Oleh: M. Khoirul Huda
Pendahuluan
Bangsa-bangsa kepulauan Nusantara telah mengenal praktik
tarekat sejak awal kedatangan Islam pada sekitar abad ke-15. Hal ini karena
para penyebar Islam awal Nusantara pada umumnya merupakan penganut aliran
tarekat.
Sebut saja Nur al-Din al-Raniri yang pernah menjadi
penasihat raja-raja Aceh. Al-Raniri adalah seorang habaib yang berasal dari
India. Sebagaimana tradisi keluarga Alawiyyin, beliau menganut tarekat
Alawiyyah. Demikian pula para tokoh yang menyebarkan Islam di Jawa yang dikenal
dengan sebutan Wali Songo. Dalam catatan Alwi Shihab dan Umar Ibrahim, sembilan
wali itu merupakan para sayid keturunan Arab-Hadhramaut. Al-Raniri dan Wali
Songo adalah contoh peran penting keluarga Alawiyyin dalam menyebarkan Islam di
kepulauan Nusantara.
Pada abad ke-18, keluarga ini berdiaspora menyeberangi
samudra menuju kota-kota di sepanjang pantai Samudera Hindia. Sejak dari pantai
timur Afrika hingga pelabuhan-pelabuhan di India, Aceh, Malaka, dan Jawa.
Mengenai motif penyebaran kaum Alawiyyin ini, para sarjana
berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa migrasi itu terkait dengan urusan
bisnis perdagangan. Kalau toh ada praktik penyebaran agama, itu sekadar untuk
memperlancar urusan dagang mereka. Hal ini seperti digambarkan oleh Van den
Bergh dalam bukunya yang terkenal Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes Dans
I’archipel Indien (Arab Hadhramaut di Kepulauan Hindia). Dia menyebut
orang-orang Arab sebagai broker haji, pedagang minyak, dan kadang-kadang lintah
darat. Sarjana lain berpandangan bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk
menyebarkan agama.