Minggu, 11 Januari 2015

Transendensi Citra Nabi dalam Kitab al-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mustafa Karya Al-Qadhi Iyadh


Ada empat cara bernalar yang dimainkan dalam kitab ini, yaitu nalar atau logika transendental, sublimasi, diferensiasi dan terakhir logika kuasa (power).  

Rabu, 07 Januari 2015

Hadis-Hadis Ghadirkhum: Ungkapan Kasih Sayang Atau Keputusan Politik?



Islam hingga saat ini memiliki dua wajah. Sunni dan Syiah. Perbedaan Sunni dan Syiah pada mulanya berhubungan dengan masalah politik. Perbedaan sikap politik ini kemudian melahirkan tafsir agama yang berbeda. Sebagian orang bahkan berpendapat bahwa perbedaan yang ada sudah menyangkut hal-hal yang fundamental dalam agama. Yaitu soal keyakinan. Akidah. Karenanya, menurut pandangan ini, Sunni dan Syiah sama sekali tidak dapat disatukan. Keduanya seperti dua agama yang berbeda. 

Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa masih ada kesempatan mengubah wajah sejarah masa depan. Sekalipun penuh tantangan, upaya ‘integrasi’ harus tetap dilanjutkan. Ada banyak celah yang dapat dimanfaatkan. Kalau tidak dapat disatukan, paling tidak ada upaya untuk mendekatkan satu sama lain. Inilah proyek taqrib baina al-madzahib

Kembali kepada asal mula perbedaan Sunni dan Syiah, disinyalir kuat bersumber dari perbedaan sikap politik. Sikap politik kedua kelompok yang paling fundamental berbeda adalah mengenai mekanisme pengangkatan kepala Negara. Bagi kaum Sunni, Negara merupakan suatu organisasi sosial yang dibuat berdasarkan konsensus (ijma). Konsensus itu sendiri harus berorientasikan kebajikan publik (maslahat). Pandangan ini berbeda dengan kaum Syiah berpendapat bahwa Negara merupakan persoalan prinsipil yang harus ditegakkan berdasarkan penjelasan dari Nabi saw. (nash).[1]
 
Sebagian orang menduga bahwa nash yang dimaksud orang-orang Syiah adalah hadis-hadis yang mengisyaratkan pengangkatan Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Ghadirkhum. Peristiwa tersebut terjadi setelah Nabi saw. beserta para sahabat hendak kembali ke Madinah. Usai Haji Wada. Di perjalanan, antara Mekah dan Madinah, Nabi saw. menginstruksikan berhenti di suatu lembah bernama Ghadirkhum. Pada kesempatan itu, Nabi saw. mendengar desas-desus dari sebagian orang yang mengeritik Ali bin Abi Thalib saat menjadi pejabat di Yaman. Intinya, mereka tidak menyukai kepemimpinannya. 

Nabi saw. berdiri di samping Ali bin Abi Thalib. Beliau menyampaikan khutbah singkat tentang masalah tersebut. Dalam khutbahnya, potongan kalimat yang kemudian diingat oleh banyak orang adalah, man kuntu maulahu fa aliyyun maulah (barang siapa yang menjadi maula-ku, maka Ali adalah maula bagi dirinya). 

Nabi saw. wafat beberapa waktu kemudian. Dimulailah perselisihan pendapat di kalangan sahabat. Selama tiga generasi pemimpin, masalah internal umat Islam dapat diselesaikan dengan kesepakatan. Namun pada masa pemimpin ketiga dan keempat, sepertinya tidak demikian. Pada masa Ali bin Abi Thalib gerakan protes menjadi semakin kuat. Dan terjadilah perang saudara. Yang paling besar dua kali, yaitu perang Jamal dan perang Shiffin. 

Pada perang kedua, Ali bin Abi Thalib mengalami kekalahan dalam sebuah intrik politik. Namun kekuasaannya masih bertahan hingga terbunuhnya beliau beberapa waktu kemudian oleh orang-orang yang tidak puas dengan kebijakannya. Para pendukungnya, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, menggunakan berbagai macam cara agar kepemimpinan tetap berada di tangan kelompok mereka. Keluarga Ali bin Abi Thalib merupakan simbol kepemimpinannya. Karenanya, keluarga Ali mendapat posisi utama dalam pandangan pendukungnya. Terjadi pula ideologisasi pernyataan Nabi saw. dalam konteks ini. Yaitu dengan menggunakannya sebagai alat kampanye mendukung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penyebaran hadis Ghadirkhum oleh sebagian sahabat yang mendukung kepemimpinan Ali. 

Di sini, hadis Ghadirkhum (man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu) menjadi penting dibahas. Ada sejumlah alasan mengapa hadis tersebut menjadi penting. Pertama, hadis Ghadirkhum merupakan kata-kata Nabi saw. yang paling jelas menegaskan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Nabi saw. menggunakan kata maula yang berasal dari kata w-l-y (waliya). Kata ini bisa berarti pemimpin atau orang kesayangan. Makna pertama jelas memiliki implikasi politik bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan pemimpin seluruh umat yang pernah dipimpin Nabi saw. Pengertian kedua, orang kesayangan, menegaskan hubungan yang sangat dalam dan tidak ada implikasi politis sama sekali. 

Download Buku PDF HADIS NABI DALAM RUANG SOSIAL Teks, Penafsiran, dan Penggunaannya

  “Text is power.” Itu adalah salah satu kutipan yang saya dapatkan dari sebuah diskusi. Teks disandingkan dengan ekonomi dan militer seba...