Kritik atas Metode Kritik Hadis Nasiruddin al-Albani




Diskusi eBI kali ini mengangkat penelitian Kamaruddin Amin berjudul Nasir al-Din al-Albani on Muslim Sahih, Critical Study of His Method. Orang Makassar jebolan universitas terkemuka di Jerman ini mencoba melihat metode kritik hadis yang digunakan oleh tokoh hadis kelahiran Albania tersebut.
Menurutnya, al-Albani merupakan sosok yang unik. Dengan metode yang sama dengan yang digunakan ahli hadis pada umumnya, dia membuat kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan ahli hadis kenamaan, Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, penulis kitab Sahih Muslim (SM). Tidak kurang dari 360 buah hadis dalam SM disinyalir daif alias tidak otentik. Hal ini tentu saja membantah tesis yang selama ini diimani oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa otentisitas hadis-hadis yang termuat dalam Sahihain (Bukhari-Muslim) berada sedikit di bawah Alquran. Artinya, tidak perlu diragukan karena telah melalu proses seleksi yang ketat. Pandangan ini telah menjadi keyakinan umum di kalangan umat Islam, kalau tidak disebut ijmak. Tak ayal, temuan al-Albani ini mengegerkan dunia Islam. Pro-kontra pun bermunculan. Sebagian orang mengeritik al-Albani, dan sebagian yang lain memberikan dukungan penuh.

Sebenarnya, bagaimana duduk persoalannya hingga al-Albani membuat geger dunia perhadisan? Apa yang istimewa dari metode kritik hadis al-Albani sehingga membuahkan kesimpulan yang berbeda? 
Dalam telaahnya, Kamaruddin Amin menemukan bahwa sebenarnya tidak ada yang asing dalam metode kritik hadis al-Albani. Al-Albani hanya berusaha secara konsisten menerapkan metode kritik hadis yang dikenal dalam tradisi Islam klasik. Persoalannya memang sebelumnya para ulama tidak pernah menggunakan metode itu untuk memeriksa ulang koleksi-koleksi yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Dengan menggunakan kaidah-kaidah tradisional, al-Albani mendapati bahwa terdapat rawi yang diperselisihkan oleh para kritikus. Berdasarkan kaidah kontradiksi kritik, idza ta’aradha baina al-jarh wa ta’dil quddima al-jarh al-mufassar (ketika bertentangan antara yang men-jarh dan men-ta’dil, didahulukan yang men-jarh yang disertai penjelasan), rawi semacam itu harus diputuskan sebagai rawi yang lemah (daif) yang berimplikasi pada kedaifan hadis yang diriwayatkannya. 
Ibn al-Zubair merupakan salah satu rawi SM yang diperselisihkan oleh para kritikus hadis. Sebagian mengatakan dia tsiqah (terpercaya), sebagian lagi menolak hadis-hadisnya. Penolakan ini didasarkan pada kelemahan hafalan Ibn al-Zubair. Selain itu ia dituduh melakukan tadlis. Sejenis upaya pemalsuan. Inilah penjelasan kelemahan Ibn al-Zubair. Berdasarkan kaidah yang dikembangkan ahli hadis, pastinya Ibnu al-Zubair divonis daif. Implikasinya, seluruh hadisnya harus ditolak. Masalahnya, terdapat sekitar 360 hadis SM bersumber dari Ibn al-Zubair. Dimana dia menggunakan redaksi ‘an (dari), sebuah metode periwayatan yang tidak terlalu meyakinkan pernah mendengar langsung. Riwayat tertuduh tadlis tidak boleh diterima ketika dia menggunakan redaksi ‘an (dari). 
Masalahnya adalah, penerapkan secara ketat kaidah kontradiksi seperti disebut di atas  berimplikasi pada pengabaian kemungkinan lain bahwa tokoh yang dijarh-nya tersebut memiliki posisi kuat. Penilaian jarh tidak serta merta membuat seorang ahli hadis menghukumi daif hadis yang diriwayatkan tertuduh jarh. Ada banyak kemungkinan yang harus dilihat. Bila masalahnya adalah Ibn al-Zubair adalah mudallis, dalam tradisi kritik hadis, para ulama membagi tingkatan-tingkatan tadlis. Dari tadlis yang masih boleh diterima, dipilah, atau ditolak. Adalah perbuatan yang gegabah dan terburu-buru menjatuhkan klaim daif untuk perawi yang dituduh tadlis.    
Dalam diskusi kali ini, materi disampaikan oleh saudari Inggit Sugiharti, mahasiswi Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saudari Inggit juga tercatat sebagai mahasantri semester akhir International Institute for Hadith Sciences (IIHS) Darus-Sunnah Indonesia-Malaysia, Ciputat Indonesia.   
Sesi diksusi disemarakkan dengan beberapa pertanyaan dan komentar. Saudara Yunal Isra mengomentari posisi al-Albani. Bahwa dia bukan mewakili tradisi kritik hadis muhaddis klasik. Tidak pula kritik hadis ala orientalis. Dia adalah varian ketiga dalam polarisasi kritik hadis. Yunal juga mengomentari tentang rawi yang dianggap daif oleh al-Albani mengapa Imam Muslim bin Hajjaj memasukkan riwayat-riwayatnya dalam kitab SM. Menurutnya, rawi-rawi semacam itu masuk dalam kategori penguat (syawahid-mutaba’at). Bukan sanad primer. Menurutnya, berdasar informasi yang diperolehnya dari seorang ustad, Imam Muslim bin Hajjaj membagi hadis-hadis yang dicantumkan dalam SM pada kategori sanad-sanad utama dan sekunder. Sanad paling sahih pada umumnya diletakkan pada posisi teratas. Sedangkan hadis-hadis dengan sanad bermasalah ditaruh pada posisi selanjutnya. Hadis riwayat Ibn al-Zubair merupakan hadis-hadis penguat. Ibn al-Zubair merupakan seorang mudallis tingkat rendah yang berarti hadisnya masih bisa diterima. Penerapan kritik atas rawi mudallis secara gegabah justru akan membuat ribuan hadis terbuang sia-sia karena tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari tadlis. Hatta untuk seorang al-Bukhari.
Saudara Hengki memberikan saran bahwa membaca jurnal dapat dimulai dengan memahami abstraknya. Masalahnya apa, jawabannya bagaimana, dan metode serta argumentasinya apa. Dengan cara ini, kita dapat memeroleh pemahaman yang utuh atas isi jurnal. Selain itu, Hengki juga berkomentar tentang metode orientalis dalam kritik hadis. Beberapa pertanyaan muncul di akhir sesi ini. 
Diskusi kali ini agak molor dari jadwal yang sudah ditentukan. Agendanya, diskusi diadakan pukul  jam 08.00, kemudian diubah menjadi 09.00. Namun baru dimulai sekitar jam 10.00 WIB. Acara yang diikuti sekitar 10 orang ini, berakhir pukul 12.00 WIB. (mkh).   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api