Jumat, 26 Agustus 2022

Kitab Kuno Tentang Disabilitas yang Ditulis Ulama Klasik, Kisah Para Pemimpin Lepra dan Buta

 

Sebagian orang berfikir bahwa kesarjanaan Muslim kurang menaruh perhatian terhadap isu disabilitas. Ada asumsi yang dikembangkan bahwa hal itu karena sumber utama Islam, Al-Quran dan Hadis, tidak memberikan penekanan yang cukup untuk memperhatikan isu ini. Setidaknya, Al-Quran dan Hadis tidak punya istilah yang setara dengan disabilitas. Hal ini berakibat pada sulitnya mengakses informasi dan pandangan kedua teks suci tersebut mengenai penanganan disabilitas.

Asumsi ini kurang tepat karena ada cukup banyak nomenklatur yang mengarah kepada bentuk-bentuk disabilitas yang kita temukan dalam Al-Quran dan Hadis. Al-Barash, al-judzam, tha’un, jarab, hashbah, dan judari adalah beberapa istilah dalam hadis Nabi SAW. Sedangkan Al-Quran menyebut umyun (kebutaan), summun (tuli),  bukmun (bisu), a’raj (pincang), dan lainnya. Al-Quran dan Hadis menyajikan sejumlah panduan etis bersinggungan dengan orang dengan disabilitas, buta misalnya. Al-Quran mengajarkan bahwa hendaknya kaum beriman tidak keberatan makan bersama penyandang disabilitas mata (Qs. An-Nur: 61).

Secara umum, para sarjana kontemporer berbeda pendapat apakah Al-Quran memiliki sikap positif terhadap disabilitas atau sebaliknya. Majid Turmusani menilai bahwa Al-Qur’an mengadopsi sikap negatif terhadap penyandang disabilitas. Berbeda dengan Rispler-Chaim yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang digunakan Majid Turmusani merujuk pada cacat secara metaforis. Bukan arti harfiah. Namun, dia menyimpulkan bahwa masih belum pasti dalam pandangannya apakah ayat-ayat ini merujuk pada cacat nyata atau metafora.

Terlepas dari bagaimana teks sumber utama Islam menggambarkan atau dikesankan menggambarkan tentang disabilitas, pada kenyataannya, para ulama Muslim ada yang mendedikasikan hidupnya untuk mengkomplilasi berbagai hal tentang disabilitas. Hal ini seperti dapat dilihat dalam sejumlah karya tulis (kitab) yang membahas disabilitas dalam perspektif tradisi Islam.

Di sini, penulis akan memaparkan kitab yang ditulis para ulama klasik dan berkaitan dengan isu disabilitas dalam Islam. Ketiganya adalah al-Burshan wa al-‘Arajan wal ‘Umyan wal Hulan karya Al-Jahizh (w. 255 H.) dan Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan karya Shalahuddin al-Shafadi (w. 764 H.).

Al-Burshan wa al-‘Arajan Wal ‘Umyan, Ensiklopedi Pertama Para Penyandang Disabilitas Sukses  

Penulis kitab ini bernama lengkap Abu Utsman Amr bin Bahr al-Jahizh (150-255 H.). Ia adalah orang Basrah, Irak. Ia dikenal sebagai seorang teolog Muktazilah, zoologis, sastrawan dan budayawan era Abbasiyah. Ia menulis dalam banyak bidang.

Karyanya yang berbicara tentang disabilitas adalah Al-Burshan Wa al-‘Arajan Wa al-‘Umyan Wa al-Hulan (Para penderita lepra, pincang, kebutaan dan juling). Al-Jahizh merupakan penulis yang punya kebiasaan menulis kitab untuk dihadiahkan kepada orang-orang besar pada zamannya. Namun tidak diketahui untuk siapa ia menulis buku ini. Al-Burshan berarti orang-orang yang mengalami penyakit belang akibat lepra. Berbagai bentuk penyakit diulas dalam kitab ini. Al-Jahizh sendiri sebenarnya adalah seorang penyandang disabilitas. Ia mengalami paralisis atau kelumpuhan total pada tubuhnya. Dikisahkan, ia wafat di perpustakaan pribadinya setelah tertimpa tumpukan buku. Sebutan al-Jahizh sendiri berarti orang yang kedua matanya keluar (penyakit eksoftalmus). Disabilitas yang dialaminya sering membuatnya menjadi bahan olok-olokan orang.

Al-Jahizh menyusun kitab ensiklopedi disabilitas bukan untuk mendiskreditkan para penyandangnya. Bahkan, ia bertujuan untuk menghadirkan gambaran yang baik (positif) terhadap para penyandang disabilitas dan menunjukkan bahwa penyakit yang mereka derita tidak dapat menjadi penghalang antara mereka dan orang-orang yang mulia atau kemuliaan. Al-Jahizh menghadirkan syair Arab kuno dan kontemporer untuk memperkuat pandangannya. Bahkan, menunjukkan bahwa sebagian penyakit dapat menjadi sumber kemuliaan, pujian dan idolaisasi.

Misalnya, ia menghadirkan pembahasan berjudul wa minal burshan al-ladzina fakharu bil barash (Orang yang bangga dengan penyakit lepranya), min man fakhira bil barash min al-ru’asa wal-syu’ara’ (pemimpin dan seniman yang berbangga dengan bekas lepra), minal burshan al-sadah wal-qadah (orang lepra yang menjadi pemimpin). Al-Jahizh mencatat nama-nama tokoh besar pada masa lalu dan pada zamannya yang bangga dengan lepranya. Penghadiran nama-nama tokoh besar menunjukkan bahwa disabilitas akibat penyakit lepra bukan penghalang untuk mendapatkan posisi yang sejajar di masyarakat. Terbukti, bahwa ada orang-orang besar yang bertahan dengan lepra dan mereka menjadi pemimpin di masyarakatnya. Mereka berasal dari golongan politisi, sastrawan, panglima perang, ilmuwan dan ahli hadis, dan lainnya.

Bagian kedua kitab ini berbicara tentang orang-orang yang mengalami disabilitas fisik berupa kepincangan (al-‘arajan). Al-Jahizh menghadirkan nama-nama tokoh besar dari kalangan politisi, sastrawan, ulama, petapa (zahid), dan bangsawan-bangsawan pincang. Uniknya, al-Jahizh mencoba menghadirkan keindahan pincang dengan menjelaskan berbagai jenis pincang, kemiripannya dengan keindahan hewan-hewan tertentu. Mengingat Al-Jahizh adalah seorang zoologis, tidak heran gambarannya tentang disabilitas pincang berhasil mengubah perspepsi negatif tentang pincang.

Selanjutnya, kitab al-Burshan wal-‘Arajan menyajikan berbagai macam jenis postur tubuh, ukuran anggota tubuh yang ideal, ragam cara berjalan, dan jenis-jenis penyakit yang dikenal pada zamannya. Ulasan seputar kebutaan dan kejulingan tidak begitu banyak. Ulasannya tentang kebutaan berkaitan dengan upaya membangun sikap positif terhadap ‘kekurangan’ ini. Hal ini karena kebutaan adalah penyakitnya orang-orang mulia. Dalam ulasan tentang Al-‘Umyan al-Asyraf (para tokoh besar tuna netra), al-Jahizh menyebutkan di antara tokoh besar yang buta adalah: Nabi Syuaib, Abdul Muthallib bin Hasyim, Abbas bin Abdul Muthallib, Abdullah bin Abbas, Abu Sufyan bin Harb, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Arqam, Al-Hakam bin Abil Ash, Al-Harits bin Abbas, Utban bin Malik, Amr bin Ummi Maktum, al-Bara’ bin ‘Azib, Ka’b bin Malik, Hissan bin Tsabit, Abdullah bin Abi Aufa, Qatadah bin Nu’man, Abu Abdurrahman al-Sulami, dan Abu Usaid al-Sa’idi.

Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan: Ensiklopedi Disabilitas Mata Terlengkap

Kitab Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Ada yang mengejanya “naktsu al-humyan”. Nama ini berarti mengeluarkan sesuatu dari kantong, tentang biografi para tuna netra dalam sejarah Islam. Kitab ini disusun oleh Shalahuddin Khalil bin Ubaik bin Abdullah Al-Shafadi (w. 764 H./1363 M.). Seorang yang berasal dari kawasan Shafad, Palestina. Ia hidup pada era Kesultanan Mamluk. Gurunya adalah ulama-ulama Sunni berpengaruh seperti Taqiyyuddin Al-Subki (w. 756 H.), Badruddin Ibnu Jama’ah (w. 733 H.), Al-Mizzi (w. 742 H.), Al-Dzahabi (w. 742 H.), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H.).

Tentang kitab ini, situs al-Warraq mencatat: tarjama fihi al-shalah al-shafadi li masyahiri al-‘umyan mundzu al-jahiliyyah wa hatta ‘ashrihi murattaban ‘ala huruf al-mu’jam, wa ja’ala lahu ‘asyra muqaddimat tanawala fiha al-‘ama min mukhtalaf al-nawahi al-lughawiyyah wa al-thibbiyyah wa al-adabiyyah wa ma yata’allaqu bi dzalika min al-ahkam (Shalahuddin Al-Shafadi menulis profil orang-orang terkenal yang tuna netra. Sejak era jahiliyyah hingga zaman ia hidup. Kitabnya disusun berdasarkan urutan abjad. Dalam pengantar, ia membuat puluhan sub bab yang menjelaskan berbagai segi kebutaan seperti aspek bahasa, kesehatan, sastra dan hal-hal yang berhubungan dengan hukum).

Seperti disebut di atas, kitab ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama merupakan pengantar. Pengantar ini memiliki 10 sub bab yang menjelaskan kebutaan dari berbagai aspeknya; mulai dari bahasa, kesehatan, sastra hingga hukum. Bagian kedua membahas tentang biografi para tokoh besar dalam sejarah yang mengalami kebutaan.

Motivasi penulisan kitab ini adalah dorongan dari para tamu dalam forum kajian yang disampaikan Al-Shafadi. Dimana ia telah membaca karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H.), Al-Khathib al-Baghadi (w. 463 H.) dan Ibnul Jauzi (w. 597 H.) tentang daftar tokoh-tokoh besar yang tuna netra. Para tokoh itu adalah para nabi, leluhur dan keluarga Nabi, sahabat dan para ulama setelahnya. Para tamu mendorong Al-Shafadi untuk mengumpulkan lebih banyak lagi tokoh-tokoh tuna netra dalam sejarah Islam. Ia menyanggupi permintaan itu.

وجرى يوماً في بعض اجتماعاتي بجماعة من الأفاضل ذكر فصل استطردت بذكره في شرح لامية العجم. ذكرت فيه جماعة من أشراف العميان، قال لي بعض من كان حاضراً: لو أفردت للعميان تصنيفاً تخصّهم فيه بالذكر، لكان ذلك حسناً. فحداني ذلك الكلام، وهزّت عطفي نشوة هذه المدام، على إن عزمت على جمع هذه الأوراق، في ذكر من أمكن ذكره أو وقع إليّ خبره وسميته: نكت الهميان في نكت العميان

Pada suatu hari terjadi pertemuan antara saya dengan perkumpulan orang-orang terhormat, saya menyampaikan sebuah bab pembahasan kitab Syarah Lamiyah al-‘Ajam. Saya menyebut di dalamnya ada segolongan orang-orang terhormat “Asyraf” yang tuna netra. Sebagian orang yang hadir berkata kepada saya, “Sebaiknya anda menyendirikan pembahasan tentang tokoh-tokoh tuna netra secara khusus. Niscaya itu bagus.” Perkataan itu mendorong aku. Menggoncang perasaanku. Saya bertekad untuk mengumpulkannya dalam lembaran kertas sebanyak mungkin daftar tokoh yang bisa disebut atau diketahui informasinya. Saya menamai kitab ini dengan “Naktu al-Humyan fi Nakti al-‘Umyan”. (hlm. 8).

Salah satu kisah yang dihadirkan tentang kebutaan adalah kisah tentang kekejaman intrik politik era Abbasiyah. Setidaknya, ada dua orang khalifah Abbasiyah yang berakhir dengan disabilitas. Ibrahim bin Ja’far Abu Ishaq al-Muttaqi Lillah bin al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid (297-357 H.). Ia naik tahta pada tahun 329 H. Menggantikan saudaranya, Al-Radhi Billah. Ia lalu diturunkan pada tahun 333 H. Ia pernah kabur hendak ke Mesir, namun tertangkap di Raqqah, Suriah.

Ia dibujuk oleh Jenderal Turki bernama Tuzun. Tuzun berjanji tidak akan mencelakakannya. Tuzun ingkar janji. Setelah sampai Baghdad, Tuzun menangkap Ibrahim bin Ja’far. Mata Ibrahim bin Ja’far dibutakan namu tidak membunuhnya. Jenderal Tuzun mengangkat adik Ibrahim bin Ja’far yang bernama al-Mustakfi Billah (w. 338 H.) sebagai khalifah. Di kemudian hari, Al-Mustakfi Billahi dikhianati oleh Jenderalnya yang lain, yaitu Muizzud Daulah Ahmad bin Buwaih. Al-Mustakfi Billah ditangkap dalam sebuah intrik, dipenjara di istananya sendiri, lalu dibutakan matanya. Ia meninggal setelah empat tahun disekap dalam istana. Jadi, ia menjabat sebagai khalifah dari 333-334 H. Hanya setahun. Ia lebih cepat meninggal dibanding saudaranya.

Kisah tragis di balik disabilitas yang disandang sang khalifah. Disabilitas yang timbul akibat pengkhianatan para jenderal. Para khalifah, yang saat ini digambarkan oleh sebagian kelompok Muslim sebagai era paling indah dalam sejarah Islam, menyimpan beragam intrik politik yang kejam. Kita juga tahu pada akhirnya, bahwa penguasa sebenarnya bukanlah para pemimpin tertinggi dalam sebuah negeri. Tetapi, para jenderal di lingkaran istana.

Demikian ulasan tentang dua kitab mengenai disabilitas dari era kuno Islam. Satu dari abad ketiga hijriah. Satu lagi dari abad keempat belas hijriah. Semoga bermanfaat.

Macam-Macam Disabilitas yang Dialami Ulama Ahli Hadis

Para penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia. Menurut data World Healt Organization (WHO), jumlah kelompok disabilitas mencapai 650 juta penduduk dunia. Kebanyakan berada di negara-negara berkembang. Jumlah ini akan semakin membengkak di masa depan bersamaan dengan tumbuhnya kelompok lanjut usia (lansia) dimana mereka akan mengalami proses degradasi kesehatan secara bertahap. Pada akhirnya, mereka juga akan menjadi bagian dari kelompok disabilitas.

Kelompok disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami diskriminasi. Hal ini menjadi perhatian dunia internasional sejak tiga dekade belakangan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi sejak 1971 yang mengupayakan perbaikan situasi bagi para penyandang disabilitas.

Resolusi itu mendapat dukungan dari negara-negara Muslim. Kuwait misalnya, mencanangkan deklarasi Arab tentang bekerja bersama kaum disabel (Arab Declaration on Work with the Disabled) pada tahun 1981. Dilanjutkan dengan Konferensi Regiola Kesehatan Jiwa dalam Beragam Kitab Hukum, khususnya hukum Islam pada tahun 1997. Pada 2001, dilaksanakan Konferensi Regional bertema “Rehabilitasi Disabilitas dan Kepedulian untuk Lansia di dunia Islam: Strategi untuk menghadapi abad 21” yang diselenggarakan oleh Dewan Dunia Islam untuk Disabilitas dan Rehabilitasi yang berpusat di Khartoum, Sudan. Selanjutnya, negara-negara Islam mulai mengembangkan kebijakan khusus untuk menangani isu disabilitas.

Para sarjana Muslim juga mulai menggali khazanah pengetahuan dan kebudayaan Islam untuk menemukan alternatif-alternatif penanganan disabilitas yang berkeadilan. Sebagai misal, mulai diperkenalkan istilah fiqh disabilitas yang pada tahun 90-an disebut dengan istilah fiqh al-i’aqah wal mu’awwaqah. Studi-studi tentang bagaimana Islam merespon isu disabilitas mulai dilakukan terhadap sumber-sumber ajaran Islam, sejarah dan kebudayaan, serta praktik yang pernah ada di dunia Islam.

Mohammed Morad, Yusuf Nasri, dan Joav Merrick mempublikasikan artikel mereka tentang “Islam and the Person with Intellectual Disability” (2001). Majid Turmusani menulis artikel jurnal “Disabled Women in Islam: Middle Eastern Perspective” (2001). Maysaa S. Bazna dan Tarek A. Hatab mempublikasikan tulisan mereka berjudul “Disability in the Qur’an: The Islamic Alternative to Defining, Viewing, and Relating to Disability” (2005). Mohammed Ghaly melalui karyanya yang merupakan disertasi berjudul “Islam and Disability Perspectives in theology and jurisprudence” (2010). Kristina L. Richardson menulis Difference and Disability in the Medieval Islamic World Blighted Bodies (2007). Darla Schumm dan Michael Stoltzfus mengeditori buku berjudul Disability in Judaism, Christianity, and Islam Sacred Texts, Historical Traditions, and Social Analysis (2011). Sara Scalenghe menulis Disability in the Ottoman Arab World, 1500–1800 (2014). M. Khoirul Huda menulis Para Ahli Hadis Difabel (2015). Khairunnas Jamal, Nasrul Fatah, dan Wilaela menulis “Eksistensi Kaum Difabel Dalam Perspektif Al-Qur’an” (2017). Muhammad Alfatih Suryadilaga “Disability and the Quest for Authority in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari” (2019). Kabira Masotta menerbitkan karyanya “Disability in Islam: a Sufi perspective” (2021).

Jauh sebelum para sarjana islamic studies modern menulis karya tentang disabilitas di dunia Islam, tokoh seperti Al-Shafadi (w. 764 H.) telah menulis Nukats al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Al-Jahizh  (w. 255 H.) menulis al-Burshan wal urjan wal-umyan wal haulan. Kedua karya ini dinilai sebagian sarjana sebagai karya orisinal.  Beberapa abad berikutnya Ibn Fahd (w. 1547)  menulis kitab Al-Nukat al-Ziraf fi al-Mau‘izhah bi Dzawi al-‘Ahat min al-Asyraf.

Apa Itu Disabilitas?

Disabilitas yang diambil dari kata dis-ability berarti ketiadaan kemampuan. Hal ini merujuk kepada kondisi seseorang yang memiliki kekurangan, terutama secara fisik dan mental. Kekurangan fisik dan mental itu sendiri memiliki banyak faktor dan ragam. Umumnya, hal itu akan menghambat aktifitas dan membuat penyandangnya tertinggal dari kelompok masyarakat yang dinilai ‘normal’.  Faktor disabilitas dapat berupa faktor bawaan lahir dan dapat pula berupa akibat penyakit atau sebuah insiden yang berakibat fatal.

Dalam bahasa Indonesia, disabilitas pada mulanya disebut “penyandang cacat” seperti dalam UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Ini menimbulkan kekurangnyamanan sehingga diusulkan diganti dengan penyandang ketunaan. Tetapi, pada akhirnya pemerintah mengubah istilah ini menjadi penyandang disabilitas seperti tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam bahasa Arab modern, disabilitas disebut dengan sejumlah istilah seperti I’aqah, ta’wiq, mu’awwaq, dzawu al-ihtiyaj al-khassh, al-fi’ah al-khassh dan al-afrad ghairu al-‘adiyyin. Dalam bahasa Arab klasik disebut dzawul ‘ahat dan ahlul a’dzar. Dalam literature klasik, sebenarnya tidak ada istilah khusus untuk menyebut disabilitas. Biasanya, digunakan nama-nama penyakit yang diidentifikasi berdampak pada disabilitas bagi para penyandangnya; seperti syalal, khabal, ‘araj, dan zamin untuk penyakit fisik. Majnun, ahmaq, ma’tuh, dan akhraq untuk yang mengalami gangguan mental. Istilah Ama’, shamam, dan kharas digunakan untuk menyebut gangguan indera.

Sebagian sarjana memandang bahwa Al-Quran tidak memiliki konsep umum tentang disabilitas; karena itu, kita perlu mengidentifikasi kata-kata tertentu yang mengetahui pandangan Al-Quran tentang isu ini. Demikian pula dalam hadis-hadis Nabi SAW yang belum diketahui konsep umum untuk menyebut disabilitas ini. 

Ulama Hadis dan Disabilitas

Dalam literatur yang telah disebut di atas, para sarjana telah menggali bagaimana perspektif Islam terhadap disabilitas. Baik dalam perspektif teologis, hukum, maupun sejarah. Demikian pula kajian disabilitas di dunia Islam sebagai sebuah praktik.

Saya telah menulis buku kecil berjudul Para Ahli Hadis Difabel (2015), namun lebih menyoroti para ahli hadis tuna netra. Sedangkan Alfatih Suryadilaga menulis “Disability and the Quest for Authority in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari” (2019). Kedua tulisan ini sepakat bahwa disabilitas bukan penghalang untuk terlibat dan berkontribusi dalam kesarjanaan hadis serta menjadi otoritas di bidang ini. Saya menemukan dalam kitab rijalul hadis (biografi para perawi), ada puluhan perawi yang berstatus penyandang disabilitas mata. Alfatih mencatat bahwa ahli hadis terkemuka, Imam al-Bukhari, dan sahabat Nabi yang dikenal sebagai rujukan Ibnu Abbas, keduanya adalah penyandang disabilitas.

Dalam konteks ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk menyadari bahwa ternyata keterlibatan para penyandang disabilitas dalam pengembangan kesarjanaan hadis lebih luas dibanding yang sudah dikaji. Dalam kitab-kitab rijalul hadis, kita dapat menemukan lebih banyak jenis disabilitas yang dialami para ahli hadis klasik. Diketahui sejumlah nomenklatur seperti ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham yang ternyata merupakan kategori disabilitas. Karena itu, kata kunci untuk menelusuri lebih jauh keberadaan para ahli hadis difabel dapat semakin diperluas.

Sebenarnya, para ulama telah mengompilasi daftar para perawi difabel. Misalnya, Syekh Shalahuddin al-Ala’i (w. 761 H.) menyusun satu kitab khusus tentang para perawi yang mengalami ikhtilath (gangguan ingatan yang berdampak pada bercampurnya riwayat) berjudul Al-Mukhtalithin. Kitab ini memuat sebanyak 46 orang perawi yang diidentifikasi sebagai disabilitas jenis ini. 

Setelahnya, Al-Hafizh Burhanuddin Sibthu Ibnul Ajami (w. 841 H.) mengembangkan kitab tersebut dengan menambahkan daftar para ahli hadis difabel intelektual menjadi 123 orang dalam kitab al-Ightibath Bi Man Rumiya Min al-Ruwah Bi al-Ikhtilath. Dalam kitab ini, Ibnul Ajami mencatat pada urutan terakhir, ahli hadis yang menjadi difabel intelektual adalah seorang ulama perempuan bernama Sakan binti Abdullah (w. 785 H.). Ia dikenal dengan gelar Qathrun Nabat. Ia adalah bekas budak Jamaluddin Muhammad bin Ali bin Abdun Nur al-Syadzili. Ibnul Ajami mencatat bahwa Sakan binti Abdullah mengalami difabel intelektual pada masa tuanya, sebelum ia meninggal dunia dan dimakamkan di Kairo, Mesir. Ini merupakan fenomena disabilitas yang dialami lansia pada umumnya.

Disabilitas Fisik dan Intelektual

Para ahli hadis, seperti komunitas lain di dunia manusia, ada yang mengalami disabilitas fisik dan ada pula yang mengalami disabilitas intelektual. Gangguan intelektual misalnya dapat ditemukan pada para perawi yang mengalami ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham. Sedangkan gangguan disabilitas fisik dapat ditemukan pada para perawi yang diidentifikasi sebagai a’raj, ashamm, ahrad, ahwal, a’sam, dan asyall.

Auham: Jenis Disabilitas Paling Banyak Dialami Ahli Hadis

Dengan menggunakan kata kunci “auham”, kita akan menemukan dalam kitab Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, sebanyak 87 orang ahli hadis menderita jenis disabilitas ini. Jumlah ini lebih banyak dibanding yang mengalami fenomena ghaflah maupun ikhtilath. Ghaflah hanya ditemukan menimpa 7 orang. Sedangkan ikhtilath, seperti disebut sebelumnya, menimpa sebanyak 123 berdasarkan kitab Al-Ightibath. Sedangkan berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib, terdapat 22 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa auham adalah jenis disabilitas paling banyak menimpa para ahli hadis.

Auham merupakan bentuk jamak dari kata wahm. Wahm secara bahasa berarti situasi ketika hati seseorang memutuskan sesuatu tetapi sebenarnya ia menghendaki pilihan lain (ma sabaqa ilaihi al-dzihnu ma’a iradati ghairihi). Dalam terminologi ilmu hadis wahm berarti kesalahan kecil dalam periwayatan hadis. Jika ia melakukan banyak kesalahan kecil, maka para ahli hadis akan menyebut seorang perawi sebagai lahu auham (dia memiliki banyak kesalahan kecil). Dalam posisi ini, terkadang seorang perawi diturunkan kualifikasinya; dari tsiqah (terpercaya) menjadi shaduq (banyak benarnya). Jika tsiqah dapat membuat sebuah hadis berkualitas sahih, maka shaduq menurunkannya menjadi bernilai hasan.

Disabilitas Fisik di Kalangan Ahli Hadis: Kasus A’raj dan Ashamm

Disabilitas fisik memiliki empat macam kelainan: Kelainan tubuh (tuna daksa), indera penglihatan (tuna netra), pendengaran (tuna rungu), dan bicara (tuna wicara). Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

 Di kalangan ahli hadis, disabilitas fisik merupakan fenomena yang banyak dijumpai. Berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib, ditemukan sejumlah kategori disabilitas fisik seperti a’raj, ashamm, ahwal, a’sam, ahrad, dan asyall. Ditemukan mereka yang menderita a’raj sebanyak 31 orang perawi. Ashamm sebanyak 17 orang. Ahwal 15 orang. A’sam 1 orang, ahrad 1 orang, asyall 4 orang.

Para ulama ahli hadis yang mengalami al-a’raj ditemukan sebanyak 31 orang. Al-A’raj berarti orang yang kakinya bermasalah sehingga membuatnya terpincang-pincang saat berjalan. Ashamm yang secara statistik berada di urutan kedua setelah a’raj, berarti faqid al-sam’i atau kehilangan kemampuan mendengar pada telinga (tuna rungu, tuli). Ahwal digambarkan dalam kamus bahasa Arab merupakan bentuk kelainan mata seperti juling.  A’sam adalah berarti pinjang karena ada kelonggaran dalam sendi kaki. Ahrad adalah gangguan yang terjadi pada kaki sehingga membuat pemilik kaki berjalan pincang. Asyall adalah mushab fi ‘udhwin min a’dha’ihi bi al-syalal yaj’aluhu ‘ajizan ‘an al-harakah yang berarti penyakit di bagian tubuh yang membuat anggota tubuh tak mampu bergerak (lumpuh).

Demikian ulasan singkat tentang ulama ahli hadis yang mengalami disabilitas. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita serta menyadari bahwa sejatinya tiada orang yang sempurna. Para ahli hadis merupakan manusia biasa yang sebagian di antara mereka adalah penyandang disabilitas. Baik fisik maupun intelektual.

Download Buku PDF HADIS NABI DALAM RUANG SOSIAL Teks, Penafsiran, dan Penggunaannya

  “Text is power.” Itu adalah salah satu kutipan yang saya dapatkan dari sebuah diskusi. Teks disandingkan dengan ekonomi dan militer seba...