Kota-Kota Pusat Penyebaran Hadis
Pengkajian hadis Nabi telah berlangsung
berabad-abad. Para sarjana menggambarkan bahwa era kejayaan pengkajian hadis adalah
antara abad kedua hingga kelima hijriah. Hal ini bersamaan dengan munculnya
karya-karya ensiklopedi hadis dengan berbagai macam genrenya. Di samping berbagai
ilmu yang berhubungan dengan hadis. Atau yang akrab disebut ilmu hadis (jamak;
ulum al-hadis).
Zaman keemasan pengkajian hadis ini
juga ditandai dengan banyaknya sarjana yang menerjunkan diri dalam bidang
pengkajian hadis. Mereka bekerja keras melakukan kerja lapangan, mengelilingi
dunia untuk mencari jejak-jejak sabda Rasulullah saw. Perburuan, pencatatan, penghafalan,
penyeleksian, dan pembukuan merupakan pekerjaan utama mereka. Jumlah mereka
cukup banyak, dan mereka berasal dari berbagai macam wilayah di negeri-negeri
Muslim saat itu.
Sebut saja kitab Tarikh
Baghdad, sebuah karya mengenai biografi para periwayat yang pernah mengunjungi
dan tinggal di Kota Baghdad hingga abad kelima hijriah karya al-Khatib (463 H.)
memuat daftar 7783 biografi profesional hadis. Sedangkan kitab Tarikh
Dimasyq karya Ibn ‘Asakir (571 H.) memuat 10226 orang. Para ahli hadis di
Barat Islam diabadikan kitab Tarikh Andalus karya al-Dhabbi (599 H.) dan
memuat 1598 orang.
Untuk kota Baghdad saja, dari
abad kedua hingga kelima hirjiah, ada hampir dua ribu orang para sarjana bidang
hadis dalam setiap seratus tahun. Selama lima abad empat kota Baghad menjadi
persinggahan kurang lebih delapan ribu orang sarjana hadis. Bagaimanapun,
Indonesia tidak akan mungkin mencapai angka tersebut dalam masa yang sama
sekalipun. Hanya ditambah satu abad, angka para sarjana hadis kota Damaskus
bahkan mencapai sepuluh ribu lebih. Inilah yang disebut masa kejayaan para
sarjana hadis. Sebagian sarjana melihat bahwa era modern merupakan masa
kebangkitan. Hal ini seperti diungkapkan MM Azami dalam buku Manhaj al-Naqd ‘Inda
al-Muhaddithin (Metode Kritik Hadis). Sekalipun karya-karya dalam bidang
hadis mulai banyak, namun kuantitasnya sama sekali tidak dapat dibandingkan
dengan lima abad pertama hijriah.
Kitab Tarikh Baghdad, Tarikh
Dimasyq, dan Tarikh Andalus merupakan contoh yang menunjukkan
populasi ahli hadis dalam suatu wilayah geografis tertentu. Kitab-kitab tersebut
mengilhami studi kawasan penyebaran ahli hadis. Hal ini seperti yang dialami
oleh al-Dzahabi (748 H.) dengan kitab al-Amshar Dzawati al-Atsar (Kota-Kota
Pusat Penyebaran Hadis).
Kesamaan kitab-kitab ini adalah
seluruhnya menjelaskan pusat-pusat kajian hadis di masa lalu. Isinya adalah
daftar nama para sarjana perawi hadis. Mereka dikelompokkan dan ditulis
berdasarkan kota tempat tinggal mereka. Bila tiga kitab yang pertama membincang
populasi para sarjana hadis yang tinggal di satu tempat, karya terakhir mencoba
mengidentifikasi kota-kota yang menjadi pusat penyebaran dan pengkajian hadis. Buku
ini mencantumkan 85 kota di seluruh dunia Islam saat itu yang menjadi tempat
tinggal para pakar hadis kenamaan. Kota-kota itu pada akhirnya menjadi pusat
jejaring ahli hadis di seluruh dunia pada zamannya. Dan seperti sekarang, kota-kota
itu menjadi kota pelajar, khususnya bidang hadis. Adalah unik ketika para pakar
hadis berkumpul dalam satu kota.
Kekurangan kitab ini tentu saja
mengenai penjelasan faktor yang menjadikan kota tersebut diminati oleh para
ahli hadis. Beberapa asumsi mungkin dapat menjadi jawaban sementara. Pertama,
kebijakan penguasa kota-kota yang mendukung aktifitas dan gerakan ahli hadis. Kota
Baghdad misalnya, yang merupakan pusat pemerintahan sejak abad kedua hijriah
merupakan kota yang ramah kajian akademis. Kota yang dibangun oleh penguasa
Abbasiyah itu menyediakan layanan-layanan pendidikan, seperti masjid, kutab, perpustakaan,
dan donasi untuk para pegiat pengetahun. Para ahli bidang keilmuan, terlepas
dari spesialisasi mereka, mendapat fasilitas yang sama. Murid-murid mereka,
karena saking banyaknya, membentuk geng-geng Mahasiswa. George Maqdisi
menemukan fenomena “sentimen fakultas” di antara kelompok mahasiswa yang
berbeda. Para mahasiswa sastra, misalnya, sering menghina dan melontarkan
gojlokan-gojlokan kepada mahasiswa hadis. Praktik ghosob sandal
merupakan cara mengekspresikan sentimen tersebut. Situasi semacam ini
menunjukkan bagaimana kebijakan negara berpihak kepada pendidikan. Inilah contoh
kota ramah ilmu.
Kedua, sense keilmuan
warga kota. Kemajuan sebuah kota berbanding lurus dengan kemajuan
pendidikannya. Di sini, bukan berarti pendidikan menjadikan sebuah kota menjadi
maju. Tapi sebaliknya, justru kota lah yang menciptakan kehidupan akademis di
dalamnya. Hal ini seturut dengan teori Ibnu Khaldun tentang perkembangan
pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan masyarakat perkotaan. Ciri
masyarakat perkotaan adalah dinamika yang tiada henti. Manusia dituntut
mengembangkan strategi-strategi baru yang kreatif dalam menyiasati problematika
mereka. Di sinilah pendidikan sangat dibutuhkan. Ilmu pengetahuan perlu
dikembangkan. Pada akhirnya, para pegiat pengetahuan menjadi sangat dibutuhkan.
Para pengajar, pendidik, dan syekh merupakan kelompok profesional yang bernilai
mahal. Para spesialis ini dituntut mengembangkan sistem pengetahuan yang lebih complicated
lagi dan demikian seterusnya sehingga lahir apa yang disebut perkembangan
pengetahuan. Ibnu Khaldun menulis, al-shana’I
la budda laha min al-‘ilm (pekerjaan butuh ilmu).
Bagaimana dengan para profesional
hadis? Sama. Hadis merupakan sumber keagamaan yang dibutuhkan oleh para spesialis
di bidang hukum, sastra, politik, dan kebudayaan masyarakat Muslim. Para spesialis
itu lahir akibat tuntutan keagamaan dan akademik masyarakat. Mereka membutuhkan
sumber hukum, sumber sastra, argumen politik dan lainnya. Hadis menyediakan hal
itu. Dalam kehidupan keagamaan, masyarakat membutuhkan landasan yang bisa
membuat mereka yakin apa yang mereka lakukan mendapatkan pembenaran dari sumber
agama. Atau, paling tidak sudah sesuai dengan teks-teks keagamaan. Mereka yang
mengerti betul mengenai hadis, dalam hal ini, sangat dibutuhkan masyarakat. Saya
jadi berfikir, mengapa masyarakat Indonesia tidak terlalu akrab dengan
hadis-hadis Nabi, bahkan sebagian di antaranya merasa risih bila sedikit-sedikit
seorang pembicara mengutip hadis. Apalagi bila cara penyampaiannya menggunakan
gaya yang provokatif dan bengis. Bisa jadi, masyarakat Indonesia tidak terlalu
membutuhkan hadis (secara langsung). Hal ini kemungkinan besar karena mereka
merasa nyaman dengan model keislamannya selama ini. Mereka merasa keislaman
semacam itu sudah benar sehingga merasa tidak ada masalah dengan cara
mempraktikkan keislamannya. Jadi, sekalipun dipaksa menelan hadis dengan
pendirian sejumlah perguruan tinggi Jurusan Hadis dan pesantren-pesantren
takhassus hadis, toh lembaga semacam itu tidak menarik minat para pelajar dan
masyarakat secara luas. Bandingkan dengan jurusan-jurusan teknik, politik, dan
kesehatan? Tanpa diundang, mereka sudah mengimajinasikan dan mengharapkan dapat
menjadi salah satu bagiannya.
Ketiga, urbanisasi. Sejak era
klasik, urbanisasi atau pergerakan penduduk menuju pusat-pusat kota merupakan fenomena
yang lazim. Kota dinilai menyediakan fasilitas kehidupan. Termasuk fasilitas
untuk mengakses pengetahuan. Orang kota datang ke kampung dan daerah pedalaman
pada umumnya untuk mendapatkan informasi langsung dari sumber-sumber mereka. Fenomena
ini sangat lumrah. Karena masyarakat kota yang lebih maju, lebih banyak membutuhkan
informasi dibanding masyarakat yang lebih terbelakang. Orang kampung tidak
terlalu membutuhkan pengetahuan yang lengkap dan rumit. Artinya, urbanisasi
mendorong orang-orang lokal datang ke pusat-pusat kota untuk mendapatkan hadis.
Mereka menetap di sana dan menjadi salah satu jaringan informasi hadis-hadis
Nabi saw. Bila mereka membutuhkan, maka mereka akan berpindah ke kota lain yang
menjadi sumber informasi yang mereka butuhkan. Terkadang mereka kembali ke kota
asalnya dan sebagian lain menetap di kota yang mereka datangi. Dengan demikian,
kemudian lahir kota-kota yang menjadi pusat penyebaran dan pengkajian hadis. Di
sini, bukan warga kota yang menaruh minat kepada pembentukan pusat kajian
hadis, tapi karena para pendatang yang membutuhkan kota-kota itu.
Pertanyaan tentang asumsi ini
adalah, apa alasan pasti kedatangan mereka? Dan dari mana mereka datang? Mengapa
mereka memilih satu kota dibanding kota lainnya? Apakah karena kedekatan? Ataukah
karena ketersediaan para ahli yang mereka butuhkan? Atau karena ketersediaan
fasilitas yang disediakan oleh penguasa?
Sampai saat ini, saya belum
menemukan buku yang mengkaji secara utuh mengenai perkembangan kelompok ahli hadis.
Belum pula ada kajian mengenai faktor yang menyebabkan berkembangnya komunitas
ini. Di sisi lain, apakah ahli hadis dapat disebut gerakan sosial (social
movement)? Apakah ahli hadis merupakan sebuah profesi? Lembaga-lembaga
seperti apa yang mendukung gerakan semacam ini? Darimana mereka mendapatkan
suplai logistik selama mereka menjalankan aktifitasnya? Siapakah donor mereka
selama berabad-abad (dari abad kedua hingga kelima)? Bukannya, saya tidak mau
menjawab, mereka didanai oleh Tuhan dengan kuasa-Nya, tapi bagaimana cara Tuhan
mendanai mereka? Itulah yang saya perlukan. (M. Khoirul Huda)
Komentar
Posting Komentar