M. Khoirul Huda
Abstrack
This article discusses the contribution of the Nahdlatul Ulama (NU) elite in environmental sustainability issues in Indonesia during 1980-2015. Using the historical idea method, the author analyzes a number of documents and finds that evolutionarily, NU elites have been involved and made important contributions to environmental preservation. At least, there are three main contributions. First, the development of environmental fiqh thinking that is moral-ethical in nature about the necessity of preserving the environment. Two key NU figures who represent this spirit are KH. Ali Yafie (Rais Amm 1991-1992) and KH. Sahal Mahfudz (1999-2014). Second, raising Islamic boarding school scholars to create environmental sustainability discourses in the perspective of Islamic tradition. The Bahsul Masail study forums that characterize NU are filled with environmental issues. Both kiai caretakers and Islamic boarding school students are familiar with the issue of environmental sustainability. The climax is the emergence of calls for environmental jihad (jihad al-bi'iyyah). Third, the formation of environmental institutions in the organizational structure of NU. This contribution shows that religious groups can play an important role in spreading the idea of environmental sustainability. This finding is in line with the findings of Palmer and Finlay (2003), Barclay (2007) WWF (2010) regarding the effectiveness of religious communities in transmitting environmental preservation insights.
Keywords: NU, contribution, sustainability, environment
Abstrak
Artikel ini mendiskusikan kontribusi elit Nahdlatul Ulama (NU) dalam isu kelestarian lingkungan hidup di Indonesia selama 1980-2015. Dengan metode sejarah ide, penulis menganalisis sejumlah dokumen dan menemukan bahwa secara evolutif, elit NU telah terlibat dan memberi kontribusi penting dalam pelestarian lingkungan hidup. Setidaknya, terdapat tiga kontribusi utama. Pertama, pengembangan pemikiran fiqh lingkungan yang bersifat moral-etis tentang keharusan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dua tokoh kunci NU yang mewakili semangat ini adalah KH. Ali Yafie (Rais Amm 1991-1992) dan KH. Sahal Mahfudz (1999-2014). Kedua, penggalangan ulama pesantren untuk melahirkan diskursus kelestarian lingkungan dalam perspektif tradisi Islam. Forum-forum kajian Bahsul Masail yang menjadi ciri NU dipenuhi isu-isu lingkungan hidup. Baik kalangan kiai pengasuh maupun santri pesantren mengakrabi isu kelestarian lingkungan. Puncaknya adalah munculnya seruan jihad lingkungan (jihad al-bi’iyyah). Ketiga, pembentukan lembaga lingkungan dalam struktur organisasi NU. Kontribusi ini menunjukkan bahwa kelompok agama dapat berperan penting dalam menyebarkan gagasan kelestarian lingkungan. Temuan ini selaras dengan temuan Palmer dan Finlay (2003), Barclay (2007) WWF (2010) tentang efektifitas komunitas agama dalam mentransmisikan wawasan pelestarian lingkungan.
Kata Kunci: NU, kontribusi, kelestarian, lingkungan
1. Pendahuluan
Kelestarian lingkungan merupakan padanan istilah sustainability dalam bahasa Inggris. Secara bahasa, diambil dari dua kata sustain (keberlanjutan/kelestarian) dan ability (kemampuan). Istilah tersebut digunakan dalam studi dan gerakan yang berorientasi pada upaya untuk mendorong kelestarian alam semesta. Kelestarian alam merupakan salah satu isu penting dunia sejak hampir seratus tahun belakangan. Isu ini muncul karena kesadaran masyarakat akan kerusakan lingkungan akibat (sekaligus berdampak pada kehidupan) manusia.
Gerakan environtmentalist (ide serta gerakan kelestarian lingkungan hidup) mulai tumbuh di Amerika sejak akhir abad ke-19. Salah satu tokoh pentingnya adalah Ralph Waldo Emerson (1803-1882). Seorang intelektual penting dalam gerakan Transendentalisme. Emerson dan kelompoknya membangun kesadaran pentingnya advokasi lingkungan dari nilai-nilai agama. Pada 1960-1970, berkembang berbagai macam gerakan dan lembaga lingkungan hidup yang melibatkan para saintis dan aktivis sosial.
Gerakan ini berhasil mendorong negara-negara maju membuat kebijakan yang berpihak kepada kelestarian lingkungan. Tetapi, keberhasilan ini segera menjadi semacam ancaman bagi dunia industri. Sepanjang 1970-1980, perusahaan-perusahaan besar di Amerika Utara, Eropa, dan Australia mengonsolidasi diri untuk menolak undang-undang kelestarian lingkungan. Pada 1980-an, keprihatinan publik kembali bangkit setelah adanya banyak temuan ilmiah baru tentang penipisan ozon dan pemanasan global. Pasca pertemuan Kyoto yang menyepakati dasar-dasar kelestarian lingkungan global, terjadi kebuntuan antara aktivis lingkungan dan perusahaan-perusahaan besar. Hal ini menyebabkan keduanya terlibat konfrontasi keras selama tahun 2000-an (Quick, 1999).
Keterlibatan kelompok agama, begitu pula penggunaan narasi agama untuk memperkuat argumen kelestarian lingkungan bukan sesuatu yang asing. Menjelang akhir abad kesembilan belas, kelompok New England yang berideologi transendentalisme telah mulai debutnya dalam konservasi lingkungan. Hasil kerja nyata mereka telah melahirkan kebijakan tentang pembuatan taman nasional di Amerika. Pada tahun 1992, dalam Konferensi Lingkungan Hidup di Rio De Jeneiro, sejumlah LSM dari India dan Thailand menampilkan argumen-argumen religius, khususnya dalam tradisi Hindu dan Budha, untuk mendukung ide lingkungan (Gosling, 2001).
Di Indonesia, masyarakat luas mulai terlibat dalam advokasi lingkungan setelah utusan pemerintah mengikuti Konferensi Lingkungan di Stockholm, Swedia, pada 1972. Pertemuan ini membawa ide konservasi lingkungan ke Indonesia melalui sejumlah kebijakan nasional. Selama 1970-1980 an, Pemerintah Indonesia telah membuat banyak peraturan perundang-undangan tentang lingkungan. Bahkan menjadi bagian dari Garis Besar Haluan Negara 1973-1978. Pada 1978, Pemerintah mendirikan Kementeritan Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup.
Pada 1982, Pemerintah mengeluarkan UU No. 41/1982 tentang Ketentuan Pokok Pnegelolaan Lingkungan Hidup. UU ini membuka dan mendorong keterlibatan masyarakat sipil melalui pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu lingkungan. Sugiyono menyimpulkan, “Dengan adanya UU ini, kesadaran masayarakt Indoensia akan arti penting untuk memelihara lingkungan hidup mulai tumbuh.” (Agus Sugiyono, 2002).
Komunitas keagamaan di Indonesia adalah salah satu elemen masyarakat yang terlibat dalam isu ini. Nahdlatul Ulama (NU) pada 1984 berubah menjadi gerakan non-politik praktis melalui keputusan kembali ke khittah 1926, memiliki kecenderungan kuat bekerja dalam kerangka pemberdayaan ala civil society. Keterlibatan dalam isu kelestarian lingkungan telah ditunjukkan tokoh-tokoh elit NU sejak akhir 1980-an. Misalnya, KH. Sahal Mahfudz menulis sebuah artikel di Majalah Aula yang diterbitkan oleh pengurus NU Jawa Timur pada tahun 1988.
Pada 1994, dan agaknya ditulis jauh lebih awal, KH. Ali Yafie menerbitkan bukunya yang berjudul Fiqih Sosial yang merupakan kumpulan esai. Artikel berjudul Norma Fiqih dan Masalah Lingkungan Hidup menjadi penanda penting perhatian tokoh NU terhadap isu lingkungan pada era yang paling awal. Keterlibatan kelompok agama dan penggunaan nilai-nilai agama diakui banyak orang adalah sangat penting. Salah satu problem besar yang dihadapi gerakan lingkungan adalah sulitnya mengubah perilaku masyarakat luas agar lebih memedulikan kelestarian lingkungan. Kendala ini merupakan akibat sulitnya mengkomunikasikan ide-ide kelestarian lingkungan.
Sebagian peneliti lingkungan menemukan bahwa agama memiliki peran penting dalam mengubah banyak perilaku tak ramah lingkungan. Populasi pengikut agama, bahasa agama, dan nilai-nilai agama adalah unsur-unsur penting yang harus dilibatkan dalam upaya pelestarian lingkungan. Terlebih, PBB mencatat bahwa per 2010, penduduk dunia berjumlah 6,8 miliar manusia. Sekitar 84 persen merupakan penganut agama. Hanya 16 persen yang tidak meyakini keyakinan agama, termasuk di dalamnya agnostik, ateis, humanis sekuler dan lainnya. Umat Islam sendiri berjumlah 1,5 milyar. Kaum beragama punya potensi besar jika dilibatkan dalam upaya pelestarian lingkungan. Danial Hassan dan Sadeeq Ali menemukan, teks-teks suci dalam agama Islam cukup banyak yang berbicara kelestarian lingkungan. Demikian pula media tradisional seperti mimbar jumat, forum pengajian, dan lainnya banyak yang dapat digunakan mensosialisasikan pesan-pesan kelestarian kepada khalayak luas (Danial Hassan dan Sadeeq Ali, 2012).
Berangkat dari asumsi bahwa agama dan komunitas agama memiliki peran penting dalam pembentukan gerakan lingkungan, tulisan ini akan menganalisis keterlibatan, dan mungkin kontribusi, komunitas NU dalam isu kelestarian lingkungan hidup.
2. Kajian Pustaka
Studi tentang komunitas agama dan kelestarian lingkungan hidup telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah karya David L. Gosling berjudul Religion and Ecology in India and Shouth Eas Asia, diterbitkan oleh Routledge, 2001. Selain itu, ada karya Schwencke, A.M. yang berjudul Globalized Eco-Islam A Survey of Global Islamic Environmentalism yang diterbitkan oleh Leiden Institute for Religious Studies (LIRS), Leiden University, 2012. Yang pertama membahas agama dan ekologi, khususnya India. Yang kedua membahas bagaimana komunitas-komunitas Muslim lingkungan hidup mulai tumbuh dalam skala global. Selanjutnya, Ardhian, David, Soeryo Adiwibowo, dan Ekawati Sri Wahyuni menulis tentang “Peran dan Strategi Organisasi Non Pemerintah dalam Arena Politik Lingkungan Hidup”, diterbitkan oleh Jurnal Sosiologi Pedesaan 4.3 pada 2016. Ketiga literatur di atas menyajikan kepada kita kerangka teoritik tentang pentingnya keterlibatan komunitas agama dalam penanganan krisis lingkungan hidup.
3. Metode Penelitian
Ini adalah penelitian kualitatif dengan sumber data berupa dokumen. Dalam penelitian ini, penulis memulai dengan mengumpulkan dokumen yang terkait dengan isu lingkungan yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh elit NU. Beberapa dokumen penulis peroleh dari situs resmi NU, www.nu.or.id. Dokumen tersebut kemudian ditelaah berdasarkan teori sejarah ide dan living hadis. Ini akan mengantarkan kita pada gambaran proses evolusi pemikiran dan gerakan lingkungan hidup di tubuh NU dan basis argumennya dalam teks suci seperti hadis Nabi. Sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen yang diterbitkan komunitas NU. Baik dokumen resmi organisasi maupun dokumen tulisan elit komunitas NU. Komunitas NU yang dimaksud dalam artikel ini adalah elit pengurus, aktivis, dan ulama yang terafiliasi dengan organisasi NU. Dokumen dibatasi hanya pada publikasi antara tahun 1980 hingga 2015. Karya KH. Ali Yafie Norma Fiqih dan Masalah Lingkungan Hidup (1994) dan karya KH. Sahal Mahfudz Pesantren dan Lingkungan Hidup (1988), Hasil Bahsul Masail Maudhuiyyah Tahun 1994 Tentang Lingkungan Hidup, Tausiyah Halaqah Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNKL PBNU) (2007), dan publikasi media online resmi NU, nu.online.or.id, antara tahun 2000 sampai 2015.
Dokumen tersebut dianalisis dari sudut pandang kesejarahan yang meliputi kronologi, konteks sosial-politik, kesinambungan ide dan gerakan serta fenomena yang dianggap tampak menonjol pada setiap fasenya. Dokumen tersebut juga dianalisis dari sudut pandang living Quran dan hadis. Yaitu studi yang mencoba mengaitkan ekspresi keagamaan Islam dengan sumber tekstual-normatifnya.
4. Hasil dan Pembahasan
Penelitian Lanskap Global
Pertumbuhan gerakan konservasi lingkungan berbasis komunitas agama telah tumbuh cepat dalam kurun waktu 25 tahun terkahir (Forum for The Future, 2011). Komunitas agama dan nilai-nilai yang dianutnya punya potensi kuat memperluas gerakan konservasi lingkungan. Komunitas Muslim di Tanzania memiliki pengalaman. Pelibatan pemimpin agama (imam) untuk menjauhi penggunaan jaring ikan berbahaya dalam komunitas nelayan lebih berhasil dibanding pendekatan Negara (Harclay, 2007). Dalam kekristenan, nilai seperti pelayanan (stewardship) dan aturan emas (golden rule) sangat membantu sosialisai dan menarik keterlibatan penganut Kristen dalam upaya pelestarian (Mischa Altman, et. all, 2012). WWF menyimpulkan bahwa menyampaikan pentingnya konservasi jauh lebih mudah jika ditransmisikan oleh para pemimpin agama (Prince of Wales, 2010). Laporan 350.Org menyimpulan, komunitas iman berada di garis depan gerakan konservasi lingkungan yang diinisiasi 350 (350.Org, 2012).
Lanskap Nasional
Pada 1972, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi internasional pertama menyikapi persoalan pencemaran lingkungan hidup pasca perang dunia di Stockholm, Swedia. Pertemuan ini menghasilkan konsep hukum lingkungan yang disebut suitanable development (pembangungan berkelanjutan). Negara-negara peserta konferensi berkewajiban meratifikasi hukum tersebut. Indonesia membentuk Undang undang No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. Sejak itu, pemerintah Indonesia mengembangkan sejumlah instrumen dan perangkat hukum untuk mengelola isu lingkungan hidup (Likadja, 1990, Risfalman, 2019). Selain pemerintah, terdapat sejumlah organisasi non pemerintah yang bergerak merespon isu lingkungan hidup. Umumnya bersifat non-keagamaan.
Keterlibatan Elit NU dalam Isu Lingkungan Hidup
Konstruksi Pemikiran Fiqih Lingkungan Hidup
Pada akhir tahun 80-an, elit NU telah berkontribusi menyumbangkan wacana pemikiran normatif Islam berbentuk fiqh lingkungan hidup. Bentuk kontribusi ini seperti ditunjukkan dua artikel karya tokoh utama NU, KH. Ali Yafie dan KH. A. Sahal Mahfudz. Keduanya merupakan orang yang pernah menjadi pemimpin tertinggi organisasi NU. Pada 1994, KH. Ali Yafie menulis artikel berjudul Norma Fiqih dan Masalah Lingkungan Hidup. Beliau adalah ulama kelahiran Donggala Sulawesi Tengah, 1 September 1926. Beliau merupakan ahli fiqh. Karirnya memang beragam namun kecenderungannya terhadap ilmu fiqh sangat kuat. Pernah menjabat sebagai Ketua MUI dan Rais Amm PBNU sementara pada 1991-1992. Pemikirannya tentang lingkungan sangat dipengaruhi wawasannya yang luas dalam ilmu fiqh.
Dalam lingkungan NU, pemikiran fiqh dan lingkungan Kiai Ali Yafie bisa dianggap paling awal selain karya KH Sahal Mahfudz. Bukunya yang berjudul Menggagas Fiqh Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwwah terbit pada awal 1994, hampir setahun sebelum pelaksanaan Muktamar NU pada Desember 1994. Dalam penelusuran penulis, karya tersebut adalah di antara yang pertama membahas problem kelestarian lingkungan hidup dalam perspektif norma-fiqh yang lahir dari tokoh NU. Karya di atas lahir dalam suasana mega proyek “Pembangunan Nasional” Pemerintah Orde Baru.
Pengaruh agenda pembangunan pemerintah dapat ditemukan pada bagian akhir artikel berjudul Norma Fiqih dan Masalah Lingkungan Hidup yang membahas tentang langkah-langkah yang harus dilaksanakan agar kegiatan pembangunan nasional tidak berdampak pada kerusakan lingkungan yang dalam pandangan fiqh-Islam berada dalam tanggungjawab moral manusia. Menurutnya, menggugah tanggungjawab moral ini penting dilakukan karena saat itu pendekatan pelestarian lingkungan hidup lebih menitik-beratkan kepada “dampak” seperti perubahan iklim, krisis pangan, krisis energi dan kerusakan lingkungan hidup. Manusia sebagai aktor penting dalam proses kerusakan lingkungan sering diabaikan. Karena itu, menggugat moralitas manusia penting dilakukan.
Dalam Islam, sebagaimana dipahami Kiai Ali Yafie, manusia punya tanggungjawab dalam kehidupan di dunia. Dalam pembacaannya terhadap teks-teks Alquran, Kiai Ali Yafie menemukan bahwa manusia memiliki tiga wajah utama; perusak (Qs. 2: 30, Qs. 30:41), pencipta dan pembangun (Qs. 11: 60, Qs. 2: 31), dan pemelihara (HR Al-Bukhari). Kehadiran agama Islam memiliki misi utama mewujudkan kerahmatan (Qs. 7: 157). Kerahmatan dalam kehidupan dapat berupa kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman damai dan bahagia lahir-batin, dunia dan akhirat. Islam sendiri memandang alam dan manusia memiliki nilai kemuliaan (muhtaram).
Kiai Ali menyebutkan contoh-contoh penghormatan fiqh Islam terhadap lingkungan dan manusia. Di antaranya keharusan menyisakan madu untuk lebah-lebah ternak, keharusan menyediakan pakan ternak, larangan membunuh hewan buas tanpa adanya ancaman, dan lainnya. Manusia dalam pandangan fiqh Islam memiliki posisi lebih tinggi yang disebut ma’shum (terjamin); ada lima model jaminan yang dikenalkan yaitu, jaminan atas keselamatan jiwa, akal fikiran, kekayaan, agama dan keturunan. Kelima jaminan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari cara Islam menjaga lingkungan manusia. Bagaimana pun, untuk mempertahankan lingkungan alam dan manusia, umat manusia perlu merencanakan eksplorasi lingkungan hidup agar dapat lestari. Kiai Ali Yafie mengikuti pedoman pemanfaatan lingkungan yang dikembangkan para pemikir pembangunan ekonomi Indonesia seperti Sumitro Djoyohadikusumo dan Garis Besar Haluan Nasional (GBHN) 1983 tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
KH. Sahal Mahfudz mulai menjadi Rais Amm PBNU sejak 1999 hingga 2014. Dalam waktu hampir bersamaan, beliau juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebelum menjadi tokoh terkemuka, Kiai Sahal sudah mempunyai banyak pemikiran terkait kehidupan sosial. Seperti KH. Ali Yafie, Kiai Sahal merupakan perintis tradisi fiqh sosial. Tulisannya tentang lingkungan bahwa telah terbit jauh sebelum Kiai Ali Yafie menerbitkan tulisannya tentang lingkungan. Kiai Sahal pernah menulis artikel berjudul Pesantren dan Lingkungan Hidup. Diterbitkan pertama kali dalam Aula edisi No.3 Tahun X, Maret 1988. Lalu pada 2004, diterbitkan dalam buku Nuansa Fiqh Sosial oleh Penerbit LKiS, Jogjakarta.
Dalam artikel tersebut, Kiai Sahal menulis, “Islam sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al-tawassuth atau al-i’tidal. Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi berikut. Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di mana aspek aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lain sebagai unsur pendukung.”
Menurut Kiai yang lahir di Pati pada 17 Desember 1937 tersebut, pesantren sebagai lembaga pendidikan ilmu-ilmu keagamaan sekaligus lembaga sosial-keagamaan yang berada di tengah-tengah masyarakat punya tanggungjawab menyebarkan nilai-nilai dan praktik-praktik yang ramah lingkungan. Tugas ini merupakan tanggungjawab moral kalangan pesantren sebagai bagian dari kewajiban agama untuk menjalankan ketakwaan sosial dan lingkungan. Menurutnya, ada dua pendekatan yang dapat digunakan menerjemahkan isu lingkungan hidup kepada masyarakat pesantren. Pertama, pendekatan proyek yang menitik-beratkan pada agenda-agenda kelestarian lingkungan. Kedua, pendekatan motivasi. Yaitu pendekatan persuasif untuk menanamkan nilai-nilai yang berorientasi pada pelestarian lingkungan hidup. Menurutnya, pendekatan kedua lebih menjanjikan untuk menyadarkan komunitas pesantren karena mereka akan dapat mengembangkan pemikiran konservasi alam secara mandiri. Kiai Sahal berharap pendidikan lingkungan hidup disatukan dengan kurikulum pesantren berikut praktik praktik keseharian di lingkungan pesantren.
Dalam kurikulum pesantren, isu lingkungan dapat dimasukkan dalam materi akidah, syariah dan akhlak. Implementasi dalam kehidupan keseharian santri selama di pesantren akan memperkuat materi teoritik tersebut. Menurut Kiai Sahal, pesantren punya peran dakwah yang itu menghubungkan komunitas pesantren dengan masyarkat luar. Masyarakat sekitar pesantren yang banyak di antaranya sangat menghormati pesantren mudah diarahkan untuk terlibat dalam pengembangkan sikap-sikap yang mendukung kelestarian lingkungan hidup.
Pemikiran kedua tokoh NU di atas mendapatkan sambutan dari NU secara organisatoris. NU mengangkat isu kelestarian lingkungan hidup sebagai bagian dari wacana keagamaan. Kedua artikel tokoh sentral NU tersebut terbit sebelum Muktamar NU tahun 1994 yang memutuskan bahwa perbuatan merusak lingkungan adalah haram. Keputusan Muktamar NU pada tahun tersebut menandai peristiwa penting tentang hukum perusakan lingkungan hidup. Fatwa ini sekaligus menandai keterlibatan NU secara kelembagaan-organisasi. Suara pemimpin agama adalah penting untuk membujuk para anggotanya memperhatikan isu kelestarian lingkungan. Dan pengalaman dua tokoh NU di atas hanya menjadi pembuktian belaka atas teori ini. Kontribusi kedua tokoh pionir NU di atas tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan Islam-Sunni yang dianut oleh keduanya. Hal ini dibuktikan dengan pendasaran normatif yang dilakukan kedunya tokoh tersebut.
Kiai Ali Yafie mengutip Qs. 2: 30, Qs. 30:41, Qs. 11: 60, Qs. 2: 31, dan HR. Al-Bukhari. Sedangkan Kiai Sahal menyatakan bahwa Islam memiliki watak moderat dan seimbang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Perujukan terhadap Al-Quran dan hadis dalam bingkai fikih merupakan ciri khas NU. Pada fase ini, isu lingkungan hidup berada pada level fahm al-hadith atau ma’ani al-hadith karena masih berada dalam tahap penalaran terhadap teks suci (Qudsy, 2016). Tetapi, setelah kedua tokoh elit NU tersebut menggulirkan wacana fikih lingkungan, segera wacana tersebut menggelinding menjadi gerakan (baca: praktik). Dalam konteks living Quran-Hadis, seperti dijelaskan di atas, kedua tokoh NU mendasarkan konstruksi fiqh lingkungannya pada sejumlah teks ayat dan hadis Nabi SAW. Berikut adalah daftar ayat dan hadis yang menjadi rujukan.
Kode
Rujukan |
Teks
Ayat/Hadis |
Terjemah |
|
1. |
Qs. 2: 30
|
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ
خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ
اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٠
|
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah13) di bumi.” Mereka berkata,
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di
sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” |
2. |
Qs. 30: 41
|
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى
النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
|
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke
jalan yang benar). |
3. |
Qs. 11: 60
|
وَاُتْبِعُوْا فِيْ
هٰذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَّيَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ اَلَآ اِنَّ عَادًا
كَفَرُوْا رَبَّهُمْ ۗ اَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُوْدٍ ࣖ ٦٠
|
Mereka selalu diikuti dengan laknat di dunia ini dan
(begitu pula kelak) di hari Kiamat. Ingatlah, sesungguhnya (kaum) ‘Ad itu
kufur kepada Tuhan mereka. Ingatlah bahwa (kaum) ‘Ad, yakni (kaum) Hud,
benar-benar telah binasa. |
4. |
Qs. 2: 31
|
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى
الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ
كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ٣١
|
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya
berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” |
5. |
Qs. 7: 157
|
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ
الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ
اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ
مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ ١٥٧
|
(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi
yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang
makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi
mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan
beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka.288) Adapun
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti
cahaya terang yang diturunkan bersamanya (Al-Qur’an), mereka itulah
orang-orang beruntung. |
6. |
HR. Al-Bukhari.
|
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ
فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ |
Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami
atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan,
hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu.
|
Menggalang Gerakan Ulama Peduli Lingkungan
Hasil Muktamar NU 1994 tentang Keharaman Perusakan Lingkungan Hidup menjadi tonggak penting. Lebih penting lagi dari itu, adalah keterlibatan anggota organisasi ini dalam mengembangkan pandangan keagamaan terkait masalah lingkungan hidup. Setelah Muktamar tersebut, jaringan pesantren yang terafiliasi dengan NU rutin mengadakan forum-forum kajian tentang kelestarian lingkungan hidup. Isu lingkungan cukup populer dalam forum-forum kajian kalangan pesantren NU. Pada 28-29 Januari 2002, Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Sukoowon, Jember mengadakan Bahsul Masail, sebuah forum pengkajian hukum Islam dalam tradisi perumusan fatwa di lingkungan pesantren NU, mengkaji tujuh permasalahan yang terkait dengan isu kerusakan lingkungan hidup. Sumber referensi yang digunakan adalah kitab-kitab fikih yang disusun ulama abad pertengahan. Pertengahan Mei 2004, beberapa pengasuh pesantren di lingkungan NU bekerja sama dengan Indonesia Forest and Media Campaign (INFORM) mengadakan workshop bertema Pertemuan Menggagas Fikih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah) Oleh Ulama Pesantren, di Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Pertemuan ini menghasilkan sejumlah makalah penting terkait pandangan Al-Quran, hadis dan kitab-kitab klasik tentang masalah lingkungan. 181 Pertemuan tersebut dihadiri perwakilan pengasuh pesantren dari Jawa dan Luar Jawa. Pada 2007, PBNU mengadakan Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNKL PBNU), 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Hasilnya adalah disepakatinya empat pesan utama; tentang kelestarian hutan.
Di antara pesan itu adalah menyerukan bahwa Pemerintah Indonesia wajib melenyapkan usaha perusakan hutan, menegakkan supremasi hukum terhadap upaya perusakan lingkungan hidup, menyeru warga NU agar terlibat dalam perjuangan kelestarian lingkungan (jihad al-bi’iyyah) dan wajib melawan perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman. Membentuk Lembaga Lingkungan Hidup Kristalisasi wacana lingkungan dalam komunitas NU ditandai dengan pendirian sayap organisasi yang membidangi isu ini. Pada 2010, Muktamar ke-32 di Makassar menyepakati pembentukan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU.
Lalu rapat pleno harian PBNU mengukuhkan dan menetapkan pembentukan sayap organisasi tersebut. Pada 2015, LPBI NU telah memiliki kepengurusan baru untuk periode kedua. LPBI NU adalah lembaga yang secara struktural-organisasi merupakan pelaksana kebijakan dan program Nahdlatul Ulama (NU) dalam bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Pembentukan lembaga ini menandai babak baru keterlibatan NU dalam isu kerusakan lingkungan. Kerja sama dengan Pemerintah maupun organisasi lingkungan banyak dilakukan. LPBI NU terlibat dalam aksi-aksi lokal maupun internasional. Aksi-aksi yang bersifat lokal di antaranya; pembentukan Bank Sampah, kampanye aktifitas ramah lingkungan, pemberian bantuan kemanusiaan untuk korban banjir, gunung meletus dan gempa bumi, dan tentu saja membentuk jaringan organisasi di tingkat lokal sebagaimana model keorganisasian di lingkungan NU. Di antara kegiatan berskala internasional adalah, LPBI NU mewakili Tim Kemanusiaan NU bersama Tim Indonesia Humanitarian Alliance memberikan bantuan kepada para pengungsi Rohingya di Bangladesh pada akhir 2017.
Sampai di sini, pemikiran lingkungan hidup yang diilhami oleh nilai-nilai yang termuat dalam teks suci Al-Quran dan hadis, diekspresikan dalam dua bentuk. Pertama, memobilisasi para tokoh agama di lingkungan NU untuk bersama-sama memberikan perhatian terhadap isu lingkungan hidup. Kedua, pembentukan lembaga khusus yang menangani permasalahan lingkungan hidup. Kedua bentuk ekspresi ini dalam batas tertentu dapat disebut sebagai proses living Quran-hadis. Tahap ini berbeda dengan proses pemahaman (fahm al-hadith, ma’ani al-hadith) yang terjadi pada akhir tahun 80-an. Kedua tahap terakhir merupakan tahap ekspresi nilai-nilai serta kontekstualisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan organisasi. Ini, dapat dikatakan bahwa, para elit NU telah berhasil mengembangkan wacana yang dapat dipahami oleh anggotanya sehingga membuat komunikasi tentang persoalan lingkungan hidup dapat diterima secara efektif di tingkat bawah organisasi.
Skema Living Quran-Hadis di Kalangan NU
Berangkat dari ulasan di atas, dapat dibuat skema umum konstruksi living Quran Hadis di kalangan NU selama rentang 1990-2015. Dimulai dari interaksi para elit NU dengan isu-isu lingkungan hidup pada tahun 80-an, lalu muncul refleksi dengan perspektif fiqh. Perspektif fiqh yang dikembangkan didasarkan kepada ayat Al-Quran dan Hadis serta khazanah ilmu fiqh.
5. Penutup
Teks Quran-Hadis menjadi rujukan dalam perumusan konsep fiqh lingkungan dalam sejarah awal keterlibatan aktivis Nahdlatul Ulama (NU) dalam isu lingkungan hidup. Setidaknya sejak akhir tahun 80-an, tahun-tahun dimana Pemerintah Indonesia mulai melibatkan gerakan masyarakat sipil (civil society) dalam pengelolaan isu lingkungan hidup. NU yang telah kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984, akhirnya menjadi bagian dari kekuatan civil society tersebut. Selama kurang lebih tiga dekade, NU telah turut berkontribusi setidaknya dalam tiga aspek utama; pemikiran, penggalangan dan pembentukan lembaga lingkungan. Tokoh-tokoh NU menawarkan pemikiran moral-etis fiqh lingkungan, sebagaimana tampak dalam tulisan KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an. Pemikiran kedua tokoh tersebut kemudian diperkuat dengan keputusan Muktamar NU 1994 tentang Perusakan Lingkungan Hidup. Elit NU juga menggalang para ulama pesantren yang berada dalam jaringannya untuk mengkampanyekan nilai-nilai kelestarian lingkungan. Forum-forum kajian komunitas NU, seperti Bahsul Masail dan Halaqah Ulama, dipenuhi isu lingkungan hidup. Puncaknya adalah seruan melaksanakan Jihad Lingkungan (jihad al-bi’iyyah). Elit NU juga membentuk lembaga khusus yang membidangi masalah lingkungan hidup, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI-NU).
Lembaga ini secara resmi berada di bawah mandat Pengurus Besar NU (PBNU), di Jakarta. Perlu dicatat, temuan ini memiliki keterbatasan karena hanya menelaah dokumen yang diterbitkan. Baik berupa gagasan maupun laporan kegiatan. Sangat perlu untuk memotret lebih luas, bagian-bagian komunitas NU yang begitu besar. Misalnya, apakah gerakan elit organisasi juga diserap dan dikembangkan komunitas NU di lapis bawah? Bagaimanapun, keterlibatan ini menunjukkan bahwa organisasi sosial-keagamaan yang memiliki jaringan luas hingga ke pelosok desa dapat terlibat secara efektif dalam meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan dan penanggulangan terhadap dampak negatif krisis lingkungan. Pengembangan pemikiran dan lembaga yang konsern pada isu lingkungan hidup merupakan proses yang berkesinambungan; antara nilai-nilai yang tertuang dalam teks suci yang diyakini dengan praktik-praktik yang merupakan upaya kontekstualisasi terhadap nilai-nilai tersebut dalam konteks kehidupan organisasi. Kontribusi NU dalam isu kelestarian lingkungan hidup di Indonesia merupakan bentuk tertentu dari apa yang disebut living Quran-hadis.
REFERENCES
Darmalaksana,
Wahyudin, et al. “Analisis Perkembangan Penelitian Living Al-Qur'an dan
Hadis.” Jurnal Perspektif 3.2 (2019): 134-144.
David L. Gosling. Religion and
Ecology in India and Shouth Eas Asia. (London: Routledge, 2001).
Dewi,
Subkhani Kusuma. "Fungsi Performatif dan Informatif Living Hadis dalam
Perspektif Sosiologi Reflektif." Jurnal Living Hadis 2.2
(2017): 179-207.
Mahfudz, KH.
Sahal. Pesantren dan Lingkungan Hidup. Diterbitkan
pertama kali dalam Aula edisi No.3 Tahun X, Maret 1988. Lalu
pada 2004, diterbitkan dalam buku Nuansa Fiqh Sosial oleh Penerbit LKiS,
Jogjakarta.
Mischa Altmann, Aniko Bunta, Olivier
Mazimpaka, “Religion and Sustainability: The Contribution of Religion Belief in
Moving Society Toward Sustainability”. Thesis for Completion of Master of
Strategic Leadership toward Sustainability, Blekinge Institute of Technology,
Karlskrona, Sweden, 2012.
Qudsy,
Saifuddin Zuhri. "Living Hadis: Genealogi, Teori, dan
Aplikasi." Jurnal Living Hadis 1.1 (2016): 177-196.
Risfalman,
Risfalman. "SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI
INDONESIA." Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan
Pranata Sosial 8.2 (2019): 185-196.
Timothy D. Quick. “American
Transendentalism and Deep Ecology in the History of Ideas”. Thesis at
University of Victoria, USA, 1999.
Yafie, KH. Ali. Menggagas Fiqh Sosial Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga
Ukhuwwah (Bandung: Mizan, 1994).
Likadja,
Frans. "Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional." Jurnal
Hukum & Pembangunan 20.3 (1990): 228-239.
Ardhian,
David, Soeryo Adiwibowo, and Ekawati Sri Wahyuni. "Peran dan Strategi
Organisasi Non Pemerintah dalam Arena Politik Lingkungan Hidup." Jurnal
Sosiologi Pedesaan 4.3 (2016): 210-216.
“Taushiyah
NU tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup”. Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional
Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNKL PBNU). Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/9544/taushiyah-nu-tentang-pelestarian-hutan-dan-lingkungan-hidup. Diakses
16 Agustus 2018.
Schwencke, A.M. Globalized Eco-Islam
A Survey of Global Islamic Environmentalism, Leiden Institute for Religious
Studies (LIRS), Leiden University, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar