Hadis-Hadis Ghadirkhum: Ungkapan Kasih Sayang Atau Keputusan Politik?



Islam hingga saat ini memiliki dua wajah. Sunni dan Syiah. Perbedaan Sunni dan Syiah pada mulanya berhubungan dengan masalah politik. Perbedaan sikap politik ini kemudian melahirkan tafsir agama yang berbeda. Sebagian orang bahkan berpendapat bahwa perbedaan yang ada sudah menyangkut hal-hal yang fundamental dalam agama. Yaitu soal keyakinan. Akidah. Karenanya, menurut pandangan ini, Sunni dan Syiah sama sekali tidak dapat disatukan. Keduanya seperti dua agama yang berbeda. 

Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa masih ada kesempatan mengubah wajah sejarah masa depan. Sekalipun penuh tantangan, upaya ‘integrasi’ harus tetap dilanjutkan. Ada banyak celah yang dapat dimanfaatkan. Kalau tidak dapat disatukan, paling tidak ada upaya untuk mendekatkan satu sama lain. Inilah proyek taqrib baina al-madzahib

Kembali kepada asal mula perbedaan Sunni dan Syiah, disinyalir kuat bersumber dari perbedaan sikap politik. Sikap politik kedua kelompok yang paling fundamental berbeda adalah mengenai mekanisme pengangkatan kepala Negara. Bagi kaum Sunni, Negara merupakan suatu organisasi sosial yang dibuat berdasarkan konsensus (ijma). Konsensus itu sendiri harus berorientasikan kebajikan publik (maslahat). Pandangan ini berbeda dengan kaum Syiah berpendapat bahwa Negara merupakan persoalan prinsipil yang harus ditegakkan berdasarkan penjelasan dari Nabi saw. (nash).[1]
 
Sebagian orang menduga bahwa nash yang dimaksud orang-orang Syiah adalah hadis-hadis yang mengisyaratkan pengangkatan Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Ghadirkhum. Peristiwa tersebut terjadi setelah Nabi saw. beserta para sahabat hendak kembali ke Madinah. Usai Haji Wada. Di perjalanan, antara Mekah dan Madinah, Nabi saw. menginstruksikan berhenti di suatu lembah bernama Ghadirkhum. Pada kesempatan itu, Nabi saw. mendengar desas-desus dari sebagian orang yang mengeritik Ali bin Abi Thalib saat menjadi pejabat di Yaman. Intinya, mereka tidak menyukai kepemimpinannya. 

Nabi saw. berdiri di samping Ali bin Abi Thalib. Beliau menyampaikan khutbah singkat tentang masalah tersebut. Dalam khutbahnya, potongan kalimat yang kemudian diingat oleh banyak orang adalah, man kuntu maulahu fa aliyyun maulah (barang siapa yang menjadi maula-ku, maka Ali adalah maula bagi dirinya). 

Nabi saw. wafat beberapa waktu kemudian. Dimulailah perselisihan pendapat di kalangan sahabat. Selama tiga generasi pemimpin, masalah internal umat Islam dapat diselesaikan dengan kesepakatan. Namun pada masa pemimpin ketiga dan keempat, sepertinya tidak demikian. Pada masa Ali bin Abi Thalib gerakan protes menjadi semakin kuat. Dan terjadilah perang saudara. Yang paling besar dua kali, yaitu perang Jamal dan perang Shiffin. 

Pada perang kedua, Ali bin Abi Thalib mengalami kekalahan dalam sebuah intrik politik. Namun kekuasaannya masih bertahan hingga terbunuhnya beliau beberapa waktu kemudian oleh orang-orang yang tidak puas dengan kebijakannya. Para pendukungnya, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, menggunakan berbagai macam cara agar kepemimpinan tetap berada di tangan kelompok mereka. Keluarga Ali bin Abi Thalib merupakan simbol kepemimpinannya. Karenanya, keluarga Ali mendapat posisi utama dalam pandangan pendukungnya. Terjadi pula ideologisasi pernyataan Nabi saw. dalam konteks ini. Yaitu dengan menggunakannya sebagai alat kampanye mendukung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penyebaran hadis Ghadirkhum oleh sebagian sahabat yang mendukung kepemimpinan Ali. 

Di sini, hadis Ghadirkhum (man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu) menjadi penting dibahas. Ada sejumlah alasan mengapa hadis tersebut menjadi penting. Pertama, hadis Ghadirkhum merupakan kata-kata Nabi saw. yang paling jelas menegaskan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Nabi saw. menggunakan kata maula yang berasal dari kata w-l-y (waliya). Kata ini bisa berarti pemimpin atau orang kesayangan. Makna pertama jelas memiliki implikasi politik bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin seluruh umat yang pernah dipimpin Nabi saw. Pengertian kedua, orang kesayangan, menegaskan hubungan yang sangat dalam dan tidak ada implikasi politis sama sekali. 


Kedua, perbedaan pemahaman terhadap hadis tersebut telah melahirkan perseteruan yang berkepanjangan yang dampaknya bisa dilihat hingga sekarang. Yaitu dualitas wajah Islam; Sunni dan Syiah. Ketiga, perlunya mengetahui makna sebenarnya yang diinginkan Nabi saw. dalam pernyataanya tersebut. Hal ini karena, akibat keimanan yang mendalam terhadap pernyataan Nabi tersebut, sebagian sahabat mengutipnya dalam orasi publik yang mendukung, atau paling tidak bersimpati kepada, Ali bin Abi Thalib. Pengutipan semacam ini menimbulkan kecurigaan bahwa hadis tersebut mengalami politisasi penafsiran. Selanjutnya, muncul pertanyaan mengenai apa maksud sebenarnya dari pernyataan Nabi saw.? 

Keempat, Ghadirkhum telah diyakini sebagian Muslim sebagai hari bersejarah yang diperingati secara meriah. Dalam beberapa hal, Ghadirkhum telah dipopulerkan sebagai hari raya ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan tersendiri ketika dirayakan di negeri yang mayoritas menganut Islam-Sunni seperti Indonesia. Polemik pun kembali menghiasi ruang publik Muslim di Indonesia terkait hubungan Sunni-Syiah.

Kelima, upaya para ulama mengangkat peristiwa Ghadirkhum sebagai sebuah topik kitab karangan mereka. Upaya ini telah ada sejak abad keempat hijriah. Salah satunya kitab Hadith al-Wilayah Wa Man Rawa Ghadirkhum min al-Shahabah karya Ibnu ‘Uqdah al-Kufi (333 H.). Ibnu ‘Uqdah dikenal sebagai ulama Syiah yang diterima oleh kaum Sunnia maupun Syiah sendiri. Pada abad kedelapan hijriah, al-Dzahabi (748 H.) dalam kitab berjudul Risalah Thuruq Hadis Man Kuntu Maulah. Amir Ali Musawi al-Quzwaini menulis buku berjudul Ghadirkhum wa al-Hadath Yalihi al-Syi’ah fi al-Lughah wa al-Kitab al-Sunnah. Kedua buku ini merupakan kajian hadis-hadis yang berbicara tentang Ghadirkhum. Pendekatan yang digunakan adalah ulumul hadis konvensional yang berbicara tentang sanad dan riwayat. Kedua buku ini mewakili penulis Syiah sekalipun dalam kajian hadisnya merujuk kepada kitab-kitab hadis Sunni.  

Takhrij Hadis Ghadirkhum
Masalah hadis Ghadirkhum telah dibahas oleh para ulama dan sarjana. Terkait hadis yang penulis kaji, hadis tersebut ditemukan dalam banyak kitab hadis muktabar kaum Sunni. Penelusuran sementara penulis, dalam kitab-kitab takhrij, menunjukkan keberadaan hadis ghadirkhum dalam sejumlah literatur hadis. Dua kitab takhrij yang penulis gunakan adalah Kashf al-Khafa’ dan Nazhm al-Mutanatsir.

Kashf al-Khafa’ menyebutkan bahwa hadis Ghadirkhum berada dalam al-Mu’jam karya al-Thabarani, Musnad Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, dan al-Mukhtarah karya al-Dhiya’. Disebutkan pula bahwa perawi sahabatnya cukup banyak. Terdapat tiga puluh dua sahabat yang terlibat periwayatan. Dari sini, penulis kitab menyatakan bahwa hadis Ghadirkhum tergolong mutawatir atau masyhur.[2]
 
Penulis Nazhm al-Mutanathir menyatakan bahwa perawi sahabat 25 orang. Di antara 25 orang sahabat yang ditemukan penulis Nazhm al-Mutanathir, adalah (1) Zaid bin Arqam, (2) Ali, (3) Abu Ayyub al-Anshari, (4) Umar, (5) Dzi Murr, (6) Abu Hurairah, (7) Talhah, (8) Imarah, (9) Ibnu Abbas, (10) Buraidah, (11) Ibnu Umar, (12) Malik bin al-Huwairith, (13) Habsh bin Janadah, (14) Jarir, (15) Sa’d bin Abi Waqqas, (16) Abu Sa’id al-Khudri, (17) Anas, (18) Anas, (19) Qais bin Thabit, (20) Habib bin Budail, (21) Yazid bin Syarahil, (22) al-Bara bin Azib, (23) Abu al-Tufail, (24) Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari, dan (25) Jabir.[3]
 
Nazhm al-Mutanathir juga menginformasikan bahwa sejumlah ulama menyatakan kemutawatiran hadis Ghadirkhum tersebut. Di antaranya imam Ahmad bin Hanbal, al-Munawi, al-Suyuti, dan Ibnu Hajar. Menurut Ibnu Hajar, seorang ulama bernama Ibnu Uqdah (333 H.) pernah meneliti jalur periwayatannya dan dia menemukan banyak sekali jalur. Rata-rata berkualitas sahih atau hasan. Diinformasikan pula hadis Ghadirkhum diriwayatkan dalam Sunan al-Tirmidzi dan al-Nasa’i.[4]
 
Al-Dzahabi secara khusus mengumpulkan jalur-jalur periwayatan hadis Ghadirkhum dalam kitab Risalah Thuruq Hadith Man Kuntu Maulah Fa ‘Aliyyun Maulah. Beliau menyebutkan 125 jalur untuk hadis Ghadirkhum.[5] Al-Haithami, penulis kitab Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id menyebut sejumlah kitab yang memuat hadis tersebut seperti Musnad Ahmad, Mu’jam Kabir, Mu’jam Ausath, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya’la, dan Sunan al-Tirmidzi.[6]  

Dalam pencarian yang penulis lakukan menggunakan software Maktabah Syamilah, penulis menemukan sejumlah sumber tambahan seperti Sunan Ibnu Majah, Sahih Ibnu Hibban,dan Mustadrak al-Hakim.

Jumlah sahabat yang cukup banyak berkemungkinan besar membuat hadis Ghadirkhum menjadi mutawatir. Karena, berdasarkan teori perkembangan sanad, bila diandaikan satu orang sahabat punya dua orang murid, maka berdasar informasi Nazhm al-Mutanathir saja, sudah ada lima puluh orang tabiin (generasi pasca sahabat). Data-data di atas menunjukkan bahwa klaim kemutawatiran hadis Ghadirkhum sedikit banyak dapat dibuktikan. Sekalipun demikian para ulama sepertinya belum sepakat apakah kemutawatiran tersebut berdampak pada kesahihan hadis tersebut. Al-Zaila’i (762 H.) menyatakan bahwa banyaknya jalur periwayatan hadis Ghadirkhum tidak membuat tingkat validitasnya menguat.[7] Ibn al-Mulqin (804 H.) mengutip al-Baghdadi dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad yang menyatakan, “Al-Hakim mengumpulkan sejumlah hadis dan mengira hadis tersebut harusnya masuk dalam kitab Shahihain. Di antaranya adalah hadis mengenai al-thair dan man kuntu maulah fa ‘aliyyun maulah. Lalu para pakar hadis mengingkarinya dan tidak menanggapi pernyataannya. Tidak pula mereka membenarkan perbuatannya itu.”[8] Dua pernyataan terakhir menunjukkan bahwa kualitas hadis Ghadirkhum, sekalipun mutawatir, masih diperdebatkan. 

Mutawatir identik dengan kesahihan. Karena, dengan periwayat yang berjumlah sangat banyak kecil kemungkinan terjadi pemalsuan. Kebohongan dan kesalahan dapat diminimalisir sehingga validitas hadis dapat dibuktikan. Namun kedua pernyataan terakhir sepertinya tidak mendukung kesahihan hadis Ghadirkhum, yang dimasukkan al-Suyuthi dalam Nazhm al-Mutanathir

Untuk membuktikan klaim kelemahan kita tidak dapat mengukurnya dengan mutawatir atau tidaknya hadis. Kesahihan ditentukan oleh prasyarat tertentu yang harus ada dalam suatu sanad hadis. 

Kualitas Hadis
Pengamatan sepintas terhadap pesebaran hadis-hadis Ghadirkhum dalam kitab-kitab hadis, dapat diperkirakan kualitas hadis-hadis tersebut. Terdapat lima kitab yang dikenal memiliki perhatian terhadap kualitas hadis-hadis yang dimuat di dalamnya. Kelima kitab tersebut adalah (1) Sunan Tirmidzi, (2) Sunan Nasa’i, (3) Sunan Ibnu Majah,(4) Sahih Ibnu Hibban, dan (5)  Mustadrak ‘ala Sahihain

Dua kitab yang jelas menegaskan kesahihan hadis Ghadirkhum adalah Sahih Ibnu Hibban dan Mustadrak al-Hakim. Dikatakan demikian karena kedua kitab ini mengklaim hanya memasukkan hadis-hadis sahih di dalamnya. Berbeda dengan tiga kitab sunan sebelumnya, sekalipun para penyusun menekankan kesahihan namun mereka tidak mengkhususkan pada hadis-hadis sahih. 

Asbabul Wurud
Asbabul Wurud adalah situasi yang berhubungan dengan kemunculan pernyataan Nabi saw. Ibnu Hamzah al-Dimasyqi menyatakan asbabul wurud meliputi situasi yang mendorong seorang sahabat meriwayatkan hadis. Pengertian kedua ini lebih luas dibanding yang pertama karena akan memasukkan peristiwa-peristiwa sesudah wafatnya Nabi saw. 

Hadis Ghadirkhum ini memiliki dua model asbabul wurud di atas. Asbabul Wurud model pertama, bisa dilihat dalam riwayat dari sahabat Zaid bin Arqam misalnya. 

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : لَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَنَزَلَ غَدِيرَ خُمٍّ أَمَرَ بِدَوْحَاتٍ فَقُمْنَ ، فَقَالَ : كَأَنِّي قَدْ دُعِيتُ فَأَجَبْتُ ، إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ : أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الآخَرِ ، كِتَابُ اللهِ تَعَالَى ، وَعِتْرَتِي ، فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا ، فَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ ثُمَّ قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَوْلاَيَ ، وَأَنَا مَوْلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ ، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ : مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَهَذَا وَلِيُّهُ ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالاَهُ وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ

Dari Zaid bin Arqam ra. Beliau berkata, “Ketika Rasulullah saw. hendak kembali dari Haji Wada dan istirahat di daerah Ghadirkhum, beliau memerintahkan agar para sahabat merapat ke pohon besar. Beliau bersabda, ‘Sepertinya saya telah dipanggil lalu saya memenuhi panggilan itu. Saya meninggalkan untuk kalian dua perkara yang besar. Salah satunya lebih besar dibanding yang lain. Yaitu Kitabullah dan keturunanku. Perhatikan bagaimana kalian merawat keduanya. Keduanya tidak akan terpisah hingga keduanya datang kepadaku di telaga. Kemudian beliau melanjutkan, ‘Allah azza wa jalla adalah maula-ku. Aku adalah maula untuk setiap Mukmin.’ Kemudian beliau memegang tangan Ali ra. dan berkata, ‘Siapa yang menjadi maula saya, orang ini adalah wali-nya. Ya Allah, kasihi orang yang mengasihinya. Musuhi orang yang memusuhinya.”[9]

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى غَدِيرِ خُمٍّ فَأَمَرَ بِدَوْحٍ ، فَكُسِحَ فِي يَوْمٍ مَا أَتَى عَلَيْنَا يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ حَرًّا مِنْهُ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّهُ لَمْ يُبْعَثْ نَبِيٌّ قَطُّ إِلاَّ مَا عَاشَ نِصْفَ مَا عَاشَ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ ، وَإِنِّي أُوشِكُ أَنْ أُدْعَى فَأُجِيبَ ، وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ كِتَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ قَامَ فَأَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، مَنْ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، أَلَسْتُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ ؟ قَالُوا : بَلَى ، قَالَ : مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ.

Dari Zaid bin Arqam ra. Beliau berkata, “Kami pergi bersama Rasulullah saw. Sesampainya di daerah Ghadirkhum, beliau menyuruh para sahabat mendekat ke pohon besar. Beliau mengusap muka ketika hari terasa sangat panas. Kemudian beliau memuji Allah dan berkata, ‘Wahai umat manusia, tidak diutus seorang pun kecuali diberi umur setengah dari umar nabi sebelumnya. Aku khawatir akan dipanggil lalu aku memenuhi panggilan itu. Aku meninggalkan pedoman yang kalian tidak akan pernah tersesat setelah berpegang terhadapnya. Yaitu Kitabullah.’ Kemudian Nabi berdiri, memegang tangan Ali ra. dan berkata, ‘Wahai umat manusia, siapa yang lebih sayang  atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri?’ Para sahabat berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ ‘Apakah aku bukan orang yang paling sayang kepada kalian dibanding diri kalian?’ Para sahabat menjawab, ‘Benar.’ Rasulullah berkata, ‘Siapa yang menjadi maula saya, maka dia adalah maula Ali.’[10]

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عَلِيٍّ إِلَى الْيَمَنِ ، فَرَأَيْتُ مِنْهُ جَفْوَةً فَقَدِمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَذَكَرْتُ عَلِيًّا فَتَنَقَّصْتُهُ ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ وَجْهُهُ قَالَ : يَا بُرَيْدَةُ أَلَسْتُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ قُلْتُ : بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ.

Dari Buraidah. Beliau berkata, “Saya pergi bersama Ali ke Yaman. Lalu saya melihat dia bersikap kasar (sewenang-wenang). Lalu saya menghadap Nabi saw. dan melaporkan sikap Ali tersebut. Saya mengeritik kekurangan dia. Wajah Rasulullah saw. berubah dan berkata, ‘Wahai Buraidah, apakah aku tidak lebih sayang kepada kaum mukmin dibanding diri mereka sendiri?’ Saya menjawab, ‘Benar, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata, ‘Siapa yang menjadi maula saya, Ali adalah maula baginya.”[11]

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً ، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَمَضَى عَلِيٌّ فِي السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً ، فَأَنْكَرُوا ذَلِكَ عَلَيْهِ فَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِينَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِيٌّ ، قَالَ عِمْرَانُ : وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا قَدِمُوا مِنْ سَفَرٍ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرُوا إِلَيْهِ وَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ، ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ ، فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ أَحَدُ الأَرْبَعَةِ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّ عَلِيًّا صَنَعَ كَذَا وَكَذَا ؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الثَّانِي ، فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ ، فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ ، ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّ عَلِيًّا صَنَعَ كَذَا وَكَذَا ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ ، فَقَالَ : مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ ، إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي ، وَأَنَا مِنْهُ وَوَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ.

Dari Imran bin Hushain ra. Beliau berkata, “Rasulullah saw. mengirim pasukan dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin mereka. Ali memimpin pasukan (berperang) dan mendapatkan tawanan perempuan. Pasukannya keberatan atas peristiwa tersebut. Empat orang sahabat sepakat akan melaporkan perilaku Ali tersebut. Imran berkata, ‘Kaum Muslimin ketika selesai bepergian mereka segera menemui Rasulullah saw. Mereka melihat beliau dan mengucapkan salam lalu mereka kembali ke rumah tenda mereka. Ketika mereka datang, mereka membacakan salam kepada Nabi saw. lalu satu dari empat orang tadi berdiri berbicara kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang Ali yang membuat kebijakan seperti itu.’ Rasulullah saw. berpaling. Orang kedua melaporkan hal yang sama. Lalu Rasulullah saw. berpaling lagi. Orang ketiga melaporkan hal yang sama. Rasulullah saw. kembali berpaling. Orang yang keempat menghadap dan melaporkan hal yang sama. Rasulullah saw. menatap orang keempat tersebut dan mukanya  tampak marah. Beliau berkata, ‘Apa yang kalian mau dari Ali? Ali bagian dari diriku. Aku bagian darinya dan menjadi orang yang mencintai setiap orang mukmin.’[12]

Asbabul Wurud model kedua dapat dilihat dalam riwayat al-Thabarani berikut. 

عن عمير بن سعيد أن عليا جمع الناس في الرحبة وأنا شاهد فقال أنشد الله رجلا سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من كنت مولاه فعلي مولاه فقام ثمانية عشر رجلا فشهدوا أنهم سمعوا النبي صلى الله عليه و سلم يقول ذلك 

Dari Umair bin Sa’id bahwa Ali mengumpulkan orang-orang di Rahbah. Saya menjadi saksi kejadian itu. Ali berkata, “Allah mencari orang yang pernah mendengar Rasulullah saw. menyabdakan, ‘Orang yang menjadi maula saya adalah maula Ali.’ Lalu delapan belas orang (sahabat) berdiri. Mereka memberikan kesaksian bahwa mereka pernah mendengarnya dari Rasulullah saw.[13]

عن رياح بن الحارث النخعي قال : كنا قعودا مع علي رضي الله عنه فجاء ركب من الأنصاري عليهم العمائم فقالوا : السلام عليك يا مولانا فقال علي رضي الله عنه : أنا مولاكم وأنتم قوم عرب قالوا : نعم سمعنا النبي صلى الله عليه و سلم يقول : من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وهذا أبو أيوب فينا فحسر أبو أيوب العمامة عن وجهه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Dari Rayyah bin al-Harits al-Nakha’i. beliau berkata, “Kami sedang berkumpul bersama Ali ra. Kemudian sebuah rombongan kaum Anshar yang mengenakan surban datang. Mereka berkata, ‘Salam untukmu wahai maula kami.’ Ali berkata, ‘Saya adalah maula bagi kalian. Dan kalian adalah bangsa Arab yang mulia.’ Mereka berkata, ‘Benar. Kami mendengar Rasulullah saw. menyatakan, ‘Orang yang menjadi maula saya, dia adalah maula Ali. Ya Allah, kasihilah orang yang mengasihinya. Musuhilah orang yang memusuhinya.’ Abu Ayyub ada di tengah-tengah kami. Dia menarik surbannya dan berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa yang menjadi maula-ku, Ali adalah maula baginya. ya Allah, kasihi orang yang mengasihinya. Dan musuhi orang yang memusuhinya.’[14]

Berdasarkan dua model asbabul wurud di atas, dapat digambarkan bahwa hadis tersebut pertama kali muncul pada saat Nabi saw. hendak kembali ke Madinah setelah menyelesaikan haji beliau yang terakhir. Yaitu haji wada. Di tengah itu, ada sebagian sahabat yang melaporkan kebijakan sayidina Ali yang dinilai kurang tepat dan ‘sewenang-wenang’ ketika beliau ditugaskan di Yaman. 

Dalam kasus yang lain, ketika sayidina Ali diangkat sebagai panglima perang, dan berhasil memenangkan pertempuran, sebagian sahabat kurang menerima kebijakan pembagian tawanan perang. Mereka melaporkan hal itu kepada Nabi saw. 

Dari kedua kejadian tersebut, Nabi saw. berupaya menyelesaikan masalah dengan membela menantunya tersebut. Selain bahwa beliau juga berupaya agar para sahabatnya tidak sakit hati atas pembelaannya itu. Dengan bahasa yang halus, Nabi saw. menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling menyayangi kaum Mukmin. Sebagaimana beliau menyayangi Ali. 

Pada asbabul wurud model kedua, ditemukan bahwa sayidina Ali mencoba menggunakan sabda Nabi saw. yang menunjukkan keistimewaan beliau. Dan beberapa sahabat mendukung keistimewaan tersebut. Fenomena ini sepertinya terjadi ketika para sahabat sedang mengalami krisis politik. Di tengah situasi yang menegangkan, sayidina Ali dan sebagian sahabat yang berada di pihaknya mencoba membangun kekuatan dan solidaritas pendukungnya. Sekalipun tidak disebutkan secara langsung respon Nabi saw., karena beliau memang sudah meninggal, penyebutan hadis oleh sahabat untuk menyikapi suatu peristiwa tertentu juga merupakan asbabul wurud. 

Dalam kitab al-Bayan wa Ta’rif, Ibnu Hamzah menyatakan bahwa asbabul wurud hadis man kuntu maulahu adalah pernyataan Usamah bin Zaid kepada Ali. Bahwa dirinya bukan maula (bekas budak yang memiliki hubungan waris dengan bekas tuannya) Ali. Tapi, dirinya adalah maula Rasulullah saw. kemudian kejadian itu dilaporkan kepada Nabi saw. dan beliau bersabda, ‘Orang yang menjadi maula-ku, Ali adalah maula baginya.[15] Informasi ini dikutip oleh sejumlah pensyarah hadis setelahnya. Namun penulis belum menemukan riwayat yang menghubungkan hadis man kuntu maulahu dengan pernyataan Usamah bin Zaid.

Tafsir Maula: Pendekatan Gharib al-Hadis
Awal mula perdebatan Sunni dan Syiah adalah tentang bagaimana seharusnya memaknai hadis ini.[16] Maula adalah kata musytarak (polisemi) yang memiliki banyak makna. Ibnu al-Atsir menyatakan ini dalam kitab al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar. Maula berarti  pengatur, pemilik, majikan, pemberi nikmat, orang yang memerdekakan budak, penolong, pecinta, pengikut, tetangga, sepupu, orang yang punya ikatan sumpah, pengikat janji, besan, budak, dan budak yang sudah dimerdekakan.[17]  

Al-Syafi’i diriwayatkan lebih memilih maula dalam hadis man kuntu maulah dalam arti orang yang disayangi karena hubungan keislaman (wala’ al-islam). Beliau mendasarkan pendapat tersebut pada penggunaan kata maula dalam ayat dzalika bi anna allah maula al-ladzina amanu wa anna al-kafirina la maula lahum dan pernyataan Umar bin Khatthab kepada Ali, ‘asbahta maula kulli mu’min’.[18] Dalam kedua kalimat ini, kata maula berarti orang yang disayangi. Allah berfirman, Allah menyayangi orang-orang beriman, dan orang-orang kafir tiada Tuhan yang menyayangi mereka. Umar menyatakan, kamu telah menjadi orang yang disayangi oleh setiap mukmin. Alasan sayang dalam kedua kalimat ini adalah karena keislaman seseorang. 

Sedangkan kaum Syiah lebih memilih maula dalam arti pengatur yang berhak dipatuhi (al-mutasharrif).[19] Pilihan ini berdampak politis. Yaitu bahwa pernyataan Nabi saw. man kuntu maulahu adalah suatu keputusan politik untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin yang berhak mengatur dan dipatuhi. 

Hadis Ghadirkhum Perspektif Pemilahan Posisi (Diferensiasi)
Berdasarkan asbabul wurud, dapat diketahui bahwa tujuan Nabi saw. menyatakan Ali sebagai maula adalah merespon kritik sebagian sahabat terhadap kinerja Ali. Respon tersebut menjadi penting karena kritik tersebut dapat memecah belah umat Islam yang baru saja menakhlukkan Mekah. Haji Wada merupakan simbolisasi kemenangan umat Islam atas kelaliman kaum Quraisy. 

Nabi saw. adalah sosok yang welas asih. Beliau tidak ingin sahabatnya berselisih paham. Beliau mencoba bersikap adil dengan menyatakan bahwa semua mukmin dan muslim adalah orang-orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Pandangan ini dibangun di atas asumsi bahwa sabda Nabi saw. tersebut tidak bersumber dari wahyu. Pernyataan Nabi saw. tersebut lahir atas desakan suatu situasi sosial tertentu. Meminjam istilah Ibnu Asyur, Nabi saw. bermaksud mendamaikan (mushalahah) di antara sahabatnya yang sedang berseteru. 

Posisi sebagai juru damai (al-mushalih), berbeda dengan posisi sebagai pembawa risalah (maqam al-risalah). Apatah lagi, sebagai seorang pemimpin politik (imamah). Kaum Syiah lebih memilih posisi Nabi saw. sebagai pemimpin politik dan pembawa risalah dibanding sebagai juru damai. Namun, dengan melihat asbabul wurud, dapat dipastikan bahwa tujuan Nabi saw. adalah mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih paham.

Penutup
Hadis Ghadirkhum memang sahih dan dapat diterima (maqbul) bila dilihat dari sanad. Hadis ini diterima baik oleh kalangan Sunni maupun Syiah. Baik ulama Sunni maupun Syiah menganggap penting hadis ini. Terbukti, mereka menyusun kitab khusus membahas hadis Ghadirkum. 

Sekalipun sepakat menerima, keduanya sepakat untuk tidak sepakat dalam memahami kandungannya. Kaum Sunni melihat bahwa hadis ini tidak memiliki implikasi politik karena memang tidak lahir dari suatu kebijakan politik. Bahkan ia menegaskan kedekatan Nabi saw. dengan sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sedangkan kaum Syiah melihat bahwa Nabi saw. sedang melakukan pelantikan di hadapan ratusan sahabatnya terhadap sahabat yang juga menantunya ini. 

Inilah akar permasalahan perdebatan selama berabad-abad lamanya itu. Wallahu A’lam.





[1] Al-Shihrishtani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), cet. ke-1, hal. 117
[2] Kashf al-Khifa’, jilid 2, hal. 1588
[3] Nazhm al-Mutanathir, hal. 194
[4] Nazhm al-Mutanathir, hal. 195
[5] Syams al-Din al-Dzahabi, Risalah Thuruq Hadith Man Kuntu Maulah Fa ‘Aliyyun Maulah, tahqiq Abd al-‘Aziz al-Thaba’thaba’i, hal. 105
[6] Al-Haithami, Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, (Kairo: Maktabah al-Qudsi, 1994), hal. 106-108
[7] Al-Zaila’i, Nasb al-Rayah fi Takhrij Ahadith al-Hidayah, (Beirut: Muassasah al-Rayyan li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1997), cet. ke-1, hal. 360
[8] Ibn al-Mulqin, Al-Badr Al-Munir Fi Takhrij Ahadith Wa Al-Athar Al-Waqi’ah Fi Syarh Al-Kabir (Riyadh: Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2004), cet. ke-1, hal. 315
[9] Al-Hakim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 109
[10] Al-Hakim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 533
[11] Al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, jilid 7, hlm. 309
[12] Al-Hakim, Mustadrak, jilid 3, hlm. 533
[13] Al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath, jilid 7, hlm. 70
[14] Al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, jilid 4, hlm. 173
[15] Ibnu Hamzah al-Dimasyqi, al-Bayan wa Ta’rif  fi Asbab Wurud al-Hadis, jilid 2, hlm. 137
[16] Abdullah al-Thaibi, al-Kasyif ‘an Haqa’iq al-Sunan Syarah Misykat al-Mashabih, jilid 12, hlm. 3884, al-Qadhi al-Baidhawi, Tuhfat al-Abrar Syarh Mashabih al-Sunnah, jilid 3, hlm. 553, Al-Amir Izzuddin, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghi, jilid 1, hlm. 112
[17] Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, jilid 5, hlm. 225
[18] Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, jilid 5, hlm. 225
[19] Abdullah al-Thaibi, al-Kasyif ‘an Haqa’iq al-Sunan Syarah Misykat al-Mashabih, jilid 12, hlm. 3884, al-Qadhi al-Baidhawi, Tuhfat al-Abrar Syarh Mashabih al-Sunnah, jilid 3, hlm. 553, Al-Amir Izzuddin, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghi, jilid 1, hlm. 112

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api