Chairul Huda Muhammad
1.
Pendahuluan
“Pemeluk
agama hanya menjalankan teks-teks suci, sedang para agamawan mengkritisi
ajaran-ajaran suci.” Kutipan ini berasal dari Sholeh UG, penyunting buku Sayap-Sayap
Patah karya Kahlil Gibran, saat memberikan pengantar untuk buku tersebut.
Fenomena ini sudah cukup umum dalam komunitas agama-agama. Kahlil Gibran yang
hidup dalam tradisi Kristen Lebanon memahami betul akan fenomena itu, kemudian
dia tuangkan temuannya tersebut dalam sosok Affandi Karamy dan Pendeta Galib. Affandi
Karamy merupakan seorang kaya yang jujur lagi taat beragama. Sedangkan pendeta
Galib adalah sosok agamawan terkemuka yang cerdas dan mempunyai jaringan luas. Sayangnya,
Gibran menggambarkan sosok terakhir ini sebagai orang yang mudah mencarikan
justifikasi agama, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga maupun
kolega-koleganya. Baiklah, sementara kita kesampingkan narasi sang pujangga di
atas, dan kita beralih pada fenomena “mengkritisi ajaran suci”.
Dalam
konteks masyarakat muslim kontemporer, fenomena mengkritisi “ajaran suci” dapat
diteropong melalui kontroversi penggunaan hermeneutika/semiotika dalam memahami
ajaran suci. Melalui perdebatan yang terjadi di dalamnya, kita dapat menemukan
fenomena ketakutan seseorang akan hancurnya kesucian atau sakralitas agamanya,
selain unjuk gigi atas kepercayaan diri seorang pemeluk agama pada
keyakinannya, pengetahuan dan kepedulian sosialnya. Dua tipikal kaum beragama
semacam ini, sepertinya belum menunjukkan tanda-tanda akan akur. Masing-masing
berjalan menurut keyakinannya sendiri. Mereka yang menerima telah
menindak-lanjuti dalam bentuk produksi karya-karya tentang heremeneutika,
contoh-contoh penggunaannya, dan hasil-hasil pemahaman menggunakan pendekatan
ini. Bahkan, tahap terapan ini telah menjadi suatu gerakan intelektual
tersendiri melalui lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat
lengkap dengan kurikulumnya. Akhirnya, mendiskusikan kontroversialitas
hermeneutika/semiotika dalam memahami ajaran agama sebenarnya telah selesai
dengan sendirinya. Dalam bahasa pesantren, mereka telah sepakat untuk tidak
sepakat. Sepakat untuk berbeda. Lalu, hendak dibawa kemana tulisan ini?
Di
sini, penulis bermaksud menunjukkan argumentasi lain di tengah
kontroversialitas hermeneutika/semiotika melalui telaah maqasidiah. Bukan untuk
menerima atau menolaknya, tapi justru untuk mengukur sejauh mana ia dapat
diterima dan ditolak? Pendekatan maqasidi terhadap isu ini, menurut yang
penulis baca, belum pernah dilakukan oleh para peneliti. Sedangkan untuk urutan
pemahasan, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bab.