Menuju Sosiologi Hadis (Sebuah Pengantar Review)



Program pengkajian jurnal-jurnal internasional merupakan upaya mencari contoh model-model pengkajian hadis Nabi. Selain itu, pengkajian tersebut juga bertujuan memperkaya wawasan tentang kajian hadis kontemporer. Khususnya untuk kepentingan komunitas. Pencarian model dan pengkayaan wawasan ini telah sedikit banyak menghubungkan kajian dengan jejaring pengetahuan non-agama seperti ilmu-ilmu sosial yang meliputi sejarah, sosiologi,  kritik budaya, dan fenomenologi.


Artikel pertama yang ditulis oleh Christopher Melchert dengan berjudul Bukhari and Early Hadith Critisism telah dipresentasikan oleh saudara Rizqa Fathurrahmah pada pertemuan pertama. Artikel ini mengkaji temuan Norman Calder tentang skeptisitas otentisitas kitab Tarikh al-Kabir karya al-Bukhari. Calder menggunakan pendekatan sejarah dengan meneliti konten kitab yang menurutnya dipenuhi cukup banyak bentuk-bentuk inkonsistensi. Utamanya ketika Calder membandingkannya dengan karya-karya turunannya yang terkesan lebih sempurna (perfect). Hal ini mendorong Calder berkesimpulan bahwa Tarikh al-Kabir bukan karya al-Bukhari yang dikenal teliti. Penelitian mengenai otentisitas merupakan bentuk penelitian untuk menemukan kebenaran informasi di masa lalu (baca: sejarah). 

Kajian berikutnya menelaah temuan Mark Woodward  dalam artikel berjudul Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts. Kajian terhadap Islam Jawa ini melihat peranan terjemahan kitab hadis Riyadh al-Shalihin dalam wacana sosial-politik-religius masyarakat Jawa Modern. Dengan menganalisis wacana sosial-politik-religius masyarakat Jawa Modern ini, Mark melihat bahwa teks hadis memiliki peran penting dalam kontestasi wacana keagamaan beberapa varian Islam Jawa. Hadis dikutip dan dijadikan pedoman oleh kelompok pro purifikasi agama dan kelompok yang pro akulturasi agama-budaya. Bagaimana pun, hadis menjadi sangat penting bagi masyarakat Jawa. Di sini hadis menjadi mekanisme dalam sistem kritik sosial-(budaya). Wilayah kajian ini berada antara pemahaman orang-orang Jawa terhadap teks-teks hadis Nabi saw. dengan perilaku sosial mereka. Jadi, kajiannya ada pada irisan ilmu (pemahaman) hadis dan ilmu sosiologi. Karena melibatkan unsur-unsur budaya yang kental, objek kajian ini juga merupakan wilayah kajian ilmu budaya (antropologi kebudayaan). Itulah ringkasan dari telaah saudara Unaesah Rahmah terhadap artikel Indonesianis asal Amrik tersebut. 

Artikel berikutnya dipaparkan oleh saudara Inggit Sugiharti. Beliau mengulas tulisan Kamaruddin Amin yang berjudul Nasir al-Din al-Albani on Muslim Sahih, Critical Study of His Method. Pokok bahasan tulisan ini adalah metode kritik hadis al-Albani, ulama kelahiran Albania dan berkarir di Syiria. Keunikan tokoh tersebut adalah, bahwa dengan menggunakan metode kritik hadis tradisional secara ketat, Al-Albani mendaifkan hadis-hadis yang disahihkan oleh Imam Muslim bin Hajjaj al-Naisabur. Seorang ahli hadis kenamaan yang selama berabad-abad kapasitas dan ketelitiannya tidak pernah diragukan. Sebanyak kurang lebih 360 buah hadis sahih, setelah ditelaah ulang oleh al-Albani, justru bernilai daif. Forum memperdebatkan mengenai teori al-Albani ini apakah mewakili tradisi Islam klasik atau bukan. Namun yang disepakati, dia sama sekali tidak mewakili teori-teori orientalis yang dikenal getol menawarkan teori-teori skeptik. Sekalipun hasilnya membuat orang skeptik terhadap kredibilitas Imam Muslim bin Hajjaj. Mungkin, artikel ini merupakan satu-satunya artikel yang berbicara tentang teori otentisitas hadis dari sekian artikel yang didiskusikan dalam program pengkajian jurnal internasional. Bisa jadi, yang disebut kajian hadis murni adalah kajian semacam ini. Karena hampir tidak terlihat kajian Kamaruddin Amin ini melibatkan teori-teori lain maupun objek-objek yang masih diperdebatkan dalam pengetahuan hadis. 

Pada minggu berikutnya, forum membahas pemikiran hadis Fazlur Rahman tentang pembedaan istilah Hadis dan Sunnah. Dalam konsep ilmu hadis konvensional, dua istilah tersebut tidak dibedakan. Dalam Fazlur Rahman, keduanya dibedakan. Rahman berangkat dari tesis-tesis Joshep Schacht tentang waktu kemunculan hadis-hadis Nabi. Bahwa apa yang disebut hadis merupakan produk pemikiran abad kedua dan ketiga hijriah. Dengan menggunakan analisis historis terhadap teks-teks kitab hukum kuno, dia melihat bahwa hukum-hukum yang diproduksi para ahli hukum (hakim, mufti, qadi) pada era ahli hukum kuno didasarkan kepada tradisi yang dinilai otoritatif. Dalam bahasa Rahman, disebut preseden yang otoritatif. Tidak selalu merujuk kepada tradisi Nabi. Ada banyak tradisi yang dijadikan acuan (dasar) hukum. Tradisi ini disebut sunnah sehingga pada pertengahan abad kedua hijriah, terdapat banyak sunah-sunah. Popularitas sunnah ini mengerucut kepada otorisasi sunnah sunnah, dan secara bertahap mendeligitimasi sunnah-sunnah lain. Peminggiran sunnah-sunnah lain, dan pemusatan pada sunnah Nabi, membuat orang berfikir tentang mana sunnah Nabi yang orisinal. Persoalannya, sunnah-sunnah Nabi lebih banyak diwarisi dalam bentuk perilaku (behavior). Sebagaimana dapat dilihat dari pengertian semantik kata sunnah itu sendiri. Pada tahap selanjutnya, upaya otorisasi sunnah Nabi bertransformasi menjadi gerakan verbalisasi sunnah menjadi bentuk-bentuk kalimat sederhana yang mudah diingat. Kalimat-kalimat yang diyakini berasal dari Nabi itulah yang disebut hadis. Hadis secara semantik berarti perkataan (verb). Dalam kajian ini, pendekatan sejarah dengan menganalisis teks-teks kuno hukum Islam untuk melacak kemunculan hadis berperan penting dalam proses penelitian. Terlepas dari hasilnya seperti apa, yang paling penting adalah, melalui pendekatan sejarah pula, Rahman mencoba membuktikan bahwa hadis secara substansi merupakan otentik dari Nabi. Sekalipun bahwa secara redaksional, hal itu sulit dipercaya. Hadis merupakan upaya pengungkapan perilaku-perilaku dan praktik-praktik individual-sosial yang diwarisi dari nabi. Inilah akar-akar kajian living sunnah yang dikemudian hari berkembang menjadi living hadith

Pada pertemuan terakhir, duo Kaula Fahmi dan Alvian Mushafi mempresentasikan artikel berjudul Living Hadith in Jamaah Tabligh. Ulasan lebih diarahkan kepada Jamaah Tabligh daripada metode pengkajian terhadap kelompok tersebut. Bahwa Jamaah Tabligh menghidupkan sunnah dalam komunitas sebagai bentuk counter budaya, iya. Namun apa kaitannya dengan living hadith pemateri belum menjelaskan lebih memuaskan. Hal inilah yang membuat saudara Yunal Isra mempertanyakan posisi living hadith dalam kajian tersebut. Selama hampir satu jam, perdebatan hanya untuk mencari tahu sebenarnya seperti apa bentuk penelitian living hadith itu. Bagaimana definisinya, bagaimana teorinya, bagaimana penerapannya dan seterusnya. Muncul pula pertanyaan, apakah living hadith merupakan kajian hadis atau kajian sosial? 

Pertemuan terakhir minggu ini akan membahas secara menyeluruh topik-topik yang sudah dikaji pada minggu-minggu sebelumnya. Hal ini sebagai pendasaran ke arah mana model pengkajian yang akan dilakukan selanjutnya. Namun, secara umum, pembicaraan forum mengarah kepada perumusan disiplin baru dalam studi hadis. Yaitu sosiologi hadis. Sebuah disiplin hibrid dari perkawinan ilmu hadis dan ilmu sosial. (mkh)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api