Senin, 06 Oktober 2025

Mikraj dalam Pandangan Sahabat

 


Setelah klaim kenabian, peristiwa kontroversial yang pernah dialami Nabi Muhammad saw. adalah isra dan mikraj. Isra-mikraj bukan saja menjadi "alat uji" bagi orang-orang yang tidak percaya kepada Nabi Muhammad saw.,1 namun juga bagi orang-orang yang sebelumnya sudah percaya kepada ajaran beliau. Bahkan, dikabarkan sebagian orang beriman pada saat itu menyatakan keluar dari Islam.2 Pada akhir era sahabat, peristiwa isra-mikraj mulai dikaji secara serius dan menghadirkan perdebatan yang cukup hangat.3

Literatur yang merupakan upaya pengkajian paling tua terhadap peristiwa mikraj adalah Mi’raj al-Nabi Salla Allah ‘Alayhi Wa Sallam, yang diyakini sebagian sarjana sebagai karya Ibnu Abbas (68 H.). Lalu, cerita ini masuk dalam salah satu narasi kitab sirah seperti Kitab al-Siyar wa al-Maghazi karya Ibn Ishaq (151 H.) dan al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisham (213 H.). Selanjutnya, materi mikraj menyebar ke hampir seluruh kitab-kitab hadis seperti Musnad Ahmad karya al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H.), Sahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.), Sahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi (204-261 H.), Musnad al-Bazzar karya Abu Bakar al-Bazzar (292 H.), dan Dala’il al-Nubuwwah karya al-Bayhaqi (384-458 H.).

Di sisi lain, ada karya-karya khusus yang membahas mengenai peristiwa isra-mikraj. Muhammad Abdul Hakim Qadi mencatat paling tidak ada empat naskah kitab yang berbicara khusus tentang isra-mikraj; (1) Al-Kawkab al-Wahhaj fi Ahadith al-Mi’raj karya Abu Bakr bin Muhammad al-Bistami, (2) al-Ayat al-Bayyinat fi Mi’raj Sayyid al-Ardi wa al-Samawat karya Muhammad bin Yusuf al-Shami, (3) Al-Ibtihaj Fi Al-Kalam ‘Ala Al-Isra’ Wa Al-Mi’raj karya Najm al-Din al-Ghaiti, dan (4) al-Ayah al-Kubra fi Sharh Qissah al-Isra’ karya al- Suyuti.4

Pada era modern, kajian mengenai isra-mikraj dapat ditemui dalam sejumlah karya penting. Misalnya, Hashiyah al-Dardir ‘ala Qissah al-Mi’raj karya Abu al-Barakat al-Dardir (1201 H.),5 al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Abdul Halim Mahmud (1910-1978 M.),6 al-Dhaif min Qassah al-Isra’ wa al-Mi’raj karya Amr Abdul Mun‟im, dan al-Isra’ wa al-Mi’raj wa Dhikr Ahadithihima Wa Takhrijuha Wa Bayan Sahihiha Min Saqimiha karya Nasir al-Din al-Albani (1914-1999).

Dalam karya-karya di atas, para sarjana Muslim lebih banyak menggunakan pendekatan sejarah; yang dalam beberapa hal lebih menitik-beratkan pada pendekatan ilmu hadis. Di sisi lain, fokus utama kajian mikraj sarjana Muslim adalah mengenai historisitas peristiwa mikraj. Hal ini menjadi tren kajian akademik di lingkungan umat Islam. Yang dalam melihat sejarah lebih percaya pada disiplin ilmu hadis; dengan beragam tingkat keketatan yang digunakan masing-masing penulis. Fokus yang sama, sekalipun dengan tren akademik yang berbeda, tumbuh di kalangan sarjana non-Muslim. Sejak awal abad kedua puluh, para sarjana Non- Muslim yang menunjukkan ketertarikannya pada isu ini mencoba mengembangkan kajian lebih lanjut. Mereka mengkaji literatur sejarah dan hadis Muslim untuk mencari apa yang menjadi asal-usul ide mikraj dari tradisi-tradisi sebelum Islam, apa yang “otentik” dan “ditambahkan” dari narasi mikraj dalam tradisi Muslim. Di antara yang terkenal sebagai sarjana yang konsern terhadap kajian mikraj adalah B. Schrieke, A. A. Bevan, Josef Horovitz dan Harris Birkeland. Menurut Brooke Olson Vuckovic, pergeseran tren pengkajian mikraj terjadi sekitar tahun 70-an. Yaitu setelah Edward Said menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh, Orientalism. Menurut studi kritis ini, disiplin-disiplin keilmuan yang berhubungan dengan kebudayaan cenderungan bias. Ia cenderung mencerminkan pandangan dan kesadaran orang Barat sendiri. Said mengajak para sarjana Barat untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang-bangsa yang menjadi objek penelitian mereka. Sejak itu, lahir tradisi baru dalam studi mikraj di Barat yang lebih melihat mikraj sebagai warisan (legacy) keilmuan Islam yang layak dihargai, dibanding sebagai objek sejarah yang perlu ditelaah otentisitasnya menurut cara-cara yang lazim mereka gunakan yang seringkali menunjukkan hasil-hasil yang berbeda dan kurang menghargai keyakinan Muslim.7 Sayangnya, Brooke belum menunjukkan satu karya kesarjanaan atau tokoh sarjana yang menggunakan paradigma baru ini. Mungkin, sebenarnya dia ingin menahbiskan dirinya sebagai sarjana Barat yang pertama kali menggunakan paradigma „revisionis‟ tersebut. Paradigma yang menempatkan peristiwa mikraj dipahami sebagai keyakinan Muslim yang bermakna; sejauhmana peristiwa mikraj menjadi sangat penting bagi komunitas Islam, apa urgensinya secara politik dan teologis. Brooken berkesimpulan bahwa narasi mikraj merupakan upaya para elit agama Islam menciptakan garis demarkasi antara tradisi monoteisme Islam, dan monoteisme Yahudi dan Kristen. Mikraj juga dijadikan mekanisme menguatkan keyakinan komunitas Muslim tentang pentingnya menjadi orang beriman dan menjaga diri dari kekafiran seperti yang terjadi pada generasi Muslim pertama yang rapuh keimanannya setelah mendengar berita mengenai mikraj yang tidak masuk akal. Ini merupakan upaya penguatan identitas keislaman komunitas Muslim sejak lama.8

Dari pemaparan di atas, dapat diambil gambaran ringkas mengenai dua kecenderungan dalam lingkungan pengkaji mikraj dari dua dunia yang berbeda; kesarjanaan Muslim dan non-Muslim (dulu orang menyebutnya orientalis, lalu setelah terjadi perubahan paradigma mereka lebih banyak menggunakan istilah islamisis/outsider). Pertama, paradigma historis yang menekankan aspek asal-usul, otentisitas, dan perubahan narasi mikraj. Paradigma ini digunakan oleh para sarjana Muslim klasik/modern serta sarjana non-Muslim di awal abad dua puluh. Kedua, paradigma „pemaknaan‟ yang menekankan arti mikraj bagi komunitas Muslim. Hal ini seperti coba dilakukan, misalnya, oleh Brooken. Sekalipun, menurut penulis, ada beberapa aspek perlu dilihat tentang temuan Brooken yang cenderung simplistis; menekankan implikasi teologis dan politis. Padahal, menurut Imran N. Hosein misalnya, ada enam signifikansi mikraj yang meliputi; psikologis, epistemologis, saintifis, teologis, politis dan spiritual.9 Di sini, Brooken hanya melihat dua signifikansi yang ditawarkan Imran.

Studi „pemaknaan‟ suatu komunitas tentang suatu ajaran religi tertentu, memang menjadi trend kajian Islam kontemporer dalam satu dasawarsa terakhir yang menggabungkan cara pandang insider dan outsider. Dalam studi hadis, kecenderungan ini telah melahirkan tradisi

„Living Hadith‟.10 Untuk melihat penggunakan paradigma „pemaknaan‟ ini, penulis akan mencoba mengaplikasikan pada signifikansi mikraj bagi generasi awal Muslim; dalam hal ini sahabat dan mungkin murid-murid mereka. Penulis akan mencoba meneropong tentang arti penting peristiwa mikraj bagi mereka. Dalam kategori-kategori signifikansi apa –seperti digambarkan Brooken atau Imran, para sahabat melihat peristiwa mikraj.

Untuk melakukan kajian ini, penulis akan menggunakan kitab-kitab hadis, dan terkadang sirah sebagai sumber utama. Dari sumber-sumber tersebut, akan dipilih materi yang berkaitan dengan topik diskusi. Untuk membaca sumber-sumber tersebut penulis mencoba menggunakan pendekatan heurestik atau upaya „menemukan‟ apa motivasi para sahabat menyebarkan dan mengkaji cerita tentang mikraj. Penulis berterima kasih kepada Abu Bakr Abdurrahman al-Suyuti (911 H.) yang dalam masterpiece-nya, al-Ayah al-Kubra fi Qissah al-Isra’, melakukan takhrij terhadap hadis-hadis mikraj dengan cukup lengkap. Penulis menggunakan data yang beliau tampilkan dengan sedikit seleksi. Data itu kemudian diolah dan dianalisis tentang hal-hal yang dapat dijadikan indikator mengenai sikap, peran, gagasan dan kepentingan sahabat terhadap cerita mikraj. Selanjutnya, sikap dan gagasan para sahabat akan dibingkai dalam kategori yang dirumuskan Brooken dan Imran.

Lebih lengkap download di sini.

1 Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), cet. ke-3, h. 58

2 Peristiwa murtadnya sebagian Muslim saat itu diabadikan dalam QS. Al-Isra: 60. Lihat dalam Ibn Hisham, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), cet. ke-3, h. 50

3 Lihat misalnya gagasan Sayyidah Aishah tentang Isra-mikraj hanya dengan roh, Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Madani, Sirah Ibn Ishaq (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), cet. Ke-1, h. 295

4 Lihat pengantar Muhammad Abdul Hakim Qadi pada karya Abu Bakr Abdurrahman al-Suyuti, al-Isra’ wa al-Mi’raj, (Kairo: Dar al-Hadith, 2002), h. 7


5 Kitab ini merupakan catatan kaki (hashiyah) untuk kitab Qissah al-Mi’raj atau Al-Ibtihaj Fi Al-Kalam

‘Ala Al-Isra’ Wa Al-Mi’raj karya al-Ghaiti di atas.

6 Lihat Abdul Halim Mahmud, al-Isra’ wa al-Mi’raj, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, tt), cet. ke-11.

7 Brooke Olson Vuckovic, Heavenly Journeys, Earthly Concerns The Legacy of The Mi‘raj in the

Formation of Islam, (New York: Routledge, 2005), h. 9-14

        8 Brooke Olson Vuckovic, Heavenly Journeys, ... h.14

9 Imran N. Hosein, The Strategic Significance of The Fast of Ramadan & Isra' and Miraj (New York: Masjid Dar al-Quran, 1997), h. 52-64

10 Muhammad al-Fatih Suryadilaga, Studi Living Quran dan Hadis, (Jogjakarta:

Selasa, 16 September 2025

Dari Halaqah ke Universitas: Sejarah Institusionalisasi Studi Hadis dari Damaskus hingga Indonesia

 


Secara historis, pengkajian terhadap hadis telah dilakukan sejak ribuan tahun lalu. Hadis pada mulanya dikaji dan diajarkan secara intensif-individual di kota-kota besar Islam abad kedua hijriah oleh ahli-ahli yang mulai bermunculan pada era tersebut. Belum ada lembaga yang secara khusus diidentifikasi sebagai pusat studi-pendidikan hadis seperti dikenal di era modern. Tetapi, sudah dikenal kota-kota yang dikenal sebagai pusat pengajaran dan pengkajian hadis.[1]

Sampai pada abad ketujuh hijriah, sejarah Islam baru mengenal lembaga-lembaga pendidikan yang diidentifikasi sebagai pusat pendidikan hadis berbasis wakaf. Dalam sejarah Islam, Dar al-Hadith al-Nuriyyah merupakan lembaga yang khusus mengajarkan hadis. Didirikan oleh Sultan Nur al-Din Zenki (w. 569 H.) pada tahun 563 H. sebagai bentuk penghormatan kepada ulama terkemuka Damaskus, Ibnu ‘Asakir al-Dimashqi al-Shafi’i (w. 570 H.).[2]

Menurut sumber lain, lembaga pengkajian khusus hadis pertama di Damaskus adalah Dar al-Hadith Al-Ashrafiyyah Damaskus. Lembaga ini didirikan oleh Musa bin al-Malik al-‘Adil (w. 635 H.) dari Dinasti Ayyubiyyah pada tahun 630 H. Lembaga ini didedikasikan secara khusus untuk para pengikut mazhab Syafi’i.[3] Beberapa tokoh yang memimpin lembaga ini adalah Ibn al-Shalah (w. 643 H.), Abu Shamah (w. 665 H.), dan al-Nawawi (w. 676 H.).[4]

Muhammad Muti’ al-Hafizh mencatat terdapat 22 lembaga pendidikan khusus hadis di kota Damaskus, yaitu: Dar al-Hadith al-Nuriyyah, Dar al-Hadith al-Fadhiliyyah, Dar al-Hadith al-‘Uzwiyyah, Dar al-Hadith al-Dhiya’iyyah, Dar al-Hadith al-Ashrafiyyah al-Baraniyyah, Dar al-Hadith al-‘Alimah, Dar al-Hadith al-Kurusiyyah, Dar al-Hadith al-Qaushiyyah, Dar al-Hadith al-Nasiriyyah, Dar al-Hadith al-Shaqiqiyyah, Dar al-Hadith al-Sukriyyah, Dar al-Hadith al-Samiriyyah, Dar al-Hadith al-Nafisiyyah, Dar al-Hadith al-Dawwadariyyah, Dar al-Hadith al-Himsiyyah, Dar al-Hadith al-Qalanisiyyah, Dar al-Hadith al-Baha’iyyah, Masyikhat al-Hadith Bi al-Jami’ al-Umawi, Tadris al-Shahih Tahta Qubbah al-Nasr, Dar al-Hadith al-Nizamiyyah, Dar al-Hadith al-Tadmuriyyah, dan Dar al-Hadith al-Ahmadiyyah.[5]

Selain pada lembaga-lembaga khusus pengkajian dan pengajaran hadis seperti disebut di atas, lembaga-lembaga pendidikan Islam selalu mengajarkan hadis dan ilmu hadis. Haramain di Hijaz, Al-Azhar yang berbasis pada masjid di Mesir, Dar al-Uloom, Deoband, di India, dan pesantren di Indonesia seluruhnya mengajarkan hadis-hadis ilmu hadis secara tradisional. Karena itu, sejatinya pengkajian dan pengajaran hadis tidak pernah terhenti di dunia Islam. Tidak mengherankan jika literatur studi hadis telah membanjiri rak-rak perpustakaan dunia. Baik di dunia Islam, maupun dunia non-Islam seperti tampak dalam kesarjanaan Barat. Ketika tradisi akademik modern melahirkan sistem perguruan tinggi, hadis menjadi subyek penting bersama bidang-bidang kajian keislaman lain.

Pada abad dua puluh, negara-negara Muslim mengembangkan sistem perguruan tinggi dengan fokus studi hadis (baca: Program Studi Ilmu Hadis). Universitas Al-Azhar mendirikan jurusan Tafsir Hadis (1952),[6] Universitas Ummul Qura Mekah merintis jurusan Al-Kitab wa al-Sunnah (1975),[7] Universitas Islam Madinah merintis Departemen Sunnah wa Ulumuha (1977),[8] Universitas Istanbul Turki,[9] Universitas Islam Antarbangsa Malaysia,[10] dan sejumlah Institute Agama Islam Negeri di Indonesia pada 1989 menyusul merintis jurusan Tafsir-Hadis mengikuti model Universitas al-Azhar.[11] Di sini terlihat bahwa Universitas Al-Azhar kiblat kajian hadis di Indonesia adalah Universitas Al-Azhar. Pengaruh kuat Al-Azhar ini juga ditemukan dalam kajian Al-Quran seperti dijelaskan oleh Howard M. Federspiel dalam penelitiannya tentang literatur tafsir dan kajian Al-Quran yang populer sampai 90-an.[12]  

Seperti disinggung sebelumnya bahwa perguruan tinggi di dunia Islam umumnya hadir setelah era kolonialisme. Sekalipun sejatinya telah ada lembaga/pusat pendidikan Islam yang berjangkauan global sebelumnya, tetapi dirasa kurang dapat menjawab tantangan modernitas.[13] Hal ini karena para pemimpin di negara-negera bekas jajahan melihat bahwa perguruan tinggi merupakan elemen penting untuk memajukan masyarakat. Pengalaman pahit era penjajahan dan situasi penuh ketertinggalan mendorong para pemimpin itu mengadopsi sismtem perguruan tinggi. Satiman dan Hatta, sebagai tokoh penting nasional Indonesia setelah kemerdekaan melihat empat alasan mengapa umat Islam Indonesia harus memiliki perguruan tinggi; (1) Kesadaran bahwa masyarakat Islam tertinggal dalam pengembangan pendidikan dibanding non-muslim, (2) Masyarakat non-muslim maju karena mengadopsi cara Barat dalam sistem pendidikan mereka, (3) Perlunya menghubungkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional, (4) dalam pendidikan Islam unsur lokal penting untuk diperhatikan sekolah Tinggi Islam.[14] Dalam perspektif Nietzche, alasan-alasan di atas merupakan bentuk hasrat dan pragmatisme yang menentukan arah pengembangan-pemajuan suatu institusi.[15]

Di sisi lain, negara-negara Barat telah mengembangkan kajian Islam di perguruan tinggi dengan perspektif dan metode modernis yang berbeda dengan pendekatan tradisional yang berkiblat pada Al-Azhar. Sejumlah universitas di Eropa,[16] Amerika Utara[17] dan yang baru berkembang di Australia[18] yang memberikan kuliah tentang Islam dalam kerangka oriental studies, Islamic Studies, studi tentang Timur Tengah dan studi tentang Asia. Hal ini menarik perhatian universitas di dunia Islam untuk mengirimkan alumninya untuk belajar di beberapa kampus di Barat. Universitas Al-Azhar, yang menjadi kiblat perguruan tinggi Islam di dunia Islam, telah mulai melakukan pengiriman dosen dan alumninya untuk belajar di universitas negara-negara Eropa dan Amerika sejak 1931.[19] Indonesia sejak tahun 80-an, juga telah mengirimkan cukup banyak dosen muda untuk belajar di berbagai universits di Amerika dan Eropa. Selain terus melanjutkan pengiriman ke universitas di Timur Tengah dan negara Islam lainnya.[20] Inilah yang mempertemukan kurikulum tradisional dan modern di perguruan tinggi Islam saat ini.

Pengiriman para tenaga pengajar ke negara-negara Barat bukan tanpa implikasi. Di satu sisi, hal ini dapat memperkuat kelembagaan universitas di negara-negara Muslim serta perluasan jaringan di dunia global. Tetapi, metode dan pendekatan pengkajian yang berangkat dari epistemologi yang berbeda, terkadang menciptakan jarak dan sentimen tertentu. Bagaimana pun, para alumni universitas di Barat telah turut berkecimpung dalam pengelolaan universitas Islam, baik di level kementerian maupun universitas. Di sini, terjadi dinamika antara para lulusan Timur Tengah yang umumnya berkecenderungan normatif dengan para lulusan Barat yang punya kecenderungan empiris-historis. Belum lagi ditambah alumni perguruan tinggi Islam dalam negeri yang pada umumnya merupakan lulusan pendidikan keagamaan tradisional seperti madrasah dan pesantren. Arah pengelolaan universitas Islam pun seringkali terbelah antara keinginan melahirkan para pendakwah atau ilmuwan. Antara yang bertujuan memperkuat misiologi agama atau pengetahuan murni. Sekalipun tujuan pengembangan universitas Islam di Indonesia telah diatur oleh undang-undang, tetapi umumnya masih bersifat general dan memerlukan “kontekstualisasi” lebih lanjut. Bagaimana pun, dalam undang-undang juga disebutkan tujuan-tujuan yang bersifat ideologis di samping klaim mendukung “pengetahuan murni”. Detail tentang aturan itu harus dikembangkan secara mandiri oleh para pengelola kampus Islam. Perguruan tinggi Islam di Indonesia berada dalam bayang-bayang antara meniru Timur Tengah dan Barat, antara ingin melahirkan pendakwah atau ilmuwan, antara tradisionalisme atau modernisme.

Kurikulum dan arah pengembangan sebuah universitas, dalam unit yang paling kecil adalah program studi, sangat tergantung pada para pemegang kebijakan di tingkat kampus. Apakah sebuah kampus didominasi oleh alumni Barat, Timur Tengah atau alumni kampus Islam dalam negeri. Ketiganya tentu saja memiliki kerangka berfikir (framework) yang berbeda. Ketiga kluster aktor akademik ini sangat menentukan kekhasan sebuah program studi. Struktur kurikulum, selain diisi proporsi yang ditentukan oleh negara dan universitas, juga oleh program studi.



[1] Lihat dalam Shams al-Din al-Dhahabi, al-Amsar Dhawat al-Athar, muhaqqiq Mahmud al-Arna’uth (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1985), cet. Ke-1.

[2] Muhammad Muthi’ al-Hafizh, Dur al-Hadith al-Sharif bi Dimashq, (Dar al-Maktabi, 2010), cet. Ke-1, h. 7.

[3]““Al-Ashrafiyya” fi Dimashq al-Dar al-Ula li ‘Ilm al-Hadith”, Sumber:https://www.alittihad.ae/article. Diakses pada 29 April 2022, jam 13.26.

[4] Gilbert, Joan E. “Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization of the ‘Ulamā’ in Medieval Damascus.” Studia Islamica, no. 52 (1980): 105–34. https://doi.org/10.2307/1595364. Gharaibeh, Mohammad. “Social and Intellectual Rivalries and Their Narrative Representations in Biographical Dictionaries: The Representation of Ibn al-Ṣalāḥ-A Case Study.” In New Readings in Arabic Historiography from Late Medieval Egypt and Syria: Proceedings of the Themed Day of the Fifth Conference of the School of Mamluk Studies, edited by Jo Van Steenbergen and Maya Termonia, 253–90. Brill, 2021. http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctv1v7zbbh.12. Dickinson, Eerik. “Ibn Al-Ṣalāḥ al-Shahrazūrī and the Isnād.” Journal of the American Oriental Society 122, no. 3 (2002): 481–505. https://doi.org/10.2307/3087517.

[5] Muhammad Muthi’ al-Hafizh, Dur al-Hadith al-Sharif bi Dimashq, (Dar al-Maktabi, 2010), cet. Ke-1.

[6] Program Studi Tafsir dan Hadis berdiri pada tahun 1952. Lihat dalam Muhammad al-Bahi, al-Azhar Tarikhuhu wa Tathawwuruhu, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 1964) hlm. 463-545

[7] Program studi Al-Quran dan Sunnah dirintis pada tahun 1395/1396 H. atau sekitar tahun 1975 M. Nomenklatur yang digunakan adalah Qism al-Kitab wa al-Sunnah. Lihat dalam https://uqu.edu.sa/qsudwhm/89510. Diakses pada 04 Mei 2022. Jam 07.02.

[8] Program ilmu hadis pada Universitas Islam Madinah berdiri pada tahun 1396 H. atau 1977 M. Lihat dalam https://iu.edu.sa/site/20. Diakses pada 29 April 2022 pada 09.00.

[9] Ibrahim Hatiboğlu, “Transmission of Western Hadīth Critique to Turkey: on the Past and the Future of Academic Hadīth Studies”, Hadis Tetkikleri Dergisi (HTD), IV/2, 2006, ss. 37-53.

[10] Wahidul Anam, “Paradigms of Hadith Science Study Program: The Comparison between UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta and Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor (KUIS) Malaysia”, ICIIS, 2020. DOI 10.4108/eai.27-10-2020.2304181. 

[11] Jurusan Tafsir Hadis berdiri pada tahun 1989 di dua kampus Islam, IAIN Jakarta dan Ujungpandang. Lihat dalam “Sejarah Fakultas Ushuluddin”, sumber: https://ushuluddin.uinjkt.ac.id/sejarah/. Diakses pada 29 April 2022, jam 09.37. Lihat juga dalam http://iqt.fuf.uin-alauddin.ac.id/tentang#. Diakses pada 29 April 2022 jam 09.37.

[12] A. Wardani, “Masa Depan Kajian Tafsir Antara Harapan Di Fakultas Ushuluddin: Harapan Dan Tantangan” dalam buku Setengah Abad Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari 1961-2011, (Banjarmasin: Kufasari Press, 2011).

[13] Alexander Thurston, “Islamic University and Their Global Outreach”, Oxford Islamic Studies Online,  http://www.oxfordislamicstudies.com/Public/focus/essay1009_Islamic_Universities.html# Diakses pada 07-05-2022 jam 19.57.

[14] Suheri, “Rekfleksi Historis Konversi STI ke UIN Implikasi Kebijakan Pemerintah di Perguruan Tinggi Islam”, Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2014.

[15] Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), cet. Ke-2, h. 337.

[16] Ataullah Siddiqui, “Islam at Universities in England: Meeting the Needs and Investing in the Future”, Islamic Studie, Winter 2007, Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), pp. 559-570. https://www.jstor.org/stable/20839094. This content downloaded from 114.124.236.6 on Thu, 24 Mar 2022 16:11:54 UTC. ANNEMARIE SCHIMMEL, Islamic Studies in Germany: A Historical Overview, Islamic Studies , Autumn : 2010, Vol. 49, No. 3 (Autumn : 2010), pp. 401-410. https://www.jstor.org/stable/41480180. This content downloaded from 114.124.236.6 on Thu, 24 Mar 2022 15:58:10 UTC. Auda, Jasser & Bernasek, Lisa & Bunt, Gary & Canning, John & Gilbert, Jon & Hussain, Amjad & Kelly, Michael & McLoughlin, Sean & Muhammad, Abu & Smith, Simon. “International approaches to Islamic studies in higher education.” A report to HEFCE, 2008. https://www.researchgate.net/publication/313156032_International_approaches_to_Islamic_studies_in_higher_education.

[17] Charles Kurzman and Carl W. Ernst, “Islamic Studies in U.S. Universities”, Review of Middle East Studies, Summer 2012, Vol. 46, No. 1 (Summer 2012), pp. 24-46. https://www.jstor.org/stable/41762480. This content downloaded from 114.124.236.6 on Thu, 24 Mar 2022 15:58:44 UTC.

[18] Keskin, Zuleyha, and Mehmet Ozalp. “Islamic Studies in Australia’s Universities. Religions, 2021 .12: 99. https://doi.org/10.3390/rel12020099.  https://www.mdpi.com/journal/religions.

[19] Lihat dalam Muhammad al-Bahi, al-Azhar Tarikhuhu wa Tathawwuruhu, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 1964) hlm. 314-317.

[20] Khamami Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia”, https://www.uinjkt.ac.id/orientasi-studi-islam-di-indonesia/. Diakses pada 09-05-2022 jam 07.53.

Mikraj dalam Pandangan Sahabat

  Setelah klaim kenabian, peristiwa kontroversial yang pernah dialami Nabi Muhammad saw. adalah isra dan mikraj. Isra-mikraj bukan saja me...