empat cara bernalar yang dimainkan dalam kitab ini, yaitu nalar atau logika transendental, sublimasi, diferensiasi dan terakhir logika kuasa (power).
Pendahuluan
Nama al-Qadhi Iyadh ketika penulis
ngaji sorogan kitab kuning dulu di Pesantren tidak jarang disebut dan
pandang-pandangannya sering dikutip dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah,
sehingga nama al-Qadhi Iyadh ini tidak asing lagi dalan memori kolektif kaum
santri. Padahal, jika melihat background mazhab dan akademisnya,
al-Qadhi Iyadh adalah penganut mazhab Maliki dan juga lebih populer dikategorikan
sabagai pakar hadis dan ulum al-Hadis. Sebagaimana format keilmuan ulama
terdahulu yang tidak mengenal spesialisasi di bidang-bidang tertentu seperti
sekarang, hal itu juga berlaku pada diri al-Qadhi Iyadh. Sehingga,
mengerucutkan al-Qadhi Iyadh sabagai pakar hadis, misalnya, penulis rasa
terlalu menyempitkan kompleksitas disiplin keilmuan yang dimilikinya. Hal itu
disebabkan karena selain pakar hadis, beliau juga pakar fiqih dan ushul fiqih,
bahasa, sastra, tafsir dan ulum al-tafsir dan lainnya. Kualitas keilmuannya
lintas disiplin, bahkan juga dapat dikatakan lintas mazhab. Untuk menunjukkan
yang terakhir ini, dengan cukup sederhana akan mudah terjawab karena
pendapat-pendapatnya sering dikutip dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah sebagai
referensi, meskipun beliau sendiri adalah Maliki. Sebagai penghormatan terhadap
beberapa disiplin keilmuan yang kuasainya, lebih objektif jika dirinya
dikatakan sebagai “multididsiplin” atau apalah namanya, yang penting tidak
memiskinkan keluasan keilmuannya pada kategori khusus yang sempit.
Juga, selain personal yang
multidisiplin, beliau juga sangat produktif dalam menghasilkan karya. Banyak
karya yang telah dihasilkan dari buah keluasan ilmunya. Bahkan, karya yang
dihasilkannya tidak dapat ditandingi oleh ulama yang semasa dengannya, baik
secara kualitas dan kuantitas. Salah satu karya terbaik yang eksis sampai
sekarang adalah kitab al-Syifa. Kitab ini mendapat apresiasi yang bagus
dari lapisan ulama dan masyarakat luas sampai sekarang. Mulai dari Maghrib
hingga Masyriq. Juga poularitas kitab ini melampaui lintas generasi dan mazhab.
Al-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala’ mengatakan bahwa kitab ini
adalah karya yang bagus nan indah, meski al-Dzahabi juga menyayangkan beberapa
riwayat yang tercantum di dalamnya karena dianggap validitasnya yang tidak bisa
dipertnggungjawabkan.[1]
Namun, terlepas dari kekurangannya, kitab ini tetap berada dalam jajaran karya-karya
yang diperhitungkan, juga menjadi referensi lintas mazhab dan generasi. Tidak
sedikit sebuah karya lahir karena terinspirasi dari kitab ini, baik yang
bentuknya berupa syarh dari kitab ini maupun yang bentuknya berupa karya
utuh namun terinspirasi dari kitab ini. Di antara karya yang bentuknya berupa syarah
dari kitab al-Syifa ini adalah sebagai berikut; (1) Nasim
al-Riyadh fi Syarh Syifa al-Qadhi Iyadh, karya al-Shihab al-Khafaji, (2) Syarh
al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, karya al-Malla Ali al-Qari al-Harawi al-Hanafi,
(3) Al-Madad al-Fayadh, karya al-Syaikh Hasan al-Adawi
al-Hamzawi, (4) Muzil al-Khafa An al-Alfadz al-Syifa, karya al-Allamah
Taqiyuddin ahmad bin Muhammad bin Hasan al-Syamni al-Tamimy al-Dari al-Hanfi,
(5) Al-Muqtafa fi Hilli al-Fadz al-Syifa, karya al-Allamah
Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad bin Khalil al-Halbi Sabth bin al-Ajami,
(6) Manahil al-Syifa fi Takhrij Ahadis al-Syifa, karya al-Imam
al-Suyuthi.[2]
Namun, dari berbagai kitab syarh dari
kitab al-Syifa, dalam kajian ini penulis tidak menjadikan rujukan primer
karena beberapa kendala, di antaranya keterbatasan untuk mengakses kitab-kitab syarh
tersebut. Satu-satunya kitab syarh yang dimiliki penulis dan dijadikan
referensi adalah kitab Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh karya al-Malla
Ali al-Qari. Dalam kajian ini, penulis langsung mengeksplorasi kitab al-Syifa
dengan sedikit dibantu oleh kitab-kitab syarh yang ada. Namun begitu,
semoga dalam keterbatasan referensi tidak mengurangi kualitas kajian ini. Amin.
Biografi Penulis
Nama lengkap
beliau adalah Abu al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh bin Amrun bin Iyadh bin
Muhammad bin Abdullah bin Musa bin Iyadh al-Yahshabi al-Andalusi al-Maliki.
Beliau merupakan ulama Maghrib dan pakar hadis di masanya. Beliau
dilahirkan di sebuah kota bernama Sabtah (sekarang Ceuta), berasal dari Andalus
lantaran kakek-kakek beliau tinggal di Andalus. Akan tetapi mereka pindah ke sebuah kota bernama Fes, kemudian menetap di daerah
Kairouan. Beliau lahir pada bulan Sya’ban tahun 496
H. Dan beliau wafat di Marrakech pada bulan Jumadil Akhir. Ada juga yang mengatakan pada bulan Ramadhan di tahun
544 H. Beliau wafat lantaran diracuni. Ada juga
yang mengatakan diracuni oleh seorang Yahudi[3].
Menurut
al-Dzahabi, beliau wafat karena dipanah.[4]
Sedangkan gelar beliau adalah al-Imam, al-Allamah, al-Hafidz al-Auhad,
Syaikh al-Islam, al-Qadhi, Abu al-Fadhl.[5]
Sekilas Perjalanan
Ilmiyahnya
Beliau adalah sosok pribadi
yang menguasai berbagai bidang keilmuan, mulai dari al-Hadis wa Ulum
al-Hadis, al-Tafsir wa Ulum al-Tafsir, seorang faqih sekaligus menguasai
bidang Ushul al-Fiqh. Selain itu, beliau juga sangat mumpuni dalam
bidang Ulum al-Arabiyah wa Ayyam al-Arab, pakar mazhab Maliki dan sosok
sastrawan.
Beliau adalah pribadi yang sangat cinta
ilmu. Terbukti, pada saat masih sangat belia kira-kira berumur 13 tahun, beliau
berangkat dari kota Sabtah di Maghrib ke Cordoba di Andalus untuk menuntut ilmu pada tahun 509 H. Di sana, beliau banyak menimba ilmu
dari ulama-ulama yang hidup di masanya, baik dengan cara mendengar langsung (sima’)
maupun ijazah.[6]
Di Andalus, baik dengan melalui pola mendengar langsung (sima’) maupun
ijazah, secara keseluruhan beliau menimba ilmu tidak kurang dari seratus ulama
dari berbagai disiplin keilmuan yang beranekaragam, mulai dari ulum
al-Hadis, fiqh, usul al-Fiqh, bahasa, sastra dan sebagainya.
Ketika berumur 30 tahun, beliau pulang
ke Magrib dari Andalus. Beliau menetap di Sabta dan belajar dari beberapa ulama
yang ada Magrib. Dari sini dengan jelas dapat diketahui bahwa korpus keilmuan
beliau merupakan sintesis dari keilmuan Maghrib dan Masyriq.[7]
Di Magrib, beliau sangat dihormati oleh penduduk setempat dan sempat menjadi
seorang qadhi (hakim) dalam masa yang cukup panjang. Juga kepribadian beliau
disanjung dan dipuji. Kemudian, pada tahun 531 H beliau pindah dan berdomisili
di Granada dan menjadi qadhi di sana pada tahun 532 H.[8]
Guru-gurunya
Di antara
guru-gurunya adalah Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Hamdain, Abul Hasan bin Siraj, Abu Muhammad bin Attab, Al-Qadhi Abi Ali Husain bin Muhammad al-Shadafi,
Abu Bakr al-Thurthusy,
Abu Ali al-Ghasani, Abu Abdillah al-Mazini, Ahmad bin Baqi, Ahmad bin Muhammad
bin Muhammad bin Makhul, Abu al-Thahir Ahmad ibn Muhammad al-Salafi, Al-Hasan
bin Muhammad bin Sakrah, Al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi, dan Al-Qadhi Abi al-Walid bin Rusd dan lain-lain.[9]
Murid-muridnya
Di antaranya
adalah putranya sendiri, yaitu al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Iyadh,
Al-Hafidz Khalaf bin Basykawal, Abu Ja’far bin al-Qashir
al-Gharnati, Al-Imam Abdillah al-Asyiri, Abu Muhmmad bin Ubaidillah al-Hajri,
dan Muhammad bin al-Hasan al-Jabiri.[10]
Karya-karyanya
Dalam kesibukan
sebagai qadhi
(hakim), beliau sempat menulis karya-karya ilmiyah yang lumayan
banyak. Namun, di antara karya-karya tersebut banyak yang hilang dan hanya
sedikit yang
dapat diselamatkan. Kitab beliau yang eksis dengan baik sampai sekarang adalah
kitab al-Syifa. Secara keseluruhan, pandangan dan metode pemahaman
beliau dapat diketahui melalui kitab ini.[11]
Perhatian beliau sangat besar di berbagai bidang ilmu
pengetahuan, akan tetapi kontribusi ilmiyah beliau yang paling terkenal adalah
dalam ranah al-Hadis wa Ulumul Hadis. Di antara karya-karya beliau yang
populer sebagai berikut; (1) Ikmal al-Mu’allim fi Syarh Shahih Muslim, (2)
Tafsir Gharib Hadis al-Muwatha’ wa al-Bukhari wa Muslim, (3) Al-Tanbihat
al-Mustanbathah fi Syarh Musykilat Al-Mudawwanah, (4) Tartib al-Madarik
wa Taqrib al-Masalik li Ma’rifah A’lami Mazhab Malik, (5) Bughyat
Ar-Raid lima Tadhammanah Hadis Ummu al-Zar’ie min al-Fawaid, (6) Sirr al-Surrah
fi Adab al-Qudhat, (7) Jami’ al-Tarikh, (8) Al-Saif al-Maslul ala
Man Sabba Ashab al-Rasul, dan lain-lain.[12]
Komentar para
ulama
Seperti yang telah
diuraikan di atas bahwa al-Qadhi Iyadh merupakan sosok multidisipliner. Beliau
menguasai berbagai disiplin keilmuan, mulai dari hadis, tafsir, sastra dan
fiqh. Bahkan dalam disiplin yang terakhir ini, beliau sering dikutip oleh
ulama-ulama Syafi’iyah, meskipun beliau sendiri bermazhab Maliki. Dalam kitab-kitab
standar yang digunakan di Pesantren, nama beliau sering disebut sebagai
otoritas rujukan, sehingga namanya tidak asing lagi terdengar di telinga kaum
santri. Sebagai bukti dari ketinggian dan kredibilitas beliau, baik sebagai
pribadi dan keilmuannya, di sini akan dipaparkan beberapa komentar ulama.
Putra beliau yang bernama Muhammad
berkata, "Bapakku (Al-Qadhi Iyadh) menjalani
kesehariannya dengan iffah (menjaga diri dari perbutan tercela),
prilakunya disukai orang setempat, perkataan dan perbuatannya terpuji, beliau
mengusai dan paham serta pecinta ilmu, seorang mujtahid, menghormati
guru-gurunya, banyak berdiskusi bahkan kadang berbeda pendapat dengan mereka,
beliau mengungguli teman-teman sezamannya. Selain itu, beliau juga seorang
penghafal al-Qur’an disertai bacaan yang bagus, juga menguasai tafsir dan ulum
al-Tafsirnya."
Ibn ‘Ashim
berkata, "Al-Qadhi Iyadh adalah pribadi yang rendah hati, lembut, pecinta
ilmu sehingga menguasai berbagai disiplin ilmu, bahkan pengetahuannya tidak
dapat dikuantitatifkan."
Al-Malahi berkata,
"Al-Qadhi Iyadh sangat dalam ilmunya, taat beragama dan lemah lembut,
pengetahunnya sangat luas membentang dari berbagai disiplin, mulai dari ilm
al-Hadis, ilm al-Ushul, hafal nama-nama rijal hadis, menguasai ilm
al-Nahwi, juga mendalami berbagai mazhab fiqh dan sastra."
Ibn Khatimah berkomentar bahwa “Al-Qadhi Iyadh
sangat menghormati sunnah, alim dan amil, berkata jujur, dan
tidak gentar menghadapi serangan cacian. Juga beliau seorang Maliki yang sangat
paham.[13]
Ibn khalkan
mengatakan, “Al-Qadhi Iyadh adalah Imam al-Hadis di masanya, juga
menguasai nahwu, bahasa, cerdas dan paham berbagai disiplin ilmu.”[14]
Ibn Basykawal berkata, "Al-Qadhi
Iyadh adalah orang ahli ilmu yang menguasai di berbagai bidang, cerdas dan
sangat paham".[15]
Al-Faqih Muhammad bin Hamadan al-Sabti
berkata, "Al-Qadhi Iyadh adalah orang yang suka berdiskusi, di Sabtah
tidak ada seorang pun di masanya yang dapat melebihi karangannya dari segi
kuantitas."[16]
Al-Imam al-Dzahabi mengatakan bahwa
karya-karya Al-Qadhi Iyadh bobotnya sangat bagus. Dan yang paling monumental
dari semua karyanya adalah kita al-Syifa.[17]
Latar belakang
penulisan kitab
al-Syifa
Dalam pengantar
kitab al-Syifa, al-Qadhi Iyadh memberikan penjelasan terkait
terbitnya kitab ini, yaitu karena ada banyak permintaan dari masyarakatnya
waktu itu. Mereka tidak henti-hentinya meminta kepada al-Qadhi Iyadh supaya
menulis sebuah kitab yang menjelaskan dengan detail dan panjang mengenai pribadi
dan martabat Nabi Saw. Juga tentang bagaimana seharusnya mengagungkan dan
menghormatinya, apa hukum yang harus disematkan kepada seseorang yang tidak mengagungkan
atau memberikan suatu penilaian yang tidak pantas kepada baginda Nabi Saw.
Dengan penuh rendah hati, akhiranya
al-Qadhi Iyadh merespon dan menyanggupi permintaan tersebut, dan tersusunlah
kitab al-Syifa ini. Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh mengakui bahwa semua
isi dan kandungannya merupakan kumpulan dari berbagai perkataan para ulama dan
imam-imam sebelumnya. Posisi beliau di sini hanya sebagai penjelas dan
memodifikasi berbagai perkataan ulama dan imam-imam tersebut. Namun begitu,
dengan rendah hati, beliau mengakui bahwa dalam perjalanan menulis kitab ini
menemukan banyak kesulitan. Hal itu lebih disebabkan karena ulasan yang akan
beliau garap merupakan sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw, mulai dari
sifat yang wajib, yang tidak boleh dan yang jaiz baginya. Juga bagaimana cara
menghormati, mengagungkan dan menjunjung tinggi derajatnya. Sehingga hal itu,
bukan hanya membutuhkan kedalaman dan keluasan ilmu, tapi juga membutuhkan
kedalaman spiritual dan ma’rifah. Seperti dikatakan sendiri oleh beliau bahwa
dalam rangka memaparkan berbagai hal yang memeliki korelasi dengan Nabi Saw,
selain harus memiliki kualifikasi kedalaman dan keluasan ilmu, juga tidak kalah
pentingnya mendapat pertolongan dan petunjuk dari Allah Swt supaya terlepas
dari kekeliruan dan kesesatan
Metode penulisan
kitab
Dalam penulisan kitab ini, al-Qadhi
Iyadh menerapkan dua pola penting;
Pertama, sistematika
penulisan yang sangat rapi dan bagus. Dalam sistematika kitab ini, al-Qadhi
Iyadh menggunakan pola qism, bab, fasal. Untuk lebih
jelasnya, rinciannya sebagai berikut;
Pembagian Pertama; terdiri dari empat (4)
bab. Bab Pertama; terdiri dari sepuluh (10)
fasal. Bab Kedua; terdiri dari dua puluh tujuh (27) fasal. Bab Ketiga; terdiri
dari dua belas (12) fasal. Bab keempat; terdiri
dari tiga puluh (30) fasal.
Pembagian Kedua; terdiri dari empat (4)
bab. Bab Pertama; terdiri dari lima (5) fasal. Bab Kedua; terdiri dari enam (6)
fasal. Bab Ketiga; terdiri dari tujuh (7)
fasal. Bab keempat; terdiri dari sepuluh (10) fasal.
Pemabagian Ketiga; terdiri dari dua (2)
bab. Bab Pertama; terdiri dari enam belas (16) fasal. Bab Kedua; terdiri dari
sembilan (9) fasal.
Pembagian Keempat; terdiri dari dua (2)
bab. Bab Pertama; terdiri dari sepuluh (10) fasal. Bab Kedua; terdiri dari
sepuluh (10) fasal. Bab Ketiga; sebagai pelengkap yang
sengaja disisipkan oleh al-Qadhi Iyadh guna menyempurnakan keseluruhan isi
kitab.
Kedua, sebagaimana kitab ini disusun dengan
sistematika yang baik, begitu juga dengan pola pemaparan dari segi argumentasi.
Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh memakai pola sebagai berikut; Pertama,
menghadirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan topik yang sedang dibahas.
Kemudian, ayat tersebut dikomentari, baik dari segi cara baca
(qiraah) maupun penafsiran. Namun, dalam ranah penafsiran beliau berusaha
menafsirkan sendiri ayat tersebut, kemudian penafsiran dari berbagai ulama
dihadirkan. Juga diperkuat dengan hadis maupun berbagai pendapat ulama.[18]
Kedua, menyuguhkan hadis, baik posisinya
sebagai penguat dari ayat yang sudah ada maupun hadis tersebut dijadikan
sebagai argumentasi primer dan independen.[19]
Status hadis ini bervariasi, mulai dari yang shahih, hasan, dhaif bahkan
maudhu’. Hadis maudhu’ tersebut ditampilkan hanya untuk menyempurnakan
pembahasan yang sedang dikaji.[20]
Namun, sacara keseluruhan hadis yang terdapat dalam kitab al-Syifa
adalah shahih dan hasan, karena kebanyakan terdapat dalam Kutub al-Tis’ah, terutama
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam menyebutkan suatu hadis, al-Qadhi
Iyadh tidak hanya fokus pada riwayat tunggal, tetapi juga menyebutkan
riwayat-riwayat lain yang masih terkait. Kadang juga, hadis tersebut
dikomentari statusnya oleh al-Qadhi Iyadh sendiri maupun dengan cara
menyebutkan pendapat ulama.[21]
Ketiga, dalam kitab ini
juga dihadirkan berbagai pendapat ulama, terutama yang bertindak sebagai
penafsir dari ayat maupun penjelas dari hadis. Bahkan juga dalam suatu tema,
al-Qadhi Iyadh hanya mencukupkan argumentasinya pada pendapat-pendapat ulama,
tanpa menyebut ayat sama sekali dan hadis pun disuguhkan hanya sebagai
penyempurna dari pendapat-pendapat ulama tersebut.[22]
Juga pendapat yang dikutip disebutkan nama ulama yang mengatakan, atau
disebutkan mazhab dan golongannya. Dalam pengamatan penulis (kami), al-Qadhi
Iyadh semaksimal mungkin menyebutkan dari siapa pendapat tersebut bersumber,
dari mazhab dan golongan siapa, sehingga pendapat yang dikutip tidak terkesan
misterius dan tanpa subyek. Hal ini membuktikan bahwa al-Qadhi Iyadh menulis
kitab ini dengan penuh serius dan baik, berbeda dengan ulama terdahulu bahkan
yang sezaman dengannya. Mereka banyak mengutip pendapat yang misterius dan
tanpa subyek atau tokoh tanpa identitas (anonimitas), sehingga banyak
ditemukan lafadz “dikatakan” (qiila) dan sebagainya.
Keempat, dalam kitab ini
juga al-Qadhi Iyadh memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait
lafadz-lafadz hadis yang gharib.[23][24]Hal
ini membuktikan kualitas beliau sebagai ahli hadis sekaligus ahli bahasa.
Isi kitab al-Syifa
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
proses terbitnya kitab al-Syifa ini bermula dari sebuah permintaan masyarakat
kepada al-Qadhi Iyadh supaya beliau menulis kitab yang kandungannya berisi
tentang sifat-sifat dan kemulian Nabi Saw, dan beliau merespon permintaan
tersebut. Kemudian kitab tersebut dinamakan al-Syifa bi Ta’rifi Huquq
al-Mustafa. Sesuai permintaan yang diajukan, konten dan isi dari kitab ini
secara keselurahan berkorelasi dengan Nabi Saw, baik mengenai sifat-sifatnya,
cara mengagungkan dan memuliakannya, dan juga bagaimana status seseorang yang
merendahkan derajatnya. Semua kandungan dalam kitab ini tidak lepas dari
pembahasan yang bersentuhan langsung dengan Nabi Saw. Lebih tepatnya, proyek
yang diwarkan dalam kitab ini adalah proyek pengkultusan (fetisisme)
terhadap Nabi Saw. Untuk mengetahui bagaimana proyek pengkultusan tersebut
dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini, penulis (kami) akan mencoba
memetakan pola-pola konstruksi tersebut sebagai berikut.
Pertama, dalam memulai
setiap topik bahasan, biasanya al-Qadhi Iyadh membukanya dengan ayat al-Qur’an,
kemudian diperkuat dengan hadis, riwayat-riwayat serta pendapat-pendapat ulama.
Hal ini juga direalisasikan ketika memposisikan kedudukan Nabi Saw yang menjadi
bangunan besar dari keseluruhan kitab ini. Sebelum al-Qadhi Iyadh
mengeksplorasi posisi Nabi Saw dalam dunia realitasnya sebagai bagian dari
manusia biasa, beliau terlebih dahulu mentransendenkan Nabi Saw dengan
ayat-ayat al-Qur’an. Melalui aya-ayat ini, secara eksplisit dan tegas al-Qadhi
Iyadh ingin mengukuhkan bahwa kemulian, kehormatan dan keagungan yang disandang
Nabi Saw diperoleh bukan atas dasar gelar yang diberikan sesama manusia, namun
dianugerahkan langsung oleh Allah Swt. Cara peneguhan seperti ini disebut
sebagai logika transendental, yaitu menempatkan suatu objek dalam kondisi yang
transenden, suci dan berada diluar realitas dan sejarah manusia. Maka, ketika
al-Qadhi Iyadh mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjustifikasi kemulian Nabi
Saw, praktis posisi Nabi Saw menjadi suci sebagaimana kesucian ayat-ayat
al-Qur’an yang menjadi basis justifikasinya. Karena keberadaan ayat-ayat
al-Qur’an adalah suci, maka objek yang mendapat apresiatif kemulian dari
ayat-ayat tersebut juga dengan sendirinya menjadi suci. Sebagaimana kebenaran
ayat-ayat al-Qur’an harus diterima dengan penuh keimanan dan tanpa protes,
begitu pula kemulian Nabi Saw yang mendapat pembenaran ayat-ayat tersebut harus
diterima dengan penuh keimanan dan tanpa protes. Menentang dan mempertanyakan
kemulian Nabi Saw, statusnya sama dengan menentang dan mempertanyakan kebenaran
al-Qur’an itu sendiri.
Dengan logika transendental ini,
al-Qadhi Iyadh ingin menghipnotis bayangan kolektif masyarakat tentang mitos
kemulian Nabi Saw, sekaligus juga membungkam segenap dialektika dan diskursus
yang meragukan kemulian Nabi Saw. Karena keterbatasan referensi, penulis (kami)
tidak dapat mengeksplorasi lebih jauh terkait siapa sebenarnya yang menjadi
sasaran pembungkaman oleh al-Qadhi Iyadh. Apakah pembaca secara keseluruh,
termasuk pembaca yang hidup di masa sekarang, atau ada individu dan golongan
tertentu yang menjadi target utama yang hidup di zamannya. Tetapi jika kembali
melihat proses terbitnya kitab ini, kemungkinan besar sasaran utamanya adalah
sebagian orang yang hidup di zamannya, karena kitab ini lahir dari desakan dan
kegelisahan masyarakat waktu itu. Dalam psikologi sosial, sebuah desakan dan
kegelisahan tidak mungkin timbul tanpa ada gejolak dan benturan. Kemungkinan
besar dalam konteks ini, penyebab timbulnya gejolak dan kegelisahan dalam
masyarakat pada waktu itu adalah adanya sekolompok orang yang meragukan status
kemulian Nabi Saw. Atau bahkan mengusik dan tidak mempercayainya, sehingga
membuat masyarakat menjadi terganggu. Demi stabilitas sosial, masyarakat
meminta al-Qadhi Iyadh untuk meredam gejolak dan kegentingan tersebut
melalui sebuah tulisan yang berisi secara detil tentang sosok Nabi Saw. Selain
karena maksud menentramkan masyarakat, jelas kelahiran kitab ini ada sekolompok
orang yang dituju dan menjadi target utama, yaitu sekolompok orang yang
meragukan atau bahkan tidak mempercayai Nabi Saw. Di sini sebenarnya logika
transendental yang dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini mendapat
revelansinya. Karena, ketika yang memberi gelar kemulian kepada Nabi Saw adalah
Allah melalui ayat-ayat-Nya, maka tidak seorang pun yang boleh menentangnya.
Semuanya wajib mengimani dan tunduk, termasuk sekolompok orang yang meragukan
kemulian Nabi Saw. Melalui logika transendental ini, al-Qadhi Iyadh dapat
membungkam dua kondisi sekaligus, yaitu masyarakat yang terganggu dan gelisah
berubah menjadi tenang dan sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw
menjadi tidak berkutik karena harus tunduk pada kebenaran ayat-ayat al-Qur’an
yang secara tekstual memuliakan Nabi Saw. Dengan mengoperasionalkan logika
transendental ini, sepertinya al-Qadhi Iyadh paham betul kondisi masyarakat
Muslim yang sangat fanatik mengikuti ketentuan al-Qur’an, sehingga apapun yang
bersumber dari bunyi teks al-Qur’an pasti diikuti dan masalah menjadi tuntas.
Bahkan, sampai sekarang pun kondisi ini tetap tidak berubah. Jika ayat-ayat
al-Qur’an sudah bicara dan dikutip meski dalam kepentingan politik, masyarakat
Muslim akan mengikuti tanpa sikap kritis dan seakan-akan persoalan menjadi
selesai. Ironis memang, tapi itulah realitasnya. Padahal, seperti kata Vico,
pengetahuan apapun, termasuk kategori kemulian yang disandangkan kepada Nabi
Saw adalah pengetahuan yang dibuat oleh manusia sendiri, bukan Allah Swt.[25]
Singkatnya, kategori kemulian yang dianugerahkan kepada Nabi Saw dalam kitab
ini adalah hasil dari pengetahuan al-Qadhi Iyadh sendiri melalui elaborasinya
terhadap ayat-ayat Allah Swt dalam al-Qur’an. Begitu pun dengan gerakan-gerakan
kanan semisal HTI (Hisbut al-Tahrir Indonesia), pengetahuan mereka
terhadap konsep “khilafah” yang selalu digaungkan dan berkoar sudah
mendapat restu Allah Swt (melalui ayat atau hadis yang mereka kutip)
untuk ditegakkan, tidak lebih dari hasil pengetahuan mereka sendiri melalui
penafsiran yang picik terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis Nabi Saw.
Kedua, dalam melakukan proyek pengkultusan
terhadap Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh sepertinya belum puas dengan strategi dan
logika transendentalnya. Padahal, andaikan mencukupkan diri pada strategi dan logika
transendental, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk menekan, mengalienasi,
marjinalisasi dan melakukan resistensi terhadap pihak lain yang dianggap
abnormalitas karena meragukan kemulian Nabi Saw. Namun, realitasnya tidak
demikian. Dalam kitab ini, al-Qadhi Iyadh masih menggunakan strategi dan logika
lain dalam melakukan proyek pengkultusan (fetisisme) terhadap Nabi Saw,
yaitu logika sublimasi. Dalam arti, mengosongkan suatu objek dari karakter
asalnya yang profan, kemudian diisi dengan karakter lain yang lebih tinggi
nilai dan kualitasnya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan karakter yang
lebih tinggi nilai dan kualitasnya adalah karakter yang bersumber dari sifat
ilahiyah, sedangkan karakter asal yang profan adalah karakter seperti yang
dimiliki setiap individu manusia secara keseluruhan. Ketika mengaplikasikan
dalam diri Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh mengosongkan dan menegasikan terlebih
dahulu karakter dan sisi sifat kemanusian Nabi Saw, kemudian diisi dengan
karakter dan sifat-sifat yang bernuansa ilahiyah. Dengan begitu, semua karakter
Nabi Saw, mulai dari sifat, gerak-gerik, aktivitas, dan bahkan semua yang
bersumber darinya adalah bernilai tinggi, imanen, dan ilahiyah. Implikasi dari
penerapan logika ini jelas, yaitu bahwa sang diri (Nabi Saw) adalah mulia,
terhormat dan harus diagungkan. Logika sublimasi ini, dalam Islam lebih dikenal
(hampir sama) dengan teori ishmah al-Anbiya’, yaitu terpeliharanya
seorang Nabi dari segala perbuatan terlarang dan tercela. Karena seorang Nabi,
termasuk Nabi Muhammad Saw sudah dijamin tidak melakukan perbuatan tercela, dan
yang tersisa adalah nilai-nilai terpuji dalam dirinya, maka tidak seorang pun
yang pantas merendahkan, apalagi mencelanya. Kewajiban setiap orang, terutama
kaum Muslim adalah menjungjung setinggi-tingginya tanpa harus menyisakan celah
sedikit pun untuk merendahkannya. Merendahkan Nabi Saw statusnya sama dengan
merendahkan yang ilahiyah. Mencela Nabi Saw berarti mencela yang ilahiyah.
Meragukan kemulian Nabi Saw sama hukumnya dengan meragukan kemulian yang
ilahiyah, karena semua yang bersumber dari Nabi Saw dalam bentuk apapun,
merupakan radiasi dan pancaran dari sang ilahi.
Dalam rangka memuluskan strategi dan
logika sublimasinya ini, al-Qadhi Iyadh menerapkan dan melakukan proganda dalam
bentuk ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw, riwayat-riwayat, perbuatan
serta perkataan ulama. Bahkan juga menampilkan berbagai kejadian yang dinilai
mukjizat bagi Nabi Saw, dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Kejadian yang
dinilai mukjizat bagi Nabi Saw tersebut, yaitu seperti membelah bulan dan
menahan matahari yang pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Juga seperti memancarnya
air dari jari-jemainya, air bartambah banyak ketika Nabi Saw menggenggamnya,
makanan bertambah banyak, berinteraksi dan bercakap-cakap dengan pohon,
bebatuan yang mengucapkan salam kepada Nabi Saw, menghidupkan orang mati, dan
masih banyak lagi. Kejadian-kejadian ini ditampilkan oleh al-Qadhi Iyadh
sebagai trik untuk mengisi kekosongan karakter dan sifat kemanusian Nabi Saw
yang telah dicabutnya. Dengan menampilkan semua kejadian ini, al-Qadhi Iyadh
juga ingin memproyeksikan memori kolektif masyarakat dalam satu poros, yaitu
poros pengkultusan Nabi Saw. Dalam kesadaran masyarakat, termasuk kita, akan
cenderung mengelukan-elukan dan mengagumi sesuatu yang dalam bayangan mereka
istimewa dan diluar nalar. Dari proses mengagumi tersebut, selanjutnya akan
menjalar pada proses mengidolakan, dan pada akhirnya mengkultuskan. Di
Indonesia misalnya, ada Limbad, Dedy Corbuser, Joe Sandi yang sering menghibur
pemirsa Indonesia dengan adegan-adegan yang diluar nalar. Dalam bayangan
masyarakat Indonesia, mereka adalah manusia super atau superman karena dapat
melakukan hal-hal yang istimewa, yang tidak dapat dilakukan masyarakat
kebanyakan. Dapat dipastikan bahwa seluruh masyarakat dan pemirsa Indonesia
mengenal, bahkan mengaguminya. Ketika Limbad melakukan atraksi misalnya, semua
mata tertuju hanya pada satu poros, yaitu Limbad. Mereka lalu mengagumi Limbad,
mengidolakannya dan kemudian mengkultuskannya. Selain itu, Limbad juga seakan
menjadi keharusan untuk dihormati, untuk diagungkan.
Contoh lain, yaitu yang melanda
bayangan kolektif masyarakat pedesaan tentang Kiai mereka. Kiai Pesantren bukan
hanya dihormati karena kedalaman ilmunya, tapi juga karena diyakini memiliki
kemampuan mistik, dapat menyembuhkan orang sakit dan sebagainya. Dengan
kemampuan-kemampuan mistik tersebut, masyarakat kemudian menghormati,
mengagungkan kemudian mengkultuskannya. Semakin tinggi kemampuan mistik sang
Kiai, maka penghormatan masyarakat kepadanya semakin kuat. Karena dengan
kemampuan istimewa tersebut, masyarakat mempersepsi bahwa sang Kiai sudah
terlepas dari karakter kemanusiannya. Selanjutnya, yang tertanam dalam dirinya
adalah karakter dan sifat-sifat supranatuaral. Sehingga dengan praktis,
mereka mengagungkan dan mengkultuskannya. Mereka tidak berani hanya sekedar
melanggar titah Kiai, apalagi mengusik dan mengganggunya. Dengan begitu, ada
semacam penggerak kesadaran untuk menuju satu poros, yaitu poros pengkultusan
akibat hal-hal istimewa yang dimilikinya. Al-Qadhi Iyadh ketika menampilkan
beberapa kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw, sebenarnya dalam rangka
menggerakkan kesadaran masyarakat dalam lingkaran satu poros itu, yaitu poros
pengkultusan. Sehingga tanpa kesadaran kritis, masyarakat akan mengagumi Nabi
Saw, mengidolakan dan mengkultuskannya. Di sisi lain, al-Qadhi Iyadh juga ingin
menghantam sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw dengan menyuguhkan
kejadian-kejadian istimewa yang hanya dimiliki Nabi Saw.
Tidak hanya menghadirkan
kejadian-kejadian yang dinilai mukjizat bagi Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh juga
mengukuhkan kejadian-kejadian istimewa tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an,
hadis-hadis Nabi Saw. Bahkan juga, diperkuat dengan perkataan-perkataan ulama.
Sejumlah perkataan ulama dihimpun dalam satu jaringan utuh dan diarahkan dalam
lingkaran satu poros, yaitu poros pengkultusan. Selain itu, diperkuat juga
dengan perbuatan dan ritual ulama. Sejumlah perbuatan dan ritual ulama yang mengagungkan
Nabi Saw dicamtumkan untuk memperkuat daya sentuhnya.
Ketiga, dalam proses
selanjutnya, al-Qadhi Iyadh melakukan semacam oposisi biner untuk melancarkan
proyek pengkultusannya. Di bagian-bagian akhir dari kitab al-Syif, lebih
tepatnya di pembagian ketiga, al-Qadhi Iyadh membedah dan melakukan
kategorisasi nailai yang mustahil, boleh dan yang tidak boleh bagi Nabi Saw
dalam kapasitasnya sebagai bagian dari manusia biasa. Meskipun semua nilai
(baik-buruk) terbuka dilakukan semua jenis manusia, namun bagi seorang Nabi
tidak demikian. Ada nilai-nilai tertentu yang tidak mungkin dilakukan seorang
Nabi. Tentu nilai yang tidak mungkin dan tidak boleh adalah nilai yang dapat
mereduksi kualitasnya sebagai Nabi, seperti perbuatan tercela dan buruk. Dengan
demikian, ketika melakukan kategorisasi nilai antara yang boleh dan tidak bagi
Nabi Saw, al-Qadhi Iyadh tengah melakukan logika diferensiasi, yaitu dikotomi
antara Nabi/manusia biasa, baik/buruk, benar/salah, putih/hitam, moral/amoral,
normal/abnormal. Asumsi yang bekerja dalam imajinasi al-Qadhi Iyadh adalah yang
pertama superior, sedangkan yang kedua inferior. Yang pertama bernilai tinggi,
sedangkan yang kedua bernilai rendah. Meski Nabi Saw bagian dari manusia biasa,
tetapi hanya yang baik, benar, putih, moral dan normal yang boleh dilakukan.
Sedangkan yang buruk, salah, hitam, amoral, dan abnormal tidak mungkin
dilakukan, karena hal tersebut akan mereduksi status dirinya sebagai manusia
pilihan.
Seperti dikatakan sendiri oleh al-Qadhi
Iyadh, bahwa intisari dari kitab al-Syifa ini adalah pada pembagian
ketiga ini, yaitu memantapkan antara nilai-nilai yang boleh dan tidak bagi
Saw. Meskipun seorang Nabi adalah manusia pilihan, namun dari sisi
jenisnya tidak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi manusiawinya. Bahkan, ayat
al-Qur’an dengan gamblang mengatakan bahwa Nabi Saw adalah manusia biasa
layaknya manusia-manusia yang lain.[26]
Nabi Saw makan, minum, tidur, kawin dan sebagainya layaknya manusia normal
lainnya. Secara fisik, tidak ada yang istimewa dari Nabi Saw. Lantas kenapa
pembagian ketiga ini menjadi penting untuk dimantapkan, bahkan menjadi intisari
dari keseluruhan kandungan kitab ini?. Jawabannya, tidak lain karena melalui
dimensi manusiawinya ini Nabi Saw dapat diserang. Seseorang boleh mengklaim
bahwa Nabi Saw adalah manusia pilihan yang tidak mungkin melakukan
perbuatan tercela, tetapi apakah realitas kemanusiannya mengatakan demikian?.
Bagi sebagian orang, Nabi Saw bisa saja khilaf, toh beliau juga manusia bukan
malaikat. Ketika Nabi Saw khilaf, hal itu sah-sah saja sebagai manusia.
Anggapan seperti inilah yang coba dikendalikan oleh al-Qadhi Iyadh melalui
pemantapan pada pembagian ketiga ini. Al-Qadhi Iyadh menolak anggapan demikian
melalui jalur normatif dengan mengutip berbagai ayat, hadis, dan pendapat
ulama. Dimensi kemanusian Nabi Saw yang memberikan akses terhadap perbuatan
khilaf, ditutup oleh statemen ayat-ayat al-Qur’an dan sebagainya. Tentu tidak
lebih dari pemahaman yang dicapai al-Qadhi Iyadh sendiri. Karena secara
normatif Nabi Saw terpelihara, maka segala kemungkinan melakukan perbuatan
khilaf, meski dari dimensi manusiawinya, menjadi tertutup. Tidak ada peluang
bagi seseorang untuk meragukan Nabi Saw, meski berangkat dari perspektif
kemanusiaanya. Nabi Saw harus diagungkan dan dihormati karena terbebas dari
perbuatan tercela. Tidak boleh meragukan kemulian Nabi Saw.
Melalui logika diferensiasi Nabi Saw,
dugaan sementara penulis (kami) mendapat urgensinya ketika di atas mengatakan
bahwa yang menjadi sasaran utama dari kitab ini adalah sekolompok orang yang
meragukan kemulian Nabi Saw. Karena, kemungkinan besar, mereka meragukan
kemulian Nabi Saw melalui jalur dimensi kemanusiannya. Sebagai manusia, Nabi
Saw bisa saja melakukan khilaf, tidak ada bedanya dengan manusia biasa.
Pandangan seperti ini yang coba ingin ditutup oleh al-Qadhi Iyadh melalui
logika diferensiasi dalam pembagian ketiga ini. Tidak heran bila al-Qadhi
Iyadh mengatakan bahwa intisari kitab ini terdapat pada pembagian ketiga ini,
karena pada titik ini al-Qadhi Iyadh melakukan logika diferensiasi untuk balik
menyerang. Pada titik ini pula, al-Qadhi Iyadh melakukan pembelaan dan serangan
terhadap sekolompok orang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Bahwa dalam
realitasnya, memang Nabi Saw adalah manusia, tapi juga berbeda (diferensi)
dari manusia biasa. Kira-kira, seperti itulah tawaran wacana yang
dilontarkan al-Qadhi Iyadh sebagai bentuk pembalaan, tentu dengan disertai
berbagai argumen normatifnya.
Keempat, kini tiba pada
logika terakhir yang dikonstruk al-Qadhi Iyadh dalam kitab ini, yaitu logika
kuasa (power). Setelah menyebut tiga logika di atas, al-Qadhi Iyadh di
akhir pembahasan kitab ini memaparkan sejumlah sanksi sebagai konsekuensi bagi
seseorang yang meragukan kemulian Nabi Saw. Di sini dengan gamblang al-Qadhi
Iyadh memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki ototoritas dan berwenang
dalam menentukan keabsahan wacana kemulian Nabi Saw. Sedangkan pihak lain yang
meragukan kemulian Nabi Saw berada dalam posisi salah sehingga pantas disanksi
dan dihukum. Sejumlah sanksi disebutkan untuk mengadili pihak lain yang
dianggap salah. Al-Qadhi Iyadh seolah-olah memiliki hak istimewa untuk
bercerita dan merepresentasikan kemulian Nabi Saw, sehingga pemahaman yang
menyimpang dengan dirinya harus dikebiri dan digunduli. Seakan-akan dirinya
merupakan polisi kebenaran dan berwenang menertibkan berbagai pelanggaran
pemahaman dengan sejumlah sanksi. Padahal, sebenarnya wacana kemulian Nabi Saw
yang dikonstruknya tidak lebih dari salah satu bentuk legitimasi gagasan dan
pemahaman hegemonik yang dianggap benar terhadap pemahaman lain yang inferior
dan dianggap salah. Cara bernalar seperti ini jelas adalah sebentuk nalar kekuasaan
dan keinginan hegemonik. Nalar subversif dan antagonistik dalam bentuk
meragukan kamulian Nabi Saw harus ditumpas karena dianggap racun ditengah
kehidupan masyarakat.
Ada dua bentuk kekuasaan yang dimainkan
al-Qadhi Iyadh dalam proyeknya memarjinalkan pemahaman yang dianggap
menyimpang, pertama; kekuasaan intelektual. Hal ini jelas akan terungkap
dari berbagai argumennya yang menyilaukan mata pemabaca, mulai dari ayat-ayat
al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Saw, riwayat-riwayat dan berbagai perkataan ulama.
Semuanya ditampilkan untuk memperlihatkan keseksian argumennya. Al-Qadhi Iyadh
mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelengkapan nalar normatif
ditampilkannya. Sehingga seolah-olah wacana yang dikonstruknya merupakan
kebenaran yang tak terbantahkan. Di sisi lain, seolah mengatakan bahwa
pemahaman yang berbeda adalah bentuk penyimpangan intelektual, karena
bertentangan dengan argumen-argumen normatif yang dibangunnya. Kedua; kekuasaan
moral. Artinya, pemahaman yang meragukan Nabi Saw bukan hanya penyimpangan
intelektual, tapi juga penyimpangan moral yang harus diluruskan. Berbagai
sanksi disebutkan dalam upaya meluruskan penyimpangan ini, baik sanksi sosial
maupun sanksi fisik. Sanksi sosial berupa dituduh kafir, murtad sehingga harus
disisihkan dari kehidupan masyarakat. Bahkan hak warisnya harus dicabut.
Sedangkan sanksi fisik berupa harus dibunuh. Semua sanksi ini dihadirkan dalam
rangka meluruskan yang menyimpang. Pola-pola mengadili seperti ini tidak lain
sebagai bentuk keinginan menghegomoni dan berkuasa.
Penutup
Kitab al-Syifa ini merupakan
salah satu karya al-Qadh Iyadh yang paling prestisius dan monumental. Kitab ini
popular baik di Maghrib maupun di Masyriq. Dikaji oleh lintas generasi, mazhab
dan golongan. Banyak karya lahir karena terinspirasi dari kitab ini, mulai yang
berupa Syarh maupun kitab independen. Hampir semua ulama mengakui nilai
kualitas kitab ini. Meski tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian ulama,
seperti al-Dzahabi, yang mengkritiknya karena terdapat segelintir hadis yang berkualitas
rendah. Terlapas dari kekurangannya, kitab ini patut diapresiasi karena
kualitasnya yang bagus. Setiadaknya, ada tiga faktor dalam kitab ini yang
pantas mendapatkan respon positif. Pertama; sistematika penulisannya
yang baik dan rapi. Bisa dibilang, sistematika penulisan kitab ini sudah masuk
standar penulisan modern. Langkah-langkah penulisan kitab menggunakan pola
pembagian general (qism), bab dan fasal. Kedua; pemaparan
argumentasi yang runtut, dimulai dengan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi
Saw, riwayat-riwayat serta berbagai pendapat ulama. Semuanya tersaji dengan
baik dan sistematik. Juga, kuliatas hadis yang dihidangkan bervariasi, mulai
dari shahih, hasan, dhoif bahkan yang dianggap maudhu’. Tapi keseluruhan
hadisnya adalah berkisar antara shahih dan hasan. Ketiga; cara
bernalarnya yang juga baik dan sistematik. Secara keseluruhan ada empat cara
bernalar yang dimainkan dalam kitab ini, yaitu nalar atau logika transendental,
sublimasi, diferensiasi dan terakhir logika kuasa (power).
Moh. Jurianto, santri periset swasta-swadaya asal Madura.
[1] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[2] Al-Malla
Ali al-Qari, Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2001), hal. 3-4.
[3] Az-zirakly, Al a’lam,(Mesir:Darul ilm al malayin,2002), hal. 99, juz
5.
[4] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[5] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 49, juz 15.
[6] Adapun
yang dimaksud Ijazah dalam kajian Ulum al-Hadis sacara etimologi adalah al-Idznu
bi al-Riwayah, artinya seorang guru yang memberi izin muridnya untuk
meriwayatkan, baik sacara lafadz (lisan) maupun tulisan. Adapun secara
terminologi tidak jauh berbeda dengan pengertian etimologinya, yaitu seorang Syaikh
(guru hadis) yang memberi izin meriwayatkan hadis kepada muridnya dengan
mengatakan Ajaztu laka antarwiya hadza al-Hadis au hadza al-Kitab (saya
mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan hadis ini atau kitab ini).
[7] Ahmad Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz
al-Qur’ani, (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16.
[8] Al-Qadhi Iyadh, As-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, (Kairo:Darul al-Hadits, 2004),
hal.5.
[9] Ahmad
Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz al-Qur’ani,
(Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16. Dan dalam kitab As-Syifa,
hal.
5.
[10] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 51, juz 15.
[11] Ahmad Jamal al-Umari, Al-Qadhi Iyadh wa Mafhumuhu li al-I’jaz
al-Qur’ani, (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, 1977), hal. 15-16. Dan dalam
kitab As-Syifa, hal. 17.
[12] Al-Qadhi Iyadh, As-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, (Kairo:Darul al-Hadits, 2004),
hal.
6.
[13] Al-Malla
Ali al-Qari, Syarh al-Syifa li al-Qadhi Iyadh, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2001), hal. 5-7.
[14] Abu
Sahl Muhammad bin Abd al-Rahman al-Maghrawi, Mausu’ah Mawaqif al-Salaf fi
al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Tarbiyah, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah,
tth), hal. 133, juz 7.
[15] Abu
Sahl Muhammad bin Abd al-Rahman al-Maghrawi, Mausu’ah Mawaqif al-Salaf fi
al-Aqidah wa al-Manhaj wa al-Tarbiyah, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah,
tth), hal. 133, juz 7.
[16] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 50, juz 15.
[17] Al-Dzahabi,
Siyar A’lam Al-Nubala’, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006), hal. 50, juz 15.
[18] Lihat
fasal pertama, bab pertama dari pembagian pertama.
[19] Lihat
fasal tiga belas, bab keempat dari pembagian pertama.
[20] Sebagai
contoh, hadis yang terdapat dalam fasal pertama, bab pertama dari pembagian
pertama. Hadis tersebut berbunyi ; هل
اصابك من هذه الرحمة شيء؟ الخ. Hadis ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis.
[21] Lihat
riwayat-riwayat yang terdapat dalam fasal dua belas, bab empat dari pembagian
pertama.
[22] Lihat
fasal sembilan, bab pertama dari pembagian ketiga.
[23] Lihat
fasal dua puluh enam, bab dua dari pembagian pertama.
[24] Lafadz-lafadz
hadis gharib adalah lafadz yang bagi orang Arab karena diadopsi dari bahasa
lain atau karena lafadz tersebut tidak popular di lingkungan orang Arab
sendiri.
[25] Edaward
Said, kumpulan bunga rampai yang berjudul”Islam: Antara Visi, Tradisi, dan
Hegemoni Bukan-Muslim,” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 143.
[26] Bunyi
ayatnya “قل أنما أنا بشرمثلكم يوحى الي
انما الهكم اله واحد “. (QS. Al-Kahfi : 110).
Komentar
Posting Komentar