Secara historis, pengkajian
terhadap hadis telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Hadis pada mulanya
dikaji dan diajarkan secara intensif-individual di kota-kota besar Islam abad
kedua hijriah oleh ahli-ahli yang mulai bermunculan pada era tersebut. Belum ada lembaga
yang secara khusus diidentifikasi sebagai pusat studi-pendidikan hadis seperti
dikenal di era modern. Tetapi, sudah
dikenal kota-kota yang dikenal sebagai pusat pengajaran dan pengkajian hadis.[1]
Sampai pada abad ketujuh
hijriah, sejarah Islam baru mengenal lembaga-lembaga pendidikan yang
diidentifikasi sebagai pusat pendidikan hadis berbasis wakaf. Dalam sejarah
Islam, Dar al-Hadith al-Nuriyyah merupakan lembaga yang khusus mengajarkan
hadis. Didirikan oleh Sultan Nur al-Din Zenki (w. 569 H.) pada tahun 563 H.
sebagai bentuk penghormatan kepada ulama terkemuka Damaskus, Ibnu ‘Asakir
al-Dimashqi al-Shafi’i (w. 570 H.).[2]
Menurut sumber lain, lembaga
pengkajian khusus hadis pertama di Damaskus adalah Dar al-Hadith Al-Ashrafiyyah
Damaskus. Lembaga ini didirikan oleh Musa bin al-Malik al-‘Adil (w. 635 H.)
dari Dinasti Ayyubiyyah pada tahun 630 H. Lembaga ini didedikasikan secara
khusus untuk para pengikut mazhab Syafi’i.[3]
Beberapa tokoh yang memimpin lembaga ini adalah Ibn al-Shalah (w.
643 H.), Abu Shamah (w. 665 H.), dan al-Nawawi (w. 676 H.).[4]
Muhammad Muti’ al-Hafizh
mencatat terdapat 22 lembaga pendidikan khusus hadis di kota Damaskus, yaitu: Dar al-Hadith al-Nuriyyah, Dar al-Hadith
al-Fadhiliyyah, Dar al-Hadith al-‘Uzwiyyah, Dar al-Hadith al-Dhiya’iyyah, Dar
al-Hadith al-Ashrafiyyah al-Baraniyyah, Dar al-Hadith al-‘Alimah, Dar al-Hadith
al-Kurusiyyah, Dar al-Hadith al-Qaushiyyah, Dar al-Hadith al-Nasiriyyah, Dar
al-Hadith al-Shaqiqiyyah, Dar al-Hadith al-Sukriyyah, Dar al-Hadith
al-Samiriyyah, Dar al-Hadith al-Nafisiyyah, Dar al-Hadith al-Dawwadariyyah, Dar
al-Hadith al-Himsiyyah, Dar al-Hadith al-Qalanisiyyah, Dar al-Hadith
al-Baha’iyyah, Masyikhat al-Hadith Bi al-Jami’ al-Umawi, Tadris al-Shahih Tahta
Qubbah al-Nasr, Dar al-Hadith al-Nizamiyyah, Dar al-Hadith al-Tadmuriyyah, dan
Dar al-Hadith al-Ahmadiyyah.[5]
Selain pada lembaga-lembaga khusus pengkajian dan pengajaran hadis seperti disebut di atas, lembaga-lembaga pendidikan Islam
selalu mengajarkan hadis dan ilmu hadis. Haramain di Hijaz, Al-Azhar yang berbasis pada masjid di Mesir, Dar al-Uloom, Deoband, di India, dan pesantren di Indonesia
seluruhnya mengajarkan hadis-hadis ilmu hadis secara tradisional. Karena itu,
sejatinya pengkajian dan pengajaran hadis tidak pernah terhenti di dunia Islam.
Tidak mengherankan jika literatur studi hadis telah membanjiri rak-rak
perpustakaan dunia. Baik di dunia Islam, maupun dunia non-Islam seperti tampak
dalam kesarjanaan Barat. Ketika tradisi akademik modern melahirkan sistem
perguruan tinggi, hadis menjadi subyek penting bersama bidang-bidang kajian
keislaman lain.
Pada abad dua puluh, negara-negara Muslim mengembangkan sistem perguruan tinggi dengan fokus
studi hadis (baca: Program Studi Ilmu Hadis). Universitas Al-Azhar mendirikan jurusan Tafsir Hadis (1952),[6]
Universitas Ummul Qura Mekah merintis jurusan Al-Kitab wa al-Sunnah (1975),[7]
Universitas Islam Madinah merintis Departemen Sunnah wa Ulumuha (1977),[8]
Universitas Istanbul Turki,[9]
Universitas Islam Antarbangsa Malaysia,[10]
dan sejumlah Institute Agama Islam Negeri di Indonesia pada 1989 menyusul
merintis jurusan Tafsir-Hadis mengikuti model Universitas al-Azhar.[11]
Di sini terlihat bahwa Universitas Al-Azhar kiblat kajian hadis di Indonesia adalah
Universitas Al-Azhar. Pengaruh kuat Al-Azhar ini juga ditemukan dalam kajian
Al-Quran seperti dijelaskan oleh Howard M. Federspiel dalam penelitiannya tentang
literatur tafsir dan kajian Al-Quran yang populer sampai 90-an.[12]
Seperti disinggung sebelumnya bahwa perguruan tinggi di dunia Islam umumnya hadir setelah era kolonialisme. Sekalipun sejatinya telah ada lembaga/pusat pendidikan Islam yang berjangkauan global sebelumnya, tetapi dirasa kurang dapat menjawab tantangan modernitas.[13] Hal ini karena para pemimpin di negara-negera bekas jajahan melihat bahwa perguruan tinggi merupakan elemen penting untuk memajukan masyarakat. Pengalaman pahit era penjajahan dan situasi penuh ketertinggalan mendorong para pemimpin itu mengadopsi sismtem perguruan tinggi. Satiman dan Hatta, sebagai tokoh penting nasional Indonesia setelah kemerdekaan melihat empat alasan mengapa umat Islam Indonesia harus memiliki perguruan tinggi; (1) Kesadaran bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan dibanding non-muslim, (2) Masyarakat non-muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka, (3) Perlunya menghubungkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional, (4) dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperhatikan sekolah Tinggi Islam.[14] Dalam perspektif Nietzche, alasan-alasan di atas merupakan bentuk hasrat dan pragmatisme yang menentukan arah pengembangan-pemajuan suatu institusi.[15]
Di sisi lain, negara-negara Barat telah mengembangkan kajian Islam di perguruan tinggi dengan perspektif dan metode modernis yang berbeda dengan pendekatan tradisional yang berkiblat pada Al-Azhar. Sejumlah universitas di Eropa,[16] Amerika Utara[17] dan yang baru berkembang di Australia[18] yang memberikan kuliah tentang Islam dalam kerangka oriental studies, Islamic Studies, studi tentang Timur Tengah dan studi tentang Asia. Hal ini menarik perhatian universitas di dunia Islam untuk mengirimkan alumninya untuk belajar di beberapa kampus di Barat. Universitas Al-Azhar, yang menjadi kiblat perguruan tinggi Islam di dunia Islam, telah mulai melakukan pengiriman dosen dan alumninya untuk belajar di universitas negara-negara Eropa dan Amerika sejak 1931.[19] Indonesia sejak tahun 80-an, juga telah mengirimkan cukup banyak dosen muda untuk belajar di berbagai universits di Amerika dan Eropa. Selain terus melanjutkan pengiriman ke universitas di Timur Tengah dan negara Islam lainnya.[20] Inilah yang mempertemukan kurikulum tradisional dan modern di perguruan tinggi Islam saat ini.
Pengiriman para tenaga pengajar ke negara-negara Barat bukan tanpa implikasi. Di satu sisi, hal ini dapat memperkuat kelembagaan universitas di negara-negara Muslim serta perluasan jaringan di dunia global. Tetapi, metode dan pendekatan pengkajian yang berangkat dari epistemologi yang berbeda, terkadang menciptakan jarak dan sentimen tertentu. Bagaimana pun, para alumni universitas di Barat telah turut berkecimpung dalam pengelolaan universitas Islam, baik di level kementerian maupun universitas. Di sini, terjadi dinamika antara para lulusan Timur Tengah yang umumnya berkecenderungan “normatif” dengan para lulusan Barat yang punya kecenderungan “empiris-historis”. Belum lagi ditambah alumni perguruan tinggi Islam dalam negeri yang pada umumnya merupakan lulusan pendidikan keagamaan tradisional seperti madrasah dan pesantren. Arah pengelolaan universitas Islam pun seringkali terbelah antara keinginan melahirkan para “pendakwah” atau “ilmuwan”. Antara yang bertujuan memperkuat “misiologi agama” atau “pengetahuan murni”. Sekalipun tujuan pengembangan universitas Islam di Indonesia telah diatur oleh undang-undang, tetapi umumnya masih bersifat general dan memerlukan “kontekstualisasi” lebih lanjut. Bagaimana pun, dalam undang-undang juga disebutkan tujuan-tujuan yang bersifat “ideologis” di samping klaim mendukung “pengetahuan murni”. Detail tentang aturan itu harus dikembangkan secara mandiri oleh para pengelola kampus Islam. Perguruan tinggi Islam di Indonesia berada dalam bayang-bayang antara meniru Timur Tengah dan Barat, antara ingin melahirkan pendakwah atau ilmuwan, antara tradisionalisme atau modernisme.
Kurikulum dan arah pengembangan sebuah
universitas, dalam unit yang paling kecil adalah program studi, sangat
tergantung pada para pemegang kebijakan di tingkat kampus. Apakah sebuah kampus
didominasi oleh alumni Barat, Timur Tengah atau alumni kampus Islam dalam
negeri. Ketiganya tentu saja memiliki kerangka berfikir (framework) yang
berbeda. Ketiga kluster aktor akademik ini sangat menentukan kekhasan sebuah
program studi. Struktur kurikulum, selain diisi proporsi yang ditentukan oleh
negara dan universitas, juga oleh program studi.
[1] Lihat dalam Shams al-Din al-Dhahabi, al-Amsar Dhawat
al-Athar, muhaqqiq Mahmud al-Arna’uth (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1985), cet. Ke-1.
[2] Muhammad Muthi’ al-Hafizh, Dur al-Hadith al-Sharif
bi Dimashq, (Dar al-Maktabi, 2010), cet. Ke-1, h. 7.
[3]““Al-Ashrafiyya” fi Dimashq al-Dar
al-Ula li ‘Ilm al-Hadith”, Sumber:https://www.alittihad.ae/article. Diakses pada 29 April 2022, jam
13.26.
[4] Gilbert, Joan E.
“Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization of the
‘Ulamā’ in Medieval Damascus.” Studia Islamica, no. 52 (1980): 105–34. https://doi.org/10.2307/1595364.
Gharaibeh, Mohammad. “Social and Intellectual Rivalries and Their Narrative
Representations in Biographical Dictionaries: The Representation of Ibn
al-Ṣalāḥ-A Case Study.” In New Readings in Arabic Historiography from Late
Medieval Egypt and Syria: Proceedings of the Themed Day of the Fifth Conference
of the School of Mamluk Studies, edited by Jo Van Steenbergen and Maya
Termonia, 253–90. Brill, 2021. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctv1v7zbbh.12.
Dickinson, Eerik. “Ibn Al-Ṣalāḥ al-Shahrazūrī and the Isnād.” Journal of the
American Oriental Society 122, no. 3 (2002): 481–505.
https://doi.org/10.2307/3087517.
[5] Muhammad Muthi’ al-Hafizh, Dur al-Hadith al-Sharif
bi Dimashq, (Dar al-Maktabi, 2010), cet. Ke-1.
[6] Program Studi Tafsir dan Hadis berdiri pada tahun
1952. Lihat dalam Muhammad al-Bahi, al-Azhar Tarikhuhu wa Tathawwuruhu,
(Kairo: Wizarah al-Auqaf, 1964) hlm. 463-545
[7] Program studi Al-Quran dan Sunnah dirintis pada tahun
1395/1396 H. atau sekitar tahun 1975 M. Nomenklatur yang digunakan adalah Qism
al-Kitab wa al-Sunnah. Lihat dalam https://uqu.edu.sa/qsudwhm/89510. Diakses pada 04 Mei 2022. Jam 07.02.
[8] Program ilmu hadis pada Universitas Islam Madinah
berdiri pada tahun 1396 H. atau 1977 M. Lihat dalam https://iu.edu.sa/site/20. Diakses pada 29 April 2022 pada 09.00.
[9] Ibrahim Hatiboğlu, “Transmission of
Western Hadīth Critique to Turkey: on the Past and
the Future of Academic Hadīth Studies”,
Hadis Tetkikleri Dergisi (HTD),
IV/2, 2006, ss. 37-53.
[10] Wahidul Anam, “Paradigms of Hadith Science Study
Program: The Comparison between UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta and Kolej
Universiti Islam Antarabangsa Selangor (KUIS) Malaysia”, ICIIS, 2020. DOI
10.4108/eai.27-10-2020.2304181.
[11] Jurusan Tafsir Hadis berdiri pada tahun 1989 di dua
kampus Islam, IAIN Jakarta dan Ujungpandang. Lihat dalam “Sejarah Fakultas
Ushuluddin”, sumber: https://ushuluddin.uinjkt.ac.id/sejarah/. Diakses pada 29 April 2022, jam 09.37. Lihat juga
dalam http://iqt.fuf.uin-alauddin.ac.id/tentang#. Diakses pada 29 April 2022 jam 09.37.
[12] A. Wardani, “Masa Depan Kajian Tafsir Antara Harapan
Di Fakultas Ushuluddin: Harapan Dan Tantangan” dalam buku Setengah Abad
Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari 1961-2011, (Banjarmasin: Kufasari Press,
2011).
[13] Alexander
Thurston, “Islamic University and Their Global Outreach”, Oxford Islamic Studies Online, http://www.oxfordislamicstudies.com/Public/focus/essay1009_Islamic_Universities.html# Diakses pada 07-05-2022 jam 19.57.
[14] Suheri, “Rekfleksi Historis Konversi
STI ke UIN Implikasi Kebijakan Pemerintah di Perguruan Tinggi Islam”, Tarbiyatuna,
Vol. 8 No. 1 Pebruari 2014.
[15] Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia Menyingkap
Kaitan Pikiran dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), cet.
Ke-2, h. 337.
[16] Ataullah Siddiqui, “Islam at
Universities in England: Meeting the Needs and Investing in the Future”, Islamic
Studie, Winter 2007, Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), pp. 559-570. https://www.jstor.org/stable/20839094. This content downloaded from
114.124.236.6 on Thu, 24 Mar 2022 16:11:54 UTC. ANNEMARIE SCHIMMEL, Islamic
Studies in Germany: A Historical Overview, Islamic Studies , Autumn : 2010,
Vol. 49, No. 3 (Autumn : 2010), pp. 401-410. https://www.jstor.org/stable/41480180. This content downloaded from
114.124.236.6 on Thu, 24 Mar 2022 15:58:10 UTC. Auda, Jasser & Bernasek,
Lisa & Bunt, Gary & Canning, John & Gilbert, Jon & Hussain,
Amjad & Kelly, Michael & McLoughlin, Sean & Muhammad, Abu &
Smith, Simon. “International approaches to Islamic studies in higher
education.” A report to HEFCE, 2008. https://www.researchgate.net/publication/313156032_International_approaches_to_Islamic_studies_in_higher_education.
[17] Charles Kurzman and Carl W. Ernst, “Islamic Studies in
U.S. Universities”, Review of Middle East Studies, Summer 2012, Vol. 46,
No. 1 (Summer 2012), pp. 24-46. https://www.jstor.org/stable/41762480. This content downloaded from 114.124.236.6 on Thu, 24
Mar 2022 15:58:44 UTC.
[18] Keskin, Zuleyha, and Mehmet Ozalp.
“Islamic Studies in Australia’s Universities. Religions, 2021 .12: 99.
https://doi.org/10.3390/rel12020099. https://www.mdpi.com/journal/religions.
[19] Lihat dalam Muhammad al-Bahi, al-Azhar Tarikhuhu wa
Tathawwuruhu, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 1964) hlm. 314-317.
[20] Khamami Zada,
“Orientasi Studi Islam di Indonesia”, https://www.uinjkt.ac.id/orientasi-studi-islam-di-indonesia/. Diakses pada 09-05-2022 jam 07.53.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar