Literatur yang merupakan upaya pengkajian paling tua
terhadap peristiwa mikraj adalah Mi’raj
al-Nabi Salla Allah ‘Alayhi Wa Sallam, yang diyakini sebagian sarjana
sebagai karya Ibnu Abbas (68 H.). Lalu, cerita ini masuk dalam salah satu
narasi kitab sirah seperti Kitab al-Siyar wa al-Maghazi karya Ibn Ishaq (151 H.) dan al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisham
(213 H.). Selanjutnya, materi mikraj menyebar ke hampir seluruh kitab-kitab
hadis seperti Musnad Ahmad karya
al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H.), Sahih
al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.), Sahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi (204-261 H.), Musnad al-Bazzar karya Abu Bakar
al-Bazzar (292 H.), dan Dala’il
al-Nubuwwah karya al-Bayhaqi (384-458 H.).
Di sisi lain, ada karya-karya khusus yang membahas mengenai peristiwa isra-mikraj. Muhammad Abdul Hakim Qadi mencatat paling tidak ada empat naskah kitab yang berbicara khusus tentang isra-mikraj; (1) Al-Kawkab al-Wahhaj fi Ahadith al-Mi’raj karya Abu Bakr bin Muhammad al-Bistami, (2) al-Ayat al-Bayyinat fi Mi’raj Sayyid al-Ardi wa al-Samawat karya Muhammad bin Yusuf al-Shami, (3) Al-Ibtihaj Fi Al-Kalam ‘Ala Al-Isra’ Wa Al-Mi’raj karya Najm al-Din al-Ghaiti, dan (4) al-Ayah al-Kubra fi Sharh Qissah al-Isra’ karya al- Suyuti.4
Pada era modern, kajian mengenai isra-mikraj dapat
ditemui dalam sejumlah karya penting. Misalnya, Hashiyah al-Dardir ‘ala Qissah al-Mi’raj karya Abu al-Barakat
al-Dardir (1201 H.),5 al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Abdul Halim Mahmud
(1910-1978 M.),6 al-Dhaif min Qassah al-Isra’ wa al-Mi’raj karya
Amr Abdul Mun‟im, dan al-Isra’ wa
al-Mi’raj wa Dhikr Ahadithihima Wa Takhrijuha
Wa Bayan Sahihiha Min Saqimiha karya Nasir
al-Din al-Albani (1914-1999).
Dalam karya-karya di atas, para sarjana Muslim lebih banyak menggunakan pendekatan sejarah; yang dalam beberapa hal lebih menitik-beratkan pada pendekatan ilmu hadis. Di sisi lain, fokus utama kajian mikraj sarjana Muslim adalah mengenai historisitas peristiwa mikraj. Hal ini menjadi tren kajian akademik di lingkungan umat Islam. Yang dalam melihat sejarah lebih percaya pada disiplin ilmu hadis; dengan beragam tingkat keketatan yang digunakan masing-masing penulis. Fokus yang sama, sekalipun dengan tren akademik yang berbeda, tumbuh di kalangan sarjana non-Muslim. Sejak awal abad kedua puluh, para sarjana Non- Muslim yang menunjukkan ketertarikannya pada isu ini mencoba mengembangkan kajian lebih lanjut. Mereka mengkaji literatur sejarah dan hadis Muslim untuk mencari apa yang menjadi asal-usul ide mikraj dari tradisi-tradisi sebelum Islam, apa yang “otentik” dan “ditambahkan” dari narasi mikraj dalam tradisi Muslim. Di antara yang terkenal sebagai sarjana yang konsern terhadap kajian mikraj adalah B. Schrieke, A. A. Bevan, Josef Horovitz dan Harris Birkeland. Menurut Brooke Olson Vuckovic, pergeseran tren pengkajian mikraj terjadi sekitar tahun 70-an. Yaitu setelah Edward Said menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh, Orientalism. Menurut studi kritis ini, disiplin-disiplin keilmuan yang berhubungan dengan kebudayaan cenderungan bias. Ia cenderung mencerminkan pandangan dan kesadaran orang Barat sendiri. Said mengajak para sarjana Barat untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang-bangsa yang menjadi objek penelitian mereka. Sejak itu, lahir tradisi baru dalam studi mikraj di Barat yang lebih melihat mikraj sebagai warisan (legacy) keilmuan Islam yang layak dihargai, dibanding sebagai objek sejarah yang perlu ditelaah otentisitasnya menurut cara-cara yang lazim mereka gunakan yang seringkali menunjukkan hasil-hasil yang berbeda dan kurang menghargai keyakinan Muslim.7 Sayangnya, Brooke belum menunjukkan satu karya kesarjanaan atau tokoh sarjana yang menggunakan paradigma baru ini. Mungkin, sebenarnya dia ingin menahbiskan dirinya sebagai sarjana Barat yang pertama kali menggunakan paradigma „revisionis‟ tersebut. Paradigma yang menempatkan peristiwa mikraj dipahami sebagai keyakinan Muslim yang bermakna; sejauhmana peristiwa mikraj menjadi sangat penting bagi komunitas Islam, apa urgensinya secara politik dan teologis. Brooken berkesimpulan bahwa narasi mikraj merupakan upaya para elit agama Islam menciptakan garis demarkasi antara tradisi monoteisme Islam, dan monoteisme Yahudi dan Kristen. Mikraj juga dijadikan mekanisme menguatkan keyakinan komunitas Muslim tentang pentingnya menjadi orang beriman dan menjaga diri dari kekafiran seperti yang terjadi pada generasi Muslim pertama yang rapuh keimanannya setelah mendengar berita mengenai mikraj yang tidak masuk akal. Ini merupakan upaya penguatan identitas keislaman komunitas Muslim sejak lama.8
Dari pemaparan di atas, dapat diambil gambaran ringkas
mengenai dua kecenderungan dalam lingkungan pengkaji mikraj dari dua dunia yang
berbeda; kesarjanaan Muslim dan non-Muslim
(dulu orang menyebutnya orientalis, lalu setelah terjadi perubahan paradigma
mereka lebih banyak menggunakan istilah islamisis/outsider). Pertama, paradigma
historis yang menekankan aspek asal-usul, otentisitas, dan perubahan narasi
mikraj. Paradigma ini digunakan oleh para sarjana Muslim klasik/modern serta
sarjana non-Muslim di awal abad dua puluh. Kedua, paradigma „pemaknaan‟ yang
menekankan arti mikraj bagi komunitas Muslim. Hal ini seperti coba dilakukan,
misalnya, oleh Brooken. Sekalipun, menurut penulis, ada beberapa aspek perlu
dilihat tentang temuan Brooken yang cenderung simplistis; menekankan implikasi
teologis dan politis. Padahal, menurut Imran N. Hosein misalnya, ada enam
signifikansi mikraj yang meliputi; psikologis, epistemologis, saintifis,
teologis, politis dan spiritual.9 Di sini, Brooken hanya melihat dua
signifikansi yang ditawarkan Imran.
Studi „pemaknaan‟ suatu komunitas tentang suatu ajaran religi tertentu, memang menjadi trend kajian Islam kontemporer
dalam satu dasawarsa terakhir yang menggabungkan cara pandang insider dan
outsider. Dalam studi hadis, kecenderungan ini telah melahirkan tradisi
„Living Hadith‟.10 Untuk melihat penggunakan paradigma „pemaknaan‟ ini, penulis akan mencoba mengaplikasikan pada signifikansi mikraj bagi generasi awal Muslim; dalam hal ini sahabat dan mungkin murid-murid mereka. Penulis akan mencoba meneropong tentang arti penting peristiwa mikraj bagi mereka. Dalam kategori-kategori signifikansi apa –seperti digambarkan Brooken atau Imran, para sahabat melihat peristiwa mikraj.
Untuk melakukan kajian ini, penulis akan menggunakan
kitab-kitab hadis, dan terkadang sirah sebagai sumber utama. Dari sumber-sumber tersebut, akan dipilih materi yang berkaitan dengan topik diskusi. Untuk
membaca sumber-sumber tersebut penulis mencoba menggunakan pendekatan heurestik
atau upaya „menemukan‟ apa motivasi para sahabat menyebarkan dan mengkaji
cerita tentang mikraj. Penulis berterima kasih kepada Abu Bakr Abdurrahman
al-Suyuti (911 H.) yang dalam masterpiece-nya,
al-Ayah al-Kubra fi Qissah al-Isra’, melakukan takhrij terhadap
hadis-hadis mikraj dengan cukup lengkap. Penulis menggunakan data yang beliau
tampilkan dengan sedikit seleksi. Data itu kemudian diolah dan dianalisis
tentang hal-hal yang dapat dijadikan indikator mengenai sikap, peran, gagasan
dan kepentingan sahabat terhadap cerita mikraj. Selanjutnya, sikap dan gagasan
para sahabat akan dibingkai dalam kategori yang dirumuskan Brooken dan Imran.
1 Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), cet. ke-3, h. 58
2 Peristiwa murtadnya sebagian Muslim saat itu diabadikan dalam QS. Al-Isra: 60. Lihat dalam Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), cet. ke-3, h. 50
3 Lihat misalnya gagasan Sayyidah Aishah tentang Isra-mikraj hanya dengan roh, Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Madani, Sirah Ibn Ishaq (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), cet. Ke-1, h. 295
4 Lihat pengantar Muhammad Abdul Hakim Qadi pada karya Abu Bakr Abdurrahman al-Suyuti, al-Isra’ wa al-Mi’raj, (Kairo: Dar al-Hadith, 2002), h. 7
5 Kitab ini merupakan catatan kaki (hashiyah) untuk kitab Qissah al-Mi’raj atau Al-Ibtihaj Fi Al-Kalam
‘Ala Al-Isra’ Wa Al-Mi’raj karya al-Ghaiti di atas.
6 Lihat Abdul Halim Mahmud, al-Isra’ wa al-Mi’raj, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, tt), cet. ke-11.
7 Brooke Olson Vuckovic, Heavenly Journeys, Earthly Concerns The Legacy of The Mi‘raj in the
Formation of Islam, (New York: Routledge, 2005), h. 9-14
9 Imran N. Hosein, The Strategic Significance of The Fast of Ramadan & Isra' and Miraj (New York: Masjid Dar al-Quran, 1997), h. 52-64
10 Muhammad al-Fatih Suryadilaga, Studi Living Quran dan Hadis, (Jogjakarta:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar