Membincang Wacana “Mukjizat Ilmiah Hadis”
"Artikel ini akan mengulas diskursus...logika sains dalam praktik penafsiran hadis..."
A. Prawacana
Abad modern ditandai dengan dominasi nalar sains dalam
kehidupan manusia.Hal ini berdampak buruk sekaligus positif bagi perkembangan
cara pandang keagamaan. Dalam dunia tafsir kitab suci misalnya, lahir sejumlah
buku tafsir yang berusaha menampilkan aspek-aspek saintis dalam ayat-ayat
Tuhan. Dalam tradisi hukum, lahir teori hikmah (theory of wisdom) atau populer dengan istilah teori maqashid syariah, salah satu bentuk
rasionalisasi atas doktrin hukum dengan menjawab pertanyaan “mengapa demikian”.
Sufisme Islam pun mendapatkan pembenaran dari psikologi. Bahwa sufisme
merupakan terapi psikologi menurut Islam. Tidak ketinggalan pula dunia politik
yang mulai mempopulerkan wacana “negara Islam”. Suatu istilah yang sepertinya
tidak dikenal selama berabad-abad era kejayaan Muslim. Para aktivis, sarjana
dan cendekiawan Muslim “dipaksa” merumuskan apa itu “negara Islam”.
Secara umum, diskursus semacam itu lahir untuk membuktikan
bahwa agama, baik itu yang direpresentasikan melalui kitab suci, doktrin hukum, gagasan-gagasan
politik maupun unsur mistiknya, selalu relevan dalam dan untuk setiap zaman,
hatta zaman sains seperti beberapa abad belakangan. Pembuktian itu sendiri bertujuan menunjukkan
bahwa pengetahuan yang bersumber dari kitab suci dan pengetahuan yang bersumber
dari alam semesta memiliki kesesuaian. Pembuktian adanya kesesuaian ini dimaksudkan
untuk mempertahankan “kewibawaan” agama –sebuah cara pandang rohani, dalam kehidupan dunia yang sudah tidak lagi
didominasi suasana religius seperti sebelumnya, agar tidak dipandang bahwa
agama sudah ketinggalan zaman yang pada akhirnya membuat orang tidak mau lagi
beragama.
Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman modern,
fenomena semacam itu dapat pula ditemukan dalam studi hadis. Hal ini ditandai
dengan tampilnya beberapa individu dan beberap
lembaga berskala internasional yang membidani lahirnya wacana sains
dalam hadis Nabi saw. Kelompok ini percaya bahwa hadis –pernyataan yang dikatakan
Nabi saw. empatbelas abad lalu, sudah menyinggung temuan sains yang berkembang
di era modern. “Penyinggungan” ini tentu saja menunjukkan pengetahuan Nabi saw.
yang melampaui zamannya. Suatu era yang diliputi kebodohan, alih-alih mengenal
sains yang sangat maju. Ada kesan, bahwa mereka ingin menampilkan Nabi saw.
sebagai seorang saintis. Seorang nabi yang mengenal betul teori-teori, cara
pandang, dan fakta-fakta penemuan sains.
Sebagai contoh adalah Prof. Zaghlul al-Najjar dan Dr.
Shalih bin Ahmad Ridha. Keduanya berusaha kuat mempromosikan gagasannya
mengenai “penyinggungan nabi atas fakta-fakta ilmiah” dalam hadisnya. Dalam
buku yang berbeda namun dengan judul yang sama, al-I’jaz al-‘Ilmi fi
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mukjizat Ilmiah dalam Sunnah Nabi), sang saintis
dan pakar hadis tersebut mendeskripsikan apa yang disebut mukjizat, mengepa
aspek saintis dalam hadis dapat masuk dalam kategori mukjizat, apa saja
hadis-hadis yang menjadi petunjuk kehebatan dan kemukjizatan Nabi saw., dan
bagaimana kesesuaiannya dengan sains modern. Anda dapat membaca buku ini secara
utuh.
Selain kedua sarjana di atas, masih banyak sarjana lainnya
yang mengembangkan wacana tersebut dalam tingkat yang lebih praktis. Namun
mereka bekerja dalam kerangka nalar yang sama. Yaitu saintifikasi terhadap
Alquran dan hadis. Dalam arti memahami Alquran dan hadis melalui paradigma dan
temuan sains.
Artikel ini akan mengulas diskursus tersebut. Tujuannya
adalah mendeskripsikan logika sains dalam praktik penafsiran hadis. Dan tentu
saja akan diulas mengenai dasar-dasar dan premis-premis yang digunakan para
pakar di bidang ini untuk membangun wacananya. Sebelumnya, saya akan
menjelaskan mengenai apa itu hadis, sains, mukjizat, dan perannya dalam
pembingkaian (framming) terhadap hadis-hadis Nabi saw.
B. Hadis, Teori Keterbentukan, Validitas Ontologis, Pemahaman
dan Fungsi Sosio-Teologisnya
Hadis dalam bahasa Arab berarti “baru”, “muda”, dan “ujaran”. Menurut Ibnu
Faris, asal makna hadis adalah baru (kaun al-sya’ lam yakun). Ini
dibuktikan dengan seluruh kata yang diderivasikan dari kata hadis ini memiliki
pengertian kebaruan.[1]Sekalipun
demikian, pengertian yang mendekati pengertian istilahnya adalah makna
“ujaran”.
Hadis adalah ujaran khusus yang dikaitkan dengan diri Nabi saw. Baik yang
mengujarkan adalah Nabi saw. sendiri maupun orang lain.[2]Ujaran yang
dikaitkan dengan Nabi saw. ini telah menjadi subjek penting selama kurang lebih
empat belas abad lamanya. Perhatian dalam bentuk pengkajian dan penulisan
karya-karya kompilatif-kritis telah mewarnai kajian terhadap hadis Nabi saw.
Tujuan pengkajian itu tidak lain adalah untuk menemukan keaslian “pengaitan”
kepada Nabi saw. Apakah sebuah pengaitan dapat dipercaya dan meyakinkan, atau
justru tidak meyakinkan yang dalam taraf tertentu merupakan kebohongan sematan.
Hal itulah yang selama ini menjadi tugas para ahli hadis. Menemukan validitas
ontologis sebuah hadis.
Namun sebelum masuk ke dalam ranah tersebut, persoalan yang perlu dijawab
terlebih dahulu adalah bagaimana sebuah hadis terbentuk. Mungkin, bila
pertanyaannya adalah apakah mungkin Nabi saw. mengatakan sesuatu, jawabannya
adalah sangat mungkin. Lalu apa saja yang dikatakan beliau? Siapa yang
mendengar? Apakah pendengaran mereka tepat? Apakah pendengaran itu dihafal,
atau ditulis, atau dipraktikkan? Apakah pendengaran, hafalan, tulisan, dan
praktik yang dihubungkan dengan Nabi saw. itu sama persis? Seberapa tinggikah
akurasinya? Seberapa jauhkah tingkat perubahannya?
Dalam tradisi ulumul hadis klasik, dari segi taraf validitasnya, ada dua
teori yang dikembangkan para ulama. Pertama, hadis-hadis mutawatir yang tingkat
validitasnya tidak diragukan. Melalui teori ini dinyatakan bahwa sebuah hadis
telah benar-benar ada pada masa Nabi saw. Karena banyaknya saksi mata yang
melaporkan. Para saksi mata itu tidak mungkin, dalam arti akan kesulitan
mengkoordinasikan sebentuk konspirasi kebohongan. Hal ini terjadi bila saksi
berjumlah sangat banyak. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana pemahaman para
saksi itu terhadap kejadian yang mereka saksikan? Apakah semua selalu memiliki
pemahaman dan pengalaman yang sama? Apakah kesamaan itu bertahan lama, hingga
kejadian itu dilaporkan kepada pihak lain, atau sudah mengalami pemaknaan dan
disampaikan dalam bentuk lain? Inilah yang sulit diselesaikan.
Dari sinilah hadis mutawatir memiliki dua pola. Yaitu mutawatir dengan
satu pola redaksi (mutawatir bil lafzhi) dan mutawatir dengan beragam
redaksi (mutawatir bil ma’na). Kerja yang agak berat ialah
mengidentifikasi hadis-hadis yang memiliki keragaman redaksi namun memiliki
visi-makna yang sama. Apa saja kriterianya, bagaimana caranya, dan sejauhmana
validasi kesamaan tersebut?
Kedua, hadis-hadis ahad yang menuntut pengujian kritis terhadap tingkat
validitasnya. Pada kelompok kedua inilah kritik hadis klasik digunakan secara
maksimal. Kritik hadis berarti menguji sumber dimana sebuah hadis diperoleh.
Pada era periwayatan, dari abad pertama hingga sekitar abad keempat, sumber
hadis berbentuk manusia yang dapat diakses dengan cara mendatangi tempat
tinggalnya. Para kritikus hadis mengumpulkan informasi tentang “manusia”
tersebut kemudian mengambil kesimpulan tentang tingkat keterpercayaannya.
Apakah dia bisa dipercaya atau tidak. Informasi dapat berasal dari pengamatan
langsung dalam sebuah halaqah periwayatan, atau melalui tangan kedua, yaitu
orang-orang yang pernah berguru langsung kepada periwayat yang menjadi subjek
penelitian. Hal ini sekaligus menandai lahirnya para profesional di bidang
kritik (sumber-periwayat) hadis. Namun demikian, hasil yang diperoleh dari
penggunaan maksimum metode kritik hadis terhadap jalur periwayatan ini, disebut
zhanni atau “dugaan kuat”. Yaitu validitas sebuah hadis cukup “meyakinkan”
berdasarkan adanyakesesuaian dengan premis-premis yang ditetapkan dalam metode
pengujian.
Hadis ahad juga memerlukan pengujian terhadap validitas redaksi karena
adanya pola keragaman redaksi sebagaimana dialami hadis-hadis mutawatir. Di
sinilah kedua pola hadis tersebut menghadapi keragaman redaksi. Keragaman
redaksi menjadi masalah pelik di kalangan ahli hadis sehingga pada era
belakangan muncul fatwa ketidak-bolehan meriwayatkan hadis berdasarkan
esensinya. Hal ini seiring dengan meningkatnya kecenderungan semakin ketatnya
praktik penyaringan hadis.
Hadis ahad pada akhirnya juga menghadapi pertanyaan “Sejauh mana pemahaman
seorang saksi itu terhadap kejadian yang disaksikannya? Apakah di antara
beberapa saksi selalu memiliki pemahaman dan pengalaman yang sama? Apakah kesamaan
itu bertahan lama, hingga kejadian itu dilaporkan kepada pihak lain, atau sudah
mengalami pemaknaan dan disampaikan dalam bentuk lain?” sebagaimana dialami
oleh hadis mutawatir.
Jadi, setelah selesai dengan problem validitas, problem yang harus diselesaikan
adalah mengenai sejauh mana pemahaman para periwayat dan apakah mereka
menyampaikan secara tekstual atau esensial. Kemudian, apakah yang dikehendaki
Nabi saw. selalu identik dengan tujuan pengutipan sabda Nabi saw. Apakah para
periwayat selalu bertujuan sekadar menyampaikan tanpa dibarengi dengan
pembingkaian tertentu? Ataukah ada motif lain dalam proses periwayatan?
Dari sini kita dapat beranjak kepada pertanyaan apakah maksud Nabi saw.
dengan sebuah pernyataannya? Benarkah maksud beliau seperti yang dibayangkan
oleh pengutipnya? Bila dikembalikan kepada konteks kita, apakah Nabi saw.
bermaksud menjelaskan fenomena alam, sebagaimana diimajinasikan para saintis
Muslim itu? Ataukah itu hanya model berbahasa orang-orang Arab yang hidup saat
itu?
Kemudian kita dapat memperkirakan adanya fakta bahwa ujaran Nabi saw. yang
disebut hadis itu memiliki fungsi yang beragam dalam kehidupan sosial-teologis
umat Islam.Kita tidak bisa membayangkan bagaimana hadis-hadis itu dikutip dalam
konteks yang beraneka-macam, dengan tafsiran yang berbeda-beda, dan tentu saja
untuk tujuan yang bermacam-macam. Sekalipun, kita selalu yakin, bahwa para
ulama selalu menghendaki penafsiran terbaik dan paling maslahat untuk umatnya.
Perbedaan ini sebagian bersifat halus, namun tidak jarang bersifat ekstrim dan
tidak jarang pula sampai berdarah-darah.
C. Sains, Citra Bentukan, dan Dialog Pengetahuan
Dalam bahasa Indonesia, sains memiliki beberapa pengertian. Ia
merupakan kata benda yang berarti pengetahuan secara umum. Artinya, ia sinonim
pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih spesifik, ada pula yang memaksudkannya
sebagai pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik. Berdasar
pengertian ini, pengetahuan sistematis tentang persoalan gaib dan mistik tidak
dapat disebut sains.
Pengertian lainnya ialah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu
observasi, penelitian dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar
atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipejalari dan seterusnya. Definisi
ini menekankan pada proses pemerolehan sebuah pengetahuan beserta tujuannya.
Sains diambil dari bahasa Inggris Science yang berarti pengetahuan
(knowleadge) dan kebijaksanaan (wisdom). Kata ini diserap ke
dalam bahasa Inggris dari bahasa Prancis, scientia. Bentuk terakhir ini
diserap dari bahasa latin, scient dan sciens yang berarti
memiliki pengetahuan (having knowledge). Pada abad keempat belas, kata science
mulai digunakan dalam bahasa Inggris dengan arti pengetahuan atau penelitian
alam berdasarkan fakta, percobaan dan pengamatan. Pengertian kompleks dalam
bahasa Indonesia diserap dari pengertian terakhir ini.
Pengertian
yang kompleks ini lahir dari tradisi keilmuan di Barat yang diilhami filsafat
positivisme. Yaitu aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Di
sini, ada dua hal yang dituntut memiliki kepastian. Cara atau metode memeroleh pengetahuan dan objek pengetahuan itu sendiri.
Metode yang
diyakini pasti-eksakta adalah apa yang disebut metode ilmiah. Sedangkan
objek-objek yang diyakini pasti adalah objek-objek yang bersifat fisik
(materi). Sains pada akhirnya pengetahuan yang dibatasi pada objek-objek fisik.
Hal ini mengecualikan objek-objek meta-fisik seperti Tuhan, roh, dan segala
yang gaib.
Kecenderungan
pengetahuan semacam ini diyakini merupakan yang paling sahih dan tak
terbantahkan. Manfaatnya untuk manusia juga tidak dapat dinafikan. Pemanfaatan
sains ini melahirkan tiga hal segaligus. Pertama, pengetahuan itu sendiri.
Kedua, sistem sosial yang meliputi aspek ekonomi dan politik. Dan ketiga,
teknologi. Ketiganya merupakan unsur terpenting peradaban Eropa modern. Sains
berkembang dengan dukungan kapitalisasi teknologi serta kebebasan demokrasi. Hal
ini yang memicu perkembangan situasi modern menjadi modernisme.Sebuah cara
pandang yang menjadikan kemodernan segalanya. Istilah modernisme sendiri
awalnya merupakan gerakan sosial dalam tradisi Kristen yang mencoba menafsirkan
ulang gagasan-gagasan yang terdapat Kitab Suci agar sesuai dengan aliran-aliran
filsafat, sejarah dan pengetahuan modern. Orang-orang yang berbicara untuk
kepentingan modern inilah yang disebut modernis.Modernitas menjadi daya yang
menarik perhatian masyarakat umum. Baik masyarakat Eropa sendiri maupun
negara-negara yang pernah dikolonialkan mereka. Negara-negara yang tidak
dikolonialkan pun, pada akhirnya menerima modernitas yang bersumber dari
wilayah tersebut. Modernitas menjadi standar penilaian segala sesuatu. Termasuk
dalam persoalan agama. Apakah doktrin agama sesuai dengan semangat kemodernan
atau tidak. Apakah sebuah agama bisa ditafsirkan sesuai dengan semangat modern
atau tidak. Dan seterusnya.
Inilah citra
bentukan sains. Sains membangun prestisenya sendiri melalui sistem kapitalisme
dan demokrasi. Dan pada tahapan tertentu akan berhadapan dengan bentuk
pengetahuan yang lain, seperti agama dan seni. Pada irisan ini, terjadilah
pertemuan jenis-jenis pengetahuan. Para pakar telah mendikusikan pertemuan itu
dalam sejumlah teori. Ian Barbour misalnya, mengelompokkan pertemuan itu ke
dalam empat kategori; konflik, independen, dialog, integrasi.
Paradigma
konflik merupakan gambaran dimana dua jenis pengetahuan bertemu dan diandaikan
saling bertentangan. Satu menegasikan yang lain. Natural sciences
bertententangan dengan human sciences. Ilmu pengetahuan berseberangan
dengan agama. Dan seterusnya. Bentuk-bentuk pengetahuan saling tidak
bersesuaian dan bertentangan satu sama lain. Inilah pertemuan konfliktif antar
dua model pengetahuan.
Paradigma
independen mengasumsikan dua jenis pengetahuan yang memiliki ranah
sendiri-sendiri. Satu sama lain tidak dapat berhubungan, apalagi
dipertentangkan. Ilmu pengetahuan alam misalnya, tidak dapat digunakan menelaah
perilaku sosial manusia yang menjadi lahan garapan ilmu pengetahuan sosial. Agama
tidak pula layak menjelaskan gejala alam yang menjadi wilayah kerja ilmu
pengetahuan alam. Kedua objek pengetahuan tersebut berbeda, sehingga
mengharuskan keduanya independen dengan karakteristiknya masing-masing.
Cara pandang
selanjutnya adalah dialog yang berangkat dari asumsi dasar bahwa masing-masing
bidang pengetahuan memiliki cara-cara sendiri dalam segi objek, cara mendekati,
dan hasil yang ingin dicapai. Karakteristik ini tidak boleh diabaikan,
alih-alih dihilangkan. Namun demikian, kedua jenis pengetahuan dapat
didialogkan. Dan hasilnya pun bisa bermacam-macam. Dialog merupakan pertemuan
tesis dan antitesis sehingga melahirkan sintesis. Bisa jadi, sebuah pengetahuan
mendukung unsur-unsur yang dikembangkan dalam sistem pengetahuan lain. Namun
bisa jadi tidak sesuai. Manusia dapat mengambil temuan baru yang bermanfaat
baginya. Tentu saja hal ini berdasar pada cara pandang pragmatisme pengetahuan.
Paradigma
terakhir adalah integrasi yang mencoba mempertemukan elemen-elemen tertentu
dalam sistem pengetahuan dengan elemen-elemen tertentu yang mungkin
dipertemukan. Ada beberapa model integrasi yang ditawarkan sejauh ini terkait
dengan sains dan agama. Isma’il Raj'i al-Faruqi misalnya menawarkan strategi
integrasi berdasarkan lembaga. Metode ilmiah yang dibungkus dengan pandangan
dunia (baca: wawasan) keislaman. Di Indonesia, proyek semacam ini dilanjutkan
dengan, misalnya, pelembagaan IAIN (Institute Agama Islam Negeri) menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri). Basis epistemisnya, sejauh ini, ada dua model
besar. Model jaring laba-laba ala UIN Sunan Kalijaga dan model Beringin
Ilmu-nya UIN Maliki Malang. Keduanya, atau ketiganya, memiliki kesamaan dimana
diandaikan Alquran dan hadis, sebagai pusat kosmis pengetahuan. Sedangkan
ilmu-ilmu keislaman tradisional menjadi lapisan pertama yang dapat bersentuhan
dengan pusat kosmis tersebut. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam yang
merupakan produk nalar sains, dalam arti dekat maupun jauh,menjadi lapis
luarnya. Logika yang digunakan adalah sains untuk kepentingan agama. Kepentingan
agama di sini bisa berarti meneguhkan doktrin-doktrin agama dengan
temuan-temuan sains.
Gagasan ini
merupakan ide yang berkembang sejak era pembaharuan pada abad kesembilan belas.
Muhammad Abduh berupaya mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional seperti filsafat,
kedokteran, budaya, dan lainnyadengan ilmu-ilmu keislaman klasik yang berpusat
kepada Alquran. Universitas Al-Azhar pada akhirnya menerima gagasan integratif
tersebut, sekalipun produk-produk pemikiran saintis tidak berkembang sekuat di
negeri-negeri Barat. Kuatnya tradisi keilmuan Islam klasik (baca:
konservatifisme pengetahuan) lebih mendominasi sistem pendidikan Al-Azhar.
Karenanya, sepertinya Abduh perlu membangun model universitas lain seperti
Universitas Kairo-Amerika, untuk menjadi pelapis yang menguatkan saintisme
Muslim. Tanpa diduga, lahirlah tokoh-tokoh liberal sekelas Amin al-Khuli, Ahmad
Khalafullah dan Nashr Hamid Abu Zaid. Kelahiran tokoh-tokoh tersebut menjawab
harapan Abduh pada munculnya generasi kritis dan brilian, sekalipun harus
bertabrakan dengan pendukung konservatifisme pengetahuan.
Yang perlu
dibaca adalah, lahirnya dialog antara sains dan agama. Dimana seolah-olah agama,
ketika telah menjadi objek pengetahuan, ia harus siap dipertaruhkan
sakralitasnya. Para pendukung sakralitas agama harus siap diolok-olok bahwa mereka
adalah golongan yang tidak modern, tidak ilmiah, atau minimal tidak objektif
karena menggunakan keimanan agama sebagai titik tolak kerja penelitian. Sains
yang dibangun di atas basis ideologi “bebas nilai”, harus berhadapan dengan
keyakinan agama yang menjadi pusat segala nilai. Dalam beberapa kasus, seperti
kasus para penafsir ayat-ayat kauniyah dan hadis-hadis sains, mereka berhasil
menyusun karya-karya besar dalam diskursus ini. Sumbangan ini tentu saja
menguatkan proses dialog pengetahuan dalam lingkungan akademis sekalipun dengan
sedikit cibiran, pengetahuan ilmiah yang tidak signifikan untuk pengembangan
pengetahuan ilmiah itu sendiri.Terlepas dari itu, para saintis hadis bekerja
dalam kerangka “pertemuan” semacam ini sebagaimana akan dibicarakan
selanjutnya.
D. Hadis dan Sains dalam Pandangan Saintis Muslim: Dialog Menuju
Penguatan Iman
Bila anda
membaca karya-karya tentang “kemukjizatan ilmiah Alquran dan hadis”, yang
sekarang bahkan menjadi salah satu mata kuliah khusus di beberapa perguruan
tinggi Islam, maka anda akan tercengang bahwa di sana ada banyak buku tafsir
atau hadis baru yang ternyata isinya adalah ensiklopedi penemuan ilmiah.
Bedanya, buku jenis ini berbungkus suasana religius, dimana ujungnya adalah
peneguhan kebenaran ajaran agama. Baik itu atas nama ideologi “kebesaran
Tuhan”, “bukti kemahakuasaan Tuhan”, “kebenaran ajaran Tuhan”, “kebenaran sabda
Nabi saw.” dan sejenisnya. Buku-buku tersebut akan membuat anda semakin yakin
kepada Tuhan dan tentu saja menjadi lebih religius.
Proyek
penafsiran sainsis ala sarjana Muslim ini merupakan hasil dialog dengan dua
tradisi keilmuan. Yaitu sains di satu sisi, dan ilmu-ilmu keislaman di sisi
yang lain. Para sarjana itu bukan saja menyuguhkan penafsiran sainsis, tapi
juga metodologi yang mereka gunakan. Mereka menyusun dengan saksama metode
mereka agar tidak dianggap menyimpang dari koridor (ilmu) agama dan koridor
sains di sisi lain. Di bawah ini kita akan mencoba melihat dan “membaca” narasi
yang mereka buat.
Shalih Ahmad
Ridha misalnya memulai ulasannya dengan menyatakan hadis atau sunnah sebagai
wahyu Allah. Dia mengutip ayat-ayat yang secara implisit menyebut dua model
wahyu. Wahyu Alquran dan selain Alquran. Wahyu selain Alquran kemungkinan besar
adalah sunnah. Hal ini berdasarkan fakta yang dikutipnya dari banyak hadis Nabi
saw. Pada akhir ulasan dia menyatakan berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis
tersebut di atas, Nabi saw. merupakan orang yang kata-katanya sangat dapat
dipercaya (amanah tammah), kata-kata Nabi saw. merupakan wahyu, tidak
satu pun kata-katanya yang salah, menyimpang dari wahyu, selalu berdasarkan
wahyu. Kesimpulannya, sunnah adalah wahyu.[3]
Ulasannya
dilanjutkan pada tema tibbun nabawi(doktrin kesehatan Nabi). Pada bagian
ini, dia mengutip pandangan sekelompok ulama yang membagi sabda Nabi saw.
kepada dua kategori; sunnah yang bersumber dari Tuhan dan sunnah yang bersumber
dari diri pribadi Nabi saw. yang pertama sudah pasti benar. Sedangkan yang
kedua masih berkemungkinan salah. Gagasan pemilahan ini didukung oleh para
ulama sekaliber Ali Thanthawi, Afif Thabarah, Hisan Syamsi Basya, Maurice
Buchaile, dan, menurutnya, dipandegani oleh pemikir sosial klasik kenamaan,
Ibnu Khaldun. Menurut Shalih Ahmad Ridha, pandangan tersebut tidak tepat.
Karena hadis atau sunnah merupakan salah satu bentuk berita (khabar). Sedangkan
berita selalu memiliki kemungkinan benar dan salah. Menurutnya ini tidak benar
dan tidak sopan bila digunakan menilai sabda-sabda Nabi saw. Bagaimana pun
ucapan yang keluar dari mulut Nabi saw. hanya punya satu kemungkinan, yaitu
benar. Dan sama sekali tidak dapat dikatakan bagian dari ijtihad Nabi saw.
Klaim bahwa
sebuah hadis merupakan hadis ijtihadi Nabi saw. hanya dapat dibenarkan jika
didukung oleh pernyataan hadis itu sendiri. Dan semua persoalan yang disinggung
dalam hadis, selama tidak ada penjelasan dari Nabi saw. bahwa hal itu merupakan
ijtihad beliau, maka persoalan tersebut harus dikembalikan kepada kategori
sunnah yang bersumber dari wahyu. Cara pandang ini pada akhirnya ingin
mengembalikan posisi strategis sunnah agar tidak mudah diklaim “persoalan
duniawi” yang tidak wajib diikuti. Di sisi lain, ingin menegaskan bahwa sunnah
merupakan wahyu, meyakinkan, tidak mungkin salah, selalu benar, dan pada
akhirnya, selalu menyimpan rahasia tertentu.
Rahasia itulah
yang harus diungkap oleh umat Islam. Karenanya, pada bagian selanjutnya, Shalih
Ahmad Ridha perlu membahas segi-segi kemukjizatan hadis Nabi saw. Dengan sangat
percaya diri, Shalih Ahmad mengklaim, segi-segi kemukjizatan hadis tidak lain adalah
bentuk-bentuk kemukjizatan yang terdapat dalam Alquran. Hal ini karena Alquran
dan hadis sama-sama bersumber dari Tuhan. Bukan buatan Muhammad saw. Dan di
akhir ulasannya, dia menyudahi dengan tema yang menjadi arah pembicaraannya,
kemukjizatan ilmiah hadis Nabi saw. Bahwa sabda Nabi saw. mengandung
isyarat-isyarat ilmiah yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang pra-modern.
Shalih Ahmad
tidak memaparkan lebih jauh mengenai konsep kemukjizatan sunnah-nya. Hal ini
menciptakan ruang kosong dalam karyanya yang berjudul al-I’Jaz al-‘Ilmi fi
al-Sunnah al-Nabawiyyah itu. Namun kita harus mengapresiasi karya setebal
seribu lima ratus halaman tersebut sebagai sumbangan berharga dalam pengkayaan
literasi Islam. Karya ini lebih tebal daripada ensiklopedi mukjizat ilmiah
dalam Alquran dan hadis karya Yusuf al-Hajj Ahmad, Mausu’ah al-I’Jaz
al-‘Ilmi fi al-Qur’an al-Karim wa al-Sunnah al-Muthahharahyang hanya
sembilan ratusan halaman. Dan tentu jumlah halaman keduanya lebih banyak
dibanding karya Prof. Zaghlul al-Najjar. Sumbangan berharga bagi kehidupan
rohani Muslim yang menyuguhkan argumen alternatif untuk menguatkan keimanan.
Keberatan yang
dapat diajukan, seperti disinggung dalam ulasan tentang ontologi hadis, cara
berfikir Shalih Ahmad Ridha ini tidak memberikan ruang keraguan sedikit pun
pada keragaman hadis. Ataukah dia tidak menyadari keragaman tersebut.
Alih-alih, kepentingannya bukan menemukan apa yang dikehendaki Nabi saw. dalam
sabdanya. Justru, bagaimana potongan pernyataan beliau dibenarkan berdasar
fakta ilmiah. Inilah yang sebenarnya terjadi.
E. Kode Etik Syarah Sainsis atas Hadis Nabi saw.
Bagian
sebelumnya menjelaskan bahwa problem yang dihadapi nalar saintisasi hadis
adalah hilangnya makna historis. Makna yang pernah dikehendaki Nabi saw. Yang
terjadi selanjutnya ialah pengalihan pada isu-isu kesesuaian potongan
pernyataan dengan fakta saintis.
Hal ini
berangkat dari kenyataan bahwa Shalih Ahmad Ridha tidak menjelaskan kerangka
metodologis pemahaman hadisnya, posisi hadis dalam bingkai pemahamannya, dan
pandangan para ulama klasik yang membangun pandangannya melalui epistemologi
kebahasaan. Sekali lagi, kesan ini muncul karena Shalih Ahmad Ridha tidak
memberikan kriteria khusus mengenai penafsiran ilmiah atas hadis Nabi saw.Ini berbeda
dengan dua tokoh lainnya, Yusuf al-Hajj dan Zaghlul al-Najjar. Keduanya menjelaskan
prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam menafsirkan ayat atau hadis yang
dinilai mengandung isyarat ilmiah.
Yusuf al-Hajj yang
membatasi pada tafsir ilmi Alquran memaparkan empat prinsip. Pertama,
menempatkan Alquran sebagai kitab hidayah, bukan buku ilmiah. Ia adalah kitab
yang memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan segala macam
kecenderungannya. Salah satunya adalah kecenderungan terhadap sains. Dari
sinilah relevansi ayat-ayat kauniah diwahyukan. Kedua, penafsiran tidak
boleh didasarkan kepada teori karena masih dalam taraf dugaan. Penafsiran hanya
dilakukan menggunakan temuan fakta ilmiah.Ketiga, tidak berlebihan dalam
menafsirkan. Dalam arti, kita tidak perlu memaksakan menafsirkan ayat bila
memang tidak memungkinkan. Atau memaknai ayat dengan pengertian-pengertian yang
tidak dapat dicakup oleh ayat tersebut. Dan keempat, Alquran wajib
dipahami dalam kerangka kebahasaannya sehingga penafsiran ilmiah tidak
mengabaikan penafsiran klasik yang telah dikembangkan para ulama terdahulu.[4]
Sederhananya,
Yusuf al-Hajj masih memandang penting posisi teks, konteks kemunculan sebuah
teks, dan metode penafsiran klasik yang berbasiskan bahasa. Dalam kerangka yang
hampir mirip, dalam konteks pemahaman saintifik atas hadis Nabi saw., Zaghlul
mengembangkan sekitar dua puluh prinsip yang harus diperhatikan ketika
mensyarah hadis melalui pendekatan temuan ilmiah ini.Yang paling penting dan
berkaitan dengan pemahaman hadis adalah delapan poin sebagai berikut:
1. Memilih hadis-hadis yang mengandung pesan tentang alam, unsur-unsurnya, dan
fakta-faktanya.
2. Memeriksa kualitas hadis.
3. Menghindari hadis-hadis palsu.
4. Mengumpulkan hadis yang membicarakan tema yang sama.
5. Memahami teks hadis atau teks-teks hadis sesuai pengertian kebahasaan dalam
bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya.
6. Memahami hadis sesuai kotek dan konteksnya.
7. Memahaminya sesuai petunjuk Alquran. Tidak menakwilkan hadis untuk
mengukuhkan teori ilmiah yang masih meragukan atau mungkin benar.
8. Hanya menggunakan fakta-fakta ilmiah yang telah paten.
Di sini Zaghlul
memadukan antara saintifikasi hadis dan saintifikasi pemahaman hadis. Bahwa
baik hadis yang dipahami maupun pemahaman yang akan digunakan memahaminya harus
benar-benar valid. Dia mempertimbangkan dua aspek tersebut sekaligus. Dia juga
tidak melupakan pentingnya penggunaan metode kebahasaan yang dikembangkan oleh
ulama klasik.
Di sini kita
menemukan metode syarah hadis tematik, utamanya dalam perspektif sains. Karena
kaidah semacam inilah, mungkin, menyebabkan karya Zaghlul lebih ramping. Edisi
berbahasa Inggrisnya hanya berkisar seratus lima puluh halaman.[5]
F. Penutup
Untuk
memungkasi artikel ini, saya akan sedikit merangkum ulasan ke dalam poin-poin
berikut:
1. Hadis merupakan ujaran khusus yang dikaitkan dengan diri Nabi saw. Baik
yang mengujarkan adalah Nabi saw. sendiri maupun orang lain. Dalam konteks mukjizat ilmiah, hadis harusnya
dibatasi pada pernyataan-pernyataan Nabi saw.
2. Sains merupakan produk pemikiran yang dibangun melalui
serangkaian mekanisme tertentu. Utamanya yang didasarkan pada fakta-fakta
empirik dan penalaran sistemik-rasional.
3. Sains memiliki citra tersendiri di dunia kontemporer. Yang
dengan merangkulnya, dunia akan segera memandang positif. Sains menjadi standar
kelayakan hidup di dunia kontemporer.
4. Sains digunakan menjustifikasi kebenaran Nabi saw.
5. Sains difungsikan menguatkan kepercayaan religius.
6. Terdapat kode etik tertentu dalam melihat hadis dari
persepktif sains.
Wallahu Alam.
M. Khoirul Huda, penulis
merupakan peneliti pada komunitas El-Bukhari Institute (eBI), Ciputat,
Indonesia.
[1]
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, vol. 2, hlm. 36
[2]
Lihat Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 16
[3]
Ali Ahmad Ridha, al-I’Jaz al-‘Ilmi fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, hal.
25-32
[4]
Yusuf al-Hajja Ahmad, Mausu’ah al-I’Jaz al-‘Ilmi fi al-Qur’an al-Karim wa al-Sunnah
al-Muthahharah, hlm. 16
[5]
Lihat edisi Inggrisnya, Zaghlul El-Naggar, Treasures in The Sunnah A
Scientific Approach, Kairo: Al-Falah Foundation, 2004.
Komentar
Posting Komentar