Pengembangan Metode Pemahaman Hadis*

Taha Jabir Ulwani



Meyakini otoritas Sunah Nabi merupakan keniscayaan dalam agama Islam. Tidak seorang pun ulama salaf mempermasalahkannya. Namun kemudian muncul sekelompok orang yang dangkal pemahamannya serta sedikit ilmunya. Mereka tidak dapat membedakan antara sunah yang otentik dari Nabi, baik yang dibuktikan secara meyakinkan dan pasti maupun yang didasarkan argumentasi yang kuat, dan sunah (tradisi) orang-orang kuno dan cerita-cerita masa lalu. Mereka juga tidak dapat membedakan batas kemungkinan dalam berargumentasi menggunakan berita yang berasal dari generasi pertama. Dan dalam konteks apa hujah itu digunakan. Dan apa tingkatannya dalam hierarkhi instrumen pengetahuan manusiawi. Dan apakah berita itu cukup kuat untuk menghadapi kontradiksi dengan kenyataan empiris atau kenyataan rasional ketika ia menghadapi problem tersebut atau tidak.


Kelompok itu mengira bahwa perdebatan dalam tataran metodis-filosofis ini merupakan perdebatan untuk menentang otoritas sunnah Nabi. Semua itu mereduksi perdebatan metodis-filosofis ke dalam isu lain, sunnah nabi sebagai hadis-hadis, dan hadis-hadis tidak lain adalah berita-berita. Perdebatan itu kebanyakan pada prinsipnya mempersoalkan tentang berita itu. Mereka tidak menyadari perbedaan besar dan mencolok antara sunnah Nabi sebagai tradisi dan antara metode periwayatannya serta posisinya sebagai sebuah berita di sisi lain. Sebagaimana mereka tidak melihat perbedaan antara metode pemberitaan dari Rasulullah dan metode pemberitaan dari selain beliau. Buah campur baurnya konpsep-konsep tersebut adalah tergiringnya perdebatan kepada permasalahan seputar otoritas sunah Nabi. Perdebatan itu mengambil porsi yang cukup besar dalam kajian usul fikih dan hadis. Padahal, porsi itu mungkin untuk diarahkan pada pengembangan metode pemahaman sunnah, cara-cara memahaminya, dan penjelasan metode “pengambilan ibrah” darinya. Atau metode-metode sejenis yang dapat memudahkan kaum Muslim yang hidup pada tempat dan waktu yang berbeda dalam membangun pemikiran mereka, pengembangan konsep pemikiran, kebudayaan, cara hidup mereka dan masyarakatnya, sesuai dengan tuntunan sunnah dan ibrah yang diambil darinya.

Perseteruan mengenai otoritas berita secara umum, dan otoritas khabar ahad secara khusus, meninggalkan dampak buruk yang mengkhawatirkan pada menguatnya sektarianisme dan perpecahan di lingkungan Muslim. Serta ditinggalkannya pengembangan kajian keislaman tentang sunnah di sisi lain kepada tema-tema yang lebih bersifat teoritik. Kebanyakan perdebatan itu tidak ada dampak positifnya. Sebagai contoh, konsep posisi sunnah di samping Alquran, konsep abrogasi sunnah menggunakan Alquran, serta abrogasi Alquran dengan sunnah, dan penenggelaman pikiran Muslim dalam isu-isu yang tidak akan mengembangkan apa pun seperti permasalahan tautsiq, periwayatan, kesahihan dan kritik sanad.

Ketika kita melihat wilayah kritik matan, metode pengkajian dan analisis terhadapnya, tampaklah jarak yang cukup jauh antara usaha besar-besaran yang dikerahkan untuk melakukan kritik sanad dan usaha yang terbatas yang ditujukan pada kritik matan. Dan sedikitnya usaha untuk merumuskan metode dan standar ilmiah untuk mengkaji dan menganalisis matan, dan menampilkan hubungan hadis-hadis nabi yang beragam dengan konteks zaman dan tempat, lingkungan dan kenyataan sosial.

Para ahli fikih telah berusaha cukup keras dan patut diapresiasi dalam menerjemahkan ajaran sunnah kepada wilayah tasyri’ (hukum terapan). Mungkin usaha itu dapat memenuhi tujuan dan kebutuhan, bila saja kajiannya mencakup seluruh aspek-aspek dan ragam sunnah. Namun kenyataannya, usaha itu hanya memperhatikan sunnah-sunnah tasyri’iyah dan menerapkan metode mereka dalam memahami riwayat-riwayat sunnah.  

Sunnah Nabi yang suci secara umum merepresentasikan fase penerapan Nabi untuk menjelaskan ajaran agama dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dengan segala keunikan realitas era tersebut, kondisi sosial, ekonomi dan pemikirannya. Kajian metode pemahaman sunnah dinilai paling mendesak dan paling penting dalam studi usul fikih dan hadis. Fase tersebut merupakan penerapan saintifik atas metode yang diajarkan Tuhan di muka bumi, dan Alquran sendiri membimbing gerak penerapan dan pengejawantahan metode tersebut ke dalam realitas.

Alquran menjaga seluruh sisinya agar berjalan sesuai metodenya. Alquran menjadikan fase tersebut sebagai contoh paling sempurna agar umat manusia dapat merujuknya dalam waktu yang tak terbatas. Cukup ayat-ayat Alquran yang turun untuk meluruskan praktik penerapan dan mengeritiknya, menganalisisnya, dan menunjukkan yang benar dan meluruskannya, serta mengomentarinya. Fenomena itu tampak jelas dalam ayat-ayat surah Ali Imran, al-Anfal dan lain-lain.

International Institute of Islamic Though (IIIT) telah dan akan selalu menganggap isu pemahaman sunnah Nabi dan metode pengkajiannya, metode analisisnya, pengetahuan segala segi-seginya, serta cara menjadikannya sebagai sumber pengetahuan, kebudayaan dan peradaban Islam,  sebagai yang paling penting dalam pemikiran. Pemikiran Muslim wajib diarahkan untuk menguasai dan memperhatikannya. Hal itu karena, pembaharuan prinsip-prinsip Islam dan sumber-sumbernya, menjelaskan konsep-konsepnya, metode pemahamannya, dinilai sebagai dasar paling penting untuk membangun pemikiran Muslim, meluruskan perilakunya, serta merekonstruksi sistem pengetahuan, kebudayaan dan peradaban umat Islam.
Untuk mewujudkan itu, IIIT menggariskan langkahnya di jalan ini yang diringkas sebagai berikut:   

Upaya mentransformasikan arah perhatian kajian usul fikih dan hadis dari isu-isu yang dianggap selesai secara historis kepada isu-isu yang belum selesai. Isu otoritas sunnah dinilai oleh Institut sebagai isu yang telah paripurna. Tidak dibolehkan bagi Muslim yang percaya kepada Allah dan Rasulnya mengingkari otoritas sunnah. Institut telah menerbitkan untuk tema ini, sebuah kajian ilmiah yang berharga yang dinilai paling penting dan paling komprehensif dalam kajian usul fikih untuk isu otoritas sunnah. Yaitu buku Hujjiyyah As-Sunnah (Otoritas Sunnah) karya Guru Besar Usul Fikih kontemporer Syekh Abdul Ghani Abdul Khaliq. Institut menganggapnya sebagai ungkapan perpisahan kepada isu yang wajib ditinggalkan oleh setiap pengkaji ini.

Upaya untuk mengarahkan opini para peneliti-peneliti Sunnah Nabi agar mau mempergunakan komputer untuk memudahkan akses karya-karya ulama dan para peneliti. Institut telah bekerja sama dengan banyak pihak untuk mewujudkan agenda ini.

Upaya penulisan tema-tema penting tentang as-sunnah dan memanfaatkan metode-metode ilmiah yang dapat digunakan dalam konteks ini untuk mewujudkan tujuan kita yaitu menjadikan as-sunnah sebagai sumber pengetahuan kemanusiaan dan sosial dengan segala macam bentuknya. Dan tidak sekadar menjadikannya sebagai sumber pengetahuan fikih semata.

Mendorong tokoh-tokoh besar menulis tema-tema yang dapat menguatkan aspek-aspek tematik penting yang berhubungan dengan as-sunnah dan perannya dalam merekonstruksi bangunan kebudayaan Islam dan mengeluarkan umat Islam dari wilayah kemunduran. Dalam konteks ini, selesai sudah permohonan tulisan kepada guru agung syekh Muhammad al-Ghazali, lalu beliau menulis bukunya yang terkenal “As-Sunnah An-Nabawiyah Baina Ahlil Fiqh Wa Ahlil Hadis”, dalam usaha menyelesaikan fiqh sunnah dan pemahaman terhadapnya. Dan penjelasan perbedaan antara orang yang tenggelam dalam rupa-rupa sanad dan aneka riwayah dan mereka yang punya orientasi pada pemahaman dan fiqh serta mengambil pelajaran darinya. Dan Syekh Agung, merupakan orang yang paling layak dalam pandangan Institut untuk membatasi kerangka permasalahannya. Atau diserahkan kepada beliau mengenai bagaimana penulisannya. Atau menelaah ulang apa yang ditulisnya sebelum diterbitkan. Lalu berkembanglah polemik itu  yang dampaknya berkisar pada sebagian perincian atau contoh yang yang digunakan oleh Syekh al-Ghazali. Pesan utama buku itu cenderung diabaikan di tengah-tengah polemik seputar masalah perinciannya.

Pesan buku itu ditujukan kepada –pertama, kepada kelompok yang baru berkembang itu, yaitu orang-orang yang belum dianugerahi ilmu syar’I dan pendidikan ilmiah. Pengetahuan tentang sejarah, fikih, bahasa, dan hal-hal yang dapat memungkinkan mereka memahami hadis dengan cara yang benar. Mereka membaca kitab-kitab hadis, melihat atsar-atsar namun mereka tidak memahami hakikatnya, batas-batasnya, dan tidak pula memahami asbabul wurudnya. Bahkan mereka tidak tahu apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Mereka terbang dengan pemahaman yang kurang dan meresahkan banyak orang.  Mereka menyebarkannya kepada masyarakat luas. Ketika dikatakan kepada mereka, pemahaman kalian ini bertentangan dengan firman Allah, mereka menjawab, as-sunnah memutuskan apa isi Alquran dan menggantinya. Dan bila mereka ditanya, riwayat ini bertentangan dengan riwayat lain yang lebih sahih, mereka tidak memahami hakikat pertentangan itu, dan tidak mengenal metode-metode tarjih, dan tidak pula mengetahui cara-cara memahami, batasan dan metodenya. Sebagaimana pesan buku itu juga ditujukan kepada para ulama, pengkaji, dan para pelayan sunnah, sebagai pemberi peringatan agar mereka mengarahkan usaha mereka kepada isu pemahaman dan cara-cara memahami, tidak ada sunnah tanpa pemahaman yang benar. Tidak pemahaman, tidak ada kebudayaan Islam, dan tidak ada pengetahuan tanpa sunnah.

Ketika Institut melihat kekeruhan polemik yang meliputi karya Syekh al-Ghazali, dan menyibukkan pikiran-pikiran dari tujuan utamanya, Institut menghadap dengan penuh harap kepada Syekh al-Qaradawi agar menulis buku untuk menindaklanjuti gagasan metode pemahaman sunnah, dan buku yang sejenis dengan tema sunnah sebagai sumber pengetahuan. Syekh mempersilahkan dan menyiapkan dua buku. Institut beruntung dapat menyuguhkannya yang pertama, dan yang lain akan diterbitkan pada waktu yang tidak terlalu lama. Insya Allah.

Dalam rangka menggeser kajian dan penelitian terhadap sunnah-sunnah Nabi kepada isu pemahaman hadis, Institut telah mengadakan serangkaian seminar internasioanl bekerja sama dengan Lembaga Kerajaan untuk Pengkajian Kebudayaan Islam Oman. Agenda itu dilaksanakan di tengah Muktamar Umum ke-7 Lembaga Kerajaan untuk Kajian Kebudayaan. Pertemuan itu diikuti oleh seratus duapuluh intelektual, profesor, dan peneliti. Acara dimulai hari senin 15 Dzulqa’dah 1409 H./ 19 Juni 1989 M. dan selesai pada hari kami 18 Dzulqa’dah atau 22 Juni 1989 M. dan tema besarnya adalah “Sunnah Nabi: Metodenya dalam Membangun Pengetahuan dan Kebudayaan”. Materi yang paling penting dibahas adalah karya Syekh Al-Ghazali dan karya Prof. Yusuf al-Qaradawi. Selain banyak makalah-makalah berharga lainnya yang ditulis untuk diskusi pada seminar ketiga.

Institut meyakini bahwa isu pemahaman sunnah dan kristalisasi metode pemahaman, standar, batasan kritik matan dan sejenisnya merupakan isu yang akan membantu menjadikan Sunnah Nabi yang suci sebagai sumber peradaban, pengetahuan dan kebudayaan Islam. Ia adalah isu penting yang membutuhkan banyak kerja keilmuan, kajian kritis, seminar-seminar ilmiah agar sunnah dapat kembali mengambil peran positifnya yang aktif dalam membangun kehidupan Islam kontemporer.  

Terkadang, kebutuhan tampak meningkat sampai isu tersebut perlu dimasukkan ke dalam kurikulum kajian hadis di perguruan-perguruan tinggi, fakultas-fakultas, dan institut-institut keislaman. Dan menempatkannya sebagai ganti dari kajian materi yang telah diajarkan.

Buku tersebut telah sampai kepada tangan pembaca dan dicerna oleh akal fikiran masyarakat. Kami berharap perhatian umat Islam meningkat berlipat ganda kepada isu pemahaman sunnah populariasi dan penguatan kaidah-kaidah pemahaman, batasan-batasan, syarat-syaratnya, penjelasan sebab timbulnya perbedaan, perubahan pemahaman dalam suatu kondisi, serta bagaimana timbulnya kendala dalam proses pemahaman sunnah. Apa faktornya, bagaimana cara menganalisis permasalahan-permasalahan yang saling tumpang tindih yang menyebabkan kerancuan dan ketumpang-tindihan masalah tersebut hingga menjadi masalah dalam proses pemahaman. Apa dampak kendala pemahaman pada timbulnya gagasan dalam ilmu kalam tentang otoritas sunnah?

Di antara permasalahan yang membutuhkan kajian lebih lanjut, dan memiliki hubungan dengan masalah pemahaman sunnah dan kajian terhadapnya adalah:

Prakondisi Pemahaman
Pertama, syarat-syarat pemahaman. Ketika masalah utama sunnah adalah mengenai pemahaman terhadapnya, maka apakah faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dan kontradiksi pemahaman yang terjadi pada sebagian waktu selama pernjalanannya? Apakah sebabnya? Apakah karakteristik, sifat, dan keunikan akal yang mampu memahami sunnah dan bisa berinteraksi dengan baik dengannya? Apakah hubungan pemahaman dengan komitmen keislaman, dan bagaimana ia bisa mengalahkan pandangan yang parsial? Bagaimana menghadapi tantangan pemahaman dengan menangani seluruh sisi-sisi yang berpengaruh di dalamnya. Dan bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang tumpang tindih itu yang sering mengacaukan pemahaman yang perannya dalam pandangan banyak peneliti mendorong pada timbulnya keyakinan akan otoritas sunnah, secara umum maupun secara khusus, dan menggesernya kepada medan perdebatan, padahal sebelumnya tidak menjadi permasalahan di lingkungan Muslim sebagaimana diketahui bersama.

Perbedaan, Perpecahan dan Problem-Problem Yang Menjadi Prakondisi Terwujudnya Kajian Ilmiah yang Mendalam
Kedua, perbedaan, perpecahan, dan masalah-masalah yang mendukung terwujudnya kajian ilmiah yang mendalam. Sekte-sekte Islam, bagaimana mereka muncul? Apakah sebab perpecahan mereka? Bagaimanakah posisi problematika sunnah dan perbedaan di dalamnya, baik dari segi kehujahan, pemahaman, dan periwayatan, di hadapan faktor-faktor perpecahan tersebut? Bagaimana praktik penggunaan sunnah sebagai senjata dalam perdebatan sekte-sekte Islam yang berbeda-beda itu? Bagaimanakah timbulnya fenomena pemalsuan hadis, perspektif yang parsial, orientasi hukum publik dan dampaknya?

Apa hubungannya dengan timbulnya konsep-konsep artistik yang khusus berada dalam ilmu dirayah dan riwayah? Demikian pula dengan masuknya sebagian masalah sunnah ke dalam wilayah kajian ahli usul fikih dan ahli ilmu kalam? Seperti masalah kehujahan sunnah, posisi as-sunnah di hadapan alquran, menasakh alquran dengan sunnah, memabatasi dan mengkhususkan Alquran dengan sunnah, ijtihad Nabi, perdebatan tentangnya, dan sunnah qauliah yang menjadi objek bersama teks alquran, dan memunculkan hukum dari dua nash ini, bagaimana bisa timbul? Apakah dampaknya dalam nalar Muslim, baik pemikiran maupun pendidikannya? Apakah kerangka historis yang melahirkan masalah-masalah tadi?

Apa arti problem tersebut bagi pemikiran dan dampaknya pada masa lalu dan masa sekarang? Apa cara yang paling tepat untuk merangkul problem-problem tersebut ke dalam wilayah kajian kontemporer sunnah, dan cara merancang agenda kajiannya? Dan bagaimana cara keluar dari problem terebut dengan menggunakan penggambaran yang dapat membantu menjelaskan perspektif Islam demi kepentingan persatuan umat Islam dan menyatukan opini mereka, mengembalikan bangunan umat, dan mengarahkannya kepada aktualitas kebudayaan yang produktif dan efektif?

Ketiga, konteks waktu dan tempat di samping pemahaman sunnah. Sangat jelas bagi kalangan ahli usul fikih, sebagaimana jelas pula bagi generasi muslim pertama, memperhatikan aspek era dan tempat, dan keunikan tahapan, dan kondisi lingkungan dalam konsep perbuatan Nabi, taqrir, kemanusiaan eksperimen Nabi, dan relativitas perbuatan tersebut. Mereka merumuskan beberapa batasan. Apakah mungkin para spesialis merumuskan batasan yang memiliki perhatian terhadap hal-hal tadi dalam sebagian di antara banyaknya pernyataan Nabi, dan bagaimana? Apa peran kajian hadis kontemporer dalam mewacanakan batasan itu, dan menjelaskan orisinalitasnya?

Perbedaan prinsipil antara problem partikular yang coba diselesaikan oleh seorang ahli fikih, dan problem pemikiran yang coba diselesaikan oleh seorang pemikir, filsuf dan teolog, dan problem social yang hendak dijawab oleh seorang sosiolog, membuat pewujudan metode yang beragam menjadi niscaya dalam memahami sunnah dan berinteraksi dengannya. Hadis yang berhubungan dengan problem parsial yang masuk dalam cara pandang ahli fikih, berbeda dengan hadis yang berbicara mengenai realitas sosial secara umum. Dalam memahami hadis sosiologis itu, wajib dilihat seluruh aspek-aspek yang menjadi objek analisis seorang sosiolog. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghindar dari penyakit sejarah yang ganas yang merontok-pecahkan umat dengan menggunakan hadis-hadis saling bertentangan. Setiap sekte menguatkan gagasannya dengan hadis-hadis yang mereka miliki. Bagaimana mungkin mengembalikan kaidah berfikir universal dan maqasidi (berorientasi tujuan) kepada nalar Muslim dan keluar dari lingkaran khusus setelah dipermudahnya jalan untuk mengumpulkan sunnah, rijal, menggunakan pengujian ilmiah, dialog bersama, dan seminar bersama.

Peran As-Sunnah dalam Menyelesaikan Persoalan Umat
Sejumlah sikap negatif menguasai kesadaran Dunia Arab, dan Dunia Islam pada umumnya. Di satu sisi, sikap itu merupakan cerminan atas krisis pemikiran Muslim kontemporer. Krisis itu mengambil beragam bentuk di antaranya;

Lepasnya ikatan kekeluargaan umat dan dominasi semangat berkonflik dengan segala macam bentuknya; pemikiran, sosial, sektarian, ideologi, selain konflik politik. Juga munculnya vitalisasi pemikiran-pemikiran yang memecah belah umat atau memproduksinya bila diperlukan.

Hancurnya sisa-sisa keseimbangan sosial dan kawasan dan dominasi semangat individual. Serta dominasi simbol-simbol keguncangan dan ketakutan pada masa depan. Keputus-asaan dan patah harapan menghadapi kekinian, pengabaian dan hilangnya semangat untuk bersikap positif, mendominasinya fenomena sikap-sikap kontra aktivisme-produktif, meninggalkan makna pentingnya aktivisme dan usaha mempengaruhi orang lain, dan mundurnya atmosfir dialog karena menilainya sama artinya dengan konflik dan pertentangan. 

Absennya kesadaran objektif atas permasalahan sosial umat serta kaitannya dengan sejarah. Berkurangnya pandangan-pandangan universal-analitis-eksplanatif untuk melihat permasalahan umat di hadapan pandangan partikular-dangkal-sentimentil-retorik. Dan keterbukaan nalar muslim untuk menerima sesuatu tanpa alasan, atau memberikan alasan tanpa alasan yang tepat, dan fenomena lain sejenisnya yang sulit dihitung secara detil. 

Bagaimana mungkin sunnah nabi dapat difungsikan dan direvitalisasi perannya dalam meluruskan perilaku Umat, serta memberikan perspektif yang jelas dan konsepsi yang benar agar dapat membantu memberikan penjelasan yang meyakinkan yang menyelesaikan persoalan ini.

Kehendak bertindak ada dalam diri manusia Muslim, dan dalam masyarakat Muslim terdapat kekuatan untuk memobilisasi kuasa massa, menyatukannya di sekitar tujuan-tujuan keislaman, yang kehidupan dan harapan bangkit di dalamnya. Mendorongnya menuju suatu aksi untuk mewujudkan budaya alternatif dan proyek pemikiran sosial praksis yang dapat mengembalikan jati diri umat, yang perasaan afiliasi kepada kebudayaan dan sejarah menjadi dalam di dalamnya.

Bahaya Pemahaman Literal terhadap Sunnah
Pada era risalah, para sahabat hidup bersama sunnah dengan segala aspeknya. Mereka memahami Alquran di tengah-tengah kebersamaan tersebut, pemahaman yang langsung, jelas dan kuat. Timbullah pengaruh mukjizat Alquran dalam mewujudkan umat yang moderat yang menjadi saksi bagi umat manusia. Mereka dicirikan dengan kebaikan yang paripurna serta mampu menghadapi segala macam tantangan. Melangkah tegar di setiap jalan terjal. Ketika umat manusia jauh dari era risalah, tampillah peran kamus bahasa dalam memahami teks (nash) sebagai wasilah dan unsur penafsiran dan pemahaman lainnya. Jadilah peran kamus semakin kuat hingga sebagian orang berlebihan dalam menilai instrumen-instrumen lainnya. Kamus menjadi instrumen tunggal untuk memahami dan menafsirkan. Lahirlah nalar harfiah-kamusiah dan semakin berkembang hingga jadilah ia aliran yang kuat, sebagian bekerja di luar kerangka zaman dan tempat, terlepas dari gerak kehidupan dan sejarah. Ia menambah gangguan dalam proses kebangkitan umat dengan memunculkan keributan, perdebatan yang tidak perlu, dan keguncangan. Ia menjadikan Islam seperti monumen sejarah atau lukisan dan patung tradisi. Ia membangun konsepsi dan tesis yang tidak masuk akal. Ia salah memahami tentang kemungkinan mengulangi terwujudnya hadis. Hal itu, dalam kehidupan dunia adalah mustahil. Bagaimana mungkin kajian kontemporer terhadap sunnah dapat menjawab problem ini? Menjauhkan nalar muslim dari bahayanya, serta menyelamatkannya dari kuasa orang-orang yang mengosongkan Islam dari kandungan peradaban dan muatan kebudayaannya. Mereka membatasi Islam hanya pada perilaku individu dan konsepsi sempit yang hanya memperhatikan bentuk, permainan bahasa dan kata yang tidak mungkin bisa digunakan membangun masyarakat, mewujudkan eksistensi bangsa, atu membangun kebudayaan.         

Sunnah dan Proyek Kebangkitan Umat
Tidak diragukan lagi, saat ini umat kita dalam situasi yang sangat membutuhkan proyek kebangkitan yang menyeluruh dan paripurna, mengembalikan umat kepada posisinya yang moderat, sebagai saksi kebudayaan baru. Hal itu tidak mungkin sempurna tanpa membekali masyarakat Muslim dengan syarat-syarat wajib yang dapat mengembalikan umat kepada posisi yang semestinya. Syarat wajib yang pertama adalah membangun dan merumuskan sistem pemikiran dan kebudayaan umat.

Kelompok intelektual umat kita saat ini mengambil materi pemikirannya dari dua kebudayaan. Kebudayaan yang memiliki ikatan sejarah dan sudah diwarisinya, yang merupakan produk pemikiran masa dan lingkungan tertentu. Dan kebudayaan yang didatangnkan melalui proses penerjemahan dan selain penerjemahan. Di hadapan kedua kebudayaan tersebut, pikiran Muslim kontemporer berdiri sebagai seorang reaksioner yang tidak memiliki kekayaan budaya. Pikiran yang tidak mampu beraksi secara aktif dan hanya menerima peran sebagai reaksioner, tidak mampu memproduksi peradaban, hanya diliputi oleh kehancuran, bagaiamana ia bisa membangun negara, menguatkan bangsa, atau merumuskan kebudayaan?

Menghubungkan tujuan dan strategi perubahan sosial dengan keyakian serta akidah umat, akan banyak membantu dalam memobilisasi umat secara massif untuk melakukan transformasi pemikiran, kebudayaan, peradaban, yang diharapkan umat.

Agar pemikiran Muslim dapat keluar dari krisis yang parah ini, lalu bertransformasi kepada fase cara pandang yang benar, berkekuatan, dapat memberikan sumbangan, menjawab tuntutan tahap ini, mengembalikan  sistem pemikiran dan peradaban kepada pangkuan umat, rekonstruksi pembacaan sumber-sumber Islam; Alquran dan Sunnah menjadi keharusan, dengan kesadaran dan pemahaman yang dalam, serta persepektif Islam kontemporer yang mampu melihat seluruh segi persoalan dan seluruh aspeknya untuk mendapatkan tujuan dan akhirnya, menjelaskan persoalan global, merumuskan metode yang harus digunakan umat untuk memberikan jawaban Islami atas tantangan fase ini dan mengembalikan simpul-simpul kekuatan umat.

Alquran telah membekali generasi salaf dengan metode pemikiran unik yang membuat mereka mampu memahami dan menafsirkan serta menganalisis perubahan umat dan masyarakat, menemukan problem, menemukan hukum unik perubahan kebudayaan dengan sikap objektif yang tiada keraguan akan objektifitasnya dan berkesesuaian dengan kenyataan, keilmiahan, dan kemampuan unik untuk mengungkap kontradiksi internal dalam masyarakat Muslim dan metode pengembangannya, dan faktor-faktor yang mendorong terwujudnya ia dalam kebudayaan bersama dengan penjelasan yang sempurna terhadap kecenderungan perkembangan sejarah.

Sunnah Rasulullah saw. dan sirahnya, penggalan kehidupannya serta kehidupan sahabat yang merupakan generasi pertama Muslim, merupakan contoh pengejawantahan ilmiah nyata metode pemikiran tersebut. Ketika pikiran Muslim kontemporer berinteraksi dengan Alquran Agung, dengan perenungan dan refleksi, dan dengan pemahaman kontemporer yang benar, untuk mengkaji aspek-aspek universal dan tujuan Alquran, agar ia sampai pada pemikiran metodis yang sempurna, merumukan sistem dan batasan untuk gerak kehidupan dan kemanusiaan yang selaras dengan perputaran semesta, mengurai krisis nalar dahsyat ini akan segera dapat dilakukan.

Ketika ditambah pemahaman terhadap sunnah yang dapat menghantarkan kepada pemahaman yang utuh terhadap tujuan praktik Nabi atas wahyu Tuhan, mentrasformasikannya kepada realitas kehidupan manusia, tirai-tirai kebodohan, kegelapan dengki dan konflik, penghancuran kekuatan, akan segera sirna dari umat ini, dengan izin Allah. Manusia Muslim akan naik melampaui faktor-faktor yang melemahkannya, untuk kemudian menakhlukkan manusia kontemporer dengan segala keunggulan pikiran dan peradabannya. Menarik tangannya untuk menjemput hidayah dan kemenangan bersamaan dengan kesadaran akan prinsip-prinsip universal Islam, pembedaan antara hakikat yang tetap dan wasilah yang berubah, serta kepastian maksud dan tujuan.

Buku ini akan menjadi –insya Allah, sumbangan berharga dalam perumusan metode pemahaman sunnah. Ia akan menjawab banyak pertanyaan yang ditujukan kepada topik ini. Ia akan mengalihkan perhatian masyarakat kepada masalah metode pemahaman sunnah. Sebuah dimensi yang tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, baik dalam ruang dialog, kajian ilmiah, penulisan, maupun dalam ruang pengajaran dan pendidikan.

Semoga kitab ini dapat menarik isu pemahaman sunnah kepada wilayah kajian ilmiah, dan dapat membantu umat untuk keluar perdebatan yang tidak produktif dalam pemahaman sunnah.

*Artikel ini merupakan terjemah Pengantar Thaha Jabir dalam buku Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah karya Yusuf al-Qaradhawi. Thaha Jabir adalah Direktur International Institute for Islamic Thought (IIIT), sebuah lembaga penelitian yang mengusung proyek Islamisasi pengetahuan dan berbasis di Herndon, Virginia, AS.  Salah satu agenda utamanya adalah, seperti dapat dilihat dalam artikel ini, menjawab krisis pemikiran Islam. Salah satu bentuknya adalah revitalisasi peran sunnah agar sesuai dengan suasana kontemporer. Pemahaman terhadap as-sunnah tidak mendapatkan porsi yang semestinya. Perhatian terhadapnya banyak dicurahkan untuk mendiskusikan otentisitas, seraya mengagung-agungkan pemahaman tekstual. Lembaga ini mengkampanyekan perubahan cara pandang Muslim terhadap isu ini. Isu dan langkah-langkah lembaga ini terbilang sangat strategis. Hal ini dapat dilihat dalam dampak wacana mereka yang memancing respon hampir di seluruh dunia Islam. Buku as-Sunnah Baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadis karya Muhammad al-Ghazali, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah dan as-Sunnah Masdaran Lil Ma’rifah wal Hadharah karya Yusuf al-Qaradhawi, hampir dikaji di seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia ketika berbicara tentang metode pemahaman hadis.

Bila kita sekarang merasakan terjadinya ledakan pluralitas epistemologi dalam perguruan tinggi Islam seperti maraknya penggunaan metode sosiologi, kebudayaan, sastra, hermeneutika, semiotika, dan yang belum terlalu populer maqasid syariah, maka akar-akarnya dapat ditarik sekitar dua puluh tahunan yang lalu. Yaitu ketika muncul lembaga-lembaga sejenis ini di dunia Muslim. Dalam konteks ini, kita bisa membaca bagaimana Muslim kontemporer mengembangkan cara berfikirnya untuk menjadi lebih berperadaban.   
         


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi Ilmu Menurut Osman Bakar*

Hadis Hubbul Wathan Minal Iman Itu Sahih…

Rasulullah Melarang Membunuh dengan Api