Sabtu, 07 Juni 2025

Download Buku PDF HADIS NABI DALAM RUANG SOSIAL Teks, Penafsiran, dan Penggunaannya

 


“Text is power.” Itu adalah salah satu kutipan yang saya dapatkan dari sebuah diskusi. Teks disandingkan dengan ekonomi dan militer sebagai kekuatan sebuah bangsa. Di sinilah saya tertarik dengan cara melihat posisi sebuah teks dalam bingkai yang lebih luas; tidak hanya memahami apa kandungan sebuah teks, tetapi bagaimana teks itu berfungsi dalam sebuah masyarakat yang menggunakannya dengan dilandasi keimanan terhadapnya. 

Ketika sebuah teks lama dikutip dalam suatu konteks yang baru, sejatinya ia didasari oleh sebuah penafsiran baru. Penafsiran terhadap teks lama tersebut tentunya memiliki motif dan motivasinya sendiri; kepentingan yang mendasari, cara menyajikan teks dan penafsiran yang sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan pengutipan. Masyarakat Muslim awam sebagai konsumen informasi tentu tidak dapat membantah informasi yang disajikan dengan kutipan teks suci seperti teks hadis Nabi. Mereka hanya bisa percaya, karena tidak ada pilihan lain akibat keimanannya. Menolak informasi yang diklaim sebagai hadis, akan berakibat pada runtuhnya keimanan. Padahal, sejatinya ia harus dipahami dengan baik terlebih dahulu sebelum diterima. Seperti itulah gambaran teks hadis di dunia kontemporer hari ini yang saya rasakan.

Ketertarikan saya pada isu penggunaan teks tidak dapat dilepaskan dari tempat saya belajar. UIN Jakarta. Selama belajar studi keagamaan, khususnya teks suci Al-Quran dan hadis, pendekatan multidisiplin sangat ditekankan. Eksplorasi terhadap pendekatan-pendekatan yang beragam, khususnya pendekatan ilmu sosial, terhadap teks suci mendorong saya lebih keranjingan. Pada saat menulis skripsi, saya berkenalan dengan disiplin analisis wacana (kritis) atau dalam bahasa aslinya Critical Discourse Analysis (CDA). 

Saat itu, ada judul buku yang sangat saya sukai; Society and Discourse How Social Context Influence Text and Talk karya Teun A. van Dijk. Buku ini, dan buku-buku sejenis, sangat menginspirasi saya. Setelah mengerjakan skripsi itu, saya semakin tertarik untuk mempelajari bagaimana teks hadis dipahami dan digunakan dalam kehidupan sosial. Hadis menjadi salah satu teks favorit yang dikutip dan disebarkan untuk mendukung posisi penggunanya. Terlebih setelah era internet berkembang dalam satu dekade terakhir; aroma kontestasi antara kelompok Islam dan di luar keagamaan Islam semakin kuat. Ini menjadi ruang sosial baru yang mewadahi debat debat klasik tentang bagaimana menjadi orang Islam yang baik; yang diandaikan lebih sesuai dengan teks suci. Dunia maya sedikit banyak merupakan cerminan kondisi sosial di dunia nyata. Buku ini merupakan kumpulann catatan ringan saya saat masih kuliah. Baik di tingkat sarjana maupun magister (2010-2019). 

Saat di Ciputat itu, saya intens mengikuti kajian-kajian hadis, baik klasik maupun modern. Baik di kelas maupun di forum-forum diskusi. Saya mencatatnya sebagai pengingat, penguat pemahaman, dan sesekali untuk memudahkan pencarian referensi ketika dibutuhkan. Saya kira, ini akan menjadi semacam catatan etnografi kajian hadis di Ciputat selama satu dekade belakangan. Dari sudut pandang seorang mahasiswa yang sedang berproses tentunya. Sebagai sebuah catatan pribadi; kumpulan artikel ini saya merefleksikan perjalanan saya sendiri dalam mengompilasi bentuk-bentuk kajian hadis dan ilmu hadis di Indonesia, secara khusus konteks Indonesia. Saya yakin, kenyataan sebenarnya jauh lebih kaya dibanding yang terangkum dalam kumpulan artikel ini. 

Ada empat bagian buku ini meliputi; Pertama, hadis dalam perspektif ilmu hadis klasik. Bagian mendeskripsikan secara singkat perkembangan awal hadis pada era Nabi dan sahabat. Lalu berlanjut sampai era pembukuan hadis. Munculnya komunitas pengkaji hadis, dan lawan debat mereka. Teknik-teknik yang digunakan dalam kajian hadis tradisional, dari metode pengumpulan data (baca: takhrij hadis) sampai metode analisis data (baca: teks hadis). Ini metode pengkajian hadis yang populer di kalangan umat Islam, dulu dan sekarang. Untuk metode takhrij, digunakan metode digital. Baik yang bersifat offline maupun online. Juga disajikan beberapa metode analisis matan; isi dan kandungan hadis. Metode tradisional menganalisis dari perspektif ikhtilaf al-hadits, takwil dan asbabul wurud. Ini tentu tidak bermaksud membatasi keluasan topik metode-metode penelitian hadis tradisional sebagaimana berkembang dalam kesarjanaan Muslim. Sekalipun disebut tradisional, perspektif ini masih sangat relevan bagi dunia kita hari ini. Sama seperti jamu yang sudah bersanding dengan produk-produk kesehatan yang didasarkan kepada sains. Kedua, hadis dalam komunitas akademik Barat. Hadis tidak hanya dikaji oleh para ulama atau sarjana Muslim. Tetapi, juga oleh orang-orang di luar lingkaran umat Islam. 

Sejatinya, ada dua kecenderungan dalam kajian hadis oleh komunitas akademik Barat. Pertama, kecenderungan skeptisis revisionistik yang meragukan otentisitas hadis. Mazhab ini diposisikan sebagai bentuk revisi atas sejumlah pandangan yang umum dalam model kajian hadis Muslim. Metode kritik sejarah biasa digunakan dalam model pengkajian ini. Kedua, kecenderungan revaluatif yang ingin mengevaluasi pandangan-pandangan dalam mazhab resivisionist-skeptis. Mazhab revaluasi –meminjam kategorisasi Jonathan Brown, percaya bahwa metode kritik hadis tradisional cukup memuaskan, bahkan lebih valid dibanding metode kritik  sejarah. Sekalipun demikian, mazhab revaluasi mendekati hadis dengan kajian sejarah dan disiplin lain yang dapat membantu kerja metode tersebut. Selain aliran kesarjanaan dalam dimensi otensitas, sarjana Barat juga melihat hadis dari dimensi penafsiran dan otoritasnya di lingkungan umat Islam. Berangkat dari kerangka ini, akan dibahas tentang Empat Aliran Orientalisme dalam Kajian Hadis di Barat, Kampus Pusat Kajian Islam dan Hadis di Eropa Beserta Tokohnya, Teori Kanonisasi untuk Menelaah Sejarah Shahih Bukhari Menurut Jonathan Brown, Menemukan Intisari Pesan Nabi dalam Hadis, Pemikiran Hadis Fazlur Rahman, Pendekatan Intellectual History dalam Studi Hadis Menurut Daniel Brown, dan Kitab Riyadhus Shalihin: Teks Hadis dan Kontestasi Ideologi Menurut Mark R. Woodward.

Ketiga, hadis-hadis dalam gerakan sosial Islam. Sebagai salah satu teks suci yang dinilai memiliki otoritas mutlak, hadis digunakan untuk memobilisasi dukungan; selain memang diposisikan sebagai inspirasi dan aspirasi. Ini terjadi dalam pergumulan gerakan sosial dan politik Islam. Kelompok yang dalam literatur akademik disebut ekstremisme (plus kekerasan) menggunakan hadis untuk tujuan mobilisasi dukungan ini. Hal ini menempatkan hadis dalam konteks sumber aspirasi politik. Selain posisi itu, teks hadis juga dapat menjadi inspirasi ruhani sebagaimana terjadi di kalangan sufi-muhaddith. Dalam bagian ini akan diulas tentang Hadis Pasukan Panji Hitam dan Penggunaannya dalam Sejarah Politik Muslim Abad Pertengahan, Melacak Asal-Usul Hadis Khilafāh ‘Ala Minhajin Nubuwwah: Otentisitas, Pemaknaan dan Kontestasi Ideologi, Studi Pengutipan Hadis Hijrah dalam Narasi Ekstremisme Kekerasan dan Hadis dan Sufisme, Potret Relasi Dinamis Antara Teks dan Pengalaman Batin Manusia. 

 Keempat, hadis dalam komunitas Muslim kontemporer. Tidak seketat pada bab sebelumnya, pembahasan dalam  bagian keempat ini terkait dengan isu yang populer di masyarakat Muslim Indonesia; sebagaimana tercermin secara khusus melalui narasi keagamaan di internet. Dalam bagian terakhir ini akan ditampilkan Kajian Hadis Pemimpin Harus Dari Suku Quraisy, Asal-Usul dan Penggunaannya, Hadis-Hadis Tentang Berjabat Tangan, Budaya Islami Sejak Zaman Nabi, Asbabul Wurud Hadis Mengubah Kemungkaran dengan Tangan, Bergembira Menyambut Ramadhan, Inilah Dasar Anjurannya dalam Hadis Nabi, Hadis Summu Sanatin, Covid-19 dan Narasi Anti-Vaksin, Konsep Wajibnya Beramal dengan Hadis Shahih Menurut Syekh Al-Albani, Mengapa Kontroversial?, Membincang Hadis Makan Sahur Saat Azan Sudah Berkumandang, Pendapat Ulama tentang Hadis Hubbul Wathan Minal Iman, Hadis Shahih Tentang Jihad Melawan Nafsu, Asal-Usul Hadis Anjuran Membaca Bismillah, Menguak Kualitas Hadis Pasukan Panji Hitam, Inilah Kualitas Hadis Dunia Penjaranya Mukmin dan Surganya Kafir, MenelaahTentang Asal-Usul Hadis Arwah Mengunjungi Keluarga, Hadis Tidur Membatalkan Wudhu dalam Kitab Bulughul Maram Dhaif, Kok Dijadikan Hujjah?, Hadis Shahih Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban, Makna Hadis Semua Bi’ah Adalah Sesat Menurut Imam Al-Syafi’I, Bergembira Menyambut Ramadhan, Inilah Dasar Anjurannya dalam Hadis Nabi, Asbabul Wurud Hadis Mengubah Kemungkaran dengan Tangan, Benarkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW Adalah Orang Kafir, dan Di Mana Roh Orang Ditempatkan Setelah Mati.

Demikian sedikit pengantar untuk buku kumpulan artikel ini. Tentu saja karya ini sangat banyak mengandung kekurangan. Karena itu, masih membutuhkan pengkayaan lebih lanjut dari orang-orang yang punya konsern dalam kajian hadis. Saya akan sangat beruntug jika semakin banyak orang turut mendiskusikan isi buku ini secara konstruktif.


Judul Buku          : HADIS NABI DALAM RUANG SOSIAL Teks, Penafsiran, dan Penggunaannya

Penulis                : M. Khoirul Huda

Penerbit              Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhori

Tahun Terbit       : Juli, 2022

Jumlah hlm.        : xiv+332

Download di sini: Hadis dalam Ruang Sosial: Teks, Penafsiran dan Penggunaannya 

Selasa, 15 April 2025

KONTRIBUSI KOMUNITAS NU DALAM ISU KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

M. Khoirul Huda

Abstrack

This article discusses the contribution of the Nahdlatul Ulama (NU) elite in environmental sustainability issues in Indonesia during 1980-2015. Using the historical idea method, the author analyzes a number of documents and finds that evolutionarily, NU elites have been involved and made important contributions to environmental preservation. At least, there are three main contributions. First, the development of environmental fiqh thinking that is moral-ethical in nature about the necessity of preserving the environment. Two key NU figures who represent this spirit are KH. Ali Yafie (Rais Amm 1991-1992) and KH. Sahal Mahfudz (1999-2014). Second, raising Islamic boarding school scholars to create environmental sustainability discourses in the perspective of Islamic tradition. The Bahsul Masail study forums that characterize NU are filled with environmental issues. Both kiai caretakers and Islamic boarding school students are familiar with the issue of environmental sustainability. The climax is the emergence of calls for environmental jihad (jihad al-bi'iyyah). Third, the formation of environmental institutions in the organizational structure of NU. This contribution shows that religious groups can play an important role in spreading the idea of environmental sustainability. This finding is in line with the findings of Palmer and Finlay (2003), Barclay (2007) WWF (2010) regarding the effectiveness of religious communities in transmitting environmental preservation insights. 

Keywords: NU, contribution, sustainability, environment

Jumat, 26 Agustus 2022

Kitab Kuno Tentang Disabilitas yang Ditulis Ulama Klasik, Kisah Para Pemimpin Lepra dan Buta

 

Sebagian orang berfikir bahwa kesarjanaan Muslim kurang menaruh perhatian terhadap isu disabilitas. Ada asumsi yang dikembangkan bahwa hal itu karena sumber utama Islam, Al-Quran dan Hadis, tidak memberikan penekanan yang cukup untuk memperhatikan isu ini. Setidaknya, Al-Quran dan Hadis tidak punya istilah yang setara dengan disabilitas. Hal ini berakibat pada sulitnya mengakses informasi dan pandangan kedua teks suci tersebut mengenai penanganan disabilitas.

Asumsi ini kurang tepat karena ada cukup banyak nomenklatur yang mengarah kepada bentuk-bentuk disabilitas yang kita temukan dalam Al-Quran dan Hadis. Al-Barash, al-judzam, tha’un, jarab, hashbah, dan judari adalah beberapa istilah dalam hadis Nabi SAW. Sedangkan Al-Quran menyebut umyun (kebutaan), summun (tuli),  bukmun (bisu), a’raj (pincang), dan lainnya. Al-Quran dan Hadis menyajikan sejumlah panduan etis bersinggungan dengan orang dengan disabilitas, buta misalnya. Al-Quran mengajarkan bahwa hendaknya kaum beriman tidak keberatan makan bersama penyandang disabilitas mata (Qs. An-Nur: 61).

Secara umum, para sarjana kontemporer berbeda pendapat apakah Al-Quran memiliki sikap positif terhadap disabilitas atau sebaliknya. Majid Turmusani menilai bahwa Al-Qur’an mengadopsi sikap negatif terhadap penyandang disabilitas. Berbeda dengan Rispler-Chaim yang menyatakan bahwa ayat-ayat yang digunakan Majid Turmusani merujuk pada cacat secara metaforis. Bukan arti harfiah. Namun, dia menyimpulkan bahwa masih belum pasti dalam pandangannya apakah ayat-ayat ini merujuk pada cacat nyata atau metafora.

Terlepas dari bagaimana teks sumber utama Islam menggambarkan atau dikesankan menggambarkan tentang disabilitas, pada kenyataannya, para ulama Muslim ada yang mendedikasikan hidupnya untuk mengkomplilasi berbagai hal tentang disabilitas. Hal ini seperti dapat dilihat dalam sejumlah karya tulis (kitab) yang membahas disabilitas dalam perspektif tradisi Islam.

Di sini, penulis akan memaparkan kitab yang ditulis para ulama klasik dan berkaitan dengan isu disabilitas dalam Islam. Ketiganya adalah al-Burshan wa al-‘Arajan wal ‘Umyan wal Hulan karya Al-Jahizh (w. 255 H.) dan Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan karya Shalahuddin al-Shafadi (w. 764 H.).

Al-Burshan wa al-‘Arajan Wal ‘Umyan, Ensiklopedi Pertama Para Penyandang Disabilitas Sukses  

Penulis kitab ini bernama lengkap Abu Utsman Amr bin Bahr al-Jahizh (150-255 H.). Ia adalah orang Basrah, Irak. Ia dikenal sebagai seorang teolog Muktazilah, zoologis, sastrawan dan budayawan era Abbasiyah. Ia menulis dalam banyak bidang.

Karyanya yang berbicara tentang disabilitas adalah Al-Burshan Wa al-‘Arajan Wa al-‘Umyan Wa al-Hulan (Para penderita lepra, pincang, kebutaan dan juling). Al-Jahizh merupakan penulis yang punya kebiasaan menulis kitab untuk dihadiahkan kepada orang-orang besar pada zamannya. Namun tidak diketahui untuk siapa ia menulis buku ini. Al-Burshan berarti orang-orang yang mengalami penyakit belang akibat lepra. Berbagai bentuk penyakit diulas dalam kitab ini. Al-Jahizh sendiri sebenarnya adalah seorang penyandang disabilitas. Ia mengalami paralisis atau kelumpuhan total pada tubuhnya. Dikisahkan, ia wafat di perpustakaan pribadinya setelah tertimpa tumpukan buku. Sebutan al-Jahizh sendiri berarti orang yang kedua matanya keluar (penyakit eksoftalmus). Disabilitas yang dialaminya sering membuatnya menjadi bahan olok-olokan orang.

Al-Jahizh menyusun kitab ensiklopedi disabilitas bukan untuk mendiskreditkan para penyandangnya. Bahkan, ia bertujuan untuk menghadirkan gambaran yang baik (positif) terhadap para penyandang disabilitas dan menunjukkan bahwa penyakit yang mereka derita tidak dapat menjadi penghalang antara mereka dan orang-orang yang mulia atau kemuliaan. Al-Jahizh menghadirkan syair Arab kuno dan kontemporer untuk memperkuat pandangannya. Bahkan, menunjukkan bahwa sebagian penyakit dapat menjadi sumber kemuliaan, pujian dan idolaisasi.

Misalnya, ia menghadirkan pembahasan berjudul wa minal burshan al-ladzina fakharu bil barash (Orang yang bangga dengan penyakit lepranya), min man fakhira bil barash min al-ru’asa wal-syu’ara’ (pemimpin dan seniman yang berbangga dengan bekas lepra), minal burshan al-sadah wal-qadah (orang lepra yang menjadi pemimpin). Al-Jahizh mencatat nama-nama tokoh besar pada masa lalu dan pada zamannya yang bangga dengan lepranya. Penghadiran nama-nama tokoh besar menunjukkan bahwa disabilitas akibat penyakit lepra bukan penghalang untuk mendapatkan posisi yang sejajar di masyarakat. Terbukti, bahwa ada orang-orang besar yang bertahan dengan lepra dan mereka menjadi pemimpin di masyarakatnya. Mereka berasal dari golongan politisi, sastrawan, panglima perang, ilmuwan dan ahli hadis, dan lainnya.

Bagian kedua kitab ini berbicara tentang orang-orang yang mengalami disabilitas fisik berupa kepincangan (al-‘arajan). Al-Jahizh menghadirkan nama-nama tokoh besar dari kalangan politisi, sastrawan, ulama, petapa (zahid), dan bangsawan-bangsawan pincang. Uniknya, al-Jahizh mencoba menghadirkan keindahan pincang dengan menjelaskan berbagai jenis pincang, kemiripannya dengan keindahan hewan-hewan tertentu. Mengingat Al-Jahizh adalah seorang zoologis, tidak heran gambarannya tentang disabilitas pincang berhasil mengubah perspepsi negatif tentang pincang.

Selanjutnya, kitab al-Burshan wal-‘Arajan menyajikan berbagai macam jenis postur tubuh, ukuran anggota tubuh yang ideal, ragam cara berjalan, dan jenis-jenis penyakit yang dikenal pada zamannya. Ulasan seputar kebutaan dan kejulingan tidak begitu banyak. Ulasannya tentang kebutaan berkaitan dengan upaya membangun sikap positif terhadap ‘kekurangan’ ini. Hal ini karena kebutaan adalah penyakitnya orang-orang mulia. Dalam ulasan tentang Al-‘Umyan al-Asyraf (para tokoh besar tuna netra), al-Jahizh menyebutkan di antara tokoh besar yang buta adalah: Nabi Syuaib, Abdul Muthallib bin Hasyim, Abbas bin Abdul Muthallib, Abdullah bin Abbas, Abu Sufyan bin Harb, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Arqam, Al-Hakam bin Abil Ash, Al-Harits bin Abbas, Utban bin Malik, Amr bin Ummi Maktum, al-Bara’ bin ‘Azib, Ka’b bin Malik, Hissan bin Tsabit, Abdullah bin Abi Aufa, Qatadah bin Nu’man, Abu Abdurrahman al-Sulami, dan Abu Usaid al-Sa’idi.

Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan: Ensiklopedi Disabilitas Mata Terlengkap

Kitab Naktu al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Ada yang mengejanya “naktsu al-humyan”. Nama ini berarti mengeluarkan sesuatu dari kantong, tentang biografi para tuna netra dalam sejarah Islam. Kitab ini disusun oleh Shalahuddin Khalil bin Ubaik bin Abdullah Al-Shafadi (w. 764 H./1363 M.). Seorang yang berasal dari kawasan Shafad, Palestina. Ia hidup pada era Kesultanan Mamluk. Gurunya adalah ulama-ulama Sunni berpengaruh seperti Taqiyyuddin Al-Subki (w. 756 H.), Badruddin Ibnu Jama’ah (w. 733 H.), Al-Mizzi (w. 742 H.), Al-Dzahabi (w. 742 H.), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H.).

Tentang kitab ini, situs al-Warraq mencatat: tarjama fihi al-shalah al-shafadi li masyahiri al-‘umyan mundzu al-jahiliyyah wa hatta ‘ashrihi murattaban ‘ala huruf al-mu’jam, wa ja’ala lahu ‘asyra muqaddimat tanawala fiha al-‘ama min mukhtalaf al-nawahi al-lughawiyyah wa al-thibbiyyah wa al-adabiyyah wa ma yata’allaqu bi dzalika min al-ahkam (Shalahuddin Al-Shafadi menulis profil orang-orang terkenal yang tuna netra. Sejak era jahiliyyah hingga zaman ia hidup. Kitabnya disusun berdasarkan urutan abjad. Dalam pengantar, ia membuat puluhan sub bab yang menjelaskan berbagai segi kebutaan seperti aspek bahasa, kesehatan, sastra dan hal-hal yang berhubungan dengan hukum).

Seperti disebut di atas, kitab ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama merupakan pengantar. Pengantar ini memiliki 10 sub bab yang menjelaskan kebutaan dari berbagai aspeknya; mulai dari bahasa, kesehatan, sastra hingga hukum. Bagian kedua membahas tentang biografi para tokoh besar dalam sejarah yang mengalami kebutaan.

Motivasi penulisan kitab ini adalah dorongan dari para tamu dalam forum kajian yang disampaikan Al-Shafadi. Dimana ia telah membaca karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H.), Al-Khathib al-Baghadi (w. 463 H.) dan Ibnul Jauzi (w. 597 H.) tentang daftar tokoh-tokoh besar yang tuna netra. Para tokoh itu adalah para nabi, leluhur dan keluarga Nabi, sahabat dan para ulama setelahnya. Para tamu mendorong Al-Shafadi untuk mengumpulkan lebih banyak lagi tokoh-tokoh tuna netra dalam sejarah Islam. Ia menyanggupi permintaan itu.

وجرى يوماً في بعض اجتماعاتي بجماعة من الأفاضل ذكر فصل استطردت بذكره في شرح لامية العجم. ذكرت فيه جماعة من أشراف العميان، قال لي بعض من كان حاضراً: لو أفردت للعميان تصنيفاً تخصّهم فيه بالذكر، لكان ذلك حسناً. فحداني ذلك الكلام، وهزّت عطفي نشوة هذه المدام، على إن عزمت على جمع هذه الأوراق، في ذكر من أمكن ذكره أو وقع إليّ خبره وسميته: نكت الهميان في نكت العميان

Pada suatu hari terjadi pertemuan antara saya dengan perkumpulan orang-orang terhormat, saya menyampaikan sebuah bab pembahasan kitab Syarah Lamiyah al-‘Ajam. Saya menyebut di dalamnya ada segolongan orang-orang terhormat “Asyraf” yang tuna netra. Sebagian orang yang hadir berkata kepada saya, “Sebaiknya anda menyendirikan pembahasan tentang tokoh-tokoh tuna netra secara khusus. Niscaya itu bagus.” Perkataan itu mendorong aku. Menggoncang perasaanku. Saya bertekad untuk mengumpulkannya dalam lembaran kertas sebanyak mungkin daftar tokoh yang bisa disebut atau diketahui informasinya. Saya menamai kitab ini dengan “Naktu al-Humyan fi Nakti al-‘Umyan”. (hlm. 8).

Salah satu kisah yang dihadirkan tentang kebutaan adalah kisah tentang kekejaman intrik politik era Abbasiyah. Setidaknya, ada dua orang khalifah Abbasiyah yang berakhir dengan disabilitas. Ibrahim bin Ja’far Abu Ishaq al-Muttaqi Lillah bin al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid (297-357 H.). Ia naik tahta pada tahun 329 H. Menggantikan saudaranya, Al-Radhi Billah. Ia lalu diturunkan pada tahun 333 H. Ia pernah kabur hendak ke Mesir, namun tertangkap di Raqqah, Suriah.

Ia dibujuk oleh Jenderal Turki bernama Tuzun. Tuzun berjanji tidak akan mencelakakannya. Tuzun ingkar janji. Setelah sampai Baghdad, Tuzun menangkap Ibrahim bin Ja’far. Mata Ibrahim bin Ja’far dibutakan namu tidak membunuhnya. Jenderal Tuzun mengangkat adik Ibrahim bin Ja’far yang bernama al-Mustakfi Billah (w. 338 H.) sebagai khalifah. Di kemudian hari, Al-Mustakfi Billahi dikhianati oleh Jenderalnya yang lain, yaitu Muizzud Daulah Ahmad bin Buwaih. Al-Mustakfi Billah ditangkap dalam sebuah intrik, dipenjara di istananya sendiri, lalu dibutakan matanya. Ia meninggal setelah empat tahun disekap dalam istana. Jadi, ia menjabat sebagai khalifah dari 333-334 H. Hanya setahun. Ia lebih cepat meninggal dibanding saudaranya.

Kisah tragis di balik disabilitas yang disandang sang khalifah. Disabilitas yang timbul akibat pengkhianatan para jenderal. Para khalifah, yang saat ini digambarkan oleh sebagian kelompok Muslim sebagai era paling indah dalam sejarah Islam, menyimpan beragam intrik politik yang kejam. Kita juga tahu pada akhirnya, bahwa penguasa sebenarnya bukanlah para pemimpin tertinggi dalam sebuah negeri. Tetapi, para jenderal di lingkaran istana.

Demikian ulasan tentang dua kitab mengenai disabilitas dari era kuno Islam. Satu dari abad ketiga hijriah. Satu lagi dari abad keempat belas hijriah. Semoga bermanfaat.

Macam-Macam Disabilitas yang Dialami Ulama Ahli Hadis

Para penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia. Menurut data World Healt Organization (WHO), jumlah kelompok disabilitas mencapai 650 juta penduduk dunia. Kebanyakan berada di negara-negara berkembang. Jumlah ini akan semakin membengkak di masa depan bersamaan dengan tumbuhnya kelompok lanjut usia (lansia) dimana mereka akan mengalami proses degradasi kesehatan secara bertahap. Pada akhirnya, mereka juga akan menjadi bagian dari kelompok disabilitas.

Kelompok disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang rentan mengalami diskriminasi. Hal ini menjadi perhatian dunia internasional sejak tiga dekade belakangan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi sejak 1971 yang mengupayakan perbaikan situasi bagi para penyandang disabilitas.

Resolusi itu mendapat dukungan dari negara-negara Muslim. Kuwait misalnya, mencanangkan deklarasi Arab tentang bekerja bersama kaum disabel (Arab Declaration on Work with the Disabled) pada tahun 1981. Dilanjutkan dengan Konferensi Regiola Kesehatan Jiwa dalam Beragam Kitab Hukum, khususnya hukum Islam pada tahun 1997. Pada 2001, dilaksanakan Konferensi Regional bertema “Rehabilitasi Disabilitas dan Kepedulian untuk Lansia di dunia Islam: Strategi untuk menghadapi abad 21” yang diselenggarakan oleh Dewan Dunia Islam untuk Disabilitas dan Rehabilitasi yang berpusat di Khartoum, Sudan. Selanjutnya, negara-negara Islam mulai mengembangkan kebijakan khusus untuk menangani isu disabilitas.

Para sarjana Muslim juga mulai menggali khazanah pengetahuan dan kebudayaan Islam untuk menemukan alternatif-alternatif penanganan disabilitas yang berkeadilan. Sebagai misal, mulai diperkenalkan istilah fiqh disabilitas yang pada tahun 90-an disebut dengan istilah fiqh al-i’aqah wal mu’awwaqah. Studi-studi tentang bagaimana Islam merespon isu disabilitas mulai dilakukan terhadap sumber-sumber ajaran Islam, sejarah dan kebudayaan, serta praktik yang pernah ada di dunia Islam.

Mohammed Morad, Yusuf Nasri, dan Joav Merrick mempublikasikan artikel mereka tentang “Islam and the Person with Intellectual Disability” (2001). Majid Turmusani menulis artikel jurnal “Disabled Women in Islam: Middle Eastern Perspective” (2001). Maysaa S. Bazna dan Tarek A. Hatab mempublikasikan tulisan mereka berjudul “Disability in the Qur’an: The Islamic Alternative to Defining, Viewing, and Relating to Disability” (2005). Mohammed Ghaly melalui karyanya yang merupakan disertasi berjudul “Islam and Disability Perspectives in theology and jurisprudence” (2010). Kristina L. Richardson menulis Difference and Disability in the Medieval Islamic World Blighted Bodies (2007). Darla Schumm dan Michael Stoltzfus mengeditori buku berjudul Disability in Judaism, Christianity, and Islam Sacred Texts, Historical Traditions, and Social Analysis (2011). Sara Scalenghe menulis Disability in the Ottoman Arab World, 1500–1800 (2014). M. Khoirul Huda menulis Para Ahli Hadis Difabel (2015). Khairunnas Jamal, Nasrul Fatah, dan Wilaela menulis “Eksistensi Kaum Difabel Dalam Perspektif Al-Qur’an” (2017). Muhammad Alfatih Suryadilaga “Disability and the Quest for Authority in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari” (2019). Kabira Masotta menerbitkan karyanya “Disability in Islam: a Sufi perspective” (2021).

Jauh sebelum para sarjana islamic studies modern menulis karya tentang disabilitas di dunia Islam, tokoh seperti Al-Shafadi (w. 764 H.) telah menulis Nukats al-Humyan fi Nukat al-‘Umyan. Al-Jahizh  (w. 255 H.) menulis al-Burshan wal urjan wal-umyan wal haulan. Kedua karya ini dinilai sebagian sarjana sebagai karya orisinal.  Beberapa abad berikutnya Ibn Fahd (w. 1547)  menulis kitab Al-Nukat al-Ziraf fi al-Mau‘izhah bi Dzawi al-‘Ahat min al-Asyraf.

Apa Itu Disabilitas?

Disabilitas yang diambil dari kata dis-ability berarti ketiadaan kemampuan. Hal ini merujuk kepada kondisi seseorang yang memiliki kekurangan, terutama secara fisik dan mental. Kekurangan fisik dan mental itu sendiri memiliki banyak faktor dan ragam. Umumnya, hal itu akan menghambat aktifitas dan membuat penyandangnya tertinggal dari kelompok masyarakat yang dinilai ‘normal’.  Faktor disabilitas dapat berupa faktor bawaan lahir dan dapat pula berupa akibat penyakit atau sebuah insiden yang berakibat fatal.

Dalam bahasa Indonesia, disabilitas pada mulanya disebut “penyandang cacat” seperti dalam UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Ini menimbulkan kekurangnyamanan sehingga diusulkan diganti dengan penyandang ketunaan. Tetapi, pada akhirnya pemerintah mengubah istilah ini menjadi penyandang disabilitas seperti tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam bahasa Arab modern, disabilitas disebut dengan sejumlah istilah seperti I’aqah, ta’wiq, mu’awwaq, dzawu al-ihtiyaj al-khassh, al-fi’ah al-khassh dan al-afrad ghairu al-‘adiyyin. Dalam bahasa Arab klasik disebut dzawul ‘ahat dan ahlul a’dzar. Dalam literature klasik, sebenarnya tidak ada istilah khusus untuk menyebut disabilitas. Biasanya, digunakan nama-nama penyakit yang diidentifikasi berdampak pada disabilitas bagi para penyandangnya; seperti syalal, khabal, ‘araj, dan zamin untuk penyakit fisik. Majnun, ahmaq, ma’tuh, dan akhraq untuk yang mengalami gangguan mental. Istilah Ama’, shamam, dan kharas digunakan untuk menyebut gangguan indera.

Sebagian sarjana memandang bahwa Al-Quran tidak memiliki konsep umum tentang disabilitas; karena itu, kita perlu mengidentifikasi kata-kata tertentu yang mengetahui pandangan Al-Quran tentang isu ini. Demikian pula dalam hadis-hadis Nabi SAW yang belum diketahui konsep umum untuk menyebut disabilitas ini. 

Ulama Hadis dan Disabilitas

Dalam literatur yang telah disebut di atas, para sarjana telah menggali bagaimana perspektif Islam terhadap disabilitas. Baik dalam perspektif teologis, hukum, maupun sejarah. Demikian pula kajian disabilitas di dunia Islam sebagai sebuah praktik.

Saya telah menulis buku kecil berjudul Para Ahli Hadis Difabel (2015), namun lebih menyoroti para ahli hadis tuna netra. Sedangkan Alfatih Suryadilaga menulis “Disability and the Quest for Authority in Hadith: A Study Ibn Abbas dan Imam al-Bukhari” (2019). Kedua tulisan ini sepakat bahwa disabilitas bukan penghalang untuk terlibat dan berkontribusi dalam kesarjanaan hadis serta menjadi otoritas di bidang ini. Saya menemukan dalam kitab rijalul hadis (biografi para perawi), ada puluhan perawi yang berstatus penyandang disabilitas mata. Alfatih mencatat bahwa ahli hadis terkemuka, Imam al-Bukhari, dan sahabat Nabi yang dikenal sebagai rujukan Ibnu Abbas, keduanya adalah penyandang disabilitas.

Dalam konteks ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk menyadari bahwa ternyata keterlibatan para penyandang disabilitas dalam pengembangan kesarjanaan hadis lebih luas dibanding yang sudah dikaji. Dalam kitab-kitab rijalul hadis, kita dapat menemukan lebih banyak jenis disabilitas yang dialami para ahli hadis klasik. Diketahui sejumlah nomenklatur seperti ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham yang ternyata merupakan kategori disabilitas. Karena itu, kata kunci untuk menelusuri lebih jauh keberadaan para ahli hadis difabel dapat semakin diperluas.

Sebenarnya, para ulama telah mengompilasi daftar para perawi difabel. Misalnya, Syekh Shalahuddin al-Ala’i (w. 761 H.) menyusun satu kitab khusus tentang para perawi yang mengalami ikhtilath (gangguan ingatan yang berdampak pada bercampurnya riwayat) berjudul Al-Mukhtalithin. Kitab ini memuat sebanyak 46 orang perawi yang diidentifikasi sebagai disabilitas jenis ini. 

Setelahnya, Al-Hafizh Burhanuddin Sibthu Ibnul Ajami (w. 841 H.) mengembangkan kitab tersebut dengan menambahkan daftar para ahli hadis difabel intelektual menjadi 123 orang dalam kitab al-Ightibath Bi Man Rumiya Min al-Ruwah Bi al-Ikhtilath. Dalam kitab ini, Ibnul Ajami mencatat pada urutan terakhir, ahli hadis yang menjadi difabel intelektual adalah seorang ulama perempuan bernama Sakan binti Abdullah (w. 785 H.). Ia dikenal dengan gelar Qathrun Nabat. Ia adalah bekas budak Jamaluddin Muhammad bin Ali bin Abdun Nur al-Syadzili. Ibnul Ajami mencatat bahwa Sakan binti Abdullah mengalami difabel intelektual pada masa tuanya, sebelum ia meninggal dunia dan dimakamkan di Kairo, Mesir. Ini merupakan fenomena disabilitas yang dialami lansia pada umumnya.

Disabilitas Fisik dan Intelektual

Para ahli hadis, seperti komunitas lain di dunia manusia, ada yang mengalami disabilitas fisik dan ada pula yang mengalami disabilitas intelektual. Gangguan intelektual misalnya dapat ditemukan pada para perawi yang mengalami ghaflah, ikhtilath, dan wahm/auham. Sedangkan gangguan disabilitas fisik dapat ditemukan pada para perawi yang diidentifikasi sebagai a’raj, ashamm, ahrad, ahwal, a’sam, dan asyall.

Auham: Jenis Disabilitas Paling Banyak Dialami Ahli Hadis

Dengan menggunakan kata kunci “auham”, kita akan menemukan dalam kitab Taqrib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, sebanyak 87 orang ahli hadis menderita jenis disabilitas ini. Jumlah ini lebih banyak dibanding yang mengalami fenomena ghaflah maupun ikhtilath. Ghaflah hanya ditemukan menimpa 7 orang. Sedangkan ikhtilath, seperti disebut sebelumnya, menimpa sebanyak 123 berdasarkan kitab Al-Ightibath. Sedangkan berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib, terdapat 22 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa auham adalah jenis disabilitas paling banyak menimpa para ahli hadis.

Auham merupakan bentuk jamak dari kata wahm. Wahm secara bahasa berarti situasi ketika hati seseorang memutuskan sesuatu tetapi sebenarnya ia menghendaki pilihan lain (ma sabaqa ilaihi al-dzihnu ma’a iradati ghairihi). Dalam terminologi ilmu hadis wahm berarti kesalahan kecil dalam periwayatan hadis. Jika ia melakukan banyak kesalahan kecil, maka para ahli hadis akan menyebut seorang perawi sebagai lahu auham (dia memiliki banyak kesalahan kecil). Dalam posisi ini, terkadang seorang perawi diturunkan kualifikasinya; dari tsiqah (terpercaya) menjadi shaduq (banyak benarnya). Jika tsiqah dapat membuat sebuah hadis berkualitas sahih, maka shaduq menurunkannya menjadi bernilai hasan.

Disabilitas Fisik di Kalangan Ahli Hadis: Kasus A’raj dan Ashamm

Disabilitas fisik memiliki empat macam kelainan: Kelainan tubuh (tuna daksa), indera penglihatan (tuna netra), pendengaran (tuna rungu), dan bicara (tuna wicara). Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

 Di kalangan ahli hadis, disabilitas fisik merupakan fenomena yang banyak dijumpai. Berdasarkan kitab Taqrib al-Tahdzib, ditemukan sejumlah kategori disabilitas fisik seperti a’raj, ashamm, ahwal, a’sam, ahrad, dan asyall. Ditemukan mereka yang menderita a’raj sebanyak 31 orang perawi. Ashamm sebanyak 17 orang. Ahwal 15 orang. A’sam 1 orang, ahrad 1 orang, asyall 4 orang.

Para ulama ahli hadis yang mengalami al-a’raj ditemukan sebanyak 31 orang. Al-A’raj berarti orang yang kakinya bermasalah sehingga membuatnya terpincang-pincang saat berjalan. Ashamm yang secara statistik berada di urutan kedua setelah a’raj, berarti faqid al-sam’i atau kehilangan kemampuan mendengar pada telinga (tuna rungu, tuli). Ahwal digambarkan dalam kamus bahasa Arab merupakan bentuk kelainan mata seperti juling.  A’sam adalah berarti pinjang karena ada kelonggaran dalam sendi kaki. Ahrad adalah gangguan yang terjadi pada kaki sehingga membuat pemilik kaki berjalan pincang. Asyall adalah mushab fi ‘udhwin min a’dha’ihi bi al-syalal yaj’aluhu ‘ajizan ‘an al-harakah yang berarti penyakit di bagian tubuh yang membuat anggota tubuh tak mampu bergerak (lumpuh).

Demikian ulasan singkat tentang ulama ahli hadis yang mengalami disabilitas. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan kita serta menyadari bahwa sejatinya tiada orang yang sempurna. Para ahli hadis merupakan manusia biasa yang sebagian di antara mereka adalah penyandang disabilitas. Baik fisik maupun intelektual.

Rabu, 08 April 2020

Pelajaran dari Jombang, Ilmu Hadis, Bu Nyai dan Pesantren Transformatif


Saya dan teman-teman saya mungkin bukan yang terbaik di bidangnya. Tingkat pendidikan kami terbilang tak tinggi-tinggi amat. Sedang dan pas-pasan. Tetapi, bukan berarti hal itu menghalangi kami untuk turut terlibat dalam upaya penguatan literasi ilmu hadis di kalangan generasi muda.
Kegiatan sejenis telah kami mulai sejak 2013. Dengan bekal ala kadarnya. Tahun 2020 ini genap tujuh tahun. Ketika kegiatan ini diapresiasi banyak pihak, dan tentu diikuti dengan penuh semangat, saya mulai menyadari bahwa kegiatan ini memang bermanfaat bagi orang lain.

Pada tahun ini, aliran kehidupan menuntun saya ke tempat yang luar biasa ini. Saya belajar tentang banyak hal. Ponpes. Assa'idiyyah 2 Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang. Di bawah asuhan Abah Hasan dan Bu Nyai Umdah. Dengan keramahan dan kerendahan hati, Bu Nyai menyambut kami serasa anak sendiri. Serasa santri pesantren itu sendiri. Bu nyai ini adalah aktivis sejak tahun 90-an. Ia kemudian memilih berperan di desanya sendiri. Ia boleh berdiam diri di daerah. Tetapi, santri-santrinya saat ini tersebar di berbagai negara yg untuk belajar (di sini ada lembaga pendidikan khusus untuk menyiapkan santri agar bisa kuliah di luar negeri, I'dadiyah), lalu kembali dan menempati posisi penting, atau menjadi aktivis dimana-mana. Dosen saya Bu Lilik Ummi Kalsum (sekarang wadek Ushuluddin UIN Jakarta), ternyata berangkat dari sini. Peneliti gender-terorisme IPAC, mbak Nava, ternyata malah puterinya (baru tahu kalau beliau hafizh 30 juz dan pintar baca kitab kuning, saya kira dulu adalah kader Muhammadiyah karena kuliahnya di UMY, hehe). Dan banyak nama individu keren lainnya yang dibicarakan dalam diskusi kami. Syukur saya pernah bertemu dengan mereka-mereka yang keren itu. Dan hari ini saya mengunjungi kawah candradimuka mereka. Mengapa tempat ini banyak menghasilkan santriwati karir?

Tentu saya tak akan menjawabnya. Tetapi, ketika mengikuti proses pelatihan kemarin, saya menemukan bahwa santri di sini memang dimotivasi kuat. Khususnya oleh Bu Nyai melalui gaya persuasinya, "Nak", "anak Lanang". Bahwa mereka harus menjadi pribadi yang kuat secara keilmuan dan keagamaan. Para peserta yang umumnya santri kelas 12 dan mahasiswa ini, tadinya kurang bersemangat karena teori ilmu hadis yang disampaikan sudah kenyang mereka pelajari. Tetapi ketika memasuki praktek, rupanya suasana berubah menjadi begitu bersemangat. Saya bahagia. Kegiatan ini berhasil menanamkan benih "rasa ingin tahu" dan "metode dasar berburu pengetahuan baru". Di sela-sela kesibukan lainnya, memberdayakan santri dan masyarakat sekitar (santri yang berasal dr keluarga tidak mampu dikaryakan di bengkel mobil dan toko agar bisa membayar uang kuliahnya, para janda tua diajak ke majelis istighatsah dan mendapat santunan), beliau masih menyempatkan menengok kegiatan kami. Memberi motivasi. Berkali-kali. Tentu ini menambah semangat peserta.
Di sini saya belajar, seperti saya pelajari dari tulisan-tulisan Gus Dur, agama dapat menjadi kekuatan transformatif bagi masyarakat. Menyentuh kebutuhan real masyarakat. Ada begitu banyak yang mengeluh soal biaya pendidikan yang mahal. Tetapi tidak banyak yang bisa mengubah keadaan ini. Apa yang dilakukan Bu Nyai Umdah adalah menjawab kebutuhan pendidikan, kemandirian dan canggihnya memanfaatkan budaya agama untuk mewujudkannya. Teori-teori Gus Dur sebenarnya agaknya menjadi antitesis teori modernitas yang cenderung membenturkan agama dan kemajuan yang bahkan diikuti membabi buta oleh sebagian modernis. Kasus dari Jombang yang masih hidup ini, dan kisah kiai-kiai dari Jombang yang dulu suka ditulis oleh Gus Dur, bisa menjadi contoh keterbatasan teori relasi agama dan modernitas itu. Tentu saja, agama transformatif ini punya syarat. Aktor agama, bukan justru memanipulasi nilai-nilai dan budaya agama menjadi mengumpulkan pundi-pundi kepentingan sendiri mengalahkan kepentingan yang lebih luas. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para aktor agama.

Karenanya, Bu Nyai selalu berpesan kepada kami agar menjaga kemandirian. Sebelum kami pulang, kami diajak ke masjid yang berarsitektur Tionghoa-Mojopahit. Dengan bangga, beliau menyebut "Ini saya arsiteki sendiri lo mas...". Di samping masjid itu, ada asrama santri yang belum jadi 100 persen. Sambil kami lihat-lihat, beliau bilang, "Kalau sampean mau bikin pondok, dimulai sedikit2. Kayak ini. Saya dulu memulai Assa'idiyyah 2 dulu cuma dengan satu santri. Tiga orang. Yang dua sopir syaa." Belum puas, beliau mengajak kami mengunjungi showroom mobilnya, "Sampean gak mau bisnis ta? Ayok, tak tunjukin showroom mobil yang dikelola anak-anak. Tak dungakno sampean ketularan." Kami hanya cengar-cengir, dan hanya bilang "Siap Bu. Aamiin."

Tambak Beras, 7-8 Februari 2020.

Minggu, 05 April 2020

Cadar dan Laras Panjang: Imajinasi Perjuangan Islam?

Seorang teman mengirim foto di grup WA angkatan. Katanya, foto itu adalah potret karnaval tujuh-belasan di Probolinggo yg sedang heboh. Ada barisan anak-anak didandani mengenakan cadar hitam dan menenteng replika laras panjang. Konon, karena temanya meneladani perjuangan Rasulullah SAW.

Sejarah Sabotase Masjidil Haram

Akhirnya. Saya bisa mengkhatamkan lagi sebuah buku. Membaca detil demi detil. Hingga akhir. Buku yang berhasil saya khatamkan kali ini berjudul Kudeta Mekah, Sejarah Yang Tak Terkuak. Buku ini berisi laporan investigasi seorang wartawan yang mencoba menelusuri sebuah peristiwa tragis tetapi tidak banyak orang tahu. Disebut tidak banyak yang tahu persoalan sebenarnya karena peristiwa itu terjadi di wilayah kerajaan yang cenderung tertutup, di pusat kota yang menjadi ikon terpentingnya. Ya. Kerajaan Arab Saudi. Peristiwa itu terjadi di kota Mekah. Kota suci paling dirindukan umat Islam.

Download Buku PDF HADIS NABI DALAM RUANG SOSIAL Teks, Penafsiran, dan Penggunaannya

  “Text is power.” Itu adalah salah satu kutipan yang saya dapatkan dari sebuah diskusi. Teks disandingkan dengan ekonomi dan militer seba...